Thursday, December 31, 2020

Untuk Bayi-bayimu, yang 'Tak 'Kupercaya


'Gar, mungkin kau jengkel, atau setidaknya bosan, membaca entri-entri Kemacangondrongan, karena kebiasaanku menyerakkan makna, karena pendirianku bahwa makna pun perkakas, seperti halnya bentuk dan bunyi. Mungkin kau masih mendamba makna. Aku tidak bisa menyalahkanmu. Siapa yang tahu berapa lama lagi kau harus hidup di dunia. Seberapapun lamanya, kau pasti ingin memaknai hidupmu, meski, kau tahu, aku akan mencelamu karena menjadi terlalu biasa. Kita memang harus biasa, 'Gar, harus lumrah, dan lumrahnya hidup itu bermakna. Begitulah lumrahnya.


Harus segera 'kususulkan di sini, dan ini 'kutujukan pada kalian, 'Rid, 'San, [aku tidak tahu apakah Hari Prasetiyo segabut itu] Togar Tanjung di sini bukan semata Bapaknya Duma. Ia sesungguhnya adalah tokoh khayal dalam semesta paralelku, yang bisa 'kubentuk sekehendakku, berbunyi sesukaku, dan, terpenting, nirmakna. Meski begitu, satu hal yang sama antara Togar Tanjung yang Bapak Duma dan Togar Tanjung dalam semesta paralelku, rambut keduanya sama-sama awut-awutan seperti keset welkom. Jadi ini sebenarnya surat yang lusuh dan lecek, berantakan.

Tidak seperti 2018, tidak juga seperti 2019, apakah aku harus pura-pura tidak tahu, pura-pura tidak peduli. Keterkurungan tanpa nasi uduk bulu ayam yang membangkitkan gambaran-gambaran mengerikan. Mengapa harus ada yang mengakibatkan harus mandi sampai demam. Tidur dengan baju lebih dari lengkap, meski agak dua jam kemudian melucuti satu persatu. Ini semua... bermakna hahaha. Terkadang tidak juga, namun justru di situ letaknya, seperti bioskop Rahayu Theatre atau apapun. Kebanyakan memang mengenai masa lalu. Ada juga sedikit masa depan.

Apa yang menjengkelkan ketika pertemuan pertama, pada nilai mukanya, bisa jadi mengundang senyum setelah sepuluh tahunan. Setelah sepuluh tahunan itu berhasil dilalui, sungguh menakjubkan, dengan selamat. Ini pun, sekiranya diizinkan, akan menakjubkan ketika berhasil dilalui dengan selamat. Memang bentuk tanah yang aneh di apron timur itu sangat khas, meski tidak sampai sehebat Singa yang menelusuri jalan pulang ke rumah dari belasan ribu kilometer jauhnya. Ini bahkan jauh lebih menjengkelkan. Siapa sangka ia akan menghuni daftarmainku setelah lebih sepuluh tahun.

Benar-benar seperti tai diberakin kampret, baik bentuk maupun bunyinya hahaha. Ampuni hamba, Ya Allah, jadikan ini semata cara hamba bersyukur padaMu. Apalagi ini, kemudaan. Apalah arti itu semua. Akankah berarti, apa yang harus 'kulakukan. Apa yang 'kuyakini. Aku tidak yakin. Aku hanya merepotkan. Mengapa banyak sekali aku. Mengapa akal sehat dan hati nurani seakan tidak bekerja. Apa yang 'kutahu mengenai akal sehat dan hati nurani. Entah mengapa tiba-tiba aku ingat Lapangan Alexander, karena aku berhasil melaluinya dengan selamat.

Tirai telah terbuka, menampakkan potong atas. Aku terlempar jauh ke dalam Debbie jurusan X-deres ber-AC yang selalu 'kutakuti, belum lagi segerombolan bau tai. Jika tidak dicatat, mungkin tidak akan pernah ingat kesan utama suatu masa. Utama, kata siapa. Kataku sendiri, karena hanya itu yang jujur. Tidak banyak berguna. Tidak ada yang peduli juga. Betapa dalam lima belas tahun dari acuh tak acuh menjadi tolol. Betapa banyak perubahannya dalam kurun itu. Aku hanya harus menahankannya sebentar lagi. Tidak perlu mengeluh. Tidak usah mengaduh. 'Takkan lama.

Tidak perlu jengkel juga, mengapa beberapa menarik hati sedang lainnya berat hati sampai 'tak jadi. Jika kau ingat lebih dari lima belas tahun lalu begitulah terjadi. Apa yang kau ingat. Tahu petis di depan Gramedia Depok yang semakin tidak relevan itu. Terlebih fotokopi. Bahkan pendidikan tinggi bisa jadi somay, indomie, atau okonomiyaki. Ini adalah alarm atau nada-dering dari waktu-waktu itu, di pojokan di mana segalanya terjadi, bermula. Jangan pula kau tanyakan mengapa. Aku memang cengeng. Sungguh semua terasa seperti tiada arti. Makna. Tiada.

Monday, December 21, 2020

Tadinya Sebuah Nama, Namun 'Tak Jadi


Ya, sebuah nama yang gagah, sesuai dengan orangnya. Namun sekarang aku jadi bertanya-tanya mengenai yang memberi nama. Mengerikan sekali nasib yang menimpanya. Aku mendengarkan kaset nada-nada sok ngejez terbaik dari 37 tahun yang lalu. Adakah itu nasi uduk yang dijual oleh seseorang yang anaknya masuk ke dalam dasternya, lalu si anak berkata, "tai, tai, tai." Astaga sudah dari jaman itu. Aku masih ingat rasanya. Aduhai. Aku tidak peduli dengan dunia ini, sudah tegas dikatakanNya. 'Kujalani sedapat-dapatnya, dari hari ke hari. Yang penting-penting saja.


Ini lagi rendisi Tante Dionne mengenai Hari Kita Akan Datang. Ya rendisinya, ya kenangannya. Aku tidak mau mengenang-ngenang, karena lengan bawah kananku sedang aneh. Aku memanaskan minuman havermut rasa coklat terlebih dulu, setelah sebelumnya semug besar teh hitam dengan rempah-rempah musim dingin. Sementara aku diganggu atau justru asyik dengan semesta paralel, dunia mungkin sedang mempraktikkan yang senyatanya, das sein. Akankah aku dihukum karena pikiranku mempemainkanku, das sollen. Antara ought dan is, ada juga.

Semata-mata reaksi kimia. Semata-mata KesepianNya. Begini memang caranya. Kronologi adalah ilusiNya sekaligus IlusiNya, atau dengan kata-kata lain, Sang Kala. Terombang-ambing di antara aku adalah dualitas. aku adalah genap dan kegenapan. aku, siapapun di alam ciptaan ini, tidak ganjil, tidak ada yang unik, karena Unik adalah Hanya. Lama-lama menjengkelkan maka 'kuganti dengan yang ada Seandainya Engkau Berada dalam Pelukanku Lagi, yang mengharu-biru banyak anak bocah sebayaku. Haruskah 'kumembenci diri sendiri, pasti banyak lainnya.

Robek di arah jam satu, tiga, lima, tujuh, sebelas, hahaha. Ini 'sih kena petasan ciplik, sedang Si Ciplik tidak henti-hentinya memaki. Mengapa. Tidak. Sungguh, aku tidak menertawakannya atau nasib yang menimpanya. Aku menertawakan deskripsi itu sendiri. Nyatanya belum 'kuganti juga gara-gara Sergio Mendez, meski ingin sekali 'kumenoyor kesokcerdikan pilihan-pilihannya. Oh, aku bisa rampak begini. Atas izinNya, segalanya akan indah pada waktunya. Aku tidak pernah merobek apapun, dan tidak pernah ingin, seperti 'ku 'tak pernah ingin reebok, etc.

Aku memang tidak harus peduli. Aku hanya harus menjalani sampai selesai. Sudah begitu saja. Akan halnya aku kembali ke suatu siang pada suatu rombong rokok di depan gardu listrik, sampai digantikan oleh anaknya masih di situ juga, tidak pernah terjadi di alam nyata. Aku bicara praktik padahal aku orang yang paling tidak praktis. Meski harus 'kusebut teras Oom Karyadi dan kol banda. Aku tidak keberatan dan tidak punya preferensi. Sampai hari ini selalu saja kebatan dan kebitan, tidak pernah lebih, tidak pernah kurang dari itu. Akan berakhir, itu pasti. Bersabarlah.

Akhirnya aku membayangkan diriku berakhir di GerobakgoyanG, mungkin tidak. Mungkin aku berhasil mencari pertolongan. Namun buat apa. Yang penting adalah segala sesuatu sebelum berakhir itu. Antara disayangi dan disia-siakan sudah sehari-hari. Yang mana aku tidak pernah akan tahu, karena tidak penting juga. Hanya saja, membayangkan GerobakgoyanG sungguh menyenangkan, atau mungkin tinggal itukah kesenangan. Sebuah ruang belajar yang permai mungkin tidak akan pernah kudapati. Bahkan gardu belajar sudah tidak... apa. Entahlah. Lupa.

Kekecilannya. Antara posisi duduk dan ukuran huruf, 'kumulai lagi di paragraf terakhirnya. Entah mengapa aku kembali ke sini, setelah hampir lima belas tahun. Waktu yang 'kuklaim 'kuhabiskan bersama nelayan. Mungkin benar, dalam khayalku. Semoga Allah menutup aibku, mengampuniku, memaafkanku. Paragraf terakhir ini 'kutambahkan ketika badanku terasa meriang disko, gara-gara mandi. Seharusnya tidak boleh, namun aku melemparkan diri ke sekitar sepuluh tahun yang lalu. Masa lalu hanya indah karena aku berhasil melaluinya dengan selamat. Sudah.

Tuesday, December 01, 2020

Aku Kembali ke Jalan Panjang yang Berliku


...dan aku lupa di mana harus berhenti. Atau di mana harus mulai. Semuanya telah tiada. Sawah-sawah itu. Bangau tongtong itu. Tanah merah berdebu itu. Semua dari akhir 1980-an. Semua dari 30-an tahun yang lalu. Dan rambutnya yang keriting kemerahan. Tidak ada artinya bagiku itu semua, ketika sebuah rumah kosong di bilangan Jalan Jakarta menghancurkanku. Ah, tidak juga, memang sudah hancur dari sananya. Sejak di Kemayoran sampai di Amsterdam hahaha. Ini lebih dari sekadar ketololan. Ini kengerian. Sungguh semoga ini semua segera berakhir.


Entah kapan mulainya, musim panas lalu aku sering mendengarkan jez kethuwil-kethuwil nduliti tuts piano. Barusan aku jengkel padanya dan menggantinya dengan... Nada-nada Sokngejez, dimulai dengan Merayakan. Jengkel juga sih, tapi malas pula untuk menggantinya. Oh, itu waktu-waktu yang mengerikan. Bahkan sampai sekarang pun masih mengerikan. Mulainya entah kapan, menghentikannya entah bagaimana. Setelah Cinta Pergi adalah waktu-waktu ketika Jalan Panjang Berliku telah digantikan Perumahan Harapan Kita. Mengapa aku harus melalui semua.

Dan lampu bohlam yang dikerobongi rol bekas tisu gulung, digunting pada beberapa tempat agar muat masuk bohlam ke dalamnya. Remang-remang jadinya, sejuk juga udara seingatku. Entah musim penghujan tahun berapa. Akhirnya, aku tidak akan mengerang. Tempat tidurku di atas, hampir sejajar dengan erang-erang asli. Karena kami tidur di tempat bekas praktek dr. Hardi Leman, yang menurut Ibu masih suka mengaduk-aduk minuman tengah malam. Betapa mengerikannya. Bahkan anjing suka melolong di Enge datang nyamuk pu hilang. Khayal belaka semua. 

Iaitu Dina dan Maureen, atau buah-buahan menggelantung ketika menyapu halaman di pagi hari. Toh, aku lebih sering telatnya. Meski Herman sudah memanggil-manggil mengajak berangkat bersama, aku justru baru bangun. Misteri Tebing Menyala boleh beli di Kisamaun, seingatku buru-buru pulang langsung mencret. Bersama Pak Tuek ketika itu. Kau Membuatku Tersenyum Kembali. Siapa, Yuli binti Markus atau John Kotelawala, atau jalangkung di rumah kosong. Semoga tidak ada lagi yang mengalami apa yang kualami, yang masih harus kualami baru saja.

Cocok ini menemani suasana setelah hari mulai beranjak malam. Programa Dua menayangkan kalau tidak Square One ya Valerie. Lebih malam lagi ada Supercarrier dan Fun House. Aku tidak ingat apakah pada saat itu masih ada Balki atau Gus Witherspoon. Yang jelas ada Bravestarr dan Mandy Smith yang sudah tidak sabar menunggu waktu bertemu denganku. Ada juga suatu malam ketika sepasang mata mencorong memandangku dari dalam gupet. Dingin, seingatku. Apakah di lantai. Ah, biar 'kucatat di sini. Rah Band - Clouds Across the Moon. Ngejez apanya.

Akankah 'kusesali selamanya, betapa aku, anak Bapak Ibuku, menjadi begini. Sesuatu yang 'kurintis sejak di Kemayoran, lanjut di Kebayoran, menjadi di Cimone, mengerikan di Kebayoran, Magelang, Surabaya. Aku tidak mau mengerang. Tidak lagi penting mengapa mulai. Jauh lebih penting bagaimana mengakhiri. Terkadang rasanya seperti disambar-sambar, berkelebat berkesiuran di dada. Entah sudah lebih dari setengah kujalani atau justru tinggal sebentar lagi. Aku yang pura-pura alim padahal kehijauan ini. Tidak. Aku anak Bapak Ibuku. Itu saja. Tidak lebih.

Malam ini awal Desember, berhujan di Amsterdam Utara. Tidak banyak yang dapat 'kuceritakan mengenai perihalku di sini. Aku justru menghamburkan kepingan-kepingan diriku, serpihan-serpihan ingatan yang tidak hendak pula kususun menjadi utuh kembali. Ingatan-ingatan yang tidak henti-hentinya mengganggu, seperti ketika Patti memintaku untuk mengatakan padanya, aku mencintainya. Selalu saja aku kembali ke jalan panjang yang berliku, setelah setua ini. Semoga ke depan, entah panjang atau bagaimana pun itu, tidak lagi berliku. Lempang saja adanya.

Tuesday, November 10, 2020

Renungan Hari Pahlawan 2020: Kang Kopid


Aku menulisi ketika sedang apa, sih. Ketika sekonyong-konyong aku kembali ke kamar mandi Graha 10, di akhir 1991 atau awal 1992, sedang aku berusaha menyanyikan Dari Rusia dengan Cinta, mencoba membidik nada yang tepat. Bukan. Bukan karena Bu Eko pernah menugaskanku menjadi solis Tonpara, melainkan karena memang semenjak pindah kembali ke Radio Dalam aku rajin berlatih membidik nada lagu-lagu Matt Monro, yang menjadikan wawasan vokalku Monrois. Nah, begitulah saja hidupku. Merasakan kembali masa lalu di situasi dan kondisi kini...


...yang bisa jadi nyaman, bisa jadi muram. Yah, mulai deh kebiasaan buruk merepotkan diri sendiri. Biarlah. Tidak sekadar sastra, ini seni rupa. Ini instalasi (halahmadrid!) Ini lagi, seorang anak perempuan menyanyikan lagu bapaknya, yang menemani hari-hariku entah di kamar mandi Gama I No. 26 atau atap asbesnya yang sambung-menyambung. Disambung dengan Mencintaimu Adalah Hal yang Tepat, yang tidak kuingat dengan pasti apakah sejak Gama I No. 26 itu atau baru setahun menjelang Magelang. Ini jelas bukan renungan mengenai kepahlawananku sendiri.

Bukan pula kepahlawanan Daniel Daly, karena aku lupa 'kuberi judul apa ia dulu. Hanya saja terkenang pernah dinyanyikan di sebuah warung minum di Maastricht. Jika masa lalu tak berdaya maka berdayakan sekarangmu! Iya, tapi 'kan tidak mungkin sekarang juga, sudah malam begini. Beginilah jadinya jika aku bercakap-cakap dengan diriku sendiri. Ah, betapa dahulu bisa sampai sesak berurai air mata jika Pasang Surut begini, meski sudah tadi di kamar mandi. Hahaha begini caranya meretas ruang dan waktu. Mesin waktu, aduhai! Begini ini caranya, menjelajahnya!

Sangkal keberadaannya! Betapa di suatu siang hatiku diharu-biru oleh Tante Connie. Aku, bocah remaja kencur 13 tahun, dan itu 30 tahun yang lalu. Apakah aku menjadi insiyur kapal terbang, tentu tidak. Dari dulu pun tidak. Aku juga tidak habis pikir mengapa bisa sampai begini. Akankah 'cita-cita'-ku tercapai. Aku tahu, aku tidak pernah dihitung oleh Bu Ismu, meski aku tidak tahu apa hebatnya Rudy Saladin dariku. Asaptaga, dia punya halaman Wikipedia. Aduhai, orang-orang macam apa kalian ini. Jangan-jangan ada gadis yang Menyandarkan Kepala pada Bahu kalian.

Meski itu di ruang BPM lama dalam keadaan senista-nistanya, dengan tas selempang UI berisikan Bondet di dalamnya, tidak ada gadis yang menyandarkan kepala pada bahuku. Meski ruang bersama Asrama UI dipenuhi harum sabun gadis-gadis baru mandi, dengan rambut-rambut mereka yang basah, Aku Ingin Melakukannya Denganmu. Ya, hanya kamu. Aku selalu percaya, sudah disiapkan satu untukku asal aku menjalani hidupku dengan benar. Apa artinya ruang dan waktu, kecuali sebuah studio seluas 26 m2 dengan sewa EUR 650-an sebulan. Tidak ada!

Semata-mata karena kasih-sayang Bapak dan Ibu. Sisanya adalah barang kotor dan bau yang bagusnya dipendam saja dalam-dalam. Seperti apapun bentuknya, mau Matt Monro apa Marilyn Monroe. Lantas Berjingkrak-jingkrak di Salju, berlalu begitu saja, meski sangat berkesan, membekas, tergurat dalam pada ingatan, pada kesadaran. Makna, 'Gar, tidak berdaya. Jangan kau bergantung padanya. Ingkari ketergantunganmu pada makna. Mungkinkah bunyi, atau bentuk. Apapun itu selain makna. Makna tak berdaya. Hanya satu impian semata. Makna hanya ilusi! Hahaha.

Cinta, Cinta, Cinta. Di mana kau sembunyikan makna. Tepat di pelupuk matamu. Di situlah tempat persembunyian terbaik. Begitulah caraku mengatakannya, dengan cara Latin, betapa aku sangat mencintaimu. Woi, ingat! Sekarang. Itu satu-satunya cara meretas ruang dan waktu, dengan berada pada kekinianmu, sekarangmu. Terlebih setelah Angin Sepoi-sepoi Musim Panas sudah tidak bertiup lagi, digantikan musim gugur berbadai, jangan lagi mencari makna. Bersetialah, bertahanlah pada sekarangmu, sekuatmu. Jika sudah tidak kuat, silakan melanglang waktu. Sesukamu.

Wednesday, November 04, 2020

Patronim, Patronimo dan Patrick O'Nolan


Sangat bisa dipahami kalau Ibu sudah tidak kersa lagi mirengke lagu-lagu kesayangan Ibu dari jaman muda dahulu. Aku pun kini sudah mulai merasakannya. Terkadang lagu-lagu itu membawa kenangan yang sebegitu menyakitkannya, sampai aku tidak tahan bahkan baru sampai birama ketiga. Apa aku akan mencoba membereskan caraku berpikir mulai dari saat ini, atau 'kubiarkan saja. Apa 'kuterus-teruskan menulis asal-asalan seperti ini sampai membahayakan diri, atau 'kuperbaiki sedari sekarang. Hei, teringatnya, sekarang pratinjau sudah tidak pakai pethungulan lagi, sudah kembali seperti sedia kala. Nah, begitu, dong!

Uah, ['kurasa, sudah agak lama aku tidak berseru begini. Ini pertanda baik. Artinya hatiku riang] betapa tidak riang rasa hatiku. Helmut Zacharias menyenandungkan Orang-orang Asing di Malam Hari, sedang aku baru meneguk Oatly hangat rasa coklat. Kau harus lihat betapa rampak jari-jariku mengetiki. Kau. Siapa. Tiada. Mengapa. Nah, sudah mulai, 'tuh. Sudah seperti biasa. Perbidadari 'lah keberesan cara berpikir, yang penting hatiku riang, yang penting jariku rampak mengetiki. Biar 'kuabadikan di sini. Kemarin, Selasa Pon, 17 Rabiul Awal 1442 H/ 3 November 2020 M telah lahir Endra Budiarto Prasodjo bin Gunawan.

Nama tengahnya diambil dari nama Neneknya dari pihak ibu. Oleh Bapaknya diberi nama "Endra", digayakan dari nama Batara Indra namun dengan "i" dibunyikan "e" seperti orang Jawa, agar seperti "end" dalam Bahasa Inggris. Ini merupakan harapan dari Bapaknya agar Endra menjadi anak ragil. Entah mengapa, pada saat-saat kelahirannya aku berdoa, semoga ia, bersama kakak-kakak laki-lakinya, menjadi seperti Rama, Lakshmana dan Sathrughna, laki-laki gagah perkasa nan penuh hikmat kebijaksanaan, pecinta kebenaran yang lembut dan rendah hati, menjadi kebanggaan orangtua-orangtuanya.

Doa yang sama tentu saja 'kupanjatkan bagi Kambing Balapku Fawaz Hamdou Nitisemito bin Ade Azurat. Telah 'kukatakan pada Ibunya, panggilanku ini tanda sayangku padanya. Tidak ada yang 'kusayangi melebihi binatang. Tidak pistol, senjata apapun, apalagi turangga semacam BMW Mercy dan sebagainya. Aku penyayang binatang! Lagipula lihatlah orang-orang gagah seperti Gajah Mada, Hayam Wuruk, Kebo Kenanga, Kebo Kanigoro, maka begitulah Kambing Balapku. Ayahmu pasti punya doa-doa untukmu, begitupun aku, Bapakmu. Besar harapanku padamu, maka 'kuberi makan uccus kau selalu.

Helmut Zacharias masih bersiul-siul dengan violinnya, serampak aku masih mengetiki dengan VivoBook-ku. 'Kuterima hidupku apa adanya. Beginilah rasa, setiap hari memandang keluar jendela, di tengah wabah bersimaharajalela. Tidak bisa lebih benar lagi nasihat Sersan Elias Grodin dalam situasi seperti ini, satu nasihat yang sulit diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia atau Jawa. Meski aku baru tidur sekitar lima jam malam ini, aku seriang remaja tanggung yang berlari-lari kecil di sekeliling Katedral Winchester. Sekitar jam empat terbangun karena lambung kebanjiran asam, maka sulit tidur lagi.

Telah berulang kali 'kukatakan [pada diri sendiri], ini bukan tempat berdoa. Dinding pesbuk juga bukan. Berdoa itu berbisik-bisik pada hati, sedalam apapun yang kau sanggup. Biar 'kucatat di sini, biar tidak lupa. Shadr. Qalb. Fu'ad. Syagf. Lubb. Sirr. [Nur?]. Allah. Apa pantas mencatat ini di tempat mesum begini. Habis aku punya catatan apa lagi. Sungguh tidak praktis, dan tidak ramah lingkungan pula, masih memelihara buku-buku catatan jaman sekarang. Aku saja agak menyesal membuat catatan baru di Perimbas! Kapan aku punya waktu untuk mencatat di situ, sedang di Kompasiana dan Watyutink juga ada. [huft!]

Demikianlah, Aku Bono bin Harnowo, sebagaimana Endra bin Gunawan dan Fawaz bin [Ade] Azurat. Begitu saja terus. Tidak ada yang tahu. Aku tahu. Aku tidak. Aku hanya minta ampun. Aku Bapak dan Pakde, juga Oom. Begitu saja. Insya Allah, dalam setiap tahunnya bisa saja aku mempunyai anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Itulah anak-anakku juga. Cukuplah bagiku, bapak-bapak botak, gendut, tidak berpeci dan bersetelan, meski mungkin harus berkacamata baca, entahlah. Semoga gigiku tidak pada sakit seperti selebihnya badanku pun. Katanya tidak mau berdoa di sini. Aku tak tahan. Aku pengecut dan kesepian.

Saturday, October 31, 2020

Sukesi Suka Sawi, Pourquoi C'est Comme Ci


Ini adalah entri mengenai kesakitan [sakit 'mulu]. Baru sampai sini saja sudah seperti mau berhenti rasanya, setelah melihat bentuknya Ahmad Bla'ar, dilanjut Juwita. Hahaha biar aku sendiri kebingungan suatu hari nanti melihat ragaanku sendiri. Apa yang diragakan, ragaannya, dan kesan yang ditimbulkannya, sudah kehilangan hubungan sebab-akibat; seperti pilihan E ketika pernyataan dan alasan salah namun menunjukkan hubungan sebab-akibat. Aku tidak mau mengakuinya! Aku harus tetap berusaha. Apa. Ini perjuangan berat menciptakan ragaan-ragaan tanpa ada yang diragakan, meski harus timbul kesan.


Apa 'gak malu sudah tua. Justru karena sudah tua itu. Sudah hilang kemudaanku. Tiada lagi buncahan itu meski memang tidak pernah benar-benar membongkah. Aku benar-benar sudah lupa dan itu lebih baik. Apakah terlalu cepat, sedangkan lebih cepat tidak selalu lebih baik. Lebih baik cepat, karena jika sampai terlambat alangkah menjijikkan, dan ini mengingatkanku pada gula yang suka bersepeda. Sakit hatiku karenanya. Sedang aku yang membayar malah yang lain jadi gula-gulanya. Salah sendiri hahaha. Dasar tolol, masih saja tidak belajar; yang seperti itu 'kan selalu saja tolol lantas berakhir pada kesakitan.

Apa 'gak malu pernah 'ngaku koder. Maka 'kuserukan, 'kulantangkan: Mancis! Geretan! Di sini kenanganku begitu saja melayang pada suatu siang bermendung di bilangan Condet agak empat tahun lalu, ketika aku belum minum segala obat darah tinggi secara teratur. Segala hidung. Segala rambut. Terlihat di situ kurang cerdas. Lantas untuk apa. Baru sampai di sini saja sudah interuptus. Pakai ngomyang lagi, meski embun memberat menjatuhi bingkai jendela dari aluminium. Seperti cicak-cicak mengetuk-ngetuk dengan ekornya, tempat menyimpan lemak. Uah, ini gara-gara sawi! Bukan sawinya Parul 'ya.

Tapi ada Jepang-Jepangnya, jadi 'ya Parul juga hahaha. Di sini maka melayang lagi ke belakang Burger and King, ketololannya. Kesakitannya. Menyeberang sudah tidak terlalu gampangnya. Itu masa-masa yang aku sudah mulai lupa rasa-rasanya. Bisa jadi itu semacam Oh La La, dengan quiche bayamnya, masih dengan kamomil seduhnya. Ada tercatat di sini juga. Ada kesakitannya. Astaga. Ini seperti nithili pinggir-pinggir koreng yang mulai mengering. Perih-perihnya. Pahit-pahitnya. Seperti memakan kotoran kuku ketika shalat Jumat, dan bapak-bapak begitu saja bergidik kejijikan. Nah, satu lagi. Kejijikan.

Nah, di sinilah saat kebenarannya, apakah ia menurut, atau aku harus pura-pura jadi koder lagi. Aku jelas kurang tidur dan masih harus nambah tidur lagi, yang mana pasti tidak nyaman. Gelibagan nanti jadinya. Banyak. Jika diurut satu persatu. Bisa banyak sekali. Jangankan itu. Robot dan sejenisnya pun pernah ditembak Mauser C96 ketika sedang menyapu. Dan buah-buahan! Astaga, jika berangkat sekolah agak pagi pasti bertemu buah-buahan sedang disapu-sapu kemaluannya. Astaga masih saja tidak tahu malu. Biji! Biar kulantangkan di sini. Kusalahkan engkau berdua, menggelantung tak sama rendah di bawah sana!

Belum lagi kuburan dan lapangan bola. Jengger ayam! Kesetaraan jengger! Lengan yang digamit entah sudah berapa lengan, selangkangan yang dislepot entah berapa sontolmeong. Ini semua sekadar makian seperti sejuta topan badai, tidak harus berarti apa-apa. Lebih tepatnya, ini ragaan. Semacam botol air dengan bentuk futuristik, bertuliskan savaz padanya, entah apa artinya. Ini mungkin juga meri, anak bebek. Oh, Allah Dewa Batara, kau seperti seekor cicak yang kubelah dua tepat pada perutnya, membuatku muntah. Kau seperti kodok yang kubelah-belah untuk pelajaran biologi. Oh, betapa berdosanya aku. Ya, Allah Dewa Batara!

Ini. Seperti ini. Ragaan-ragaan ini. Dalam studio seluas duapuluh enam meter persegi ini, sering terjadi kengerian-kengerian. Kesendirian. Kesepian. Kepandemian. Kepandemoniuman. Begitu saja, menurut Prof. Dr. Andri G. Wibisana, panoptikon keren. Aduhai. Apa itu keren jika bukan perut yang semakin ndlewet. Mungkin lebih baik begitu, daripada berterusan ini segala kengerian. Lebih baik begini. Gula adalah sekadar manisnya, dan manisnya itu bukan gula sendiri. Jangan sampai kau tertipu, manis yang kauingingkan, gula yang kaucari-cari. Jangan begitu. Habis ini masih harus diperiksa, apakah masih harus aku sok ngoder.

Wednesday, September 30, 2020

Suatu Entri Mengenai Lagu untuk Keisya


Tahun lalu aku menulis mengenai Gestapu (halahmadrid!). Sekarang apa aku harus melakukannya juga, meski sekadar agar September tahun ini ada entrinya. Masakan aku terus menulis entri seperti ini, sedangkan sepanjang bulan ini rasanya tidak sepatah kata pun kutulis untuk disertasiku. Jelasnya, aku sedang berada di ketinggian REC.B, Lantai 5 tepatnya, setelah berbulan-bulan lamanya. Tidak ada salahnya aku membiasakan diri dengan suasana ini, dengan cara menulis entri (halahmadrid lagi!) Semoga benar-benar tidak salah, menulis-nulis entri begini.


Sebelum Karim muncul tadi, sambil mengunyah focaccia mozzarella, aku membatin pada diri sendiri, akan ‘kutulis dulu syair lagu untuk Keisya. Ya sudah, biar ‘kulakukan sekarang.

Di sore hari, matahari terbenam
Suara jangkrik mulai terdengar, merdu
Angan melayang mengenangkan kampung halaman
yang telah lama ‘kutinggalkan

Bapak bersantai sepulang dari ladang
bersama Ibu menunggu turun senja
Kawan-kawanku berlarian menuju surau
riang menyambut panggilanNya

Meskipun kini ‘ku sebatang-kara
merantau jauh di negeri orang
Doa Ibu ‘kan selalu menemaniku

Meskipun berjuta aral melintang
menimpakan segala duka lara
Doa Bapak ‘kan selalu menjagaku

Di sore ini, sungguh damai hatiku
Terucap doa bersyukur kepadaNya
Semoga berkah semua jerih-payahku
demi hidup di masa depan


Udah gila apa. Masa Keisya disuruh nyanyi beginian. Yah siapa tahu. Anak-anak butuh masa depan yang lebih cerah dan lebih baik, dan itu harus dimulai, dirintis dari sekarang. Memang agak sedih dengan segala keterbatasan ini. Haruskah ‘kutanyakan pada Arum apakah ia memiliki kamera DLSR yang dapat kupinjam untuk membuat rekaman yang lebih baik. Yang jelas, aku belum cukup gila, jangankan untuk membeli alat-alat perekam kualitas studio, membeli irfon blutut semurah apapun saja belum cukup gila.

Karim tampak senang bertemu denganku. Aku pun senang bertemu dengannya. Mungkin memang harus begitu. Mungkin aku memang benar-benar harus main ke Jacques Veltmanstraat. Bukan untuk kesenangan inderawi semata, melainkan untuk saling menguatkan dengan Karim dan Mas Budi. Jika untuk kesenangan inderawi, cukuplah pendengaran dibelai-belai Marion Jola, Brisia Jodie, dan Ayu Putrisundari, karena aku tidak kuat lagi mendengarkan alunan ensembel biolanya Paul Mauriat, terlebih ketika seorang diri di Sepurderek. Itulah tadi aku bicara mengenai kesenjangan generasi.

Dengan syair lagu di tengah-tengah begitu, sulit bagiku mengontrol ketujuhlimaan. Tapi biarlah, toh ini bukan entri mengenai Gestapu, apalagi Gestok. Ini koq orang-orang yang dulu ketika kanak-kanak ketakutan menonton film Pengkhianatan G-30-S/PKI malah meributkannya sekarang, masih harus diputar atau tidak. Selamanya aku tidak akan lupa PC Sutisno yang memasang gambar mengerikan di buku ketika aku bahkan belum setua Adjie sekarang. Nama yang sama ‘kutemukan sebagai penulis naskah baik “Kancil yang Cerdik” maupun “Si Kuda Kayu.”

[Masih tiga lagi, jadi mari lanjutkan.] Apakah masih mengenai Gestapu. Beberapa puluh tahun lalu, film sudah main agak sejam di Indonesia bagian barat. Aku dan Adik bahkan pernah sengaja malam-malam ke tengah-tengah lapangan voli di seberang TK Citra Kasih agar tidak mendengar suara-suaranya. Lantas mengapa pula A Hun dan keluarganya yang Hoakiau dari Bagan harus menyetelnya keras-keras. Apakah dengan begitu mereka ingin membuktikan [kepada siapa] nasionalisme dan patriotisme mereka. Memang jaman segitu hidup betapa absurdnya.

Jaman itu berlalu sudah demikian lamanya terasa. Kenyataanku adalah ketinggian REC.B5.01 sekarang. Menghadapi laptop yang kusangka biru ternyata ungu, dengan perut yang agak kembung, mungkin gara-gara lasagna salmon. Apa jadinya kalau kutambahi teh Ceylon murni, ya. Yang jelas sekarang Ari Lasso meratap-ratap Hampa di telingaku, dari awal 2000an, waktu yang lain lagi. Hanya ke depan sekarang aku bisa menatap. Bukan meratap, ya. Lantas ini ada rumah tropis dari anaknya Titi DJ, aku hanya menunggu telpon.

[Tinggal satu. Semangat!] Apa susahnya ngomong asal-asalan begini. Susah juga tauk. Terkadang dipaksakan seperti apa juga tidak maju. Entah apa benar yang mendorongku siang ini, di ketinggian REC.B5.01 begini. Yang jelas bukan gara-gara Gestapu apalagi Gestok. Kesaktian Pancasila, mungkin juga. Aku bukan orang yang sok-sokan kesian sama korban-korban gegeran 1965, meski aku kasihan juga. Aku juga tentu saja bukan orang yang teriak-teriak “Aku Pancasila,” karena aku Bono, meski aku menyunting buku yang kuberi judul Bersetia Bela Pancasila, Demi Jaya Indonesia.

Monday, August 17, 2020

Entri Perdana tentang Renungan Kemerdekaan


Di hari kemerdekaan ini, aku mengetiki karena tadi aku bermimpi. Mimpi yang sedih sekali. Akan tetapi, tak hendak pula ‘kuceritakan di sini. Cukuplah ‘kukatakan, bukannya mengarang mengenai… ah, sempat terhenti karena gugling sebentar. Sudahlah ‘kuselesaikan saja dahulu entri ini sembari ditingkahi jez musim panas, eh, kebelet. Abis aa’ balik lagi mengetiki sementara piano umek dicolek-colek. Mendampingiku secangkir susu kedelai dikotori kopi dicampur sedikit susu cokelat segar, dipanasi dengan magnetron agak satu setengah menit. Ya, begitulah.


Jadi, mimpiku tadi sebelum bangun adalah mengenai… nasi uduk, tapi entah nasi uduk siapa itu. Suasananya pagi di Kompleks Yado, Radio Dalam, seperti abis subuh begitu. Bahkan ketika sekelebat melihatnya tadi sempat berdesir. Aduhsai bagaimana jika begini. Semalam sempat hujan, meski hujan di sini tidak pernah lebat seperti di Depok dan sekitarnya. Hanya anginnya saja yang heboh, dan lampu luar tetangga sempat disko. Selebihnya, jika tidak keluar aku tidak tahu kalau hujan semalam, setengah sembilanan.

Maka ‘kuhujankanlah. ‘Kuguruh-gunturkan mengampar-ampar di kejauhan, sedang susu kedelai campur sudah tidak hangat. Pada hari kemerdekaan Indonesia ini, langit Amstelveen mendung pada suhu duapuluh satu derajat selsius. Sesuatu yang ‘kudengar sejak kecil dari ramalan yang kemudian menjadi prakiraan cuaca, dari Televisi Republik Indonesia. Namun baru ‘kuketahui manfaatnya sekitar dua puluhan tahun kemudian. Bersama Hadi nonton penjelajah daratan dimodelkan, menurut Hadi dikartunkan. Setelah sebelumnya bajak laut kedua, karena pertamanya sudah berhumbalangan di Pasifik Selatan. Sejak dulu.

Jadi, aku tidak bermimpi mengenai kemerdekaan, sedang membayangkan berjalan-jalan mengitari Taman Mini saja terasa melelahkan. Aku tidak peduli sepanjang masih bisa berfungsi. Masih ada gairahku jika membayangkan Gerobak Goyang, meski aku pasti mengernyit jika di dalamnya ada kompor apatah lagi kulkas. Tak butuh aku itu semua. Kompor biar di warteg atau restoran mie ayam saja. Kulkas di warung-warung rokok pinggir jalan juga ada. Bahkan pom bensin pun lengkap dengan kamar mandi, lima ribuan, dan mushalanya.

Setelah mencapai tiga ratus ini, aku bukan Leonidas, apalagi yang dimainkan Gerard Butler. Terlebih Hugh Jackman dan Michael Fassbender, yang dari Holiwud aja jijik apalagi yang lokal. Pagi ini aku sarapan nasi dengan lauk pauknya, ada sayur bikinanku, lantas perkedel kentang dan ayam piri-piri. Ini patut dicatat, karena tiada rencana padaku untuk mengisi hari-hari dengan piri-piri. Hari-hariku di tepian Cikumpa atau di mana saja ada keteduhan, agar ‘kuparkirkan Gerobak Goyang di bawahnya. Aduhsai betapa cerianya!

Sampai alinea keenam ini masih saja aku diganggu oleh mimpi buruk. Mimpi macam apa itu. Mimpi yang menyambar-nyambar, membuat dada berdesir berkesiuran seperti bocah ingusan. Rumah kosong penuh berdebu membuat gatal. Rumah kosong berserakan daster dan kutang. Rumah kosong ‘kuserakkan deterjen disiram air untuk pleset-plesetan. Begini inilah jika sudah sampai alinea keenam. Masih teringat tonjolan-tonjolan, sedikit saja. Aku marah. Meradang. Laksanakan pemurnian, begitu ‘kuserukan. ‘Ndilalah, Gundo, Reza, Herman ikut-ikutan. Padahal aku sendiri, ajaranku sendiri, ‘kumurnikan.

Ataukah semacam tifus ‘kujilatkan, setelah bubur kacang ijo ketan hitam dimuntahkan. Membawa kesakitan, ngeri membayangkan jilatan. Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dilaksanakan, ini semua kegilaan. Jika tidak segera mulai dengan kontrak politik maka berjingkat di bibir jurang kesia-siaan, sampai ganti halaman. Sedang Dipa Nugraha “Aidit” memanggil John Gunadi Sawan, tentu tidak terima pak Agun Bakiran. Masih banyak lagi kengerian, entah mengapa dengannya aku berlumuran. Seperti anak badak satu bercula riang bermandi kubangan.

Thursday, August 13, 2020

Masuk Angin Pada Masa Pandemi Korona


Apa pantas sebelum Maghrib menyumpal telinga dengan suara yang dihasilkan kombo jez tiga potong berporoskan piano, bas betot dan dramset. Ditingkahi gerimis menderas, sedang jari-jari malas mengetiki. Sedang belahan jiwamu duabelas ribu kilometer jauhnya darimu. Apa pantas mengucek-ucek mata, tidak karena mengantuk tetapi karena gatal. Apa pantas mengetiki, sedang separagraf pun belum maju sudah di minggu kedua Agustus. Sampai setua apa ‘kan terus begini, sedang dunia terus merekah membelia. Ranum menebar harum, berkata-kata tanpa daya.


‘Tak bermakna. Aku hanya dapat membayangkannya, karena aku tidak mencium apa-apa. Ibu-ibu belum mandi dengan daster rombengnya, mengantri beli nasi uduk ‘Mpok Mar atau Mas Aris. Tidak ada baunya, atau setidaknya, tidak tercium olehku. Aku mengetiki begini, telunjukku menelusur lekuk liku. Sempat ragu haruskah ada tanda hubung di antara lekuk dan liku. Bisa juga menghidu, meski harus periksa kamus dulu. Kesakitanku apa tiada yang peduli seperti kecantikan dedek bagi Aa’. Berkelebat Radar AURI, nasi gorengnya.

Lelaki menggapai. Kepala botaknya penuh berisi tidak ada apa-apa. Kemudaannya di setentang kantor lama walikota Jakarta Selatan, tidak ingin ia mengingat-ingatnya. Jemari lentiknya mencoba meraih ingatan mengenai belahan jiwa yang dipercayainya sendiri. Di Pondok Indah Mall ketika hanya ada satu itu, dihancurkannya puntung-puntung rokok. Diteguknya kopi. Mungkin ia akan melangkah gontai atau digagah-gagahkan. Ia ternyata tidak pernah punya tempat untuk pulang, kecuali kepada belahan jiwa yang diyakininya sendiri. Tidak banyak yang dipercaya olehnya, sangat sedikit.

Dentingan piano, kesakitannya, kesepian teman setianya. Ini adalah masa-masa kegentingan, ketika tiada lagi tertinggal baginya untuk diyakini. “Mengapa harus memilih-milih ungkapan, apa engkau pemilih.” Rasa sakit itu kembali terasa, namun segera hilang setelah disadarinya tiada pun ‘kan peduli. Kepada siapa dapat berbagi, hanya pada dentingan piano dan rintik gerimis menderas ini. Dicurahkannya semua seakan dapat membasahi. Seperti rintik gerimis, demikianlah dentingan piano. “Mungkin gara-gara ini aku masuk angin. Kebasahan dentingan piano,” batinnya pada diri sendiri.

Simbal medium dipukul satu-satu begini, tidak diseruduk seperti basdram dengan dua pedal. Bas tidak dibetot tapi ditowel-towel begini, tidak hendak dikursifkan. Ada juga penjual hidangan Cina sederhana, capcay, bakmi dan nasi goreng, dengan S-72 ditambah sedikit jalan kaki. Rasa sehabis mandi segar sekali. Dengan air hangat, entah dengan uang sendiri. Bisa juga masakan Padang, entah asam padeh, entah yang lainnya. Bahkan Nasi Bu Gendut asin, terakhir anak perempuannya yang gendut juga. Ada juga anaknya Pendi.

Sudah lama tidak berdoa di sini, biarkan. Ini tempat kesakitan. Menguatkan atau melemahkan tidak relevan, di sinilah tempat kesakitan-kesakitan dirasakan. Apakah di depan peradilan semu bersama Adrianus Eryan atau Hari Prasetiyo di Perpus HAN. Apa guna menyebut nama-nama seperti menyapa sepoinya angin lalu, lapangan tersembunyi di senja hari dilalui masa muda yang tiada berarti. Buku Kafe tiada ketinggalan apalagi Burger and King dan Sari Momo, kuucapkan selamat tinggal, selamat berpisah, entah kapan namun sampai nanti.

Tidak pula hendak kucicipi semua, biar saja selintas dua mengganggu lamunan. Masih adakah kata yang baru sekali kuketikkan, aku menyembunyikan. Tidak ada lagi kisah yang mengalun bagai aliran, hanya ada rima yang ditarikan. Tiada tempat yang ingin kukenang, kecuali ruangan dua kali lima meteran ini biar ‘kuabadikan, di mana kugoreskan kesakitan-kesakitan pada kulit telanjang sebagai tatakan. Apa yang terbaca sebagai racauan, igauan, 'ndlemingan menyemburatkan sejuta kenangan akan sakit-sakitnya yang tak tertahankan; apatah lagi suatu raungan.

Saturday, August 08, 2020

Gila Itu Sekadar Mengulang-ulang yang Diketahui


Kalau mau mengetiki itu mulainya di pengolah kata, jangan buka blognya dulu. Sudah berapa kali coba ‘kukatakan yang demikian ini. Selalu saja lupa. Sabtu pagi menjelang tengah hari ini, setelah dibuat pusing oleh Hadi, aku merasa ingin bersantai. Jadi tidak apalah mengetiki. Buat apa pula disedihkan. Tidak ada yang patut disedihkan, apakah itu biaya perumahan atau Laksono Hari Wiwoho. Jika yang ada Watyutink dengan Ahmad Kanedi, ya disyukuri saja. Itu saja sudah berlebih dari adanya.
Mang Imas begitu saja mengingatkan kenangan nontok dinosaurus sampek ayan dari duabelas tahun lalu. Aku begitu saja bersyukur dan minta ampun, sedang telinga kanan dan kiri disumpal jez alus secara stereo begini. Apa rasanya seperti di kafe atau di kamar sendiri yang Insya Allah akan segera ditinggalkan. Syukur masih ada kegairahan atau kebungahan. Menjalani ini, di tengah pandemi atau di mana pun, hati harus bungah, bergairah. Gairah yang secukupnya saja bagi lelaki botak gendut paruh-baya.

Syukurlah dahulu sempat punya pilihan. Mang Imas mau tidur, terserah, yang penting saya kepingin yang seger-seger. Lantas Mas Winarno Adi Gunawan melompat bangun dari tidurnya, “jangan 'gitu dong, Mas,” dari masa yang lebih muda. Sekitar satu setengah tahun lalu Mbak Erna masih membuatkan banyak-banyak Indomie goreng untuk anak-anak dan keponakan-keponakannya. Hari ini Mbak Erna mendahului kami semua. Sekitar setahun lalu kami sempat menjenguknya, sempat melihat hasil USG juga. Begitulah hidup di dunia. Apa hendak dikata.

Ini apakah entri sedih atau murungnya, nyatanya baru masuk hari kedua dari prakiraan sembilan hari gelombang panas. Minggu pertama Agustus, masih tiga mingguan lagi untuk suasana baru. Bergairah, seperti ada yang diharap-harapkan. Ini tentu jauh, jauh, jauh lebih nyaman daripada hari-hari dalam kem kerja-paksa. Jangankan itu, ini bahkan jauh lebih nyaman dari ruang karantina penyakit menular. Cukup sebagai pengingat betapa keple-nya aku, maka diam saja. Ya, menurut Takwa penting, maka itu saja alasannya. Tidak lebih.

Kata Hadi harus ada api. Aku, Insya Allah, air, bahkan udara saja cukup. Katanya ada orang yang bisa bertahan hidup hanya dengan bernafas. Ini memang menarik hatiku. Namun, selama masih harus menulis, aku masih butuh makan dan suasana hati yang nyaman. Tidak sehat, kata Mbak dokter Lula. Baik, akan ‘kuusahakan. Semua sekadarnya, seperti makanku nasi berlauk makaroni dan kentang. Mengetiki ditenagai jez alus pada volume enam persen, a la kadarnya, ketukan pada rangka drum senarnya.

Masih ada memang desakan-desakan, rasa seperti berdesir, jika lebih kuat lagi maka menyambar di dada. Namun hidup memenjara begini tidak banyak yang bisa dilihat maupun didengar. Tidak tercium kecuali bau yang beberapa detik saja, karena memang itu bauku sendiri. Akankah kuhasilkan semacam Perjuanganku begitu, impaknya. ‘Gak usah 'ngimpi yang enggak-enggak. Terus saja menulis sambil berserah diri hanya kepadaNya. Untuk KebesaranNya, Belas-kasihNya pada yang kusayangi. Itu pun tidak perlu karena Ia ‘lah Maha Pengasih lagi Penyayang.

Ini hari Sabtu. Memang menurut Pak Dian tidak perlu disebut hari, bulan, tahun, bagaimana dengan jam. Aku menyebutnya hari ini. Apa cukup istirahatku dengan mengetiki begini. Apa setelah ini sanggup menambahi. ‘Nambah semangat! Begitu kata teman-teman Junsu yang semuanya sudah kena wajib militer. Terompet berpengedam ini membuatku merasa diterpa sepoi-sepoi angin laut yang sejuk. Entah di mana, Bangka, Bali, atau Teluk Jakarta, atau bahkan di tepi Buiten-Ij, di mana-mana sama saja. Sama-sama bumi Allahu Akbar!

Friday, July 31, 2020

Bukan Sekadar Agar-agar Juli Ada Entrinya


Blogger mengganti editor teksnya, maka ‘kukembali pada teknik lama. Tujuh lima tujuh kali sampai lima dua lima. Aku sudah tua. Mataku sudah rabun dekat. Lantas mengapa masih menulis-nulis begini. Masih tidak pakai tanda tanya. Masih menyumpal telinga dengan Jantung-jantung Amerika, dari sekitar tiga puluh lima tahun lalu. Lantas Peluang-peluang, di sore bermendung begini, Agustus di Negeri Kincir Angin. Ahaha, ‘kurasa baru sekali ini ‘ku mengatakannya. Ini bukan sesuatu untuk disedihkan, dan kau belum cukup tua.


Apa semata agar-agar Juli ada entrinya. Tidak menjadi apa, ketika telinga dibuai oleh kenangan masa kecil yang demikian indah. Kenangan yang menyedihkan Jongdae, menyamankan Hansol. Berjemur bersama ketika suhu cukup dinginnya. ‘Kutaksir di bawah sepeluh derajat celsius. Masa kecil Hansol, masaku awal sebagai seorang dewasa. Mungkin pernah berpapasan dengan Togar kecil ketika aku mencuri rokok atau bahkan scrabble. Kini anakku berminat pada isu perempuan dan anak. Anakku, bahkan malam-malam menjadi lebih baik semenjak bertemu denganmu.

Hidupku. Hidupanku hidupan-liar. Lingkungan hidupku, kau belum boleh gila. Belum boleh ndleming. Harus bermakna. Harus efisien. Keindahan-keindahan yang entah bagaimana mengingatkanku pada flight data operation atau entah apa namanya. Ada juga Semalam Lagi bersama Phil Collins. Oom Novi sudah duluan tiada. Bapaknya Gus Dut juga. Semakin kuat alasan untuk tidak gila, tidak ndleming. Bermakna lagi efisien. Takkan ‘kubiarkan diriku termangu di emperan, di trotoar. Lusuh dan compang-camping. Aku gagah berbatik, berwibawa, bahkan mungkin bersetelan berdasi.

Terlebih dengan ini. Aku gagah melirik. Berkaos bercelana dril kelabu terang, bersepatu kulit mengilap. Tiada sangkaku pada saat itu mengenai masa depan. Tiada pernah kusangka begini jadinya aku. Duduk melorot menghadapi laptop menulis-nulis entah apa di sebuah kamar di bilangan Uilenstede, Amstelveen. Setelah setua ini, apa yang masih dapat ‘kulakukan. Nikmatilah ketakberdayaanmu, ‘Gar, selagi ada. Di situlah terletak perih-perih nikmatnya, seperti mengelupasi keropeng penutup koreng pada pinggir-pinggirnya. Bapak Ibu kita sumber segala kenyamanan beranjak tua.

Dengan cara yang sama akan ‘kusapa juga Eryandon. Mengapa yang dua ini, karena mereka suka menulisi untukku. Semacam surat begitu. Anak-anak cerdas ini. Bagaimana cara kalian menata langkah. Usahakan sebaik mungkin, ya. Jangan percaya kata orang mengenai belajar dari pengalaman sendiri. Belajarlah dari pengalaman orang lain! Belajar dariku yang malas dan lemah-kema[l]uan ini! Di sinilah aku, bermain dengan kenangan-kenangan itu lagi. Penyesalan selalu datang belakangan, karena kalau duluan itu namanya pendaftaran. Ingat-ingat selalu, ‘Gar, ‘nDon!

Aku tidak kesepian, karena memang sudah biasa. Aku malah cenderung menyukainya, bersepi-sepi. Namun, di sore bermendung ini, terpisah jarak dua belas ribuan kilometer, ‘kusapa juga konblok-konblok di muka FHUI kampus Depok. Tidak yang Salemba, karena jauh. Malas harus naik KRL segala. Cukup Depok saja, dari sebayaku, adik-adikku yang terus memuda, sampai anak-anakku. Si Tolol ini masih saja menulisi. Berawal dari ketika adik bungsunya mulai duduk di bangku kuliah. Dibantu Bang Ded menyemir hitam sepatu putih.

Apa masih ada waktu bagi kita melakukan sesuatu bagi kebaikan Bangsa dan Negara ini. Jangan buang-buang waktu, ‘nDon, segera lanjutkan sekolah. Aku tidak tahu apakah ada gunanya bagimu, masa depanmu. Semua, Conrad dan Efraim juga, sekolah’lah. Mana tahu HR Purnama akan segera membutuhkanmu. Mazhab Depok sudah berseru-seru memanggilmu. Sudah terlalu lama ia menunggu. Malu sama anak Undip yang selalu [merasa] progresif. Masih jauh lebih baik mereka daripada kita. Tidak ada apa-apa. Justru semakin merosot saja.

Monday, June 29, 2020

Um Saudade de Maria Dolorosa del Mar


Dalam dua puluh hari ini begitu banyak, sekaligus tidak ada apa-apa yang terjadi. Begitulah paradoks tidak saja terjadi dalam blog ini, tetapi terhadap seluruh hidupku. Ini lagi Slim Whitman ngeselin banget caranya bilang bo'ong dosa. Untunglah tak jauh di bawahnya ada bossas pagi. Memulai ini semua, dari awal sekali, dengan ini, kau yakin. Tentu tidak. Terlebih jika sarapanmu Indomie rasa kaldu udang dikasih nasi. Hei, ini bossas mengapa umek begini. Ah, dilanjut dengan satu nomer yang sanggup membuat kepala manggut-manggut nikmat, andaikan bisa 'ngopi.


Pekerjaan apapun tidak mungkin ada yang santai. Kalau santai bukan bekerja namanya. Santai atau tidak, tentu masih ada saja yang bisa dikeluhkan. Maka buanglah pandangmu jauh ke ufuk, sejauh ia berada. Beristirahatlah sejenak di sana. Sebentar saja. Sekejap. Tolehkan lagi kepalamu lurus ke hadapan, dan hadapilah apapun yang ada di situ. Apa lagi yang kauminta. Masih bagus tidak ada yang menyeretmu ke mana-mana, membuatmu bekerja, agar layak kau dapatkan makanmu berikutnya. Ya, meski itu dari istrimu sendiri, yang kau sebut "Boss Lady."

Aku masih ingat ketika Maria Dolorosa biasa bersandar di sana. Tiang-tiangnya yang menjulang, aparelhamento, cordame-nya yang dipenuhi para tripulações bergelantungan melakukan perawatan, memperbaiki apa yang harus diperbaiki. Kau sebut mereka pirata, aduhai! Disiplin dan efisiensi mereka boleh diadu dengan marinhas manapun, dan aku... Aku mungkin seorang cavalheiro decadente, tapi lihat enseada-ku ini. Uah, se-disiplin dan se-efisien pangkalan manapun. Imaculada! Lihat deretan palem itu, berbaris. Hei, bahkan di sini pun ada o terreno de exercicios!

Memang cuma Maria Dolorosa itu galleon-ku, tapi Laura dan Renata adalah brigantine! Bukan schooner apalagi sloop, tapi brigantine tulen! Ini semua berkat o carpinteiro naval espanhol yang kuculik agak beberapa tahun sebelumnya. Cozinha-nya bahkan menghasilkan torta de mamão y banana terbaik, mungkin di seluruh Karibia ini. Uah, aku rasanya seperti anak kecil lagi umur sepuluh tahunan. Betapa mudah hidup ketika itu. Apa masalahku kecuali menunggu deraan dan cubitan berikutnya dari Papa dan Mama. Aku memang nakal waktu kecil, memang harus dipukul begitu.

Sudah sejauh ini, lebih dari setengah, sudah repot-repot begini, masa berhenti. Setelah ini bisa saja kau menghadiahi diri sendiri dengan seporsi kibbeling. Java Kuliner tidak usah 'lah. Kau 'kan memang harus memasak hari ini, jadi lebih baik masak sendiri saja. Alhamdulillah tadi malam tidur nyenyak tujuh jam non-stop. Jika sekarang terasa mengantuk, biasa itu, karena masih melakukan yang entah-entah. Nanti jika sudah beneran Insya Allah tidak mengantuk lagi. Padahal cuaca hari ini aduhai khas betul Belanda, mendung berangin, sedang kasur dan selimut hanya di sebelah.

Uah, mungkin sedikit coklat gelap hangat dapat membantu. Ternyata tinggal seteguk. Tahukah kau lantas apa, adanya nasi sama teri. Oke 'lah kalo begitu'! Mengapa hari-hari di ketinggian lantai empat Gedung D terasa betapa nyamannya, di akhir 2007 itu. Memang saat itu kau lebih muda, lebih sehat, dan segalanya itu. Namun, di atas semuanya, itu semata karena kau melampauinya dengan selamat sampai sekarang ini, maka kau bisa mengenang-ngenangnya. Begitulah cara waktu menguasaimu, dan begitulah cara pikiran menipumu. Adamu sekarang adalah ini, kini, di sini.

Inilah aku. Kini. Di sini. Menghadapi VivoBook. Di sebaliknya masih Bapak dan Ibu memandangku dari tepi fjord di Trondheim di awal 2007. Namun di sebelahnya ada Cantik. Di depannya ada stiker-stiker kalimat tauhid dan ayat kursi dari Farid dan Togar. Menengok ke kiri terlihatlah dedaunan condong searah tiupan angin yang lumayan kerasnya. Menengok ke kanan rumahnya Hadi, belum lagi kubayar untuk dua bulan terakhirnya ini. Insya Allah. September nanti pemandanganku beda lagi, yang dapat kuketahui pratinjaunya jika saja main, entah kapan, ke Japri.

Tuesday, June 09, 2020

Kali Pertama 'Ngantor. Setelah Swakarantina


Sudah berapa lama, tiga bulan ada? Kurang-lebih 'lah. Tidak mengetik dengan HP Stream 8 juga kira-kira sudah selama itu. Lagipula mengapa tidak bawa VivoBook saja 'sih? Lantas apa kerennya kalau laptop cuma satu, dibawa-bawa ke mana-mana pula, pulang pergi rumah-kantor. Harusnya ada laptop rumah dan ada laptop kerja atau laptop kantor. HP Stream 8 ini laptop kerjaku. Halah, 'nggaya. Dulu saja Fujitsu segede gaban 'gitu kau bawa ke mana-mana. Nggak sampai ke mana-mana juga 'sih, paling banter cuma dari kost-an Babe Tafran ke Gedung D lantai 4.


Lumayan juga ini Jez 'Alus-nya Leo Brito. Menjengkelkan 'sih HP Stream 8 ini. Kalau sudah begini aku ingatnya dia memang selalu menjengkelkan. Padahal Kertas Delapan Bulanku selesai juga sebagian besarnya dengan dia. Cacat kecil yang berulang terus, kadang sembuh sendiri entah mengapa, yakni, panah kanannya suka mati! Cacat kecil yang aduhai menjengkelkan sangat. Lebih karena gayaku mengetik 'sih. Apa jadinya jika aku mengetik masih menggunakan mesin tik. [mesin ketik?] Aku ingat dulu suka memfotokopi hasil ketikanku, karena aslinya penuh koreksian.

Aku lebih dulu terbiasa mengetik dengan komputer. Ketika aku entah dari mana dapat ide mengetik-ngetik ditemani Arswendo Atmowiloto yang 'gak lucu itu, ketika ia berkata: "Mengarang itu gampang," ketika itulah aku mengetik-ngetik di ruangan Mayor Harmin. 'Kurasa Wordstar, dan printernya dot matrix entah apa. 'Kurasa Mas Edi Gareng yang membantuku mencetaknya. Ya, Mas Gareng lebih asik padaku dibanding Mas Kimpul, seingatku. Lantas siapa dahulu yang membantuku mengeluarkan buku-buku dari perpustakaan? 'Kurasa Mas Gareng juga.

Uah, tahu-tahu saja Francis Goya memainkan Simfoni Cinta, tepat ketika aku akan bercerita mengenai betapa aku lantas mengakrabi Ami Pro. Apa yang 'kukhayalkan saat itu sebenarnya adalah apa yang 'kulakukan saat ini. [Uah, benar-benar besok harus bawa VivoBook begini caranya] Hidup menulis-nulis begini. Mengapa tidak 'kaulakukan dengan serius, kini setelah kau mendapatkannya. Kini aku sudah setua Bapakku waktu itu. Ya, mungkin memang belum cukup tua, tetapi jelas sudah tidak muda lagi. Buncahan dan letupan sudah tidak pada waktunya; terlebih tenaga-muda.

Berjuta tahun telah berlalu dari ketika aku ke Yulimar, lantas ke Asrama, lantas berkelana sampai di tepi Ciliwung itu, aku tidak pernah punya komputer sendiri. Ada 'lah sekitar empat sampai lima tahun, sampai komputer 486DX2 itu kuapgred jadi pletinum sama Reza "Cule" Zulkarnain. Belum lagi laptop. Aku masih harus menunggu sampai awal 2007, sampai aku memiliki laptop pertamaku sendiri. Ya, Fujitsu itu. Dari kaset-kaset yang dimainkan dengan Aiwa sampai Asatron, lantas MP3 sampai terampil ngerip CD sendiri, kebanyakan darinya punya Gus Dut...

Mengapa sampai bisa ke sini, 'sih? Ya bisa saja. Inilah indahnya eksibisionisme. Kau tidak akan pernah tahu dari arah mana kemaluanmu akan dipotret; dan paragraf ini sebenarnya sudah jadi tadi. Entah bagaimana terjadi gangguan koneksi internet maka hilanglah. Suasana hati sudah berganti. Di kejauhan kudengar anjing menggonggong-gonggong dari tadi, sampai kini masih belum berhenti. Di kepalaku terdapat beberapa pilihan kegiatan, meski tidak jauh-jauh dari kibbeling. Bisa juga mencoba naik feri ke NDSM, atau sekadar jalan bego ke Damrak.

...karena tema hari ini memang belum kerja benar. Hari ini masih dalam upaya menipu badan yang terlanjur terbiasa dengan ritme puasa agar kembali ke ritme normal. Bisa jadi besok badanku sudah sepenuhnya tertipu dan langsung tancap gas, mungkin dengan VivoBook, agar tidak terjadi kerewelan-kerewelan yang tidak perlu. Jelas aku suka dan sayang pada HP Stream 8 ini. Akan tetapi, ia sudah banyak masalahnya kini, memasuki tahun keempatnya bersamaku. Begitukah umur suatu gawai, sependek itu? Entah 'lah. Apapun itu, aku sayang padamu, HP Stream-ku.

Saturday, May 16, 2020

Hikayat Cimone Gama Satu Nomor Dua Enam


Ada apa 14 November 1988. Ada dua hati mempercayai satu pikiran. Sedang apa aku ketika itu. Tentunya sudah ada PR atau mungkin malah hari ketika aku pergi ke Tangerang kota, membeli buku ajar Bahasa Inggris. 'Kutulis di balik sampulnya "This is my book. I am buying this book is in Pasar Anyar." Tentu saja "Tolol!" yang kudapat, keras sekali. Sampai aku berusaha keras, sampai hari ini, agar tidak begitu lagi. Dan Kambing tidak boleh dicerca dan dipukuli. Ah, mungkin memang banyak cara menuju... apa. Ke mana. Empat puluh juta. Cercaan nista penuh hina.


Itu tidak menghentikanku menulis "vaqueing" di papan tulis kelas IB. Aku sudah tidak peduli mana lebih nista, dipukuli Masna Husna dan Mahadi Nasution tanpa alasan yang jelas, dicakari Maulana meski ibunya menghidangku dengan satu loyang roti tawar lengkap dengan kolak duriannya sekali. Di sini tiba-tiba aku terhenti. Adakah benar ingin kuabadikan masa-masa ini. Apanya. Sampai hari ini hidupku memang hanya mengenai itu saja. Tidakkah hidup memang hanya mengenai itu. Lalu aku bagaimana. 'Tak 'ngapa, sepanjang tidak merepotkan siapapun.

Mungkin ini akan membawa pada Gerobak Goyang, jika Gerobak Belajar terdengar angkuhnya. Biarkan aku mengembara. Hahaha apa iya. Belum dicoba, siapa tahu nyaman. Apa bisa aku mandi tanpa air panas. Haruskah aku membawa kompor dan tabung gasnya sekali di Gerobak. Kurasa banyak mesjid yang pelatarannya lapang, atau setidaknya ada parkirannya. Pom bensin atau kantor polisi pun tak mengapa. Berarti harus lengkap dong surat-surat. Mungkin itu waktunya aku kembali mandi dengan air dingin, sebagaimana biasa 'kulakukan di WC kampus.

Nanti ada gitar di Gerobak, Insya Allah, lengkap dengan ampli Marfil-nya sekali. Mungkin ada mic-nya juga. Bisa jadi aku parkir di tempat agak ramai, meletakkan entah casing gitar dengan sedikit uang kertas pemancing, lantas menyanyikan lagu-laguku. Bapak-bapak gendut botak menyanyikan lagu-lagu menye, masakan tidak ada yang memberi barang selembar dua, sekadar pembeli nasi warteg atau somay. Sembarangan, bagaimana pekerjaanmu. Cantik juga tidak akan membiarkanmu menggelandang begitu. Ia pasti ingin 'kutidur di tepi Cikumpa tiap malam.

Kau hanya harus hidup, dan mencoba terus begitu sampai waktu tertentu. Aku juga tahu segala khayalku mengenai apapun yang bergoyang dan belajar tak berdaya. Bisa saja sampai waktuku dan begitu saja, "Apa yang menyebabkan Tuhanku mengampuniku dan menjadikanku termasuk yang dimuliakan?" (QS. 36: 27) Uah, untuk bisa begini seorang lelaki harus diinjak-injak satu kampung sampai mejret, sampai keluar itu usus dari lubang dubur. Apatah lagi aku. Aku hanya bisa mengulang-ulangnya, semoga semakin sering, semoga tidak sampai mejret, metoto dari dubur.

...dan semua itu memang dirintis dari Jl. Gama I No.26, di bekas kamar praktek almarhum dr. Hardi Leman. Ya, tepat di situ ketika suatu hari kusadari, lantas tidak pernah berhenti sekejap pun sampai di sini, kecuali, ya, kecuali mungkin setahun antara Agustus 1994 sampai Agustus 1995. Sisanya, tidak pernah berhenti! Mungkin pernah juga antara Oktober 2002 sampai sekitar awal atau pertengahan 2003, sisanya tidak pernah berhenti bahkan bertambah. Nista! [terduduk, lungkrah, terguguk] Bagaimana mau tidak mejret, metoto jika begini. Kasihan Bapak dan Ibu...

Nah, berani kau membacanya? Bukan masalah berani. Nehi! Gabung PDI-P karena satu-satunya yang membela minoritas, jih! [a la Hamid Arif] Aku tidak suka minoritas. Aku sukanya satu resimen, brigade, divisi, pasukan, tentara, gabungan tentara kalau perlu, maka aku tidak pernah tertarik sniper atau apapun yang mengendap-endap begitu. Aku suka yang menutup cakrawala, baik berderap di depan sekali seorang diri, atau ditelan lautan kepulan debu di tengah-tengahnya. Ah, aku tidak tahu apa yang kukatakan ini. Aku tidak takut, cuma nehi saja; dan itulah alasannya.

Tuesday, May 12, 2020

Air, Penyair, Pemimpi. Kau, Aku, Kayu


Di manakah penyair, pemimpi? Akulah! Sebenarnya yang kaucari itu hubungan antara jiwa, antara hati. Sama, aku pun mencari yang seperti itu. Sudahkah kutemui. Sudahkah kautemui. Aku belum berani mengatakannya sekarang. Ya, selama masih begini saja kerjaku, tidak tahu malu namanya jika kukatakan sekarang. Insya Allah, kelak akan kukatakan, namun sekarang belum. Kau, sudah. Akankah kau menggamit lenganku untuk mengajak berdansa rumba, bisa saja. Akankah kau mengumbar rasamu padaku, aku suka begitu. Ya, aku 'kan melakukannya.


Tiada rincian, tiada lukisan, karena ini hubungan antara jiwa, antara hati;  dan hubungan semacam ini tak terlukiskan. Ini adalah berjalin berkelindannya salamander raksasa betina dan jantan, kau dan aku. Tidak. Takkan ada yang memaksa kita memancurkan susu merica. Hanya kau dan aku, dan sejuk jernihnya air sungai membasuh cinta kita. Kau lepaskan telurmu ke dalamnya, kubuahi mereka. Akulah yang kena menjaganya. Tidak tiga, tidak lima, tidak lima belas, tetapi empat ratus, menetas semua. Mereka berburu bersama, bersaudara, jika tiba waktunya.

Menarilah denganku. Kau sungguh menarik hati, berkasih-kasihanlah denganku. Kau membuatku mabuk kepayang, ayolah mari bersamaku. Kurasa bibir-bibir kita 'kan terus berpagut bahkan setelah musik berakhir. Ketika hidup sehari-hari adalah perlombaan untuk saling mencurah rasa hati antara dua sejoli, yang hanya berhenti ketika mati dan mati. Lihatlah, betapa aku mencintaimu. Sesederhana sentuhan bibir dengan bibir, tanpa lidah yang saling julur, tanpa ludah yang saling lumas. Hanya sesentuh cukup untuk mendeteksi brownies yang kaumakan sebagai pencuci mulut.

Air, aku memberahikanmu. Betapa bulir-bulirmu menetes, mengaliri botak kepalaku, meluncuri dahiku, hidung bangirku. Ketika melintasi bibir kukecap cintamu hanya padaku, sebagaimana kau terlahir hanya untukku. Kau air, aku kayumu. Aku bersyair mengenai mimpi-mimpimu, kau bermimpi mengenai syair-syairku. Kita tidak butuh apapun dari dunia seisinya. Aku hidup dari mimpi-mimpimu. Kau hidup dari syair-syairku. Tubuh-tubuh kita tidak butuh sehelai benang pun. Tubuhmu menyelimutiku, tubuhku menyelimutimu, santun merunduk malu-malu.

Aku cukup untukmu, kau memadai bagiku. Aku kayu nangka yang keras, atau kayu jambu yang getas, terserah padamu. Kau melumuri, melumasiku agar mulus masukku padamu. Hembusan nafasmu nyanyian merdu bagiku. Teratur, kadang terengah, sampai memburu menderu bagai derum timpani menandai klimaks. Rambutmu bosah-basih karenanya, kugenggam tanganmu. Naik turun dadamu bahkan perutmu. Sesungging, seulas senyummu. Kebahagiaanmu kebahagiaanku. Hidupku bagimu, tanpamu tiada artiku. 'Ku tercipta hanya untukmu, oh, kau mengairiku.

Kita tidak perlu lonceng atau penanda apapun untuk mengingatkan waktu berpelukan. Semua waktu untuk bersentuhan, saling merapatkan. Dadamu pada dadaku, bahkan rambut-rambut halus dan kasar pada keduanya berkelindan. Di dapur, di kamar tidur, di muka umum, tanpa pengecualian. Dunia mendesah membumbungkan madah pujaan bagi cinta berpendirian. Tiada kini, tiada kemudian. Satu yang tidak akan pernah ketinggalan, senyuman. Sesungging, sekuluman, seringai konyol, tawa lebar berkekalan. Kau lucu, aku jinak, dan kita anak segala jaman.

Sementara ini, beginilah adanya aku di sini. Terkurung seorang diri. Sepi memang sahabatku sejati, seakan ari-ari yang terlahir menyertai. Aku bersyair, aku bermimpi, kau mencari. Sudahkah kautemukan, akankah kutemukan di sini, di hidup yang ini atau nanti. Bilakah 'kan berakhir, mimpi buruk ini, kutahankan, kujalani dari hari ke hari, dari terang, gelap ke terang lagi. Syairku tiada yang peduli, mimpi-mimpiku ditertawai. Biar saja begini, asalkan kau di sana terus mendamba syair dan mimpi yang selalu kutebar pada langit malam nan sunyi. Kau putik akulah serbuk sari.

Monday, May 04, 2020

Sekadar Entri 'tuk 11 Ramadhan 1441 H. Ini


Apakah ini latihan untuk tanggal limabelas nanti. Mengapa pagi ini, tidak seperti kemarin, aku tidak langsung tidur. Inilah kalimat-kalimat tanya tak bertanda tanya, bagaikan dentingan lembut piano karena tuts-tutsnya dibelai jemari lentik nan lembut. Ataukah harpa, tidak sudi aku tergila-gila. Hidup dalam mimpi atau menghidupkan mimpi. Atau. Kukira ‘kutahu variasi lainnya, ternyata tidak. Semua terluka, hidup atau mati, dan Gadis dari Ipanema, aduhai, hari ini kembali aku bertujuh-lima-tujuh-lima sebanyak tujuh kali sampai lima dua lima.


Demikian itulah memang kisah cinta. Kau takkan pernah mengerti karena apa kau jatuh, apakah karena kisahnya atau cintanya itu sendiri. Terlebih jika kata tanyanya adalah siapa. Mengapa dua orang sampai saling jatuh cinta, sedangkan dunia penuh sekali dengannya. Setiap detik mungkin dua orang jatuh cinta. Aku hanya bisa berdoa semoga mereka berjenis kelamin berbeda. Tepat di hadapanku, kalimat tauhid dan ayat kursi menatapku. Bapak, Ibu, Cantik, semua juga menatapku seakan penuh harap padaku, sulung, suami.

Begitulah itu memang cinta. Seperti bulan ini, penuh cinta. Hadits yang membagi-bagi bulan ini menjadi pertigaan, yang pertama kasih-sayang, yang kedua ampunan, yang ketiga pembebasan dari api neraka, ternyata palsu. Lebih baik yang otentik, yang penuh keimanan dan perhitungan itu. Entri ini sebaiknya diberi judul dengan kata “Ramadhan” di dalamnya. Jika perlu malah diberi angka tahunnya, sebagai pengingat, bahwa hari ke-11-nya ini, setelah sahur, aku mengetiki. Uah, kebiasaan ini sudah bertahun-tahun kutekuni. Menulisi. Kini mengetiki.

Aku selalu punya, kurasa sejak buah pelirku mulai memproduksi testosteron. Testosteron atau estrogen yang diproduksi itu hahaha. Masakan buku harian. Jika Tante Connie disela-sela kesibukannya rekaman menyempatkan diri menulis buku harian, wajar saja. Ia cantik. Jika Oom Neil ingin mengintip ke dalamnya, meski ditolak oleh Tante Connie, itu pun wajar saja. Oom Neil tidak jadi dengan Oh Carol-nya, pula Tante Connie. Ah, Kolonel Nasution pun menulis buku harian, meski banyak gunanya, tidak eksibisionis sepertiku begini.

Di sini bisa diatur agar tidak muncul itu krembik-krembik merah. Terlebih, aku tidak perlu berulang-kali memeriksa pratinjau. Akankah aku terganggu jika tidak rata kanan kiri, aku belum lagi tahu seberapa mengganggu. Aku, seperti menurut Dekan FHUI sekarang, Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M., eksentrik, atau begitu saja gila. Cantik baik-baik saja. Ya, ia punya kecenderungan yang lucu-lucu juga, namun itu lebih karena ia memang lucu, karena masih kecil begitu. Bahkan Sakura sudah tidak sekecil itu.

Ah, aku suka kalau sudah sampai di sini. Memang sistem ini jauh lebih nyaman, bahkan bisa dilakukan dalam keadaan luring sekalipun. Aduhai, jangan-jangan memang lebih produktif ketika koneksi internet hanya mungkin didapatkan di ketinggian sana, bahkan terkadang di DaviNet—terlepas kemudaan. Ah, aku lebih suka sekarang. Kini sudah ‘kutemui tambatan hatiku. Apa lagi yang ‘kucari kini, tinggal menunggu sambil memanfaatkan waktu yang tersisa. Sering muncul seandainya, tapi biarlah. Tidak mungkin berlebihan juga, sekadar penghibur hati.

Bermain rusa hahaha. Biar kambing balap berbagi es loli lagi dengan rusa meski dalam usia dewasa. Biar begitu! Sungguh seperti ada yang melesak dalam dada ketika menuliskannya, aku tidak benar-benar menginginkannya. Namun aku tidak sehebat Takwa sehingga berani berpikir mengenai peran di balik layar. Aku sekadar petugas. Wayang. Tiada padaku bakat jadi dalang. Kesukaanku adalah menancap pada batang pisang. Jika aku harus bergerak-gerak, mencak-mencak, maka seorang dalang harus melakukannya terhadapku. Jadi tenang saja, Cantik, Sayangku.

Friday, May 01, 2020

Ladang Gudut tentang Malam Tipu. Sendu


Mengapa harus takut trisom. Biarkan saja. Ramadhan sudah masuk hari kedelapan, seperti yang kutakutkan. Lebih dari kurang tidur. Lebih dari sakit gigi, karena toh berangsur 'kan reda. Disebabkan susu kedelai dikotori sedikit kopi, atau apalah itu. Biar jadi pelajaran berharga. Pagi yang mendung berhujan ini ditingkah daya otak dan keletuk jariku di atas papan-kunci. Terbata-bata seperti kalimatku, tiada lancar meluncur, karena tiada cinta di hatiku. Terlebih di sisiku, pangkuanku. Kukurangi sampai setengahnya agar syahdu. Iaitu ternyata sekadar minuman kaldu.


Bukan rincinya lukisan benar yang kurindu, melainkan apa yang dilukiskannya itu. Apa yang dapat kulukiskan kini, sekadar pemenjaraan diri. Namun baiklah 'kucoba. Sudah dua malam ini 'kusakiti diri sendiri, tersurat dan tersirat. Malam ini, akibatnya, aku baru terlelap, mungkin, setelah lewat jam satu dini hari. Mungkin, karena sepertinya aku tidak benar-benar terlelap. Latihan seminggu membuatku terbangun ketika tarhim berkumandang jam dua empat lima. Mekanis saja bagai robot aku menuju dapur menyiapkan sahur. Dua kali sahur ini memang istimewa.

Betapa 'kubiarkan diriku diharu-biru kisah cinta konyol yang kuulang-ulang dengan setianya, seperti apapun yang kuulang-ulang dalam hidupku. Berbuka dengan roti gandum istimewa berisi dua lapis keju, kesalahan urutan isi membuat saus kari menetes-netes mengotori lantai. Dengan segelas besar teh tuan kelabu ditemani segelas kecil kaldu-minum isi-ulang yang mahal sekali untuk ukuran kaldu-minum, masih ditambah Indomie goreng berbungkus jingga tua. Uah, kacau-balau makanku. Sahurnya nasi tumis buncis tahu jamur surimi ditingkah chai.

Lantas susu kedelai dikotori sedikit kopi! Mengapa menyalahkannya, aku saja yang terburu-buru ingin menggantinya dengan jus leci. Akankah yang setengah gelas itu dibuang, masih dua belas jam lagi. Rasa ngilu ini menjalar-jalar, kini tersisa di bawah gigi seri. Baru saja 'kukata begitu, tiba-tiba denyutan tajam yang singkat terasa lagi. Ini seperti ketika kutinggalkan kelas Hukum Lingkungan begitu saja pada Savit awal 2018 untuk ngacir ke poli gigi RS Bunda Margonda, hanya untuk mendapati di sore hari ia hanya mengurus beugel. Apapun itu, Alhamdulillah, jauh reda.

Tiada lagi doa, tiada lagi kalimat-kalimat baik lagi suci, masakan kucampur dengan berbagai rincian cabul yang bertebaran di sini. Lantas mengapa menebari, 'ku tak tahu pasti. Aku tidak suka jika aku tengah begini. 'Kuinginkan kalimat-kalimat yang deras mengaliri, fasih menerangi, yang kudapat justru puisi. Dalam swapenjara ini, yang tersisa memang kisah cinta konyol yang kubiarkan merundung hati. Hei, aku bahkan tidak butuh kisah-kisah kepahlawanan. Aku hanya ingin hanyut dalam kisah cinta yang bahkan kekonyolannya aku tak peduli. Sungguh.

Apalagi sampai terbahak-bahak. Maka dari itu, betapa istimewa dua kali sahur ini, seperti roti dengan isi dua keju melapisi. Keterjangkauan tidak menjadi masalah di sini. Belas kasihan aku tidak punya untuk dibagi. Untukku sendiri. Aku tidak ingin menyebut-nyebut atau berkata-kata, terlebih menyumpahi. Ini terlalu murah, terlalu picisan untuk disebut tragedi, bahkan sekadar makna tersembunyi. Tidak, 'Gar, tidak ada yang kusembunyikan di sini. Semua tergelar di depan mata, di terang cuaca, sebagaimana kauhadapi. Terserah bagaimana kaumaknai, 'ku tak peduli.

Kembali pada kisah cinta tadi. Wajar saja jika orangtua, terlebih seorang Ibu, merasa anaknya adalah mahluk teristimewa yang diciptakanNya bagi seantero alam ciptaan ini. Pada kenyataannya, semua saja, termasuk aku, termasuk kau, tidak lebih dari konsumen yang terus saja mengonsumsi, seperti semua saja manusia di muka bumi. Ya, seperti kisah cinta konyol ini. Aduh, mengapa tuts 'y' tepat bersebelahan dengan 't', 'sih. Aku 'sih tidak keberatan menjadi biasa begini, terlebih biasa bercinta, meski sekadar kisah, meski konyol, apa salahnya sehingga terus berima begini.

Selamat Hari Rubuh! Ayo Shalat Qabliyyah Shubuh!

Monday, April 27, 2020

Jatuh Cinta untuk Kesekian-kali. Lagi?


Ini besar risikonya. Bagaimana kalau berhenti di tengah jalan, seperti interuptus begitu. Ya, tinggal berhenti saja, 'koq susah. Kalau perlu malah hapus sekalian, judul nge-pop begitu, seperti Mbak Yuni. Belum lagi kruwel-kruwel merah ini menambah sepet mata. Untunglah bossas pagi ini nyaman. Ini baru tidur dua jam, betapatah jika penuh delapan jam. Nah, seperti 'kuduga, ini adalah daya otak! Insya Allah setelah ini digenapi dan wus wus wus menunaikan janji sekata demi sekata. Mana kopi segar, mana sedang puasa pula. Uah, mengapa tiada dari kapan.


Da da da ini lamat-lamat bagai elusan kekasih, 'tuh 'kan benar ini tiada lain daya otak diselang-seling. Sudah 'kukata dari dahulu, awas-awas tepat di pengatur warna muka-ketik. Ini seperti Mocca namun lebih lembut. Justru itu yang 'kusuka. Keras tetapi lembut dan kau tidak pernah tahu kapan mendapatkan yang mana. Keras melembut. Lembut mengeras. Sekelebat sekilas, selalu penuh kejutan. Aku tidak pernah tahu 'sih yang tidak begitu, tidak pernah mencoba juga. Buat apa aku ambil risiko kena hidung tikus atau telinga kelelawar, nanti covid pula, atau rabies bisa juga.

Ini bisa jadi restoran hotel tempat sarapan. Tidak banyak berhias seperti Amaroossa. Oh, s-nya dua seperti nama panggilan kakeknya atau teman SMPN 56-ku. Kopi pagi, waktu esempe aku belum ngopi. Bulu kemaluan, aku tidak ingat. Mungkin waktu esema aku sudah ngopi, berseragam pula. Malu. Tidak perlu. Apa yang kaukenakan tidak berpengaruh apa-apa ketika hatimu selalu telanjang, nuranimu pun bersih dan tajam. Semua yang tragis adalah akibat kelalaian membersihkan dan menjaga ketajaman, jadi malu 'lah. Ini jatuh cinta apa seperti ini. Meracaui. Ah...

Flut ini menempel pada bibir gadis berkerudung sutera lembayung, aduhai bunyi apa ini mengapa tak 'kukenali. Ini. Jatuh cinta ini. Cinta yang kukenal sejak bayi ini. Membelai mendayu bagai mata belok nan sayu mengerling, ikal terurai mayang tidak perlu diterpa sepoi atau silirnya angin darat atau laut sekalipun. Kalau krimbo bagaimana, kalau kekurangan pigmen bagaimana. Semua rincian ini tidak penting selama belaian dan dayuan merayapi indera, membuat mengerjap-erjap. Erangan tertahan atau terkhayalkan, bahkan pekikan juga tertahan. Dalam khayal.

Uah, aku membuang-buang tenaga! Tidak pada Sumini apalagi Jaminten, tidak di Jatingaleh, Bangunrejo apalagi Kremil. Semua khayalan itu tidak berdaya. Seharusnya kuhemat-hemat ini tenaga yang sangat berharga, aku malah jatuh cinta begini. Secara berkala memang perlu jatuh cinta begini, sekadar untuk kebugaran dan pitalitas. Semacam alat vital berpita begitu, karena cacing pita begitu jijik dan berbahayanya. Seperti ketika Stuart D. Bloom merasa seakan ada yang menggerogoti dalam perutnya. Syukurlah ada Denise, karena ada Denise untuk setiap Stuart, Zil untuk setiap Ipnu.

Seperti Simon Helberg dan Jim Parsons, dan caranya mengatakan "Mayim" untuk membalas sapa. Seperti Gadis Kalender yang tidak dirusak oleh apapun, bahkan mata-mata yang memandang penuh damba tidak memberahikannya. Sekadar damba tanpa-dosa penuh kekaguman. Tentu bukan Diana Kuping. Nah, sampailah aku pada tempatnya. Ya, di situ juga, namun yang seperti Gres Simos. Itulah sayangnya seorang lelaki pada anak perempuannya, seperti Dokter Iccang pada Zhiva dan Mysha. Aku pun pada Kin dan Khaira. Seperti itulah, meski Bapak Janus atau Kec.

Takkan ada yang sanggup menghentikanku jatuh cinta! Mengapa 'lah disebut "jatuh." Apa rasanya seperti jatuh. Memang mabuk pun dapat jatuh terduduk, lungkrah di atas tanah seperti Ron Weasly kena ramuan cinta. Ya, seperti itu! Uah, betapa 'tak sabarnya aku menunggu kesegaran itu ditingkah bossas pagi yang membangkitkan. Bukan tiba-tiba pow begitu, melainkan mok mok mok sedikit demi sedikit. Kesudahannya pun tiada meledak, tetapi mengalir meleleh begitu. Jika ini bukan jatuh cinta itu sendiri, setidaknya mengabadikan bossas pagi yang membangkitkan.

Wednesday, April 15, 2020

Amy Badak dan Ikan Sheldon, Akhirnya...


Ini terlintas begitu saja, ketika kemarin sore, menjelang terbenamnya matahari, aku melintasi Beneluxbaan tepat di atas terowongan Uilenstede. Namun kini, menjelang terbitnya matahari, semua itu seakan menguap begitu saja, gara-gara Mie Yummy yang tidak ada yumi-yuminya. Hei, jangan terlalu keras padanya. Bukan salahnya jika ia tidak se-yummey nasi kuning Padang bertabur mie goreng kampung, masih dengan telur semur, tahu pedas, bahkan terkadang perkedel kentangnya sekali. Jangan pula bandingkan dengan nasi uduk Bandung bertabur bihun goreng, bertelurkan balado, bertahu semur, masih dengan kerupuk disiram dobel sambel tomat dan kacang. Itulah semua pilihan di pagi hari yang ceria.

Kini, cukuplah bila aku menolak dibohongi Chuck, Bill dan Stevie. Kurasa aku hanya kesepian gara-gara mengurung diri secara sukarela. Halah, tidak perlu ada virus korona baru pun aku akan dengan senang hati mengurung diri. Hanya saja memang pemandangan layaknya berganti-ganti, meninggalkan kesan yang berbeda-beda pula, yang terkadang mengundang senyum dikulum di bibir mengembang di hati. Aku yang sering ketagihan dirundung romansa ini, kecanduan diharu-biru romantika ini, bisa apa. Kutahankan, hanya itu yang dapat 'kulakukan.

Ini kudapati kemarin juga, 'kurasa setelah matahari terbenam, ketika aku mendekati apartemenku dari arah selatan. Aku yang sentimentil, melankolis ini. Sungguh, aku tidak pada dasarnya mesum. Hanya saja, terkadang apapun yang membuncah harus dikeluarkan. Selain itu, mungkin fisikku pada dasarnya memang lemah, mudah sakit. Bungkruh. Gabesan. Maka aku perlu cara untuk dari waktu ke waktu meningkatkan daya tahan tubuh, menaikkan ambang batas rasa sakit, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor jasmaniah maupun, terutama, batiniah.

Sidang Pembaca yang Budiman tentu sudah mafhum betapa seringnya 'kuberkeluh-kesah mengenai romansa, berkenaan romantika. Aku tidak kemalu-maluan mengakuinya. Namun, jika diminta menyebut kisah cinta, Natalie-Byron 'lah yang pertama menjelang dalam ingatan. Haruskah kutambah satu lagi. Aku pun tiada kemaluan mengakui, ya, kutambah satu lagi: Amy-Sheldon. Bagaimana dengan kisah cintaku sendiri. Sungguh indah. Kisah surga. Takkan terlupa sampai akhir masa. Aku suka memulai ini dari suatu penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam via Kuala Lumpur.

Jelasnya, aku mencintainya, menyayanginya dengan teramat sangat karena ia masih keciiil banget. Belum 'ngerti apa-apa. Kesian. Ini lebih baik daripada aku memulai kalimat dengan "yang jelas." Meski ada mirip-miripnya dengan Stringfellow Hawk, aku tidak tinggi dan tidak pernah benar-benar kurus, meski tidak juga gembleb. Ah, kabut itu kembali. Nyatanya memang aku baru tidur sekitar empat jam. Memang enak bangun pagi-pagi begini, namun kalau badan tidak segar mau apa dikata. Entah kapan menyerah dan menarik lagi kasur beserta selimutnya sekali.

Mana piano berdenting melagukan jazz tengah malam. Aku jelas bukan Si Tua Slote yang mencoba merayu tunangan orang, meski bekas pacar sendiri, dengan segelas whisky lurus dan nyanyian pagi mengenai sinar rembulan. (lho) Terlebih kini, tidak tersisa padaku apapun yang dapat membuatku merayu siapapun. Cukup baiklah itu jika aku berfungsi sekadar menunaikan janji yang aduhai mahal sekali. Malam pertamaku, toh, tidak dihabiskan di sebuah suite mewah di Lisbon, sedang pempek kapal selamku ditambat, bukan digoreng sampai setengah hangus begitu.

Tidak pula akan kuabadikan pempek lenjer direbus dengan feromon atau rambut kaki yang tidak dicukur. Hari-hari ini cukup kujalani saja, sampai pada ketika 'kutemui lagi Mas Aris dan Ibu yang potongannya perkasa itu, membungkus nasi pesananku dengan cekatan atau justru menumpahkan kuah semur encer. Tidak akan ada yang istimewa pada hari itu. Tidak bagiku, terlebih bagi mereka. Semua sekadar hari kerja. Setiap hari sekadar bertahan hidup, entah berapa lama lagi. Ini adalah paragraf terakhir, wajar saja kabut itu mengerukup. Entah apa 'kan terjadi. Entah.

Wednesday, April 01, 2020

Amril Pop atau Alrile Pov Apa Bedanya


Tidak ada. Hanya saja jika bicara mengenai amril pop, yang selalu kuingat adalah ceritanya TB Nazmudin Sutawinangun. Jika tidak salah, begini ceritanya. Adiknya TB, Reni, [mungkin namanya Ratu Anggraeni] satu kost-an dengan adiknya Dwi "Popo" Cahyadi di Bandung. Nah, aku lupa mana di antara mereka yang berbuah dada besar. Yang jelas, salah satunya yang berbuah dada kurang besar nge-prank yang berbuah dada besar, entah dengan menyumpal dadanya dengan entah apa agar terlihat besar, dan ketika yang berbuah dada besar datang maka ia menunjukkan buah dada sumpalannya sambil berkata: "Amril pop! Amril pop!" Demikianlah.

Sungguh mati 'ku 'tak tahu mengapa yang begini yang kuingat. Apakah karena aku tidak pernah menyimpang, entahlah. Yang jelas, masih kuingat tawa Ah Hui yang khas menyambut kisah sahabat baiknya ini. Dari kami berlima, memang Ah Hui dan TB paling dekat, sedang aku, Parul dan Acep lebih banyak jalan sendiri-sendiri. Demikian ini terkadang kami membuka atau menutup simposium kami, Law Syndicate of Students' Dormitory. (LSD) Adakah kusesali apa yang telah terjadi. Jika pun ada, itu adalah kekhawatiran yang kusebabkan pada Bapak dan Ibu. Selebihnya entahlah.

Kalau Alrile Pov lain lagi. Ini adalah beranda rumah dinas almarhum Oom Dokter Budi Budaya selaku Wakil Kepala Rumah Sakit Jiwa Pusat Secang, Magelang. Senjakala baru saja turun. Udara sudah terasa semakin sejuk. Aku dan Adik bermain gitar sambil bernyanyi, terkadang kurasa saling bercerita. Aduhai, ini kenangan betapa sedihnya, sampai-sampai hampir kutulis doaku di sini. Demikianlah masa-masa muda remaja. Penuh harapan, penuh keluguan, kepolosan. Kemurnian. Pernahkah kusangka jika hidupku akan begini duapuluh delapan tahun kemudian. Tentu tidak.

Lebih baik kini 'ku berkisah mengenai keadaanku kini. Mengetiki di akhir hari setelah ngobrol sok-sok'an mengenai mati dengan Hadi. Aku. Agustus ini Insya Allah empatpuluh empat tahun usiaku. Aku sudah seumur Bapak ketika aku dan Adik main gitar di beranda rumah Secang itu! Satu-satunya prestasiku adalah, anakku Kin sudah semester empat kuliah sekarang, sedang dahulu aku masih kelas tiga es-em-a. Sekarang aku sekadar menjalani hari-hariku, dari bangun tidur ke tidur lagi. Tidak. Aku tidak sanggup berkisah. Apalagi mengenai hal ini. Halku sendiri, 'tak sanggup.

Pada titik ini aku merasa siap meracau lagi, seandainya saja aku tidak lantas teringat Cantik. Betapatah takkan 'ku ingat ia. Hidupku hanya dari satu panggilan audio atau video dengannya ke panggilan yang berikutnya. Begitu saja terus. Apa aku masih punya harapan, cita-cita. Apakah harus diwujudkan itu harapan beasiswa pemimpin masa depan yang pernah diterimanya, sebagaimana aku pun pernah bersekolah di sekolah calon pemimpin bangsa. Tidak! Tegas 'kukatakan: Tidak! Bukan karena itu semua. Semata-mata karena aku anak tertua Bapak dan Ibu. Sudah begitu.

Sungguh ingin 'kuakhiri ini semua di sini, ketika menengok ke belakang, melampaui bahu terbentur wajah anak-anak perempuanku Kin dan Khaira. Masya Allah cantik-cantik mereka. Lalu ada kambing. Kau jangan sedih 'ku sebut kambing. Aku selalu berdoa suatu hari nanti kau menjadi seekor kambing jantan dengan caramu sendiri. Sungguh, seandainya kau anak biologisku, kau pun akan tetap 'ku sebut begitu. Apapun yang terjadi aku 'kan selalu berpegang bahwa anak lelaki tak ubahnya besi babi, harus ditempa menjadi sebilah pedang! Ini berlaku pula bagi para kemenakan!

"Begitulah cara Bapak menyayangimu. Hei, Bapak jauh lebih baik dari Akung. Mana pernah Akung mendekap Bapak jika Bapak merasa sedih, meski kamu agak lebih sering bersedih hati dibanding Bapak. Tidak, bukan Akung kurang sayang pada Bapak. Hanya saja ia memang sok-sok'an macho. Mungkin pengaruh Uti juga. Itulah tekad Bapak dulu. Tidak ada yang kurang. Semua gebugan, semua sabetan, lengkap harus ada. Hanya saja ditambah dekapan, pelukan seperlunya. Bapak harap kamu segera mengerti sebelum terlambat. Kamu harus lebih baik dari Bapak."

Monday, March 23, 2020

Masyarakat Terkondisi, Teori Kontrak Sosialku


Siang-siang begini, dengan dentingan piano Richard Clayderman membuai pendengaran, sedang aku berkaus oblong bercelanda pendek begini, bisa jadi ini di ruang keluarga nDalem Jalan Radio. Akan tetapi, aku justru sekitar 12 ribu kilometeran jauhnya dari situ, di bekas kamar Bang Isal di Uilenstede 79C 1183 AB Amstelveen, Negeri Belanda. Bukannya berusaha menorehkan kalimat pertama pada memori digital, aku malah mengetiki begini. Apakah aku akan menggunakan alasan pemanasan, aku tidak tahu. Namun beginilah kudapati diriku siang ini.


Kesepian, sudah barang tentu. Dalam hidupku ini, salah satu rasa yang sungguh teramat akrab adalah sepi. Di manapun aku, entah nangkring di dahan pohon jambu memandang ke arah utara, bahkan di tengah-hiruk pikuk dua ratus lebih Angkatan ke-43 Akademi Angkatan Laut berguling-guling di Lapangan Aru, hanya sepi yang kurasa. Demikian pula, ketika aku menulis salah satu risalah pertamaku, yang kuberi judul "Conditioned Society," sudah barang tentu sepi itu yang kurasa. Jika tidak, mana mungkin aku akan sampai pada gagasan untuk menulis mengenai hal itu.

Kini pun, ketika aku benar-benar harus menghasilkan suatu risalah sungguhan, sepi itulah yang kudapati. Sampai kini belum pernah terwujud impianku untuk bersepi-sepi menulis risalah, sedang tidak jauh dariku ada Cantik yang dapat ku-uyel-uyel dan ku-gemes-gemes-i ketika batinku penat, atau, lebih esensial lagi, ketika aku membuncah dengan semangat tak terbendung. Terlebih ketika aku menulis "Conditioned Society," siapa yang mau ku-uyel-uyel, Ery Budiman?! Sudah gila apa. Jika memang takdirku begini, hidupku selalu sepi, apa hendak dikata. Aela jacta est!

Kopi dalam mug merah kecil, seperti terlihat di gambar di atas, sudah dingin. Akan kupanaskan lagi ia dengan magnetron, karena masih sekitar setengah mug lagi. Kurasa aku tahu apa yang akan terjadi seselesainya aku mengetiki. Aku akan makan siang di depan tivi, mungkin dengan chili sayur, makaroni dan sosis lagi, mungkin dengan tempe bacem dari dr. Laily lagi, bisa juga ditambah tempe balado dari drg. Riri. Apapun itu, akan kulakukan di depan tivi sambil menonton entah-entah. Lantas apa jadinya risalahku sungguhan jika begini terus. Uah, entahlah 'ku tak tahu.

Risalahku "Conditioned Society" itu, seingatku, aslinya tidak diberi sampul, hanya distapel. Baru setelah aku dikeluarkan dari AAL, di sekitar awal 1996 kuberi ia bersampul kertas bufalo hijau dan kujilid lakban. Setelah itu sempat kubawa ke manapun 'ku pergi, sebagian besarnya di tepi-tepi Kali Ciliwung. Bahkan beberapa saat sebelum aku ke Belanda untuk pertama kalinya, 'ku yakin ia menemaniku di kosan Babe Tafran. Baru setelah kutinggal ke Belanda, ia hancur dimakan rayap di garasi belakang rumah Jalan Radio, bersama dengan ketololanku selebihnya.

Sedih. Tidak. Mereka semua ketololan semata. Jika ada yang membuatku sedih, bukan mereka benar. Kesepian-kesepian yang menyertainya, itu yang membuatku sedih. Sedang Cantik, menurut pengakuannya, tiada berapa ahli dalam urusan merayu-mendayu. Sedang aku terlahir dengan itu. Rayuanku bukan rayuan cabul, rayuan mesum. Tidak. Rayuanku seperti anak anjing dengan matanya yang hitam besar berkaca-kaca, sedang anjing najis liurnya. Ini seperti lagu-lagunya Carpenter. Kesakitannya. Matinya Karen karena gagal jantungnya, karena bulimia.

Dengan apa seorang lelaki akan dikenang, jelas tidak dengan ketololan terlebih kesepiannya. Sedang anak anjing dapat dikenang dengan penuh kasih dan sayang. Seorang lelaki dilupakan. Teronggok di tumpukan sampah, membusuk, sekadar menambah pekat aroma, lengkap dengan risalah-risalahnya, atau apapun yang demikian menurut sangkaannya. Bisa jadi yang tersisa adalah tulang-tulang telapak tangan dan jari-jemari menggenggam risalah-risalah, sedang tengkorak kepala menyeringai, karena tengkorak selalu saja terlihat seperti sedang menyeringai. Sudah.

Wahai Yang Mengidupkan tulang-belulang remuk, hidupkanlah ruh kami