Tuesday, December 11, 2012

Seperti Umar Bakri Memikul Kanabo


Sekarang adalah waktu untuk bercinta, karena kemarin bukan. Kemarin, aku menghabiskan seharian sampai menjelang tengah malam di Grand Sahid Jaya Hotel. Bulan ini, Desember 2012, adalah bulan yang aneh bagiku. Tiga kali aku diminta untuk menjadi radiator, yaitu untuk Seminar Akhir Tahun-nya DRC, Seminar Skandal Century-nya Bidstu Hukum Acara dan Konferensi Hukum Tanah-nya Bang Kurnia. Dari ketiganya aku mendapat satu kapal perak dan dua plakat. Lalu apa gunanya plakat-plakat ini? Haruskan kusimpan? Kemarin aku berangkat naik kereta sampai Manggarai bersama Cantik. Dari Manggarai jalan kaki ke halte busway; Cantik naik TransJakarta ke Pramuka, aku naik taksi ke Sahid. Sesampainya di Sahid, langsung ketemu Mang Untus dan Mas Mils, lalu ke kamar 1011; yakni kamar Mas Mils dan Mas Wir. Yah, begitulah kamar hotel; dan selalu banyak orang bikin acara entah apa-apa di hotel-hotel. Dahulu bagaimana, ya? Kurasa mereka melakukannya di gedung-gedung pertemuan.

Sekarang adalah waktunya bercinta, padahal setiap saat saja apapun bercinta. Aku tidak yakin bagaimana cara mengabadikan yang satu ini. Bahkan aku tidak yakin apakah ini pantas ditulis atau tidak dalam sebuah entri di Kemacangondrongan yang terhormat ini. Mungkin begini saja, ada orang-orang yang... well, mengerikan. Terhadap mereka, aku hanya dapat memohon perlindungan kepada Allah. Ini adalah Jepang jaman pertengahan, jaman feodal. Kesetiaan seorang Samurai berjalin-berkelindan; ketika tuannya bersetia kepada seorang tuan lainnya, sedangkan bersekutu juga dengan panglima-panglima lainnya. Seorang Samurai harus tahu persis di mana letaknya dalam jaring-jaring yang memusingkan itu. Dalam segala kepusingan, ia harus berusaha menjalankan tugas sebaik-baiknya. Aku juga tidak tahu untuk apa, yang kutahu begitulah adanya; dan aku, mungkin, sudah terlalu tua dan lelah untuk mengeluhkannya. Lagipula, menjijikkan sekali seorang Samurai mengeluhkan tugas-tugasnya. Sampai kapan aku akan merasa begini?

Samurai dari Hong Kong?! Kalaupun benar, namaku Warui dari marga Wasairai, jadi Wasairai Warui!

Ahahaha... akhirnya kutemukan cara untuk mengakalimu. Bodohnya... hahaha... Bagian entri ini yang sebelah atas sudah kutulis sekitar tiga atau empat hari yang lalu, Sedangkan sekarang sesungguhnya adalah Minggu, 16 Desember 2012. Dalam waktu itu sebenarnya sudah banyak sekali kejadian. Misalnya, kemarin adalah kali pertama aku mengawas ujian notariat, dan badanku terasa tidak enak sekali. Tebakanku adalah karena kopi, dan baru saja aku minum kopi lagi karena mengantuk. Ya Allah, semoga tidak tambah parah lambung ini. Kenyataannya, setelah dikopi sedangkan Steve Tyler meraung minta diselamatkan bidadarinya, aku merasa lebih semangat menghentak papan-tekan. Bidadari... aku bukannya tidak tahu. Namun begitulah aku. Hah, capek betul tiap kali harus menjelaskan diri sendiri, mencari pembenaran. Lebih baik aku bicara mengenai bidadari. Bidadari itu adanya di surga. Surga? Hey, Jumat lalu, ketika aku sedang mengawas UAS Environmental Law, aku membaca-baca entri Wikipedia mengenai neraka dan surga. Datang dan selamatkanlah aku malam ini... Selamatkan dari apa? dari hidupku sendiri.

Aku juga ingat, kapan itu, kalau tidak salah malam Jumat; entah bagaimana caranya, di kepalaku terngiang-ngiang lagunya Don McLean Vincent alias Starry, Starry Night. Aku tidak suka Vincent van Gogh, sama tidak sukanya dengan Sigmund Freud. Apakah aku suka lukisan? Kurasa memang pada dasarnya aku tidak suka lukisan, jadi wajar saja kalau aku tidak suka pelukis. Tuh kan, aku lagi. Kapan aku akan terbebas dari aku?! Kapan?! Artis. Seniman. Bidadari. Bidadari... di kepalaku ada Bidadari, seraut wajah. Apakah sebaiknya ditulis dalam bentuk puisi? Lalu kalau blog ini pun penuh dengan kalimat pasif, apa bedanya dengan proposalku? Bidadari... Aku seperti Andhika dan Andine sedang mengerjakan UAS Environmental Law, banyak stabilonya hahaha... Masterpiece. Adikarya. Babi! Babi! Babi merah jambu keunguan! Hahaha... Tiiidaaakkk!!! Kutemukan adikarya padamu... hancur berkeping-keping, atau seperti roti kering, basi, basah, terinjak di Maastricht Centrum atau di pinggir Margonda saja, di depan Cemerlang. [Mungkin seharusnya jadi prosa lirik]


No comments: