Wednesday, December 19, 2012

...sudah bukan Penulis Roti, Pamfletir untuk Sendiri


Hujan, biarlah kuceritakan padamu, betapa mahalnya menulis itu. Bukan gagasannya, tetapi pekerjaan menulis itu sendiri. Gagasan, bagiku, seperti debu jalanan. Banyak dan murah, asal kau sudi mengumpulkannya. Namun menulis itu sendiri adalah salah satu pekerjaan yang sangat mahal, karena waktu yang dihabiskannya untuk menghimpun suasana hati. Dan waktu, kita selalu kekurangan waktu. Waktu adalah salah satu sumberdaya yang paling langka, kurasa. Jadi, setelah ini, Insya Allah, tidak akan lagi aku menulis kecuali aku yakin sekali akan manfaatnya. Jika sekadar untuk uang beberapa juta, tidaklah. Terlalu murah. Tidak sepadan dengan waktu yang terbuang. Tidak sepadan dengan mutu kesehatan yang semakin menurun. Tidak sepadan dengan kesehatan jiwa yang terus tergerus. Tidak. Titik. Pun begitu, masih saja orang, sarjana hukum pula, sarjana lah setidaknya, mencoba menghindar dari menulis. Omongan itu murah, Bung; bahkan jauh lebih murah daripada gagasan. Sebagai seseorang yang bermulut besar, sadar betullah aku betapa murahnya omongan itu. Hey, kalau timbang bicara sok cerdas saja, tidak usah bermimpi melawanku, deh. Itulah sebabnya aku malu mengajar.

Kata orang kampung, yang di samping cangkir itu namanya roti; padahal 'kan biskuit.
Lalu kalau tidak mengajar, apa? Dari mana lagi aku dapat uang? Baiklah aku berhenti tepat di sini. Lebih baik kupuji-puji hujan ini, sementara memuja-muja Penciptanya. Hujan membawa kesejukan. Suasana teduh dan sejuk yang tidak mungkin ditandingi oleh cuaca tropis manapun. Memang begitu saja pilihannya. Atau panas, atau hujan. Keduanya membawa belas-kasih, keduanya membawa rahmat. Hujan dan panas, membawa suasananya masing-masing yang tersendiri. Hujan di sore hari, ditemani secangkir kopi dan perasaan hati yang rata-rata air, bagaikan kasih sayang seorang istri paruh-baya pada suaminya yang paruh-baya juga. Ketika hari telah menjelang senja, gairah yang menjompak-jompak tidaklah lagi menjadi bunga-bunganya cinta. Justru kasih-sayang antara dua insanlah yang menjadi suara utama dalam simfoni yang tengah bergladi-resik mempersiapkan sebuah nokturno. Ketika hari telah menjelang senja, maka yang ada adalah cinta seorang saudara kepada saudarinya, dan begitu juga sebaliknya. Saling mendengarkan, saling mengusap. Saling menenangkan, saling menyamankan, bagaikan gerisik daunan bambu ditiup sepoi angin , dibelai-belai matahari sore yang ramah. Titik-titik hujan sore hari adalah pengingat mengenai masa-masa yang telah lampau, bagaikan sepiring kecil kue-kue kering menemani sepoci teh dan cangkir-cangkirnya.

Jadi... bagaimana? Jadi, hentikan omong-kosongmu mengenai malu mengajar. Berhenti mengeluh mengenai mengajar, kau terdengar seperti banci tauk kalau begitu. Kalau mau jadi pamfletir, tulis pamflet untukmu sendiri. Sesukamu sendiri. Atau lebih baik lagi, jadilah go blogger. Alhamdulillah wa syukrulillah, aku sudah tidak perlu menulis untuk membeli roti. Sudah ada sumber lain, dari Allah, agar aku dapat membeli rotiku sendiri. Tidak hanya roti, bahkan doublecheese burger pun enteng saja sekarang. Makan Nasi Langgi dan Lontong Cap Go Meh di Satai Khas Senayan, sedangkan nasi cuma habis setengah dan ayam rong pethuthukan ditinggal begitu saja, itu pun santai saja sekarang. Alhamdulillah, meski jangan sampai jadi kebiasaan, membuang-buang makanan. [perkedel kentang tidak enak dan beberapa suap nasi uduk pun kubuang, besoknya] Lagipula, mengajar bisa menyenangkan loh; [apanya yang menyenangkan dari mengajar...?] yaitu apabila dari mengajar itu mengakibatkan... DUIT! DUIT! DUIT! [tiga kali, tiga digit?] Duit, tapi jangan sambil terus bekerja keras cari duit. Duit banyak, tapi sedang tidak bekerja; 'kan jadi bisa jalan-jalan menyusuri kali. Naik turun lanskap bergelombang, yang membuat jantung agak sibuklah bekerja; daripada menulis-nulis entah apa, seperti ini.

Btw, Prabowo 'tu berwibawa dari sebelah mananya sih?

No comments: