Saturday, September 30, 2023

Kutahu Ini Bunyi-bunyian Belanda. Dari Dulukah


Ketika jatuh sampai di bawah 30 itulah, bukan derajat melainkan persen, aku berhenti. Aku bahkan tidak berani mengakui di sini apa yang kuhentikan. Rasanya malu jika sampai ketahuan, dan jika begitu maka banyak betul kemaluanku. Haruskah aku tak peduli pada kambingku yang membandot, yang ingin membuat animasi dewasa, yakni yang berdarah-darah kental. Haruskah aku memompakan realisme sosial padanya sedang aku sendiri tidak begitu percaya. Maka kambing minta segera ke rumah ayahnya, meski masih belum pulang dari les bahasa Arab. Aku maklum...
Anak-anakku adalah anak-anaknya Janus, Azurat, dan 'Wak Karib, maka aku kembali ke 14 tahun yang lalu ketika aku merindukannya, ketika dedaunan musim gugur mulai berguguran. Aku suka di sini, tidak sampai kepanasan, namun jelas tidak kedinginan, karena keringat bahkan masih mengalir sepanjang batang leherku. Bisa jadi aku tidak akan pernah menjadi apa-apa kecuali diriku yang sekarang ini. Bisa jadi hanya ini yang kutinggalkan, tiap-tiap kali tujuh alinea ini. Orang-orang yang lalu-lalang ini, yang lebih banyak dari biasanya, bisa jadi selalu dan semakin banyak.

Hati-hati Amerika dan peluang-peluang memang berada dalam permainan panjang yang sama, tetapi urutannya tidak begitu; seharusnya disusul dengan menjaga cinta tetap hidup. Namun itu jauh lebih baik daripada tersesat dalam cinta, dalam bilik gelap entah yang mana. Kurasa Pram dan Bung Karno sama-sama filoginis. Aku jelas tidak, semata karena pujian dan kekagumanku mahal. Tidakkah kisah-kisah kepahlawanan itu melelahkan. Tidakkah kisah mengenai keseharian penuh kesederhanaan lebih mendukung produksi melatonin. Cuih, adrenalin tak pernah kusuka. 

Terang bulan, terang di kali, terang saja udara panas begini; sedang Cikumpa sudah tidak ada bunyinya sama sekali. Sungguh aku tidak menganggapnya sepele. Aku serius sekali mengenai hal ini, meski selalu kuragukan ketulusan minta ampunku. Kurasa jauh lebih tulus siapapun yang mengais rejeki di bawah perkasanya matahari, yang keperkasaannya bertahan bahkan sepanjang malam kecuali hanya beberapa saat. Selama ini aku selalu hati-hati memilih perkelahianku, seperti Ned Begay; menahan diri meski diseret dilempar keluar warung minum bilagáana.

Sudah setahun ini kemaluanku besar sekali karena terpaksa mengemis ke sana ke mari. Kini hanya satu harapku: Ini semua segera berakhir. Aku hanya suka di pojokan ruang kerja bersama ini, meski sebetulnya sebuah tempat makan. Itu bukan, jika memang mahal gaya hidupku, aku pasti sudah di ruang kerja bersama sungguhan yang mahal-mahal itu. Aku tidak. Di sini modalku hanya 20 sampai 50 ribu ditambah parkir sekitar lima ribu lagi. Jauh lebih kusukai daripada warung-warung kopi kemahalan. Di depanku masih ada risoles ragout ayam dan es teh hijau.

Lantas kerjaku apa, menjaga suasana hati tetap kondusif, menjaga kewarasan. Aku ini apa. Kolaborasi riset internasional. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Aku saja yang mengolok-olok segala sesuatu. Aku yang selalu murung dan bersedih sedangkan seluruh dunia diliputi keceriaan dan kebahagiaan. Jangan lupa bahagia adalah suatu ketololan yang nyata, sedangkan yang benar adalah jangan lupa bersyukur. Memang salahku mengarahkan pandang selalu kepada segala sesuatu yang membuat murung dan sedih, namun bukan berarti iaitu tidak ada, bodoh.

Hidup mengajariku, yang tampak bodoh olehku justru seringnya ceria berbahagia. Jadi tidak perlu khawatir jika kambing ingin membuat animasi dewasa berdarah-darah kental. Apa aku akan dimintai pertanggung-jawaban kelak di akhirat jika sampai begitu. Aku hanya harus memastikan cara hidupku, gaya hidupku, jalan hidupku sesuai dengan tuntunan Allah dan rasulNya. Syukur-syukur, anak-anakku mengikuti. Mereka sudah terlalu besar ketika ikut denganku. Tidak banyak pula yang dapat dilakukan. Ya, entri ini hampir koheren meski tetap saja esai puitis.

Monday, September 25, 2023

Ini Macan Botak Menari, Menyanyi Menyayat Tahiti


Harus segera kutulis di sini, sebelum suasana hati berubah, bahwa aku menyusuri jalan profesor Johan H. Bavinck, setelah sebelumnya keluar dari pintu rumah Hadi ke arah kanan, ke pintu belakang, melintasi parkiran. Dari situ sampai bunderan, lanjut ke jalan Eleanor Roosevelt sampai di Albert Heijn Westerlijk Halfrond, membeli teh Lipton peningkat kekebalan tubuh dan madu termurah. Betul aku melewatkan musim panas terdahuluku di Belanda di sekitaran itu, namun tidak sepanas ini. Aku tidak ingat berkeringat sampai basah-kuyup begini di sana, tiga tahun lalu.
Dari waktu ketika Parul belum jadi dekan, masih dengan laptop raksasanya, setidaknya 17 inci. Edan apa, masih ditambah pelantang aktif beserta gonggongan bawahnya sekaligus. Meski seharusnya waktu itu ada Fujitsu, mungkin bukan itu yang kupakai untuk menunggang video-video musik dari mbak Deborah Gibson, dari 26 tahun lalu. Aku tidak suka, seperti halnya mas Toni, kriminal yang di udara, kataku sambil menuding langit dan menyeringai seakan kejijikan: Padahal terlihat kurang waras. Astaga, mana terbayang ketika itu hidupku akan begini rupa: Sekeren ini.

Aku tidak mau ke mama-mama, apalagi ke mana-mana. Terlebih ketika nasi goreng lengkap dengan bakso, sosis, potongan ayam goreng besar-besar, masih ditambah telur dadar, masih dengan sambal tomat segar, tidak berubah rasanya setelah lebih dari 30 tahun. Anak-anak tolol yang dulu memakannya sekarang sudah jadi bapak-bapak botak gendut yang tidak kalah tololnya. Masih teringat olehku bergelas-gelas es teh manis berjajar di atas rak, siap menemani sepiring nasi goreng lengkap atau polos. Ketika itu aku hampir selalu tauge goreng atau laksa plus gorengan.

Baru kusadari, pukulan cak dan cuknya, terlebih cellonya, tiada asyik, jika saja tidak ditutup oleh ensembel biola yang lumayan cantiknya, seperti sang penyanyi Kartina Dahari, yang mirip istriku. Aku berjalan dari plaza sentral menuju plaza semanggi, naik taksi menuju rumah Radio Dalam, meninggalkan kamar kosku terkunci. Adakah kubawa bersamaku Fujitsu, aku lupa. Jelasnya, kamarku rapi, mungkin sedikit harum. Kamarku selalu rapi, meski mungkin terkadang ada bau-bau kurang sedap. Kakusku tidak pernah yang terbersih, namun bukan jarang pula kusikat, kuberi kamper.

Di paruh kedua dekade 2000-an membuka warung kelontong kecil yang pada awal dekade 2010-an berubah menjadi tempat menjual berbagai pernak-pernik wisuda. Anak-anak ini tidak pernah berhenti mengecil dan terus bertambah kecil, tapi lagaknya memang tidak pernah kurang sedikit pun. Gaya-gayaan mewawancara adik-adiknya, aku tidak yakin anak-anak ini belajar dengan baik di ruang kelas atau di rumah. Apa lantas kupercayakan masa depan hukum Indonesia pada anak-anak kecil ini. Nyatanya, abad ini adalah milik mereka, Aku sendiri lahir di Abad ke-20.

Persembahan untuk paduka yang anggun serta ceria ini ternyata hanya keluar dari sebelah pelantang, aku tidak pernah benar-benar menyadarinya sampai sekarang. Hanya ke depan, tiada menoleh ke belakang. Tiada jalan kembali, semua menuju ke muka. Aduhai, ini mengerikan. Apa begini akibatnya jika dicopot tanpa dilepas terlebih dulu. Besar pula kapasitasnya, sayang sekali. Mungkin itulah sebabnya alat ini tidak dilengkapi dengan penyimpanan dalam yang besar. Entahlah. Biar suatu hari nanti kubaca alinea ini, pun aku sendiri tak paham maksudnya.

Aku yakin tidak akan banyak berbeda sensasinya, karena itu hanya ada dalam khayalan dan persepsi belaka. Jika terbentang itu sealami-alaminya tentu menguarkan bebauan hutan belantara, yakni, dedaunan membusuk yang khas harum wanginya. Belum lagi desahan dan jeritan mahluk-mahluk hutan ketika pagi baru saja menjelang. Menetes tak henti-hentinya embun bening dari ujung biji-bijian, mengalir menderas membasahi dahaga tak kunjung terpuaskan. Entah mengapa, lebat-lebatnya menawan hati, mencengkeramnya sampai tertanam dalam daging, mengalir darah.

Thursday, September 21, 2023

Malam yang Dingin Aku Menyendiri. Dingin-dingin


Dengan nostalgia ini aku terhenyak, kepalaku meneleng ke kanan belakang tanpa kusadari. Aku langsung mengetik meski belum ada pemegang tempat, belum dirata kanan-kiri, belum diberi gambar. Namun judul sudah, dan begitu itu judulnya. Aku tidak betul-betul sendiri, maka kukata menyendiri. Seperti biasa, pada posisi ini, maka dapat kurasakan sejuknya udara malam, istriku berbaring-baring sambil main henfon di ranjang. Uah, tiba-tiba saja aku terlempar ke suatu senja kala nada yang prospeknya sangat tidak cerah. Malam ini aku tidur berteman halelepah!
Ini, jika kau peduli, adalah almarhum Tjahjo Kumolo Nimbo Kalihewu
Apakah melodi-melodi ini yang biasa menemani pemandangan indah dari negeri-negeri yang jauh atau ruangan-ruangan cantik, sedang bapak tidak lama lagi akan terbangun dari tidur siangnya. Aku tak sanggup, karena hidup memang terus melaju ke depan. Adakah harapan akan terwujudnya dambaan-dambaan, maka biarlah kubiarkan rambut tipis seadanya digerai di depan clavicula, yang merupakan karpet merah menuju buah dada, menurut ibu Fowler. Mengapa berpayah-payah, cukup ingat Yahudi Italia yang mati demi anaknya sampai dapat tank sungguhan; setidaknya naik.

Uah, akhirnya berakhir juga dua bar yang diulang-ulang entah berapa puluh kali, dilanjutkan dengan melodi yang tak terantai. Jika dimainkan seperti ini, suasana apa yang dibawanya. Meski botak tambun menjijikkan begini, aku masih laki-laki, meski rayapku mati. Apa yang kulakukan semata-mata untuk diriku sendiri, meski yang kuinginkan sekadar rasa nyaman. Tak lagi kutemukan kesenangan dalam hati berdebar-debar. Apakah karena memang aku terlahir pengecut dengan perut yang lemah mudah bergolak. Apa nyaliku sebesar biji sawi, apa pentingnya semua ini.

Guratan, tarikan artistik, estetik, semata keindahan yang tercerap panca indera, ketika leher jenjang dipertontonkan oleh tutup kepala ibu-ibu pengajian. Untunglah melodi sedap ini membawaku pulang ke masa kecilku, ketika semur tahu dan sop kacang merah adalah surga firdausku. Terpisah jauh sekali sambil memejamkan mata mencoba membuat semuanya masuk akal, segala sesuatu yang terjadi dalam rentang lima windu. Justru kemasukan akal, seperti dorongan naluriah untuk melebarkan paha; kemasukan ular kasur sebesar lemper. Terasa asing aku.

Ternyata tidak, memang sudah lama saja tidak bersua. Aku menari-nari berputar-putar di bawah guyuran kelopak bunga jingga muda. Wajahku tengadah tanpa tuntutan apapun, gugatan apapun. Bahkan jika terhidang di depan hidungku pempek dengan sedikit sekali tepung tapioka, sedangkan hampir seluruhnya dari daging ikan tengiri bahkan belida, dengan kuah manis-manis legit dan cuka yang tidak mengiris dinding lambung, aku memulainya dengan mengendap-endap, untuk kemudian lari cepat-cepat. Memang seingatku di sini ada dua ini yang model begini. 

Kegurihan adalah kata benda, bukan kata sifat yang artinya terlalu gurih dengan konotasi negatif. Aku kembali memejamkan mata untuk menghadirkan tiada sesiapa, mulai berlari, awalnya berjingkat-jingkat, akhirnya lintang pukang. Justru di waktu-waktu seperti ini engkau harus melaluinya dengan berlalu tanpa bertalu-talu. Segala kelezatan itu hanya tipuan khayalmu, seperti fatamorgana bernama Elvira Madigan yang mengajak mati seorang perwira kavaleri, bangsawan pula. Gurih-gurihnya hanya tetes-tetes air comberan penuh sisa-sisa nasi, mie, serta biji cabai. 

Kuangkat telunjukku tinggi-tinggi, tidak kurahkan ke depan seperti sedang meruqyah. Aku tidak peduli lagi apakah ketiakku terpampang jelas, apakah penuh berambut dengan bulir-bulir peluh di sela-selanya. Aku tidak peduli, sebagaimana tiada yang peduli apakah aku kesepian malam ini atau adakah yang kurindukan. Tak satupun rindu padaku, maka kukerutkan kening seakan berpikir keras, padahal mencoba mengirim pesan melalui telepati kepada siapapun yang sudi merindukanku dengan sedahsyatnya: Apa studi hukum adat memelopori studi ekonomi politik.

Sunday, September 17, 2023

Cerminan Alasan Asal-asalan: Keselesaan Semenjana


Adanya aku bisa menulisi lewat tengah malam begini, ada ikan sili alias belut api (mastacembelus erythrotaenia). Itu, di bawah itu, sudah mati karena berenang dalam minyak sawit panas. Sudah lama juga aku tidak mengetik di Lenovo AIO 520 ini, terlebih sambil bersenda-gurau di salju. Posisi meja tulis di sini menjadi sangat tidak enak gara-gara tetangga belakang mendirikan tembok tinggi sekali di hadapannya. Padahal dahulu, sambil mengetik di sini, aku dapat memandangi rumpun bambu mengering di tepi sungai seberang sana. Itu sudah delapan tahun lalu.
Lantas mau apa aku tengah malam begini, pandanganku tertumbuk pada gudang karena semua rumah kurasa perlu ada gudangnya. Apa mau meratapi nasibku tak beranak atau apa lagi. Kursi tetap kursi meski tidak ada yang duduk di atasnya, namun rumah bukan rumah kalau di dalamnya tiada yang memelukmu erat dan mengecupmu selamat malam. Aku menghangatkan badan di malam yang sudah hangat ini dengan secangkir teh tarik tanpa serbat jahe jintan hitam. Dikerok sisiknya hidup-hidup pasti lebih sakit daripada dikuliti, sungguh malang nasib ikan nila.

Entah bagaimana tadi ketika menyongklang VarioSua sedangkan udara malam berkesiuran di muka, aku terpana pandangan cinta. Ketika itu aku masih sangat remaja dan udara malam lebih dingin dari ini. Aku di antara Graha 17 dan 18. Waktu itu kurasa sudah ada isinya, tidak seperti setahun sebelumnya atau lebih ketika seekor katak pohon terbang melintas tepat di depan wajahku di Graha 13. Ingatan-ingatan ini tidak ada gunanya bagi kawan-kawan yang sama-sama mengalaminya. Ya, hanya ingatan-ingatan inilah kawan sejatiku, satu-satunya yang s'lalu setia menemani tiap waktu.

Aku bahkan tidak bisa mengingat dengan tepat seperti apa tahu bakso buatan bu Karim, mbak Anik, dan mbak Henny. Sudah barang tentu ada bakso lengkap dengan mie kuning dan bihunnya, juga sawi, tak lupa saus tomat yang sangat bersahaja, kecap manis, dan tentu saja sambal. Selain itu tentu saja mie instan yang bisa dipesan lima bungkus jadi tiga mangkok, yang membingungkan mbak Henny. Uah, masa-masa ketika hidup belum diharu-biru romansa. Surat selalu kepada dan dari ibu, mana kutahu jika hidup percintaanku, seperti hidupku, ternyata menyedihkan.

Entah mengapa di titik ini aku terhisap ke waktu ketika sepatu olahragaku kanan semua beda nomor pula. Entah bagaimana aku menyalahkannya untuk semua kekusutanku selanjutnya. Padahal, ketika aku masih memimpin suporter bersama mentor Oni dan mentor Samsul, sepatuku masih baik-baik saja. Apalagi ketika aku masih jadi atlet lempar cakram, aku rajin berlatih hampir setiap sore. Perubahan dari tenor drum menjadi bellyra juga sering kusalahkan sebagai biang keladi, maka kupilih flute bahkan piccolo; pikirku lebih berguna untuk bermusik selain drumband.

Selebihnya adalah besame mucho yang pukulan bass drumnya menggelikan, meski aku juga tidak suka versinya sekarang yang ikut-ikutan Akademi Militer. Aku ingat kawan-kawanku berebut alat. Aku yang rumput sepenuhnya di kelas tiga itu tentu lebih suka tidur-tiduran. Takwa tidak ikut karena dia tetap seorang polisi keamanan sekolah sampai lulus. Bagianku adalah memijat ibu jari Ari Prihantoro sang panatarama yang terkilir gara-gara memutar-mutar dan melempar-lempar stik. Aku tidak habis pikir betapa panatarama kedua bergabung dengan korps keuangan.

Maka kini, gara-gara aquamarina, aku kembali ke jalan Yado II bahkan ketika aku belum lahir, atau setidaknya masih kecil, ketika di puncak tiang listrik besi masih ada gelas-gelas kecil berwarna kehijauan. Lalu aku terlempar jauh sekitar dua puluhan tahun ke pantai panjang yang selalu membuatku sedih, karena ia membuat bapakku sedih. Mungkin aku harus mengeraskan hati, jika aku tidak pernah melakukannya sebelumnya, maka inilah waktunya. Jika sampai begitu, maka ini gara-gara bualan tolol di tepi parkiran motor McDonald's Kartini, Depok sambil minum es teh leci.

Wednesday, September 13, 2023

Mengenai Apa Ini Semua: Cintaku, Kesetiaanku


Entah sudah berapa banyak Allah mengaruniakan malam-malam seperti ini, yang nyaman dan menyamankan, sehat dan menyehatkan. Ada waktu-waktu untuk malam-malam tak berangin seperti ini, sedangkan udara hangat. Terlebih bila kau minum air hangat untuk membasuh madu bercampur mint dan rempah-rempah lainnya, keringat bercucuran dari belakang kepala, batang leher, dan dada. Jika sepanjang siang tadi angin bertiup lumayan kencang, itu juga seperti hari-hari yang telah lalu. Teriknya matahari kemarau memanggang udara dan jua tanah selebihnya.
Gebukan Dave ini gunanya untuk menindas. Dentaman Kris ini untuk melindas. Raungan parau Kurt untuk meluapkan rasa yang tidak pernah ada. Begitulah aku memandangi mesjid persaudaraan Islam dari arah utara, sedangkan pemuda berbaju-kerja hijau fluoresen menyapu pelataran pemberian bang Yos dan istrinya. Bau-bau seperti jiwa remaja ini seperti menarik-narik pergelangan kakiku, seperti belenggu budak, agar kembali ke masa remajaku yang sedang-sedang saja senangnya. Aku remaja yang terobsesi berbakti kepada orangtua, meringankan bebannya. 

Ini semua terhenti gara-gara kedatangan Togar Tanjung. Aku memang tidak pernah punya dan tahu prioritas, sedang Yusuf Islam meraungkan hubungannya dengan bapaknya dengan suara parau. Tidak bolehkah aku, ketika malam merayap mendekati tengah-tengahnya, menyelesaikan entri yang tiada pernah berarti. Seperti diriku ini, tiada arti, meski tidak akan kubiarkan begini sampai 'ku mati. Seperti menjelang petang tadi melihat anak-anak kecil berbicara mengenai kejahatan negara, september hitam, menolak lupa. Apa dayaku mencegah anak-anak ini berbuat sia-sia begini.

Maka aku kembali dari mana aku mulai, dengan gebukan, dentaman, dan raungan Dave, Kris, dan Kurt; dan kuganti kembali semuanya menjadi hitam, sehitam kepahitan yang menyumbat pikiran. Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya sedap, nikmat; yang tersisa hanya pahit, getir. Terkadang terasa sedikit manis ketika seorang anak kecil yang malang hidupnya membanggakan kacang kastanye yang tumbuh di halaman rumahnya yang sudah lama ditinggal kosong oleh kedua orangtuanya. Ia sendiri terpaksa ikut orang-orang asing yang menyayanginya. Syukurlah.

Memang harus seperti ini bunyinya berkembang-biak. Memang sudah pada tempatnya kauledakkan kepala celakamu itu, Kurt. Kau pasti tahu kau cerdas, namun siapa yang peduli pada kecerdasanmu yang buatan Sang Pencipta. Orang lebih peduli pada kecerdasan artifisial. Dalam keadaan seperti ini, terbit keinginan untuk mengarungi badan air yang besar ke tengah-tengahnya tanpa peduli kelelahan, tanpa takut tenggelam, tak mempedulikan apapun. Itu jauh lebih baik daripada merokok banyak-banyak, uah, terlebih menenggak alkohol berbotol-botol berkaleng-kaleng.

Bukan jarum super yang kurindukan melainkan sempurna raja yang merah tentunya. Tak pernah terpikir olehku saat itu ia akan dapat menyakitiku. Kupikir saat itu sakit hanya ada dalam hati dan perasaan saja. Sakit tidak mungkin terasa di badan, ketika lelah saja tidak pernah lama hampir. Aku tidak pernah menjadi atlit, hanya saja aku pernah muda. Sedap nikmatnya permen akar manis obat batuk, hitam-hitamnya dikulum-kulum tiada habisnya, apapun mereknya. Matang sempurna, jangan setengah mentah, dagingku dibakar api telanjang berpenghantar.

Tidak apa-apa. Memang hanya itu sikap yang tersisa ketika daging bahkan tidak tersentuh api, atau seringnya malah tidak mungkin disentuh bahkan dengan imajinasi dan ilusi terkuat sekalipun. Tidak apa-apa, sambil menyeringai tolol, seakan memandang matahari lubang hitam tepat pada tengah-tengahnya yang hitam seakan lubang tak berdasar namun di atas sana, di khayangan dewa-dewi dan bidadari. Kau kira aku lupa minum obat, padahal ini bukan puisi atau prosa liris. Ini seperti ketika roket doktor Zharkov masuki atmosfir planet mongo, tom bayi digebuk-gebuki.

Tuesday, September 12, 2023

Legendaris Tiga Bapak-bapak Berpelir Ta' Bersarung


Entah mengapa, lagumu selalu menghanyutkan perasaan jiwaku sampai di persekitaran juragan sinda pada awal Abad ke-20. Pada ketika itu, jangankan punya apa-apa, diriku pun aku tak punya. Hanya jalan pintas melalui apa yang sekarang menjadi pesantren al-Hikam II menuju rumah petakan yang kutekuri entah siang atau malam. Ada rasa takut menyelinap, namun mungkin itu sekadar peringatan untuk tidak membiarkan perut kekenyangan. Jika saja aku punya waktu, semua itu akan kumiliki. Semua apa dan mengapa harus dimiliki. Mana legendaris. 
Batang pelir bersarung, dipotong-potong melintang, ditumbuk halus dikeringkan.
Bapak pertama duduk menekuni pekerjaannya di tepi jalan raya yang ramai. Di atas kepalanya ada terpal yang disangga dan ditulangi oleh batang-batang bambu, sehingga ia teduh dari amarah matahari yang membakar. Ia duduk mengampar di atas selokan bertutup beton, mengenakan batik yang lumayan rapinya. Tiba-tiba aku terhenyak, bagaimana kalau ia terbiasa kerja kantoran. Di sekelilingnya berbagai sampah yang tertata rapi seakan peralatan kantor di atas sebuah meja tulis. Ia tampak sibuk menggaris-garis dan menulis-nulis, bak semenjana.

Bapak kedua memarahi anak perempuannya--yang kebetulan, seperti ibunya, sedap dipandang mata--karena menghisap uap beraroma. Anaknya ini, sebagaimana kedua orangtuanya, berbakat di bidang hiburan: menari, menyanyi, menjual barang dan jasa, digemari remaja tanggung dan bapak-bapak tak tahu diri, membangkitkan khayal yang tidak-tidak mengenai kehidupan suami-istri atau sekadar kesenangan birahi sesaat. Bapak ini, selain dipuji dan dipanggil haji, juga dicaci karena menyuruh anaknya untuk menyukai apa yang disukainya. Mana salahnya.

Bapak ketiga dan terakhir tidak neben tetapi untergeordnet terhadap diri-rendahnya sendiri. Tahi upilnya selalu menguarkan bau yang sesungguhnya tak sedap namun, justru itu, memabukkan dan membuat ketagihan. Ia mengurut-urut batang pelirnya yang telanjang, karena jika masih di balik celana maka itu namanya menggaruk-garuk; meski seringnya kena kantong menyan yang gatal selangkangan. Ia menghina pluralisme hukum dan terjun bebas membuta ke dalam neo receptio a contrario yang kemungkinan besar tidak didukung bukti empirik solid.

Jika bapak pertama sampai bertemu bapak kedua, mungkin tidak akan terjadi interaksi terlebih transaksi apapun. Bapak kedua kemungkinan akan berlalu saja di mobilnya yang lumayan bagus berpendingin udara tanpa pernah menyadari keberadaan bapak pertama. Bukan berarti bapak kedua jahat atau tidak punya empati sosial. Dalam legendaris ini, saya hanya tidak mau merepotkan beliau jika ternyata tidak berkenan. Bisa jadi juga, entah bagaimana caranya, empati sosial bapak kedua lebih besar dari saya. Bisa jadi ia seketika mengaruniakan perhatian pada bapak pertama.

Nyatanya, dua kali bapak ketiga berlalu di hadapan bapak pertama, tidak terjadi interaksi apalagi transaksi apapun. Memang sempat terlihat sekantung penuh kopi sasetan yang kelihatannya masih ada isinya. Mungkin ada orang baik yang ingin bapak pertama lebih semangat mengerjakan apapun yang tengah dikerjakannya, dengan memberinya beberapa bungkus kopi beserta gulanya sekaligus. Namun bapak ketiga tidak melihat sedikit pun ada termos atau dispenser air panas. Jadi bagaimana bapak pertama menyeduh kopinya tetap menjadi misteri kini.

Sementara itu, kemungkinan bapak kedua dan ketiga sama-sama tidak berminat untuk berinteraksi dan bertransaksi. Kehidupan mereka mungkin sangat jauh berbeda, bahkan bertolak-belakang. Yang ada, mengutip Bayu Vita, bapak ketiga iri pada bapak kedua yang dikaruniai anak-anak perempuan, yang mau mengecup pipinya, meski minta uang seratus ribu rupiah untuk setiap kecupan, totalnya dua ratus ribu rupiah dua kali kecupan. Namun sudah barang tentu itu bercanda. Bapak ketiga hanya berteman buku harian digitalnya yang tolol seperti dirinya. Itu saja.

Saturday, September 09, 2023

Jika Bukan Kamu Orangnya, Kutahu Kususu Kamu


Aku hanya mencoba mengingat-ingat, seperti apakah November 2002 itu; waktu ketika belum ada macan gondrong. Seharusnya sudah hujan, dan betul saja 'kan; hari pertama Ramadhan jatuh pada 6 November. Jadi kurang sebulan setelah rasanya mau mati, sudah masuk Ramadhan. Sebanyak itulah kurang lebih waktuku untuk mempersiapkan Ramadhan 1423 Hijriyah. Masya Allah, sudah lebih dari dua puluh tahun lalu. Pada 10 Oktobernya, seingatku, udara masih panas. Aku masih ingat, keesokan harinya, Jumat, melangkah perlahan ke Masjid al-Falah di terik matahari.
Aku tidak ingat rincian Ramadhanku pada 1423 Hijriyah itu, namun aku ingat lebarannya. Beramai-ramai ke rumahnya Siwo di Kukusan bersama mas Babas. Shalat Jumat di mesjid entah di mana bersama almarhum bapak. Entah bagaimana caranya, sampai di kampus, seingatku di dekat telepon umum yang sekarang ATM BNI itu aku mencoba merokok lagi. Seingatku Sampoerna Mild. Seingatku tidak habis satu batang sudah kubuang. Pulangnya pasti ke Radio Dalam lagi. Lucu sekali betapa orang bisa mengingat beberapa hal sedangkan hal-hal lain lupa. Ya begitu itulah.

Tidak perlu jauh-jauh ke empat puluh tahun lalu, dua puluh tahun lalu saja sudah sedemikian melangutkan. Terlebih jika kau menyadari tidak punya banyak teman kecuali buku harian digital ini, yang disimpannya entah di mana. Aku bahkan masih dapat merasakan ketika memulainya. Dingin-dinginnya LKHT bekas M-Web, kubikelnya Dedi, tempat mengetik di radar angkatan udara republik Indonesia. Aku tidak ingat udara panas membakar di 2006. Aku ingat betapa pertengahan 2005 udara panas membuat sakit. Naik angkot dari daerah Pasar Rebo, pulangnya aku sakit. 

Tak kuasa kuragakan, kusandi apapun. Hari ini melelahkan terutama secara mental. Hampir saja judul entri ini tiga serangkai teh leci, mangga, thai. Entah mengapa aku kembali di awal 1996 itu, dalam perjalanan menuju billy and moon. Aku menginap di sana, dan entah mengapa Sampoerna King menyeruak dalam ingatan. Apakah sekitar saat itu juga menginap di Jakarta empat. Belum lagi dua puluh tahun usiaku saat itu. Kurasa bocah-bocah cilik jaman sekarang tidak lebih bodoh dari diriku ketika itu. Kemayoran juga, entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu.

Maka mundurlah aku ke masa-masa ketika aku seumur Adjie sekarang. Siapa benar temanku pada saat itu. Aku pernah ke rumah Maulana di tanjung duren untuk memakan duren benar-benar satu panci dengan roti tawar satu loyang. Selalu itu saja ingatanku, selain pulang naik patas 24 di sore hari berhujan. Bahkan ketika berjuang menghabiskan duren di tanjung duren itu pun juga hujan. Lantas mengapa aku pernah dicakar-cakar maulana sampai luka-luka wajahku. Adakah karena aku menolak memberinya contekan lagi dan justru mengejeknya malas bahkan... bodoh.

Itulah juga waktunya ketika aku entah melempar entah menendang biji salak sampai terkena Dewi Puspita Rini pada dahinya. Ia marah padaku, tentu saja. Namun, entah bagaimana, rasanya kutahu marahnya pura-pura. Benar saja ketika kelas dua ia menyatakan cintanya padaku. Ini juga harus ditulis di sini. Aku menciptakan kata kerja baru dalam bahasa Inggris, yakni "vaque", bahkan kuberi -ing menjadi "vaqueing". Ini memang semacam "This is my book. I am buying this book is in Pasar Anyar". Mengapa aku tak bisa lupa yang seperti-seperti ini, kemaluan ini.

Juga ketika mentor Daymond Iwan dan mentor siapa aku lupa, pokoknya AAL 42, menangkapku sedang nyoro di gedungnya anak elektro atau suplai. Sebenarnya aku tidak suka ingatan yang tidak sempurna dan tidak akurat begini. Namun karena saking memalukannya kutulis juga. Aku memang suka mengingat-ingat kemaluan-kemaluanku. Rasanya seperti mengendus-endus kotoran kuku kaki, menghirupnya dalam-dalam, bahkan menggigit-gigit, mengunyah-ngunyahnya, bahkan menelannya. Sampai bapak-bapak di sampingku menjengit kejijkan melihatnya hahaha

Tuesday, September 05, 2023

Biduanita Biduran Diberi-beri Vidoran Victoria-ria


Aku sudah kenyang tolol gara-gara macanku kakao. Memulai hari dengan.. Uah masa begini terus memulai entri. Apa harus puja-puji bagi Liz Pisani. Apa harus kuceritakan pesan instan Laurens. Apa komentar Prof. Agus Sardjono bahwa bentukku sudah seperti Buddha tertawa. Aha, ini boleh dicatat: hidangan ulang tahunku adalah nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya untuk seratus orang! Paling patut dicatat, di antara tebaran lauk mengelilingi tumpengan itu, ada dendeng sapi manis. Lantas ada juga tape ketan hitam. Untuk ini semua aku dibangunkan si Sopiwan.
Apa benar yang mendorongku menulis entri. Jika deskripsi mendetil Liz Pisani, seharusnya aku malah memulai menulis buku. Namun kau tahu 'kan, menulis buku itu tidak pernah semudah yang Nobita kira. Jadi Nobita tidak usah ikut-ikut menulis buku, ya. Ini jauh lebih lucu daripada rindu itu berat, biar aku saja. Aku memang begitu. Mainan yang dipajang di toko-toko memang banyak yang menarik hati. Namun aku lebih suka mainan yang kubuat sendiri. Seperti sekarang ini, mungkin ada bacaan hebat selain buatan Liz Pisani, tapi aku ingin membuat bacaanku sendiri. 

Tadi, ketika aku memarkir VarioSua, hampir saja entri ini berjudul ruang kerja bersama, atau setidaknya ada itu dalam entrinya. Kurasa sekarang memang ada, karena ruang kerja bersamaku ini aduhai kosong dan nyamannya. Betapatah bila tempat ini penuh sesak, hiruk-pikuk. Mungkin para penjual makanan di sini akan kesenangan meski sibuk bukan buatan, sementara aku dibuat tunggang-langgang karenanya. Wajarlah jika goggle translate mengira aku menulis dalam bahasa Melayu. Bahasaku balai pustaka begini. Jangan seperti pak Tanto yang kena apa, bukan mengapa.

Jadi kapan menulis buku-buku. Kapan berusaha memulihkan harga diri. Hidup itu berarti jika ada macan yang menemani, tidak untuk ditunggangi. Dokter Yusrizal Abubakar mengenaliku sebagai macan di antara kambing-kambing. Ia mungkin bukan macan, mungkin bukan juga binatang-binatang yang gagah dalam khayalan orang. Namun yang jelas ia adalah seseorang yang, tidak sepertiku, berdaya sintas tinggi. Kepalanya yang sudah botak sejak lima belas tahunan lalu, sedang aku masih agak lumayan berambut, menandakan itu. Selamat untukmu sekeluarga, Dok. 

Aku menulis entri sambil mengurus berbagai hal dari dunia nyata. Mengapa harus ada nyata dan khayal, mengapa harus ada cinta-cintaan. Tidak bisakah hidup seperti putri Mikum yang tadi pagi kuusir gara-gara ia sekadar mencari kehangatan di bangku bambuku, di tumpukan barang-barang yang sudah seperti sampah. Ada sebuah kisah mengenai dua kota di situ, oleh Charles Dickens. Ada berpikir ke depan oleh pak Teddy yang salah satunya berisi Maria Elena asal bunyi. Aku berkacamata menghadapi buku kromku seakan-akan sibuk berkarya; cuma mengitiki ketiak sendiri.

Tadi sempat juga terpikir untuk menulis mengenai Yogya. Sudah berulang kali kukatakan aku tidak menyukainya, jika yang dimaksud adalah kota tempat Katon Bagaskara pulang dan menangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu, tiap sudut menyapanya bersahabat penuh selaksa makna. Bukan yang itu. Yogya yang kumaksud adalah ruang kerja bersamaku ini, yang jangankan terisi penuh, setengah penuh saja kurasa belum pernah. Itulah yang membuatnya nyaman. Terlebih berjaket pemberian adinda Savit begini. Pendingin udara di sini tidak sejahat di manapun di kampus.

Sebelum kuakhiri, ada baiknya menyapa Farid Kusmasai. Entri ini juga tadinya hampir menjadi surat untuknya. Entah apa yang membuatku membatalkannya, menulis surat kepada Farid. Menulis surat itu jauh lebih intim, jauh lebih mencurahkan hati melangutkan jiwa, dibanding berpesan instan apalagi bertelepon. Aku sudah lupa rasanya bertelepon dengan seorang perempuan yang kepadanya aku tengah jatuh cinta. Cintaku pada istriku cantik sudah tidak jatuh. Kami sudah berdiri berpelukan seperti dua ekor kukang di tengah kejamnya dunia, dingin menjelang dini hari.

Menari-nari Bolu Meranti, Mencari-cari Jatidiri