Tuesday, May 16, 2017

Blitar: "Hari Ini Kau Kedatangan Bidadari!"


Sudah lama tidak kulakukan ini, menulis-nulis di bawah guyuran hujan deras dan gelegar guntur mengguruh mengampar-ampar, sedang denting-denting dawai menghimbau, "lagi, lagi, lagi." Bisa jadi ini sudah musim semi. Aku saja yang tidak sadar. Mungkin karena hari ini aku kedatangan bidadari. Matanya yang sayu menatap sendu, rambutnya yang ikal terurai mayang memang bisa jadi merupakan tanda-tanda ia seorang bidadari. Ya, wanita penghuni kahyangan itu. Akan tetapi, ada perlu apa aku dengan bidadari?


Apa manfaatnya bagiku jika ternyata kakiku masih sepenuhnya menginjak bumi, meski terkadang terasa oleng dan goyah? Kebahagiaanku tidak terletak di situ. Jika sekadar mata yang sayu menatap sendu, sekadar rambut ikal terurai mayang, aku bisa bikin sendiri itu semua. Terlebih atribut-atribut lain yang sering dikaitkan dengan bidadari seperti pinggang yang ramping, tubuh yang semampai, aku tidak butuh itu untuk kebahagiaanku. Sejak muda kurasa, kebahagiaanku terletak lebih pada hal-hal yang sifatnya batiniah.

Kebahagiaan seringkali datang justru ketika aku tengah memejamkan mata dan mempertajam pendengaran seperti ini. Pada saat itu, terasa jiwaku justru lebih lembut, lebih syahdu. Aku seperti selembar daun atau kelopak bunga diayun-ayun naik turun oleh riaknya gelombang telaga, ditiup lembutnya sepoi-sepoi angin musim semi. Aku seperti ditimang-timang irama alam yang senandungnya adalah nyanyian seekor induk binatang, penuh kasih-sayang pada anaknya; seakan tiada lagi karunia yang lebih indah darinya di seluruh jagad raya ini.

Seperti itulah kebahagiaan, dan setahuku kebahagiaan seperti itu tidak berima dengan bidadari. Akan halnya hari ini aku kedatangan bidadari, setidaknya demikian menurut sementara orang, aku bisa apa? Aku toh bukan Dewa Matahari yang konon playboy. Aku, jika boleh memilih, lebih suka menjadi Basukarna, pahlawan penuh ironi, yang hidupnya itu sendiri adalah tragedi. Adakah ia menemukan kebahagiaan ketika kepalanya terpisah dari leher di Kuruksetra, sedang ia berusaha membebaskan roda kereta perangnya dari rengkahnya tanah?

Lantas bagaimana dengan Gatutkaca yang pusarnya adalah warangka Kunta? Adakah ketika Kunta bertemu kembali dengan warangkanya, pada saat itu pula Gatutkaca menemukan kebahagiaan? Mengapa kebahagiaan harus ditemukan? Uah, jangankan dengan pahlawan-pahlawan ini. Dengan Pippi Si Kaus Kaki Panjang saja aku tidak pantas dibandingkan, terlebih dengan Astrid Lindgren. Terlebih dengan Ratna Anjani, sumber dari segala kekuatan Anoman. Bahkan dengan tukang gorengan di depan Indomaret pun aku tidak setanding.

Bagaimana jika kubandingkan Ibuku dengan Ratna Anjani? Apakah Kunti begitu saja lebih hebat dari Gandari? Bagaimana dengan Drupadi atau Sembadra? Nah, nah, bagaimana dengan Dewi Widowati? Tidakkah Ibu dikatakan begitu oleh Miauw? Ini dia! Aji Pancasona yang konon dicuri Rahwana dari Subali, tidakkah itu adalah kecintaan kepada Ibu Bumi itu sendiri? Tidakkah ini artinya patriotisme? [Huahahah, mulai lagi deh cocoklogi] Lantas bagaimana dengan Aji Wundri? Mengapa nama-nama ini lekat sekali di benakku?

Tidak hanya itu, suara Jefry al Buchori Allah yarham juga lekat, suara yang bagus itu. Semoga Allah menerima semua amal ibadah, amal solehnya, melipatgandakan pahalanya, mengampuni dan menghapuskan semua dosanya, melapangkan kuburnya seraya ia menunggu rahmatNya berupa surga, seperti semua hambaNya yang diberi nikmat dan kemuliaan. Amin. Semoga, seperti yang pernah kudengar atau baca, semua doa baikku untuk saudara-saudaraku sejatinya adalah doa untuk diriku sendiri. Amin. Tiada daya maupun upaya kecuali dengan Allah Maha Tinggi lagi Agung.

Insya Allah, Pak, tidak perlu Islam Nusantara, Islam toleran, Islam Jawa, Islam moderat sebagaimana tidak ada itu Islam radikal entah-entah. Insya Allah, Islam ya Islam, jalan hidup yang diridhoi Allah untuk hamba-hambaNya. Semoga kita pun ridho padanya, Pak, sebagai jalan hidup. Masya Allah, betapatah kita tidak akan ridho pada jalan yang lurus, lempang lagi lapang menuju kasih-sayang dan kemuliaanNya? Ya Allah hamba mohon diajari, dituntun untuk menapaki jalan yang lurus itu, sebagaimana telah ditempuh oleh hamba-hambaMu yang Engkau beri nikmat dan kemuliaan. Ampuni hamba, Ya Allah, kasihani hamba.
 

Monday, May 15, 2017

Mata-matanya Masih Hijau. Mata Hijaunya


Malam ini begitu saja aku ingin mengikat seutas pita kuning di sekeliling batang pohon nangka, semata-mata karena kayunya sama keras dengan pohon ek; dan semata-mata karena sudah gila apa di Cikumpa sini mencari pohon ek. Tidak juga, sih. Mungkin karena aku tadi, sepulang dari bersantap malam yang mewah, (fine dining) melihat entah seorang gadis, entah ibu muda, di kamarnya yang kumuh di seberang pekuburan Lemperes. Apakah ia merasa aku membunuhnya secara perlahan-lahan dengan laguku, aku tidak pasti. Jelasnya, lagu itu malam ini tidak ada dalam daftarku.


Daftar? Lucu ya. Masa jaman sekarang mendengarkan lagu dalam daftarmain. (playlist) Dahulu, mendengarkan lagu sepenuhnya terpulang pada selera entah siapa yang main memindahkannya ke dalam format pita kaset, mungkin dari vinyl. Dan selera musik si entah-entah ini biasanya mantap, meski ngeselin karena urutan album aslinya biasanya diacak-acak, sampai-sampai kita tidak mengenali lagi. Yah begitulah jaman kejayaan pembajakan. Jaman kaset bisa dicoba, didengarkan dulu apa isinya, didengarkan lagi yang lainnya, dicoba lagi dan seterusnya hahaha...

Namun malam ini bukan mengenai kaset apalagi file mp3.  Malam ini mengenai perempuan itu, yang duduk di lantai membelakangi pintu yang terbuka. Mungkin ia sedang menonton televisi. Mungkin televisinya masih kondean. Apapun itu, lampu kamarnya temaram sekali meski putih cahayanya. Dekade kedua milenium ketiga dan masih saja ada yang seperti itu. Pasti lebih banyak lagi, banyak sekali. Teramat sangat banyak sekali, saking aja hanya satu ini yang sempat terlihat olehku. Lantas, Bang Hotma FHUI '86 begitu saja mengeluh susah cari uang, dan betapa uang cepat sekali habisnya.

Aku si Tolol ini selalu merasa sebagai bagian dari ibu itu dan kaumnya. Percuma saja semua analisis sosial apalagi teori politik terlebih lagi filsafat hidup. Hanya bertahan hidup itu saja kesibukan sehari-hari. Lalu Aku si Tolol ini masih saja berkhayal hidup di tengah-tengah mereka, bukannya berjualan bubur ayam misalnya, malah merenung-renung berpikir-pikir mengenai berbagai filsafat, teori dan analisis. Tersisa kini hanya filsafat, teori dan analisis, dan mereka semua tidak berhenti tolol. Aku si Tolol ini, sok-sokan miskin, sok punya empati sosial, sok membela kaum yang lemah.

Lemah? Kau 'tu yang lemah! Lemah segala-galanya. Bahkan ketika kau berpikir tekadmu menguat, badanmu kini sudah lemah. Mereka kuat. Mereka hebat. Mereka, di antaranya, sanggup berjalan berkilo-kilometer memikul mainan anak-anak entah-entah dan permen-permen. Illahi Rabbi, berapa yang dihasilkannya dalam sehari? Adakah ia punya keluarga, ia yang selalu berbaju rapi dan berkacamata, mirip potongan Presiden Joko Widodo ketika kuliah? Illahi Rabbi, tidak ada yang bisa kulakukan kecuali merasa kasihan padanya, mungkin memanjatkan doa padaMu dalam hati.

Kerismu, mana kerismu? Keris bohong-bohongan yang kau pakai waktu terpaksa jadi pagar duda? Keriswijoyo Budi Susilo Supandji? Hunus kerismu, kalau ada. Angkat kerismu dengan warangkanya sekali setentang dadamu. Hunus! Amangkan ia di udara. Ancam setan-setan durjana, drubiksa-drubiksa haus darah, takut-takuti mereka dengan kerismu. Hah! Sedangkan pada Bang Hotma saja kau tidak bisa apa-apa. Kau bahkan tidak berani menegaskan pendirianmu, kalau kau punya! Jangan panggil-panggil Tuhanmu, punya malulah sedikit, engkau yang katanya priyayi!

Aku luruh terduduk di atas karpet Persia yang sudah kumuh dan lusuh, meski tiap hari kukebuti dengan sapu ijuk, kadang kebutkan di udara, di depan beranda sangat sederhanaku. Meski kulepa sekujur badanku dengan adonan kapur dicampur minyak kelapa, bola-bola besi meriam Peranggi toh masih sanggup menembus, langsung ke jantung hati. Dalam keadaan seperti ini, bahkan aku masih egois, masih berharap setidaknya badanku terasa nyaman. Biar apa kalau nyaman? Meneruskan perjuangan? Sedangkan mulut Pak Hamid Arif sudah bergerak-gerak siap meludah kejijikan.

"Apa yang dapat kuperbuat," tanyaku menengadah. Mukaku pasti sok memelas begitu, dasar pemain watak. Ternyata yang kulihat bukan lagi wajah Pak Hamid Arif dengan kumis njliritnya a la Clark Gable, melainkan Aishwarya Rai dengan iris matanya yang hijau. Ia menari-nari dalam iringan senandungnya rintihan Manolo Otero. Aish tentu tidak peduli padaku, bahkan tampaknya ia sama-sekali tidak menyadari keberadaanku, apalagi keadaanku. Lantas saja, aku beringsut-ingsut seperti ingus pergi dari sini. [Mungkin ada baiknya aku membuat semacam kultwit atau sinetwit sekali]

Sriti, jangan dengarkan kata-kata mereka

Saturday, May 13, 2017

Waktu yang Tidak Pernah Benar-benar Berlalu


Ini adalah mengenai waktu sekitar sebelum dan sesudah Garuda Pancasila dengan suara lonceng berdentang berkali-kali sebelum kemudian bertut-tut-tut dari masa kecilku. Ini juga mengenai hari ulang tahun Ibuku yang ke-66. Sebelum lebih lanjut, ada baiknya aku mengucap syukur Alhamdulillah atas usiaku yang menjelang 41 tahun ini, Bapak Ibuku yang berusia 66 tahun masih sehat walafiat tiada kurang suatu apa. Semoga, seperti harapan beliau, Ibu masih saget mirsani cucu-cucunya tumbuh besar sampai dewasa. Demikian juga Bapak. Amin.


...karena waktu, Kawan-kawan, tidak pernah benar-benar berlalu. Aku tidak tahu apa yang biasa dilakukan DN Aidit pada waktu sekitar ini. Adakah ia membaca buku, mendengarkan radio atau musik? Lagipula, pada saat itu ia kira-kira seumuranku saat ini dan sudah menjadi menteri. Apakah dia sama modelnya dengan Deputi Badan Ekonomi Kreatif sekarang atau yang lebih okeoce lagi? Kemungkinan besar. Kalau ia membadut saja sepertiku, tidak mungkin ia semuda itu sudah menjadi menteri. Ataukah pada saat itu badut bisa jadi menteri? Hanya Allah yang tahu.

Ini kenapa pula jadi DN Aidit? Ini padahal mengenai waktu yang tidak pernah benar-benar berlalu. Langit masih sama. Kelam, kadang cerah berbintang, kadang dihiasi bulan purnama sekali, kadang berawan mendung kemerahan. Semua selalu saja begini, kecuali asesorisnya. Ya, perhiasan-perhiasannya. Hanya kutahu, sebagai anak kecil ini adalah waktu nyaman menjelang tidur. Bisa jadi Balki Bartokomous atau Angus Witherspoon dengan Shannen Doherty-nya sekali, namun yang penting nyaman. Mungkin belajar sudah selesai, selebihnya menunggu datangnya kantuk.

Lalu dengan PDH Osis tanpa dasi, hampir selalu dengan jaket training. Mungkin sekadar mengerjakan PR, hampir tidak pernah belajar dalam arti mempersiapkan pelajaran besok. Dalam balutan PDH Osis aku selalu menyiapkan hari esok, bukan sekadar pelajaran besok. Biasanya di Perpustakaan, tempat yang sangat kucinta. Pemberi rasa nyaman. Namun biasanya aku sudah di kelas, atau bisa jadi sedang berebut membeli Indomie di Kosinus. Udara malam Magelang pada saat itu memang selalu sejuk-sejuk nyaman. Berjalan di atas konblok, seringkali sendirian.

Lalu dalam pendidikan militer. Bisa jadi dalam balutan PDL atau PDH. Mungkin telah selesai ikut mengecek apakah masih ada noda kotoran di dasar kloset, atau setelahnya bisa jadi menyemir lantai teraso, setelah belajar malam yang biasanya entah-entah. Atau mungkin dalam Ruang Karantina Penyakit Menular atau di luarnya. Uah, ternyata episode ini memang cukup menoreh luka yang dalam padaku. Dapatkah tidak kuingat-ingat lagi? Dapatkah tidak perlu kuceritakan lagi pada siapapun? Bunyi peluit ronda dan derap Tarpaga diiringi Tardanga dan caraka sudah terdengar...

Lalu apa? Bisa jadi kepulan Sampoerna King Size, yang ditingkahi oleh kepulan uap kopi panas. Hitam. Mantap. Bisa jadi bacaan, atau bahkan tulisan. Yang jelas selalu musik, dengan Funai, kemudian Kenwood bahkan Aiwa. Selalu remang-remang, seperti yang selalu kusuka. Ini adalah awal dari malam-malam panjang, seringkali bahkan tanpa terlelap barang sepicing sampai pagi menjelang. Ini adalah kebodohan masa muda. Ini bahkan kengerian! Ini adalah kemudaperkasaan. Bisa jadi pula Pondok Indah Mall dan puntung-puntung panjang, atau tepi kuburan...

Selebihnya, aku tidak pernah benar-benar berubah. Aku berhenti. Aku tetap suka membaca dan menulis. Rokok sudah tidak. Kopi Insya Allah sudah tidak. Malam-malam masih selalu kelam. Kadang cerah berbintang, bahkan dengan bulan purnamanya sekali, atau berawan mendung kemerah-merahan. Begitu jika menatap langit. Tetap saja. Persekitaran, bebauan, bunyi-bunyian memang selalu berubah-ubah. Beberapa nyaman, bahkan meski tinggal kenangan. Beberapa mengilhamkan kengerian, bahkan ketika sekadar terlintas dalam ingatan.

Inilah aku di sisi barat Blok M Plaza, hampir 41 tahun, menengadah menatap langit malam yang tertutup mendung kemerah-merahan. Keponakanku, Satrio Adjie Wibowo, hampir 7 tahun, sedang bermain-main di platform bordes milik warung ayam panggang. Lift barang, katanya. Tidak ada yang membeli, padahal ini malam minggu. Ya Allah, lindungilah, bimbinglah, tolonglah keponakan hamba laki-laki, Satrio Adjie Wibowo. Jadikanlah ia laki-laki yang shalih, yang takut hanya padaMu, dan mencintai kekasihMu sepenuh hati, segenap jiwa. Amin.

Wednesday, May 10, 2017

Sore Ini Aku Bertemu Selarik Puisi. Berlarik-larik


Setiap kali begini, harus kuakui, aku selalu teringat seniorku Denny Januar Ali. Mungkin pada dasarnya aku iri padanya. Meski begitu, tidak akan kulakukan apa yang dilakukannya. Insya Allah. Mencari nama selagi hidup. Naudzubillah. Mungkin ini benar yang membuat Koh Ah Jin geram padaku. Alih-alih marak sendiri jadi kaisar, aku malah membadut. Aku menolak berkelahi. Betapatah mau berkelahi jika AC saja begitu mudah mengalahkanku. Akhirnya, hanya segelas air bening panas inilah menemaniku menulis-nulis. Aku tidak berani ambil risiko untuk yang ini.


Apa benar yang mendorongku kembali berurusan dengan editor teks ini? Apakah selarik puisi yang kutemui sore ini, yang nyatanya bukan pertemuan pertama, namun selalu saja kumanfaatkan sebaik-baiknya setiap kali ia menjelang? [aduhai, panjang sekali kalimat tanya berhiaskan kalimat berita ini] Seperti kata Baron Inderanta dePari, berharap mendengarku berorasi politik, aku malah berpuisi. Aku tahu, kau pasti mendamba mengayun gada di sampingku, sedang aku entah berpedang entah berpalu. Ini memang memalukan. Aku memang tidak pernah benar-benar suka puisi.

Seperti yang satu ini, aku tidak pernah sengaja mencari. Hanya saja, memang, jika ia menjelang, tentu kunikmati. Ya, aku memang penikmat puisi, namun bukan pecandu. Pecandu mencari-cari setengah mati agar tidak mati. Penikmat menikmati ketika terhidang. Jika tidak ada, ia tidak mencari, apalagi sampai setengah mati. Alhamdulillah, dunia ini tidak menghidangkan puisi telanjang padaku. Dunia selalu menghidangkannya terbungkus rapi dalam kebetulan-kebetulan. Betul, meski tidak baik. Aha, ini dia satu contoh kebetulan yang bukan kebaikan! Puisi.

Puisi adalah kehendakNya. Itu tidak mungkin dibantah. Bagaimana aku akan menikmati, sepenuhnya berada dalam kendaliku. Keputusanku. Beruntunglah yang membersihkan jiwanya, merugilah yang mengotorinya. Puisi, seperti halnya musik, dan semua saja keindahan dunia dapat membersihkan jiwa, namun dapat juga mengotorinya. Sepertinya aku tahu bedanya, Insya Allah. Jadilah penikmat, tapi tidak pecandu. Nikmatilah ketika ia menjelang dan segera ingat dan camkanlah adaNya Penciptanya. Jangan mencandu sampai-sampai kau lupa ingatan. Naudzubillah.

Lihatlah, aku bahkan tidak bicara mengenai puisi. Aku justru berbicara mengenai lain-lainnya, sedang ini entri mengenai puisi. Itu karena aku tidak membatasi puisi hanya selarik. Aku selalu mencoba menjaga kesadaranku bahwa lumrahnya puisi selalu berlarik-larik, dan mereka semua tetap saja puisi. Bagaimana dengan puisi yang tidak cantik, yang digubah oleh seseorang yang tidak dikaruniai citarasa seni sedikit pun? Hmm, yang seperti itu tetap puisi juga sih, meski mungkin lebih baik kita serahkan urusan ini pada Pencipta penciptanya.

Seperti halnya pelangi, seperti itu juga puisi. Selalu suatu kontinuum, tidak pernah patah-patah. Tidak ada puisi yang merah sekali, karena jika ada pasti tidak tercerap. Demikian pula, tidak ada puisi yang ungu sekali, karena jika pun ada pasti tidak tercerap. Namun yang tidak tercerap itu pun pasti terasa kehadirannya, seperti anak jadah binatang jalang dari induknya yang tidak kalah hina-dinanya. Semua membuang muka darinya, namun bagi induknya, itulah anugerah keindahan terbesar dalam hidupnya. Jadi, jangan pernah sekalipun bermuka masam pada ciptaan apapun.

Dalam alam ciptaan ini, sesungguhnya yang Tampak hanyalah Penciptanya. Pencipta yang Gagah sekaligus Anggun. Pencipta yang Penuh Belas Kasih dan Penyayang. Pencipta yang Mulia, yang Suka Memaafkan. Pencipta yang memuji hambaNya yang dihiasiNya penuh dengan budi bahasa yang mulia, cerminan dari Budi BahasaNya. Lantas ada yang sampai hati menghinakan ciptaanNya? Lantas ada yang tidak habis pikir betapa ciptaan bisa seburuk, sejahat, setidakberguna dalam bayangannya sendiri? Sang Pencipta Maha Adil, Maha Mengetahui, Maha Tinggi!

Maha Suci Ia Sang Pengayom yang memiliki Keperkasaan atas apapun yang disifatkan oleh mereka yang mengingkari dan mendustakanNya! Tuh kan, akhirnya entri ini tidak mengenai puisi. Tidak selarik, apalagi berlarik-larik. Maka tidak heranlah jika saudara-saudara Hindu memahami Sang Hyang Siwa menari. Sungguh Indah Tarian Itu! [mustahillah kutulis ini tanpa mengapitalkan huruf-huruf awalnya!] Sungguh Agung. Maha Besar! Maha Kuasa! [Aduh, aku bisa dituduh toleran jika menulis begini, padahal aku sangat radikal fundamentalis. Takbir! Allahu Akbar!]

Saturday, May 06, 2017

Melodi Bisu Tanpa Nama Bukan Lagu Cinta


Itu adalah judul tadi malam, sedangkan ini sudah terang benderang begini, menjelang tengah hari. Pelajarannya, jangan sampai salah memulai hari. Ingat-ingatlah itu selalu! Mulailah hari selalu dengan yang halal dan toyib, Insya Allah, harimu akan selalu penuh dengan kedamaian, kasih-sayang dan berkah. Semangkuk mie ayam Donoloyo mungkin sebenarnya tidak terlalu salah. Bapak itu tidak memberi micin banyak-banyak pun. Ditambah dengan sepotong risoles ragu ayam pun Insya Allah masih baik-baik saja, karena temannya toh teh melati madu.


Dari sekian banyak melodi dan syair cantik yang selalu merundung benakku sehari-harinya, masih ada beberapa yang bisu tanpa nama. Ini cilaka. Kalau aku masih tahu agak sepotong syairnya masih agak aman lah di jaman gugel begini. Namun kalau sampai sama sekali tidak ada syairnya, atau aku sama sekali tidak tahu, selesailah sudah. Meski demikian, mengingat beberapa kali aku berhasil menemukan yang seperti itu, [atau cuma tiga itu?] tidak pada tempatnya aku berputus asa. Insya Allah akan datang masa-masa di mana kita tak terpisahkan sampai akhir waktu, ya, Cantik.

Sampai hari ini aku belum berhasil menarik kesimpulan. Apakah sebabnya ada hari-hari di mana aku produktif sekali menghasilkan entri, sedangkan di waktu-waktu lainnya bisa sama sekali dorman. Untung saja ada teknologi retroaksi sehingga kemandulan masih bisa diperbaiki. Namun itu bukan jawabannya. Dugaan-dugaan ada, misalnya, ketika aku sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Berhubung pekerjaanku pun tidak jauh-jauh dari baca-membaca dan tulis-menulis, tentu saja ia akan menyandera waktu yang biasa kuhabiskan bersama dengan Kemacangondrongan.

Lalu, pertanyaan ini, yang sungguh aku enggan, cenderung takut, untuk menanyakannya. Kemanakah Ki Macan? Dugaan-dugaan yang ada justru lebih menakutkan. Adakah aku sudah menjadi Ki Macan, ataukah aku sendiri Ki Macan. [?!] Melihat kebotakanku, semakin lemahnya tubuhku, uban-uban rambutku, umurku yang sudah lewat lima windu dengan perhitungan apapun, dugaan-dugaan itu sungguh berdasar. Mengerikan! Itukah sebabnya Ki Macan tidak pernah muncul lagi? Haruskah aku kini menggantikan tugas Ki Macan, sedang aku masih membutuhkannya?

Ki Macan adalah mahluk Allah yang besar sekali tirakat dan prihatinnya, sesuai dengan yang selalu dijalani oleh leluhur-leluhurnya. Aku? Boro-boro tirakat dan prihatin, sedang entri-entriku masih terus penuh olok-olok begini. Ki Macan tidak pernah banyak cingcong, bahkan ia hampir selalu diam. Ia selalu mendekam di pojokannya. Mendeham seperlunya saja, menggeram hampir tidak pernah, apalagi mengaum. Jangan-jangan Ki Macan sudah termasuk dalam golongan hambaNya. Aku apa? Berlumur dosa dan kebodohan, ketololan tiada habis dan hentinya!

Siang ini aku sendirian di rumah yang sungguh kotor dan berantakan, dan sungguh aku enggan melakukan apapun terhadapnya. Ini kesedihan. Ya Allah, hamba mohon penyelesaian atas segala yang tidak nyaman, yang merundung baik lahir maupun batin. Berdoa tuh jangan di entri. Berdoa di atas sajadah, di heningnya kedalaman malam. Badanku sekarang terasa kurang enak. Sudah beberapa hari ini beberapa orang mengatakan aku kurus. Aku gendut tidak mau. Kurus takut. Lalu maunya apa? Maunya bermain-main saja, berolok-olok terus sepanjang hari?

Lalu mainan medsos. Illahi Rabbi, jaman apa ini. Sungguh aku selalu iri melihat orang yang berpakaian rapi, bersarung kadang berpecis atau berkopiah, melangkah menuju mesjid ketika waktu shalat sudah menjelang. Namun aku maunya Masjid al-Barkah. Masya Allah itu mesjid enak sekali. Apa karena jamaahnya sedikit maka terasa enak? Masjid Ukhuwah Islamiyah memang terasa kurang enak karena jamaahnya sering banyak. Masjid Qoryatussalam? Aku harus bagaimana? Salahkah aku jika aku tidak merasa nyaman di sana? Salahkah aku jika mencari kenyamanan beribadah?

Sekarang aku punya banyak sekali al-Hikam-nya Ibnu Atha'illah dari berbagai syarah dan versi. Apakah kubaca-baca? Apakah boleh jika alasannya karena harus menulis, meningkatkan publikasi ilmiah dosen? Ini entri kenapa jadi begini? Kena'apa aku? Mengapa tiap kali mengulang-ulang hafalan Yasin perutku bergolak dan kepalaku sakit? Ya Allah hamba mohon ampun. Hamba mohon pertolongan. Aku bisa apa? Aku harus bagaimana? Setelah ini mungkin aku akan berbaring saja, membaca tafsir al-Fatihah sambil memohon karunia kenyamanan lahir batin, dan ketetapan iman.

Amin Ya Rabbal'alamin

Thursday, May 04, 2017

Artis. Artis. Semua Artis. Padahal Teman-teman


'Tuh 'kan. Begitu lagi. Padahal tadi sempat membatin apa tidak malu terus berceloteh begini. Tidakkah ini merupakan kesia-siaan. Tidakkah banyak yang jauh lebih berguna, sedang engkau bertekad berumur panjang agar dapat menaklukkan dunia. Apa harus seperti Temujin minum ramuan merkuri. Apa harus banyak-banyak ngeseks tanpa kondom tanpa vasektomi, sampai pada bunting perawan ting-ting, sampai berceceran anak di mana-mana. Apa harus sekian banyak kalimat tanya tanpa tanda tanya. Seperti inikah bentuk residu kreativitasmu, atau semata kesakitan-kesakitan.


Sedang kesakitan yang terkadang dipulas gincu, terkadang sekadar pengilat bibir, tampak begitu sendu namun syahdu. Ya, ini rayuan. Aku sedang merayumu. Aku tahu yang kulakukan ini sangat berisiko, di dunia yang penuh matriark ini. Terkadang kau begitu saja tak berbedak, meski segera kauperbaiki itu. Ah, kalian memang sama saja. Seperti kata Kapten entah-siapa-lupa, tokoh rekaan Mas Babas dalam komik bikinannya sendiri: "Perempuan di mana-mana sama. Menggairahkan." Hahaha. Tidak pernah gagal membuat terbahak-bahak, meski perlahan dalam hati.

Lantas apa? Kauperiksa ketiakmu sendiri apakah masih berambut. Kalau berambut memangnya mengapa? Apa lantas akan bercukur? [nah, darimana munculnya begitu saja tanda-tanda tanya ini] Sungguh mengerikan jika hal seperti itu terjadi justru ketika seonggok bangkai yang masih melawan belatung sudah teronggok sampai lama sekali, masih menggeliat-geliat. Dubuk betina hanya dapat memandangi geliatan bangkai melawan belatung dengan seringainya yang terlihat penuh kasih, hanya oleh anak-anaknya. Sudah berkali-kali kuhapus bayangan ini dari benak, entah berapa kali.

Lantas apa? Bahkan satu paragraf terpaksa ditulis ulang karena tidak seperti orang terpenjara, seorang narapidana. Amboi, [awas, bukan amoi] kau perlakukan dunia ini tidak seperti penjara. Kau perlakukan belaian-belaian syahwat tidak seperti belenggu; sedangkan jelas sekali Amoi berjengit ketika mengucapkan kata "syahwat." Aku, jelasnya, tidak suka kenangan, apalagi kenalan, apalagi marah. Aku tidak berkeberatan. Aku memang harus memohon dan itu baik-baik saja. Tentu kulakukan dengan penuh takzim. Tidak ada masalah. Apalah arti diriku, bahkan hidupku sekali.

Jika tadi sempat senapan berburu, maka sekarang adalah sebilah tombak. Senang sekali aku dengan peran ashigaru ini. Meski tuanku tidak memberiku musket, toh aku mampu menggunakan tombak ini dengan baik. Meski kulempar ia, aku masih sanggup berlari menjemputnya dari dada atau perut, jarang sekali paha, tempat ia menancap. Baik-baik saja. Aduhai, betapa bahagia kepala-kepala yang rengkah terbelah atau tertembus tombakku. Kepala-kepala tidak berguna dari manusia-manusia tidak berguna dan hidup-hidup mereka yang sia-sia. [Amboi, mengapa seperti film murahan begini]

Seks dan kekerasan. Masih lebih baguslah daripada seks, sastra, kita; meski yang terbagus mungkin seni, tradisi dan masyarakat. Lebih ironisnya, sekali lagi kuhapus beberapa kalimat sekaligus karena terbaca seperti rengekan... rengekan apa ya. Bahkan pelacur murahan saja mungkin akan terdengar lebih gagah dari itu. Sesungguhnya aku tahu sih rengekan apa, tapi aku tidak punya cukup keberanian untuk menuliskannya di sini. Aduhai Kemacangondrongan, hanya engkaulah tempat sembunyi dari sesaknya hiruk-pikuk dunia jika aku sedang ingin tolol seperti ini. Semoga tidak berdosa.

Sudahlah. Aku sudah lelah menghapus-hapus kalimat bahkan paragraf. Ini sesungguhnya entri mengenai artis, atau mungkin tentang seorang teman. Tentu bukan. Aku tentu saja punya lebih dari seorang teman, karena, seperti yang selalu kukotbahkan, manusia adalah binatang berkawanan. Teman-temanku tentu tidak semua artis, bahkan mungkin sedikit sekali. Entah mereka lebih suka disebut artis atau filsuf, yang jelas mereka semua rata-rata sehat akal pikiran. Mereka semua tentu tidak punya tempat sembunyi seperti Kemacangondrongan ini. [Sembunyi koq di Internet]

Aku juga tidak mau menghina-hina. Mana ada lagipula yang lebih hina dari diriku. Jika aku marah, maka aku berlagu, membawa Telomoyo nama lagunya. Terdengar seperti sebuah nama. Nama yang sungguh mempesona, merundung hati sanubari. Aku tidak percaya kalau Telomoyo suka merengek-rengek. Tidak mungkinlah merundung hati jika begitu. Namun mana aku tahu. Aku belum pernah mencicipi Telomoyo. Mungkin kakaknya Andovi da Lopez sudah. Irikah aku? Aku lebih iri pada permainan flute Telomoyo, bahkan inipun aku tidak iri-iri benar. Aku memang telo, juga keple.

Crit. Sudah.