Friday, January 11, 2013

'Ku Ingin Jadi On... 'Ku Ingin Jadi Oncom!


Ini adalah cangkir kopi keduaku hari ini. Yang pertama tadi kuberi susu kental manis. Yang kedua ini cukup gula pasir satu sendok teh. Kopi hitam, karena aku ingin berbicara mengenai UANG! Uang adalah satu-satunya motivasi bagi sebagian sangat besar, bahkan terbesar, mahasiswa hukum, di manapun! Sisanya? Kekuasaan. Yah, meski, ya meski, ada saja yang punya aspirasi aneh-aneh seperti ingin menjadi guru TK atau apalah... meski, entahlah, kali ini aku menuduh-- sebenarnya, pada dasarnya, mereka tetap menginginkan kemapanan hidup; atau setidaknya, identitas mereka sebagai warga terhormat kelas menengah dalam masyarakatnya janganlah sampai hilang. [ribet banget kalimatku ini] Tapi UANG, di duniaku ini, siapa yang paling suka uang, dialah yang paling sukses; atau, sekurang-kuranganya, siapa yang merasa bahwa banyak uang adalah konsekuensi paling logis dari upaya, setidaknya, mempertahankan identitas kelas, dialah yang paling sukses. Orang-orang seperti Rapin Mudiardjo, Redynal Saat dan sejenisnya itu, aku yakin, bukanlah orang-orang yang rakus duit. Mereka sekadar menyadari dan menghayati hidupnya, sebagai lulusan FHUI nan jaya fakultas mereka tercinta, FHUI jaya. Yang seperti mereka ini banyak sekali, kurasa, mayoritas yang sangat besar proporsinya dari populasi lulusan FHUI.

Sedangkan aku... aku ingin jadi on... aku ingin jadi ONCOM. Tidakkah kau lihat aku sudah tidak sabar lagi menunggu? T'lah kujadikan sendiri sebagai tujuan hidupku untuk membenci UANG. Hey, jangan salah, bukan uang yang Rupiah atau Euro atau Dollar itu-- kalau itu aku sih suka; melainkan the very concept of MONEY itself, bahkan sebagai alat tukar itu sendiri, terlebih sebagai alat menumpuk kekayaan, terlebih sebagai barang dagangan! Naudzubillah tsumma naudzubillah! Kuselipkan selalu --dalam kotbah-kotbahku mengenai Hukum Koperasi-- kebencianku kepada ekonomi uang. Kusentil di sana-sini betapa segala kekacauan ini terjadi ketika pertukaran yang jinak lantas bergeser menjadi pertukaran komersial. Aku jadi ingin tahu, kalau aku cingcong beginian, dicatat atau tidak ya oleh mahasiswaku? Dan betapa menderitanya hatiku ketika menyadari apa yang kulakukan ini tidak lebih dari racauan orang mabuk; meski Guru Nankai pun seorang pemabuk. Dan betapa pilu hatiku ketika menyadari bahwa sedikit sekali kelonggaran yang tersedia bagi suasana batinku untuk mencapai keselarasan dengan daya yang kuperlukan untuk membuatnya menjadi lebih dari racauan orang mabuk. [suatu kalimat yang berlari luar biasa cepat!] Apakah aku harus membuat sudut pemujaan bagi Ida Batara Boeke agar aku mendapatkan berkahnya, sehingga mampu meneruskan perjuangannya?

Gambar 1. Pancasila secara skematik
Jika demikian, maka seharusnya aku menyadari bahwa yang kulakukan, yang kuimpi-impikan selama ini tetap sama, yakni menyabot FHUI nan jaya fakultas kami tercinta, FHUI jaya. Mungkin bukan FHUI itu sendiri, melainkan FHUI buatan Charles Himawan --why do I single him out? Whatever, eh-- dan pengikut-pengikutnya. FHUI, sesuai nama yang disandangnya, harus menjadi pusat pembelajaran Hukum Indonesia,  yaitu suatu hukum yang ber-bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, [Tidak mengerti Sansekerta? Sama. Saya juga] atau ber-Laa Ilaha Ilallah Muhammadar Rasulullah, atau, jika kita gunakan saja bahasa nasional kita, suatu hukum yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena jika sudah ber-Ketuhanan, dengan sendirinya hukum itu akan ber[peri]kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk mencapainya, maka bangsa ini harus dipersatukan dalam suatu negara, negara mana diberi nama Indonesia --yaitu nama yang disandang fakultas kita, universitas kita! Negara ini harus diselenggarakan sebagai suatu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; karena hanya dengan cara itulah akan terwujud suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial adalah keadilan yang beradab! Tidakkah kau perhatikan betapa akhirnya 'adil' dan 'adil' bertaut? Jika jasmaninya adil, ruhaninya adil, maka mudah bagi manusia untuk memahami Keesaan Tuhan.

*Ralat: Gambar 1 "dari dalam" dan "dari luar" tertukar tempat

Thursday, January 10, 2013

Berpikir dengan Hati, Merasa dengan Jantung


MR. M. Yamin. Memang tiada
ganteng Bapak ini.
Paling sedih kalau seperti ini, menulis entri tidak pada harinya; karena pada harinya, tidak ada satu pun yang --jangankan menyemangati-- mengijinkanku menulis entri saja tidak. Sedih, karena satu-satunya yang sahih, yang absah untuk ditulis dalam entri adalah apa yang kurasakan pada hari itu. Hanya ini yang tersisa padaku untuk mempertahankan ideologi rasaku. Demikianlah Muhammad Yamin pernah berkata: "Orang Indonesia berpikir dengan hati, merasa dengan jantung." Ini jauh lebih baik, lebih nyaman daripada makan hati berulam jantung. Itu yang terjadi jika manusia Indonesia [enak aja klaim!] dipaksa untuk berpikir; setidaknya, akulah. Semakin lama aku semakin tidak percaya pada pikiranku sendiri; meski gara-gara ini aku jadi takut, jangan-jangan aku sudah tidak bisa menulis yang bener. Aku terlalu banyak menulis mengenai apa yang kurasakan, dan itu nggak bener. Di dunia yang mengagungkan profesionalitas ini --entah apa maksudnya-- tidak ada tempat bagi perasaan pribadi. Jangan bawa-bawa masalah pribadi ke pekerjaan, itu tidak profesional! Begitu katanya. Lalu kalau membawa-bawa masalah pekerjaan ke [dalam kehidupan] pribadi, apa namanya? Tidak usah sengaja dibawa, itulah yang awam terjadi. Itulah sebabnya kebanyakan orang Indonesia sekarang makan hati berulam jantung; memakan jantung dan hatinya sendiri!

Lalu, stroke deh. Serangan jantung deh. Kanker bermacam-macam deh. Tahu tak kenapa sapi bisa kena anthrax atau penyakit sapi gila? Karena disuruh makan jantung dan hatinya sendiri! Hiy. Memang Penyakit Manusia Gila (Mad Human Disease) agak beda dengan Penyakit Sapi Gila (Mad Cow Disease). Sapi, nih, kalau kena penyakit gila, akan menyendiri dari kawanannya, mudah tersinggung, mudah marah, sangat peka terhadap keributan dan sentuhan, dan lama-lama otot-ototnya suka bergerak-gerak sendiri tanpa disengaja. Sapi gila juga biasanya sedikit keluar susu, tidak doyan makan dan terlihat selalu lemas. [wadus, koq ada semua gejalanya padaku...] Manusia kalau gila seperti apa? ...hah, payah kali pun kalau aku harus mendeskripsikan manusia gila. Teringatnya, Mbak Sisie Andrisa Macallo menulis status di persbuknya bahwa ia dahulu suka mengajak ngobrol jelema geuring sekadar ingin tahu saja apa yang ada di kepalanya. Ceuk urang mah, ari jelema tos geuring, itu artinya ia sudah sembuh gilanya. Ada satu lagi cara untuk sembuh dari kegilaan: MATI. Namun untuk yang satu ini aku tidak bisa cerita apa-apa karena belum pernah. Setidaknya, menyembuhkan kegilaan dengan cara menjadi --atau berada dalam keadaan-- geuring, mungkin aku bisa cerita sedikit. Ya, meski sedikit sekali. Kata kuncinya ya, itu: Berpikir dengan Hati, Merasa dengan Jantung.

Apa yang dilakukan Yamin untuk menunjukkan bahwa ia berpikir dengan hati, merasa dengan jantung? Bersyair! Ya, itulah yang dilakukannya. Bersyair itu bagaimana? Bersyair, menurutku, adalah mengungkapkan perasaan. Pernahkah engkau bersyair? Pernahkah engkau menulis? Jika engkau merasa --merasa, ya-- bersyair dan menulis sama saja, berarti belum bersyair lah kau 'tu. Jika engkau berpikir, maka terasa ada denyutan, ada ketegangan di dahi. [itu sih aku begitu] Jika engkau bersyair, maka --seperti yang selalu kulakukan dari kecil, yang sering mengundang tawa paman-paman dan sepupu-sepupuku-- aku menaruh telunjuk kanan di pelipis kanan sambil menelengkan kepala. Itu biasa kulakukan jika aku berusaha mencerna suatu pengetahuan yang disuapkan padaku. Jadi bukan keluar, melainkan masuk. Yah, meski mungkin sekarang tidak begitu lagi sikap tubuhku jika sedang mencerna, namun setidaknya pelipis kananku berkejat-kejat ketika aku sedang bersyair; kejatan-kejatan mana sungguh nyaman terasa, seperti dipijat istri yang mencintai. Lain halnya jika menulis, [dan mengoreksi grrhh] yang tegang, yang berdenyut-denyut adalah dahi; dan itu tidak terasa nyaman. Bersyair itu --untuk menggunakan kata-kata yang dramatis-- adalah membebaskan jiwa mencerap semesta; sedangkan berpikir adalah menambah sampah ke persekitaran kita yang sudah kumuh.

Wednesday, January 09, 2013

Obituari: Po Terlindas Gepeng di depan Margo


Po sudah mati. Aku tahu itu kemarin, sepulangku dari kantor antara 16.30 sampai 17.00 di depan Margo City yang ke arah Depok. Di situlah Po gepeng, diam tak bergerak, di tengah jalan. Kurasa ia sudah agak beberapa saat berada di situ, karena sudah kumuh bentuknya, ...dan gepeng! Po yang biasanya bulat itu kemarin gepeng njepeprek begitu di tengah jalan. Kurasa sudah ada agak beberapa roda melindas tubuh dan kepala bulatnya itu. Melihat gepengnya yang merata itu, bisa jadi yang melindasnya adalah kendaraan besar. Kemarin, ketika kulihat itu, ia belum terburai-burai. Masih utuh, hanya saja gepeng. Seandainya saja belum gepeng dan lalu-lintas di depan Detos sore itu tidak seramai dan selancar itu, mungkin aku akan menghentikan Varioku dan memungutnya dari tengah jalan. Yah, kalaupun harus mati, setidaknya tidak seperti itu 'kan? Namun nasib memang berkata lain bagi Po. Ia harus mati begitu. Terlindas. Gepeng. Njepeprek di tengah jalan. Berapa orang yang, seperti aku, akan meliriknya? Berapa orang, yang melintas di depan Margo sore kemarin, yang memiliki kenangan khusus dengannya? Po bagaimanapun sempat sangat terkenal di Indonesia pada akhir '90-an dan awal '00-an, khususnya di kalangan anak bocah yang ketika itu masih balita dan orangtua-orangtua mereka.

Orang dengan kenangan khusus mengenai Po pasti banyak. Orang yang sudi melirik pada saat-saat terakhirnya pasti sedikit. Aku merasa beruntung menjadi keduanya, banyak sekaligus sedikit. Kini biarlah kuceritakan sedikit mengenai kenanganku akan Po. Kami berkenalan kali pertama ketika aku mengontrak di depan kandang kambing Haji Thobroni, di Gang Pancoran, tahun 2000. Sebenarnya aku sudah lupa rinciannya. Aku hanya ingat suasananya. Waktu itu pagi menjelang siang. Kontrakan itu sungguh pendek langit-langitnya, aku dengan kakiku yang hanya dua jengkal ini saja bisa menyentuhnya tanpa susah-payah. Kontrakan itu hanya punya satu kamar, dan di kamar itulah kuletakkan sebuah tivi yang belinya boleh malak orang. Ketika kunyalakan tivi, di situlah aku lihat Po bersama keempat kawannya yang lain. Apakah aku menangis waktu itu? Aku lupa. Akan tetapi, kalaupun tidak menangis, suasana saat itu sungguh mengharukan. Kontrakan itu meski kecil dan rendah dan sempit sekali, namun lengang. Lengang selengang hatiku kala itu, hati yang ,jangankan masa lalu dan masa depan, masa kini pun tak punya. Apa yang kulakukan waktu itu sambil menonton Po dan keempat kawannya bermain-main di bukit-bukit? Merokok? Sangat bisa jadi. Uangnya dari mana? Entahlah. Mungkin ngutang sama Joger saat papasan di Gang Damai. Kontrakan itu, yang rasa sukaku padanya hanya "lampu tempel" bagi Haji Thobroni, di mana aku kali pertama bertemu Po, sungguh merupakan duri dalam kenangan. Sakit-sakit sedap.

Po semasa hidupnya adalah seorang gadis kecil yang cantik dan periang. Itulah benar yang menjadi kesedihanku karena lebih dari itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku dahulu memang sengaja melupakannya, karena hanya dengan cara itulah aku dapat terus hidup; dengan harapan suatu hari nanti bertemu kembali dengannya. Ternyata kini ia telah gepeng begitu. Begitu banyak kenangan dan harapan yang kandas, sampai-sampai aku tidak tahu bahwa kata-kata itu --'kenangan' dan 'harapan'-- ada. Kini begini juga keadaanku. Apakah orang tidak punya anak itu akan kasihan di hari tuanya nanti? Tidak punya anak aku sudah tahu rasanya. Kasihan... sedikit banyak tahulah. Hari tua? Akankah aku mencapainya? Jauh di dalam ceruk terdalam di ngarai kenanganku, aku pernah berkhayal betapa suatu hari nanti aku pulang kerja dan disambut Po yang sudah lebih dulu pulang sekolah. Ia bertanya padaku, "Bapak mau dibuatkan teh manis?" dan aku akan menjawab, "Air dulu saja. Terima kasih, Nak." Ini bukan kenangan. Ini sekadar kenangan akan khayalan. Bayangkan, bahkan khayalan pun kukenang-kenang. Ya, tidak apa-apa. Berapa banyak manusia yang harus mengubur dalam-dalam khayalannya; meski rasanya seperti mengubur diri sendiri. Berapa banyak yang bahkan lupa sampai mengubur diri seluruhnya, tidak menyisakan sedikit; setidaknya lubang hidung untuk terus bernapas. Berapa banyak yang akhirnya mati bersama khayalan-khayalannya. Aku tidak mau begitu. Aku tidak mau mati berkhayal.

Tuesday, January 08, 2013

Dia yang Manusia, Betina dan Bodoh Itu


Schmong dalam pelukanku, 2010
Ini namanya ambil risiko, tapi mau bagaimana lagi? Rasa badan seperti ini tidak mungkin diajak kompromi. Kalau tadi malam rasanya seperti abis minum bir sekrat, sekarang, karena sudah dapat tidur agak berapa jam lumayan lah, jadi seperti abis setengah krat. Dan ambil risiko namanya ini, ketika Mas Johan tadi sudah mengatakan "saya tunggu, ya," aku malah main-mainan. Bisa-bisa habis energiku menulis gara-gara ini. Kenapa tidak seperti Mas Topo? Ubah-ubah sedikit sana-sini. Beres! Kau tidak sedang mengerjakan karya seni. Tidak mungkin kan setiap pekerjaanmu kau perlakukan seperti karya seni? [katakan itu pada Ibu] Itulah... mungkin karena aku anak ibuku, beginilah jadinya. Daripada membuat sesuatu yang tidak memuaskan hatiku, mendingan gak usah! Tidakkah ini suatu tanda kesombongan yang sangat nyata? Entahlah. Yang jelas, aku benar-benar sedang kesulitan menggerakkan mentalku untuk mengerjakannya. Kenapa kemarin aku terima, ya? Emang aku bisa nolak? Seharusnya bisa. Bang Edmon dengan national security-nya saja kemarin kutolak. Tidak, Bang. Sejujurnya saya sudah tidak mau lagi berurusan dengan apa yang Abang urus itu. Nehi.

Kopi sudah. Tolak angin sudah. Mungkin kumatikan dulu AC di atasku ini, meski John Gunadi  mungkin akan kembali menyalakannya sebentar lagi. Uah, gawat. Aku kehilangan minat untuk melakukan apapun. Dengan menyadari bahwa aku tidak dapat berbuat banyak mengenai M14 saja, aku juga jadi kehilangan minat padanya. Hari ini aku tidak mau didekati siapapun, orang maupun binatang. Binatang? Schmong, apa kabarmu? Sudah mati belum? Kalau kamu harus mati --yang mana sangat mungkin karena umurmu setidaknya sudah 10 tahun-- jangan mau mati sebagai Cici ya. Apa'an tuh Cici?! Sejak kamu kucing kecil sampai jadi ibu-ibu, sampai jadi nenek-nenek begini, namamu Schmong! Yah, aku mungkin bisa memahami kalau kamu menurut dipanggil Cici. Beberapa tahun terakhir aku memang tidak pernah memberimu makan. [emang aku pernah kasih kamu makan? Pernah sih sekali dua, ikan kembung Mbak Tun dicampur nasi, yang kamu makan bersama anakmu yang paling bodoh, Coko] Jika kemudian ada orang yang secara teratur memberimu makan, meski untuk itu kamu harus rela dipanggil Cici, yah tidak apa-apa. Lagipula, kamu pasti bosan dengan biskuit-biskuit bodoh makanan kucing itu, yang hanya cocok bagi anakmu yang bodoh itu.

Coko pun dipanggil Coco! Biarlah kalau dia, karena dia bodoh. Apa kabarnya anakmu yang bodoh itu? Sudah mati? Baguslah. Itu memang lebih baik bagi kucing jantan bodoh seperti dia. Siapa tahu, dalam kelahirannya yang berikut ini, ia tidak lagi menjadi kucing jantan bodoh, tetapi melompat jauh menjadi manusia betina bodoh. Ada ya manusia betina bodoh? Mengapa ketika aku menanyakan ini, pikiranku melayang kepada... itu?! Ya amflaf, apa dosanya sampai dilahirkan seperti itu... Ia manusia, ya. Betina... sepertinya ia tiada begitu menyukai kebetinaannya... Bodoh sudah jelas! Terlebih lagi, BAU! Ya amflaf! Terserah deh mau bilang aku jahat, tapi aku memang tidak tahan jika dia berlama-lama di pojokanku yang pengap itu. Sudahlah pengap, dipenuhi baunya pulak. Yuck! Aku memang jahat. Kejahatan apa yang diperbuatnya, sampai aku tega sejahat itu padanya? Kejahatan lain --seperti ketidaksukaannya pada kebetinaannya-- bukan urusanku. Satu-satunya urusanku adalah... dia BODOH! Dia bodoh bukan alang-kepalang. Ah, sudahlah. Kudoakan agar Coko tidak pernah dalam hidupnya yang baru lalu [memangnya benar sudah mati? sudah lama pun aku tiada melihatnya...] atau yang manapun terlahir kembali menjadi dia yang manusia, betina dan bodoh itu.

Monday, January 07, 2013

Lambang Model Catik, Bahenol, Berpakaian Minim


Melissa Th'ng Model Babi
Judul dari entri ini sesungguhnya adalah suatu terjemahan sangat bebas dari tulisan di punggung jaket seorang ibu-ibu berjilbab, yakni, "Playboy. Symbol of Beutiful Voluptuous Scantily Clad Models." Memang benar begitu. Beutiful tidak pakai "a". Lengkap pula dengan gambar kepala kelincinya. Ini kulihat ketika aku sedang memacu Vario sepanjang Jalan Kemakmuran, Depok II. Ketika itulah aku melihat ibu-ibu itu dalam boncengan sebuah motor. Ia duduk mengangkang dan jaketnya bertuliskan itu, padahal ia berjilbab! Sungguh, jaketnya terlihat murah. Iya lah. Apa yang kau harapkan dari sebuah jaket bertuliskan demikian, beutiful pula! Oh iya, di punggung jaket itu tertulis juga "Since 1953."

For one, sejarahnya cukup akurat. Gara-gara ini, aku jadi menyesali kenapa harus hilang itu satu huruf "a". Jika tidak, jaket itu akan menjadi busana yang haute couture bagi si ibu, yang aku yakin pasti akan terlihat chic sekali memakainya; terutama karena fakta sejarahnya itu! Seorang ibu-ibu berjilbab duduk mengangkang di boncengan motor, mengenakan jaket bertuliskan "Playboy. Symbol of Beautiful, Voluptuous, Scantily Clad Models. Since 1953." Adakah yang bisa lebih inspiratif dari ini untuk memulai hari? Tidak mungkin. Ini sudah mentok! Ini pencapaian. Pencerahan. Namun demikian, mana kita tahu ke mana tujuan ibu itu 'kan? Bisa saja kita berandai-andai ia sedang terburu-buru mengejar suatu sesi pemotretan; padahal ia sedang ingin pergi ke pasar. Iya, pasar. Bisa jadi ia terburu-buru kembali ke lapak atau kiosnya di pasar. Tadi ia pulang lagi karena jaket kesayangannya itu tertinggal. Ia tidak boleh berjualan tanpa mengenakannya. Apa kata para sosialita di pasar itu kalau ia berbusana seadanya, sekadarnya?!

Begitulah maka hari yang kumulai dengan melihat suatu pertanda baik ini kulanjutkan dengan nongkrong di kantin. Pagi ini ada Mang Untus dan sepupunya, Mas Narno, dan John Gunadi. Orang-orang ini... semakin lama aku semakin jauh dengan mereka. Bahkan dengan John Gunadi; meski jika pun pernah dekat, aku juga sudah lupa kapan. Akan tetapi, mereka seperti memiliki dunia mereka sendiri, dunia mana aku bukan bagian darinya. Dan memang benar demikianlah adanya. Mereka sudah berbagi suka-duka setidaknya selama tujuh tahun terakhir mengawaki perkubuan lantai 4 itu, sedangkan aku selalu di mana-mana. Aku tidak pernah benar-benar tahu apakah mereka tersinggung dengan julukan Banpol PP dan djembel moedlarat. Setelah sekian lama, masa iya mereka mau terus-terusan djembel, terus-terusan moedlarat?

John Gunadi memang entah arah mana yang ditujunya. Akan tetapi, jika engkau tahu apa bentuknya ia sekitar delapan tahun lalu, maka keadaannya sekarang adalah suatu kemajuan. Ya iyalah, masa delapan tahun tidak ngapa-ngapain?! Setelah delapan tahun ini... aku menggendut kembali, seperti sekitar sepuluh sampai sebelas tahun lalu; bahkan mungkin lebih parah! Hiy, aku tidak berani menimbang berat badan. Pasti sudah lewat sembilan puluh sekarang timbanganku. Padahal makan juga sudah tidak membawa kenyamanan, apalagi kebahagiaan. Makan tidak makan sakit-sakit juga. Terlebih lagi, gudeg warung Minul, yaitu tempatnya Mbak Dilla, ya begitu-begitu saja. Pasti krecek lagi, lalu tambahannya, entah telur dadar, telur bulet, begitu saja terus. Entah mengapa tadi nasi kotakku kuberikan pada Mas Milson, jika toh aku masih makan... nasi gudeg lagi! Sambil makan itu, aku dan John Gunadi saling berdiam diri; itu setelah selesai draf SE.

Dasar babi lu! Iya deh, ...emang gua babi... Maapin ya...
Oh, aku merasa terpejit seperti babi! Kalau aku, babi hutan tentunya. Bentuknya, maksudku; meski babi apapun sama saja. Intinya aku yang gendut ini merasa terjepit; dan semakin terjepit aku, semakin gendut aku. Aku harus menghindar! Aku harus menyelamatkan diri! Hanya itu yang bisa dilakukan. Dahulu pun selalu begitu. Ketika aku merasa terpojok di sana-sini, ketika aku merasa seperti digiring ke dalam perangkap, aku melarikan diri. Aku menghindar, tetapi itu dahulu ketika aku setidaknya 10 kg lebih ringan dari sekarang. Sekarang aku sudah gemuk. Kelitku sudah tidak sigap lagi. [keluh] Coba kuingat-ingat bagaimana babi ini dahulu menghindar... Aku pernah menghindar sampai berminggu-minggu! Aku tidak pergi berangkat ke kantor, meski kantorku hanya sepelemparan batu dari kosku; oleh atlet lempar yang sangat terlatih.

Kosku di Jang Gobay... tidur di kasur Palembang, makan pagi di Mbak Yem. Perabotan hanya satu meja tulis murahan diskonan, satu kursi plastik hijau merek Napolly, satu rak serbaguna hitam murahan juga diskonan juga, satu rak handuk, dan satu set zitje bambu boleh kasihan sama yang jual. Lantai ubin warna merah, aduhai sejuknya. Di antara perabot murahan itulah aku menghindar bersembunyi, sampai berminggu-minggu. Kadang, dalam persembunyianku itu, aku keluar juga. Bercelana pendek berkaus oblong, jalan dan jalan dan jalan kaki, baik ke Detos, Margo atau sekadar keliling UI; di bawah terik matahari menjelang tengah hari, atau dalam keteduhan matahari yang beranjak ke peraduan. Sewaktu di Pusaka pun masih bisa seperti itu. Sejak kapan menjadi tidak bisa lagi? Apakah sejak menjadi pengajar Hukum Lingkungan? Sangat bisa jadi... Ooohhh... aku harus menemukan cara melarikan diri. Segera!

Grok... Grok... Ngoik... Ngoik...

Sunday, January 06, 2013

Aneka Ria Anak Nusantara, untuk Kita Semua


Setelah menonton Asia's Next Top Model --di mana gacoanku Melissa Th'ng baru saja dieliminasi grrr-- maka kini aku kembali melarikan diri dari kenyataan. Ini kulakukan sambil menunggu disiarkannya Mansfield vs Liverpool, yakni pada Putaran Ketiga Piala FA. Sebelum Melissa dieliminasi, gacoanku Becky Reams juga dieliminasi dari Masterchef US Musim Ketiga grrr. Sungguh suatu Minggu malam yang penuh kejadian (eventful) bagiku. Nah, ini bisa menjadi tema yang bagus. Bagaimana dahulu biasa kulewatkan Minggu malam? Jaman kecil, Minggu malam ditandai dengan Minggu sore, yaitu tiadanya filem kartun di tivi; digantikan oleh Aneka Ria Anak Nusantara. Acara ini... seingatku aku tidak pernah begitu peduli. Buat apa menonton anak-anak sebayaku bernyanyi dan menari dalam pakaian adat, dalam bahasa daerah mereka masing-masing? Apa serunya?

Begitulah maka terkadang main sore yang di hari-hari biasa berakhir pada jam 17.30 bisa berlangsung agak lebih lama di hari Minggu; meski tidak mungkin lewat Maghrib juga, jika tidak mau kena sabet Bapak. Setidaknya sampai SMP, Minggu, Minggu sore dan malamnya tidak pernah terasa terlalu istimewa buatku. Ada sih perasaan khusus yang masih kuingat sampai hari ini. Rasa sendu yang... entah bagaimana aku melukiskannya; yang jelas bukan karena akhir minggu sudah berakhir. Aku tidak begitu peduli dengan itu dahulu. Aku tidak pernah ingat terbiasa bertamasya atau apa pada hari Minggu ketika kanak-kanak. Jika pun ada, Minggu sore dan malam adalah waktu kami pulang dari Jalan Radio menuju Kemayoran. Sampai di sini... aku sungguh sedih. Sudahlah...

Kaset inilah yang mengecewakan Iwan Syaifuddin Hamadi dulu. Ia jelas membelinya karena gambar ini. Katanya, ia gemes ingin menggigit bibir Danii Minogue dalam gambar ini. [waktu itu aku heran, koq bisa begitu fantasinya] Iwan, yang jelas, tidak suka lagu-lagunya.
Minggu malam baru terasa setelah aku di SMA dan AAL. [...atau mungkin, satu-satunya kurun hidupku dalam mana Minggu malam sungguh berarti] Bagaimana hari Mingguku di SMA dulu? Waktu kelas satu, seingatku aku hampir tidak pernah melewatkan pesiar; meski waktu pesiarnya hanya lima jam maksimal, dari 08.00 sampai 13.00. Pada saat itu, seingatku, beberapa kali aku makan di Pujasera Gardena yang teramat-sangat bersahaja itu. Meski terhitung mahal, mungkin karena itu juga jarang siswa TN maupun taruna Akmil berkunjung, RM. Echo Roso adalah tujuan favoritku. Makanannya sedap betul! Sambel goreng udangnya, tumis buncisnya... yummy! Aku pernah makan di situ sambil bercucuran air mata, karena makanannya sungguh enak mengingatkanku pada masakan Ibu. Setelah kelas dua, mulai dibuka Matahari Foodcourt; dan jam pesiar pun sudah sangat panjang, dari 08.00 sampai 18.00. Meski begitu, seingatku, aku tidak pernah memanfaatkannya sampai maksimal. Sekitar Ashar paling lambat, aku sudah pulang.

Kalau tidak salah ingat, waktu kelas dua inilah aku bersama Catur Agus Sulistyo menonton Mobster, Harley Davidson and Marlboro Man, Young Guns II... [ada lagi ngga ya?] di Bayeman Theatre. HTM-nya Rp 450! Kelas dua ini aku belum nonton di Magelang Theatre, karena seingatku baru hampir lulus aku menonton di situ; filmnya Demolition Man. Selain menonton, tentu saja, kegiatan utama adalah makan! Menu favoritku di Matahari Foodcourt selalu always mie ayam dan onderdilnya, atau, jika sedang bosan, Tahu Telur Magelang; yang terakhir ini harganya Rp. 1250 dan maknyus tenan! Kelas tiga... aku pesiar malam di hari Sabtu, dari 16.00 sampai 21.00; kegiatannya telpon collect call dan... makan lah. Jika malam Minggu aku di Magelang kota, maka malam Senin aku kembali di Perpus TN yang dahsyat itu; membaca-baca entah apa, sepanjang minggu.

Minggu malam di AAL... biarlah kukenang satu Minggu malam yang, entah mengapa, tak pernah terlupa hingga kini. Mendekati jam 21.00 di pos pesiar kopral AAL 43 Korjek, kami sedang mengantri setrika sambil menahan kantuk. Ketika itulah dari tivi terdengar video klip lagu Always-nya Air Supply; itulah kali pertama kudengar lagu ini, sampai kini selalu kusuka. Kenangan ini membuatku merenung. Di satu sisi, bodohnya aku meninggalkan persaudaraan itu. Di lain sisi, aku memang bukan mereka. Lihat saja apa yang tengah kulakukan kini. Aku pemalas. Aku terlalu banyak berkhayal. Mentalku lemah. Sudahlah. Aku tidak mau terlalu terbawa. Itulah terakhir kali Minggu malam berarti sesuatu bagiku; yakni selama di SMATN dan Akabri. Setelah itu Minggu malam tidak ada artinya. Sama saja dengan malam dan malam dan malam... di mana aku semakin dalam menenggelamkan diri ke dalam kelam-kelam gelapnya.

Terkadang aku bertanya [pada diriku sendiri... atau meratap pada Allah] mengapa aku harus mengalami itu semua? Mengapa ada orang-orang yang begitu lurus mulus perjalanan hidupnya? Mengapa aku tidak? Untuk yang satu ini, aku tidak hanya lelah. Aku sudah muak pada diriku sendiri terus bertanya-tanya mengenainya. Kini aku di sini, di sudut kamar belakang Qoryatussalam E9 ditemani nyamuk-nyamuk gelisah. Istriku tidur di kamar depan. Aku tidak begitu gembira dengan cara Liverpool menang malam ini. Angkat topi bagi Mansfield dengan perjuangannya yang tak kenal menyerah sampai detik terakhir. Aku mendukung Melissa, karena ia paling jelek. Aku mendukung Becky... well, sebenarnya sih gak gitu-gitu juga; hanya rasanya dia pasti pulang, dan memang benar. Aku mendukung Liverpool. Aku mendukung Nusantara. Malam ini, Minggu malam, aku harus tidur, karena draf SE wajib unggah dan anggaran ICT belum kukerjakan.

Saturday, January 05, 2013

Semua Gara-gara Tante Geri, Seorang Perempuan


Ibu Risang Sungkawa (sumber)
Cucok lah lagu Tante Geri ini mengiringi perasaan hatiku di Sabtu siang ini. My Love, My Love, siang ini, aku ingin membicarakan mengenai... pekerjaanku mengajar. Ini lagi? Lalu apa lagi? Seandainya saja aku punya cukup waktu untuk membangun suasana hati sehingga semangat membaca-baca ebook -yang ratusan jumlahnya itu, yang cuma menuh-menuhin storage tablet itu- mungkin aku punya lebih banyak lagi bahan pembicaraan. Hey, keadaan ini juga berbahaya bagi pekerjaanku. Lama-lama aku bisa jadi tep rekorder, seperti yang selama ini kucerca dan kucaci-maki. Dari tahun ke tahun, dari semester ke semester, itu saja yang diulang-ulang. Kurasa itu sudah terjadi, setidaknya pada Hukum Lingkungan dan Hukum Perdata Dagang; dan kalau ini diterus-teruskan, akan terjadi juga pada Hukum Koperasi dan Hukum Adat kesayanganku. Namun bukan ini benar yang ingin kubicarakan di sini. Aku ingin berbicara, di sini, saat ini, mengenai murid-muridku. Mereka masih kecil-kecil. Betapa tidak? Yang termuda sekarang kelahiran '94. Seandainya saja aku seorang petani yang punya tanah sendiri agak luas, pada tahun itu aku sudah bisa membuat istriku melahirkan mereka -dengan catatan aku sudah mulai bertani sejak 1992 dan hasil panennya baik pula selama itu. Akan tetapi, karena aku bukan petani, beginilah jadinya aku; sampai hampir lima windu umurku masih saja tidak berguna. Murid-muridku itu... merekalah anak-anakku. Aku sendiri tidak berkesempatan membesarkan gadis kecilku. Tau-tau saja aku dikerubuti oleh gadis-gadis kecil. Ada yang minta dibimbing skripsi sampai kumlot, ada yang minta ujian susulan, ada yang minta nilai A, ada yang memintaku jadi panelis entah apa... Aku tidak pernah tahu bagaimana mendidik dan membesarkan mereka.

Dulu, aku sangat... apa ya namanya... entahlah, tapi intinya tidak nyamanlah dengan perempuan. Jika ada satu hal yang aku tidak ingin tahu dari dunia ini, itu adalah perempuan. Mungkin ini sekadar karena aku tidak nyaman dengan perubahan yang terjadi pada DIRIKU SENDIRI ketika puber. Namun, keterlanjuran itu sudah kepalang, dan beginilah aku. Syukurlah sekarang aku tidak perlu memahami perempuan. Aku hanya perlu memahami Cantik; dan selama ia pun berusaha memahamiku, maka segalanya akan baik-baik saja. Anak gadisku sendiri... entahlah. Aku belum tahu apakah Khaira akan dibesarkan sendiri oleh Bundanya kelak. Aku juga tidak tahu apakah ketika itu aku masih hidup atau tidak. Jika itu semua terjadi, mungkin aku akan punya pengalaman menyaksikan dengan mata kepala bagaimana seorang gadis kecil menjadi seorang perempuan. Namun, seperti halnya semua saja orang beraneka-ragam watak tabiatnya, begitu pulalah kurasa perempuan. Aku tidak mungkin merasa mampu membesarkan seorang gadis kecil menjadi seorang perempuan yang... shalihah? Hey, begitu banyaknya sisi dari kehidupan dan keseharian seorang perempuan (shalihah)! Lalu apakah seorang shalihah tidak boleh mengerang ketika mengalami orgasme? Apakah seorang shalihah lalu tidak suka mematut diri berlama-lama di depan cermin, meski tidak patut-patut juga menurut hematnya? Apakah seorang shalihah lalu tidak boleh mengenakan wangi-wangian, sehingga bau alaminya -yang meski dalam situasi-situasi tertentu pasti sangat merangsang- menguar kemana-mana sampai mengganggu ketertiban umum? Lalu shalihah itu apa? Well, mungkin... aku memang suka membuat orang nyeri di pantat. Giliran begini saja aku rinci sekali. Giliran seharusnya detil, malah berkelit dengan 'pada dasarnya' atau 'basically'...

Dengan secara khusus mengulas mengenai perempuan dalam satu entri, tidaklah lagi mungkin bagiku berkelit bahwa aku tidak peduli perempuan. Pada kenyataannya, aku sangat peduli. Pada kenyataannya, aku sampai hari ini selalu tertarik pada gagasan-gagasan feminis, [yang moderat] atau setidaknya sudut pandang dana analisis gender. Pada keny... [Sudah! Hentikan!] fantasi-fantasi mengenai perempuan suci (sacred feminine) dan matrilinealisme tidak pernah berhenti menyihirku. Seorang lesbian pernah mengatakan bahwa jiwaku sangat feminin. (?!) Dulu, waktu kami masih kecil sekali, adikku pernah bercerita bahwa ia membayangkan tuhan seperti ibu-ibu. Aku agak terkejut waktu itu, karena dalam khayalanku tuhan itu laki-laki. Kini, tentu saja aku sudah tidak begitu. Namun, tidak bisa kupungkiri betapa khayalan-khayalan mengenai Maryam Ibu Isa al-Masih sungguh memukau. Aku dapat membayangkan betapa para padri Katolik itu bersimpuh meratap di hadapan Ibu Risang Sungkawa, membayangkan Sang Ibu sendiri membelai-belai kepala mereka; menyamankan, menenteramkan hati. Seperti itulah. Tepat di sini aku menyadari, betapa jauh jarak yang memisahkan suasana kebatinanku dengan gadis-gadis kecil itu. Apakah mungkin ada sesuatu yang dapat  (atau harus?) dilakukan terhadap dunia yang menyenangkan dan tanpa ketakutan dewasa ini? Sungguh aku sudah sangat kelelahan memikirkannya. Belum sampai muak, sih hanya lelah. Betulkah harus kulakukan sesuatu untuk 'menyelamatkan' gadis-gadis kecilku, sedangkan aku sendiri tak mampu menghayati, menyelami kedalaman batin mereka? TIDAK! Setegas itu kukatakan. Bung Karno, dengan segala hormatku, menulis risalah khusus mengenai perempuan, kemudian didemo -juga oleh organisasi perempuan- karena menikahi Bu Hartini.

Friday, January 04, 2013

Buku Tidak Mungkin Menggantikan Seorang Guru


Aku selalu punya perasaan itu, merasa seperti dipandang sinis oleh orang-orang dengan siapa sungguh aku ingin bergabung. [ini jelas tata-bahasa Inggris] Kurasa aku ingin bergabung sejak lama, sejak dibukanya pendaftaran mentor Studi Tentang Islam (STI) di FHUI pada 1999; dan lamaranku mending cuma ditolak, dibuang oleh Taufik Riyadi hiks. Dia kawan baikku, tapi mungkin ia berpikir aku bercanda ketika itu. Tentu sajalah. Jika benar aku ingin bergabung, seharusnya semenjak 1996 itu aku mengikuti STI dengan baik dan benar --sebagai peserta; dan setelah itu mengikuti follow-up-nya. Alih-alih demikian, entah apa yang kulakukan selama itu. Aku lupa apakah aku pernah berpuasa dengan benar dalam kurun itu; yang jelas, seingatku, aku tidak pernah shalat. Namun pada 1999 itu setidaknya, setelah anakku lahir, aku merasakana kekosongan jiwa. Aku merasa ingin diisi. Aku masih ingat, dulu agak senang memperhatikan Evelyn Nadeak dan Rev. John Hartman. Salahnya, di suatu Minggu siang.aku menonton acara ceramah mereka di tivi di sebuah warung Padang. Jelaslah segera diganti salurannya oleh yang punya warung hahaha. Pada saat itu juga, seingatku, aku pernah mencoba shalat Jumat. Namun ketika itu rasaku khutbahnya terlalu kental nuansa politis, maka begitu saja aku walkout dari tengah-tengah jamaah; di tengah-tengah khutbah pula (naudzubillah) ...dan seterusnya sampai suatu Kamis yang sangat menentukan itu, 10 Oktober 2002. Besoknya aku langsung shalat Jumat dengan khusyu'-nya. Masa harus begitu lagi? (naudzubillah tsumma naudzubillah)


Sejak itu, sampai hari ini, Insya Allah, kecuali sangat mendesak sekali aku tidak pernah tinggal shalat Jumat.; setidaknya, alasannya tidak pernah karena malas. Kini aku tinggal di Qoryatussalam Sani. Perasaan seperti dipandang sinis itu masih ada. Apakah aku saja yang terlalu perasa, atau memang demikian? Entahlah. Aku memang kurang keras berusaha. Aku sudah pernah muncul di mesjid pada shubuh, ashar dan maghrib; masing-masing sekali, seingatku. Ternyata sangat tidak mudah mencoba istiqomah. Tidak mudah juga mempraktekkan Allahuma paksakeun. Insya Allah, Ahad, 6 Januari 2013 akan datang kesempatan berikutnya. Dalam rangka meningkatkan keimanan dan taqwa  kepada Allah SWT, begitu katanya, aku diundang untuk menghadiri Kuliah Dhuha di Mesjid Qoryatussalam [oh, begitu pun nama mesjidnya] dengan tema "Pentingnya Menjaga Hati" yang akan dibawakan oleh Ustadz Muhsinin Fauzi Lc. Dalam undangan itu, aku juga didoakan agar dimudahkan langkahku untuk datang ke Majelis Ilmu. Aamiin. Aamiin. Kemarin aku membaca dari status teman dari temanku di pesbuk, suatu argumentasi yang telak terhadap orang yang hanya mengandalkan buku dalam belajar. AKU. Kata bapak itu kurang lebih begini: Buku tidak dapat menegur kalau pemahaman kita salah. Teguran itu hanya dapat diberikan oleh seorang GURU. Sungguh aku jadi kecut dibuatnya. Aku sedih Bapak sudah patah semangat mencari guru. Semoga Bapak dipertemukan dengan seseorang yang dapat membimbingnya. Tinggal di Qoryatussalam ini, harapanku besar sekali akan bertemu dengan seorang guru. Hey, mungkin bukan hanya seorang! Insya Allah, banyak yang dapat kupelajari dari tetangga-tetanggaku di sini. Aku tidak pernah berkeberatan hidup bertetangga. Bahkan, sejujurnya, itu adalah bagian dari khayalanku mengenai 'hidup normal'.

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puja dan puji hanya bagiMu Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan Salam semoga selalu tercurah pada junjungan hamba  Rasulullah SAW beserta seluruh keluarga, para sahabat dan pengikut-pengikutnya sampai di akhir jaman. AamiinInsya Allah, besar harapan hamba Ya Allah, akan suatu kemajuan dalam menghamba padaMu. Disini Ya Allah, di Qoryatussalam, berkahilah, kabulkanlah. Inilah mungkin kemajuan yang hamba damba-dambakan selama ini. Ya Allah, masih banyak urusan yang mengganjal di hati hamba. Hamba mohon agar ditunjukkan penyelesaiannya bagi semua, Ya Allah, sebaik-baiknya sekehendakMu. Aamiin. Umurku memang belum terlalu banyak, hampir 37 tahun menurut perhitungan surya. Namun, di satu sisi, itu sudah banyak. Aku sudah terlalu tua untuk terus melakukan kebodohan dan kedurhakaan. Aku sudah terlalu tua untuk bermalas-malasan, tidak bersegera menuju satu-satunya tujuan yang patut diperjuangkan. Akan tetapi, di lain sisi, umurku yang 'baru' segitu memberi banyak harapan untuk memperbanyak amal taat dan amal soleh, untuk meningkatkan iman dan taqwa dengan terus meningkatkan mutu sebagai seorang hamba. Ya Allah, hamba mohon dengan teramat-sangat, permudahlah hamba untuk bangun shubuh. Hamba mohon ditunjukkan jalan menuju perbaikan ritme harian, sehingga ringan bagi hamba menjalankan berbagai ibadah itu. Terutama shubuh, Ya Allah, hamba mohon... Tolonglah hamba, kasihani, Ya Allah. Hamba mohon kembalikan karunia shubuh pada hamba. Kabulkanlah permohonan hamba ini, Ya Allah. Aamiin.

Thursday, January 03, 2013

Papa Ramona adalah Kiper Liverpool. Sudah Ganti?


Lucu sungguh. Blog ini menjadi semacam pelarianku dari kenyataan sudah sebulan terakhir ini. Ini nyaris sama-sekali mirip dengan ketika berbulan-bulan lalu aku melarikan diri dari kenyataan hidup dengan memerintah Tropiko atau membangun peradaban. Nyaris tidak ada bedanya. Dalam semua saja kegiatan itu, aku berkhayal. Aku menggunakan imajinasiku, daya kreatifku; lebih tepatnya, menyalahgunakan. Yah, meski menulis entri masih lebih mending ketimbang yang lain, karena, setidaknya meninggalkan bekas. [Meninggalkan bekas mending? Kamu kira kamu siapa? Van Gogh? Khairil Anwar?] Sebenarnya aku lari dari apa? Hemm... pertanyaan bono. [karena jelas bukan Bagus yang bertanya, melainkan aku] Aku melarikan diri dari... Bang Andhika dan Mas Harsanto hahaha... Merekalah patronku sekaligus orang-orang yang darinya aku melarikan diri. [grammarku gak bener nih] Aku jadi merasa seperti Michelangelo yang, meski dilindungi, selalu bertengkar dengan, dan berusaha melarikan diri dari Paus Julius II il Papa Terribile. Untuk bagian terribilenya, kurasa ini cocok dengan Mas Santo hohoho... Untuk bagian papanya, hemm... hanya Ramon Papana yang cocok hihihi... Ini gara-gara Cantik gagal mengingat kiper Liverpool. "Papa... siapa?" katanya. "Papa? ...Papa Ramona?! sahutku. Siku dan lututku gatal seperti kena ulat bulu, kuberi minyak kayu putih; dan kopi luwak-luwakan siakle mucle esens tok ini sumpah gak enak!

Licin juga ternyata di sini dikiliki
Kenyal juga di atas sana dipilini
Apa hanya itu aku tak tahu pasti
Ataukah ini hanya menghindari

Kata sudah terlanjur menaburi
Sahaja karung mata kepala ditutupi 
Lampaunya bersarang tidak di ulu hati
Bersisa hanya kekuatiran badani

Ketika teh secangkir, quiche memutusi 
di suatu ketika buka malam menerangi
Meski segumpal, sekepal juga hewani
bertemu tidak, kenal pun tidak terlewati

Terhambur namaku, tersebar si juru mudi
Penjelasan itu tinggal sedikit, tak perlu diisi
Datang hanya jika berjejal pemuda berbudi 
Kenangan akan kata, dan nama melemburi

Hey, ini upaya menerbitkan juga loh. Ini media sosial. Meski ini adalah pelanggaran suatu prinsip ketika prosa dan prosa lirik saling melilit, tidak lagi sekadar melirik; bahkan ketika sudah berbentuk paragraf begini. Ternyata peralihannya tidak semulus yang aku harapkan, seperti peralihan dari taka-tukanya King Kenny Dalglish ke tiki-takanya Brendan Rodgers; yang belakangan ini belum punya julukan. Uah, lebih enak menulis prosa ternyata. Lebih lancar. Prosa 'pala lo adem! Apa yang kurasakan masih sebelas duabelas dengan beberapa menit atau setengah jam yang lalu; perasaan yang mendorongku untuk berpuisi. Hahaha... puisi. Tak ayal ingin kuteguk juga kopi yang sudah kusumpah-serapahi itu. Ayo, keluar! Keluar! Kau sudah berada dalam moda prosa. Hentikan! Aku... tak hendak. Aku ini... binatang jinak. Kalau gak percaya tanya saja istriku. Dan memang harus, harus, harus segera dihentikan! Otakku seperti plaster basah yang dibubuhi pigmen. Ketika kering, pigmen itu tinggal tetap, tidak mau pergi. Jadi jangan sembarangan membubuhi pigmen. Otakku penuh fresko! Hohoho... mungkin itu dia, otakku tadinya encer. Pada titik ini, aku berbaling dan berbaling, karena salto aku tidak pernah bisa. Huft, capek juga berbaling dan berbaling ini. Oh, tidak dunia! Tidak, Dunia! Aku tidak mau kau. Aku cuma mau uangmu hehehe, untuk istriku. Aku nanti minta saja padanya, untuk jajan McD, kalau kepingin. Seperti selembar lima puluh ribuan menggeletak telanjang di atas dompetku, seperti itulah dunia untukku. Lima puluh, seratus, dua ratus, bahkan dua ratus lima puluh masih bolehlah. Tiga ratus? di Thermopylae? Jangan! Itu traumatik. Tiiidaaakkk!

Jika ada yang tanya, judulnya Syair Kepiting Lemburi

Wednesday, January 02, 2013

Sehari Setelah Tahun Baru di Qasr Amra


Sungguh mengancengkan eh mencengangkan! Tidak sampai seratus tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW, orang-orang Arab Muslim, kemungkinan besar khalifah Umayyah entah yang mana, membangun Qasr Amra. Aku sudah sering mendengar betapa khalifah-khalifah Umayyah suka hidup bermewah-mewahan. Namun aku tidak pernah sadar, sampai Bobby Chin bercerita mengenai kunjungannya ke Qasr Amra di Yordania, ditayangkan dalam Bazaar: Treasures of the Islamic Worlds, bahwa bermewah-mewahnya sampai sejauh itu. Masya Allah! Tampak dalam gambar di samping ini suatu fresco yang masih jelas terlihat di reruntuhan Qasr Amra, menggambarkan seorang perempuan yang bertugas memandikan orang dalam rumah-rumah pemandian, dan ia telanjang bulat, kecuali untuk perhiasan yang menjuntai di antara buah-buah dadanya, dan melingkari pinggang sehingga menjuntai sampai kemaluan. Astaghfirullah! Dapatlah dipahami mengapa, seperti diriwayatkan, Rasulullah SAW sangat mengkhawatirkan umatnya ketika beliau sedang sakaratul maut. Tidak sampai seratus tahun, Para Sanak, tidak sampai seratus tahun!

Tidak perlu pula aku ceritakan rumor bahwa bangsawan Umayyah biasa mengonsumsi anggur, baik segar maupun terfermentasi 'kan? Yah, intinya, kerusakan budi pekerti itu bukan cerita baru. Hey, bahkan umat nabi Luth AS pun melakukan sesuatu yang sangat mengerikan sejak entah kapan, mungkin sekitar 6000 sampai 5000 SbM (Sebelum Masehi). Jadi kita yang bilangannya masih 2013 SsM (Sesudah Masehi, hah ribet betul. Kenapa nggak BC dan AD?; tapi itu kan English...) ini tidak perlulah terlalu heboh, terlalu pusing dengan merosotnya patokan-patokan moral di tengah masyarakat kita [kita? lo kali!] Pun, macam awak berakhlak saja, sok-sok pusing standar moral merosot. Seringkali aku juga bingung, kenapa aku terobsesi sangat pada hal ini... Bagaimana caranya sampai aku ingin menjadi... padri. Janganlah... Manggala BP7 saja. [tapi BP7-nya sudah lama bangkrut] Tunggu sebentar... lalu apa artinya percaya pada hari akhir? Apakah kisah anak-anak Adam sudah terlalu bertele-tele seperti sinetron, sehingga perlu diakhiri? Berapa lamakah bertele-tele? Apakah 50 (lima puluh) milenium sudah cukup? Bosan 'kan menonton sinetron yang ceritanya dari itu ke itu lagi, saling bunuh untuk kesenangan duniawi, selama setidaknya 50,000 tahun? Jelas ini semua hanya omongan ngaco, Para Sanak, mohon jangan diambil hati. Hanya saja, sahaya merasa lelah dengan obsesi kekanak-kanakan sahaya mengenai ketinggian budi-pekerti; sekali lagi, seakan-akan sudah tinggi budi pekerti sahaya. Jadi? Yaa.. itu, masih jauh lebih baik jika aku memusingkan budi-pekerti sendiri.

Namun... pekerjaan sahaya adalah... cantrik senior hehehe... Iya lah, kalau Enade TN5 sudah berhasil menghilangkan kata "student" dari gelar PhD student, aku bahkan bergelar itu pun belum. Jadi aku masih  cantrik dong, karena masih belajar. Kelak, jika aku sudah seperti Enade, mungkin bolehlah aku menjadi Pembantu Guru; maksudnya membantu para Guru, begitu. Lagipula, cantrik itu, meski senior, di negeri ini pada saat ini, bukanlah suatu pekerjaan. Tidak ada orang dibayar gara-gara menjadi cantrik. Terlebih lagi, beratus-ratus, jangan-jangan sudah mencapai bilangan ribuan, anak bocah kepalang berpikir bahwa aku adalah... guru. Pun gara-gara pura-pura menjadi guru itulah aku dibayar. Gara-gara pura-pura menjadi guru itulah aku bisa beli tivi, kulkas, henfon, tablet dan sebagainya. Oh Gusti Pangeran, betapa mengerikan sebutan itu terdengarnya. G.U.R.U. Aku guru apa? Berbicara mengenai guru, aku jadi teringat pada mantan penyeliaku, Dr. Carijn Beumer.

Carijn, if you happen to search your name via Google and stumble to this page, I want you to know that I'm really trully deeply sorry that I didn't consult you first before writing my thesis. This is not about the grade or anything. I'm afraid I had offended you. I really want to apologize for that. I really want to know that I'm forgiven, that my apology is accepted. I didn't mean to offend you in any manner by submitting those stupid chapters without firstly consulting you about the outline or anything. It was only that I screwed up. Yes I admit that I was a bit upset and dissapointed with what I understood as how developed countries see the problem of sustainable development. This is not about any individuals in particular, or ICIS, or UM. That foolish disappointment, I admit, affected my motivation in attending the courses. But that surely is no reason to not doing my thesis in a proper way i.e. consulting my supervisor first. I believe, should I've worked more under your supervision, I would've learned so many more things from you. It's needless to say that Dr. Maud Huynen was so kind to be willing to supervise me, though. Carijn, I want you to know that I feel really bad about this.  See, it's been quite some years and I still feel very bad about it. Please let me know if ever I'm forgiven. Please.

Ini dia guru gadungan itu!
Jadi begitu, Carijn. [loh koq jadi keterusan ngomongnya sama Carijn...] Aku sekarang guru. Kalau kamu orang Betawi, kamu pasti sudah bilang, "guru apa'an lo?!" dengan nada yang sama ketika aku mengatakan pada Goklas bahwa aku peneliti. Aku tidak pernah benar-benar nyaman dengan sebutan ini, setidaknya sampai malam ini; dan tidak ada satu pun yang dapat kuajak bicara mengenai perasaan ini, apalagi di FHUI. Di FHUI, semua merasa guru; setidaknya Hadi dan Bang Andhika yang sudah mengaku. Jagad Dewa Batara, apalagi mengajar hukum! ... Daripada berkeluh-kesah terus begini, bagaimana kalau nyolot saja sekalian? Aku bertekad akan mengubah FHUI menjadi sebuah BIARA! Karena, seperti kata Guruku Hazairin, hukum yang baik itu mencerminkan rasa kesusilaan masyarakatnya, jika tidak maka itu adalah hukum yang DZALIM! ... baru sebentar saja aku sudah lemas lagi. Pasti banyak yang tidak setuju. Dan bukan aku orangnya untuk memaksakan kehendak. Aku tidak mau begitu. Aku ini... biarawan hahaha. Aku ini... pertapa hohoho. Aku menempuh jalan... ahimsa hihihi. Sahaya ini... sekadar mencari uang, Para Sanak. Mohon kiranya maafkan sahaya. Sungguh sahaya malu mencari uang dengan cara begini, tapi hanya inilah yang sahaya mampu lakukan. Mencangkul tidak kuat, bercocok-tanam tidak mengerti, menukang apa lagi. Hanya ini yang sahaya mampu... berbual-bual entah apa. [sambil menangis mengguguk]

Tuesday, January 01, 2013

Selamat Tahun Baru 2013, Banyak Sekali...


Hore! Hore! Selamat Tahun Baru 2013! Selamat Tahun Baru! [...dan seekor capung begitu saja melintas di setentang mata...] Wedyan! Tahun 2012 menggila dengan 69 entri, dan bulan Desember 2012 adalah satu-satunya bulan di Kemacangondrongan yang penuh terisi entri dalam ke-31 harinya. Benar-benar wedyan! Harus diulangi tidak ya prestasi ini? Harus dipertahankan tidak? Prestasi ndasmu! Satu-satunya yang hebat dari tahun baru ini adalah, jika diperhatikan di menu kiri, adanya tahun baru, yakni 2013; dengan satu entri, yakni INI, dengan judul "Selamat Tahun Baru 2013, Banyak Sekali..." Apanya yang banyak sekali? Bilangannya, para sanak, bilangannya. Jika merujuk pada beberapa film fiksi ilmiah, seperti salah satu episode Misi: Mustahil (Mission: Impossible) yang asli, seharusnya tahun segini umat manusia sudah punya koloni di Mars. [...masalahnya, emang Mission: Impossible fiksi-ilmiah? Lagipula, ada juga serial tivi. Lagipula, dalam episode itu cuma ada mobil-mobil berbentuk aneh seperti roket, koq; dan tahunnya pun belum sampai angka 2000 jika tidak salah] Kalau patokannya adalah serial Buck Rogers yang pernah tayang di TVRI awal '80-an, maka masih lama karena ceritanya dalam serial itu sudah 2491. Jadi masih ada banyak waktu untuk bersiap-siap menghadapi Putri Ardala dan kaki-tangannya, Kane Si Pembunuh. Namun demikian, sudah terjadikah sekarang apa yang dibayangkan dalam film-film fiksi ilmiah dahulu? Cukup banyak yang sudah. Sayangnya, sebagian terbesarnya, seperti halnya semua film itu, tidak berguna.

Lalu orang-orang miskin ini di Depok... Penghasilan mereka dalam sebulan mungkin paling banyak hanya sepertiga, atau maksimal seperdua, dari apa yang kuterima tiap bulannya dari UI. Itu jika melihat rumah-rumah mereka yang tidak lebih kumuh dari kawanku satu RW di Kemirimuka, Dodi Prayogo. Akan tetapi, tadi aku berkesempatan meninjau kampung tempat mereka tinggal. Menyambut tahun baru ini, di beberapa titik terdapat sekumpulan orang dengan alat pemanggang bertenaga arang kayu, siap dengan ikan, ayam, cumi dan jagung. Jagung itu juga sempat membuatku heran tadi sore. Di sudut-sudut jalan kulihat orang menumpuk jagung sampai beberapa karung. Aku sempat berpikir, waduw kasihan betul orang-orang ini panen jagung hari begini. Siapa juga yang mau makan jagung tahun baru begini? Ternyata aku salah karena luput melihat alat-alat pemanggang yang juga mereka jual. Oh, jadi begini kebiasaan orang-orang miskin Depok merayakan tahun baru. Sempat juga kuamati tadi, beberapa hanya punya jagung untuk dibakar. Mungkin ini yang paling miskin. Mereka yang punya kelebihan uang tentu bisa membeli lauk-pauk bagi jagung bakar itu. Lauk-pauk bakar... pengalamanku main bakar-bakaran tidak begitu baik. Biasanya tidak enak. Lagipula, buat apa pun bakar sendiri kalau beli lebih mudah, terjamin enak pula. Yah, tapi itu pikiran orang kaya sepertiku. Aku mungkin tidak bisa menghayati makna di balik main bakar-bakaran menyambut tahun baru seperti yang mereka lakukan; termasuk mengapa juga harus membakar kembang api, 'kan bikin kaya orang China [baca: Chaina, seperti para penyiar Metro TV itu grrr] saja.

Berbicara mengenai orang Chaina, Asia's Next Top Model kurang ajar telah menipuku. Rachel katanya orang India, ternyata warganegara Singapura [yang harus segera dikembalikan status dan kehormatannya sebagai Kecamatan Tumasik] keturunan Tamil! Wah, kalau begitu caranya, kalau peserta acara diidentifikasi tidak dengan kewarganegaraannya tetapi etnisitasnya, bisa tambah sedikit negara Asia yang diwakili dalam acara itu hehehe... Nanti kalau begitu dibilang rasis, diskriminatif. Ini memang mbelgedes semua, se-mbelgedes tempat penyelenggaraannya. Berhubung sudah dimulai, baik diteruskan saja. Sekali lagi saya tekankan di sini, kerakusan dan sifat buruk apapun pada dasarnya tidak bisa diatributkan secara eksklusif pada suku bangsa atau kebudayaan manapun. Akan tetapi, ya, akan tetapi, ada satu bagian dari cerita masa lampau yang mungkin sudah terlupakan bagi kebanyakan orang, yang mungkin seharusnya tidak lupa. Kehancuran Majapahit setelah mangkatnya Prabu Hayam Wuruk tidak bisa dilepaskan dari peranan orang-orang Cina Muslim, yang oleh Prabu Hayam Wuruk diizinkan tinggal di Lasem karena tidak bisa pulang ke negaranya. Mereka, entah mengapa, tidak puas dengan izin itu dan ingin memantapkan klaim mereka atas Lasem, dengan masuk ke dalam intrik-intrik politik Keraton Majapahit. Mereka ingin memastikan agar "orang"-nya menjadi raja! Sebuah kerajaan besar yang kuat digerogoti dari dalam oleh orang-orang yang, sekali lagi entah kenapa, jadi rakus dan jahat begitu! Sabdopalon dan Noyogenggong mengatakan bahwa orang yang dapat memperbaiki kerusakan besar ini adalah orang yang mampu memadukan kejawaan dan keislaman dalam dirinya. KEISLAMAN, bukan kecinaan, bukan kearaban, apalagi yang lainnya!

...kalau ketamilan bagaimana, boleh 'takkethak ndasmu!