Monday, October 15, 2007

Maybe


Deep inside the forest is a door into another land
Here is our life and home
We are staying, here forever
In the beauty of this place all alone
We keep on hoping

Maybe
There’s a world where we don’t have to run
And maybe
There’s a time we’ll call our own
Livin’ free in harmony and majesty
Take me home
Take me home

Walkin’ through the land
Where every living thing is beautiful
Why does it have to end
We are calling, oh so sadly
On the whispers of the wind
As we send a dying message

Maybe
There’s a world where we don’t have to run
Maybe
There’s a time we’ll call our own
Livin’ free in harmony and majesty
Take me home
Take me home


Friday, October 12, 2007

Sahur Terakhir Ramadhan 1428H


Entri ini kutulis di kamar kos, sekitar jam 02.30, setelah aku makan sahur Mie Aceh yang berasal dari mie basah yang sepertinya benar-benar masih basah. mungkin baru dari pasar, karena waktu datang masih dalam kantong plastik besar. Sebelumnya, aku memutuskan untuk sahur lebih cepat karena tidak bisa tidur, perut sakit karena kosong.


Mungkin kita harus mulai dari fakta bahwa perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan di Eropa baru mulai setelah kehidupan secara umum menjadi lebih baik. Maksudnya banyak orang kaya yang sudah tidak kepingin apa-apa lagi; semua sudah pernah mereka cicipi, dan semua sudah tersedia; baru mulai mereka terpikir yang aneh-aneh. Mudah dipahami sih. Siapa bisa berpikir kalau perut perih karena menggiling angin, dan pasokan glukosa ke otak kurang. Nah, ini berimplikasi pada masalah lain yang jadi sangat menarik: Apakah kemudahan hidup menghasilkan manusia dengan kualitas yang lebih baik?

Apa itu kemudahan hidup? Teknologi? Apa itu manusia dengan kualitas yang lebih baik? Volume otak yang lebih besar? Akibat diet tinggi karbohidrat? Diet tinggi karbohidrat menyebabkan volume otak membesar, atau volume otak yang besar menyebabkan kebutuhan karbohidrat yang lebih tinggi? Lebih mungkin yang terakhir, sih. Jadi manusia sekarang adalah keturunan mereka yang bervolume otak besar, sehingga membutuhkan karbohidrat yang lebih tinggi. Kemudahan hidup memungkinkan diet tinggi karbohidrat diupayakan dengan lebih mudah, akibatnya... Wah, mulai liar sehingga kusut tak terkendali. Pasti ada yang sudah melakukannya dengan lebih sistematis. Kalau ga salah ada beritanya di Yahoo deh kemarin...

Tentang mengapa aku peduli pada ini semua, well, dari lahir aku termasuk orang kaya. Secara sosial ekonomi, aku, seperti halnya orangtuaku, dan sepertinya orangtua mereka juga, secara relatif lebih baik keadaannya dibandingkan dengan kebanyakan orang pada masa masing-masing. Jadi jelas saja, ini ada kaitannya dengan: Tidak terlalu kaya untuk tercerabut dari kenyataan, tetapi tidak terlalu miskin untuk akhirnya menyimpan dendam. Sambil menulis begini, jawaban-jawaban ternyata muncul satu per satu. Pertanyaannya bukan, "Haruskah kaya dulu baru mengurus ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan?" tetapi lebih pada bagaimana caranya kekayaan dihasilkan dan disebarluaskan, dan untuk itu sudah ada teladan yang sempurna, budi pekerti yang utama.

Tentang ilmu pengetahuan, sama juga. Bahkan, bukankah itu suruhan yang kali pertama diterima? Manusia harus berusaha tahu untuk mengetahui siapa sejati dirinya. Mengetahui jati dirinya, itu yang harus dilakukan siapa saja. Ada yang harus melakukannya untuk memfasilitasi orang lain, ada yang harus memfasilitasi agar semua orang dapat melakukannya, dan ada yang memang harus dibantu untuk dapat melakukannya. Tetapi bagaimana caranya mewujudkan kembali tatanan itu? Di mana tempatku dalam tatanan itu? Apakah ini ada kaitannya dengan urusan waris-mewaris? Tapi siapa? Bagaimana mengetahuinya? Wah, jadi mistis begini, jadi tidak ilmiah lagi. Emang apa sih ilmiyah?

Ilmiah itu adalah sifat yang merujuk pada apa-apa yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan di Eropa abad ke-19. Pada dasarnya, mereka semua adalah orang-orang yang relatif mapan secara ekonomi, sedang, atau paling tidak pernah merasakan kemapanan ekonomi. Bagi yang sedang merasakan kemapanan ekonomi, tentu mereka membiayai sendiri kegiatan ilmiah mereka. Sedangkan bagi yang pernah merasakan kemapanan - dan oleh karena itu otak mereka tentu bermutu tinggi - seringkali mendapat dukungan dana dari maesenas-maesenas. Kegiatan mereka pada dasarnya dapat disimpulkan sebagai kegiatan mengurus segala urusan yang tak mungkin terpikirkan oleh orang-orang yang masih harus berkutat dengan urusan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar.

Ada yang mengamat-amati kulit kerang, paruh burung, tulang-belulang yang sudah membatu, lapisan tanah, kerumunan orang di pantai, catatan-catatan kuno, dan banyak lagi. Tidak sekedar mengamat-amati, mereka melakukannya seakan-akan tidak ada yang lebih penting dalam hidup ini jika dibandingkan dengan apa yang mereka lakukan itu. Terserah apa klaim mereka, pokoknya, mereka melakukan itu dengan sangat, sangat, sangat, serius sekali; tidak disambi dengan kegiatan-kegiatan lainnya, yang mungkin bagi mereka terlalu sepele, remeh-temeh, tetek bengek sehari-hari.

Setelah melakukan itu semua, setelah mereka sampai pada suatu gagasan baru yang mereka yakin belum pernah didengar orang, baru kemudian mereka menulis dan atau berceramah, menceritakan apa-apa yang telah mereka kerjakan dan hasil-hasilnya. Kesimpulan-kesimpulan harus ditarik hanya setelah menjalankan cara-cara tertentu, cara-cara mana harus dapat diulangi atau dikerjakan oleh siapa pun. Dengan demikian dapat diuji apakah orang lain akan sampai pada hasil yang sama, hasil mana kemudian disimpulkan kembali; siapa tahu ada segi-segi yang luput disimpulkan, atau malah tiba pada hasil-hasil yang sama sekali berbeda karena ada masalah dalam cara-caranya. Intinya, menulis dan berceramah adalah pungkasan dari rangkaian kegiatan yang sangat, sangat, sangat panjang, dan biasanya membutuhkan biaya yang sangat, sangat, sangat tinggi.

Itulah "kegiatan ilmiah," jelas bukan sekedar mengolah paradoks-paradoks kecil di dalam benak sendiri, apalagi sekedar cingcong. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan adalah kegiatan orang kaya, karena biayanya sangat tinggi; atau kalau tidak mau begitu, kalau benar bahwa ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan itu sebegitu pentingnya, maka bila ada uang sisa setelah memenuhi kebutuhan dasar, belanjakanlah untuk itu. Berapa banyak "ilmuwan" yang kukenal, yang melakukan "kegiatan ilmiah"? Ah, sama seperti semua orang, mereka sekedar mencari sesuap nasi dan segenggam berlian, ha ha lucuk!


Allah Illahi Rabbi, berakhir sudah Ramadhanku. Beginilah bentuknya. Kasihanilah hamba, ampunilah hamba. Hanya Belas Kasih dan AmpunanMu tinggal harapanku. Oh Allah Gusti, ijinkanlah hamba memohon, sekiranya sampai hamba di Ramadhan berikutnya, tingkatkanlah mutunya. Oh Allah Gusti hamba, sembari menunggu, jadikanlah hamba selalu mengingatMu, selalu bersyukur kepadaMu, dan jadikanlah hamba termasuk hamba-hambaMu yang meningkat mutu penghambaannya. Aamiin.

Thursday, October 11, 2007

Percobaan Membuat Kepsyen yang Gagal


Gambar menara pengawas mantan bandar udara (bandara) Kemayoran ini mungkin diambil oleh fotografer Majalah Angkasa pada tahun '90-an, kurang lebih sepuluh tahun sejak segala aktifitas bandara ini dihentikan pada tahun 1985. Sungguh sedih bila melihat keadaannya seperti di gambar itu. Bangunan di sebelah kiri itu adalah kandang truk-truk pemadam kebakaran yang seingatku besar-besar sekali, mungkin karena aku masih kecil waktu itu. Warnanya merah seperti pada umumnya truk pemadam kebakaran, berbeda dengan yang di Cengkareng; warnanya kuning, mereknya Chubb.

Kelompok bangunan di sebelah kanan itu seingatku perkantoran, kantor apa aku tidak tahu; bukan urusan anak kecil, pada waktu itu. Aku masih ingat tangga untuk naik ke atas menara setinggi 25 meter itu, dari besi seperti lantai bis PPD. Lalu setingkat di bawah ruang ADC, berkarpet hijau ada ruang APP yang seingatku pada saat itu saja sudah tidak digunakan. Ada dua benda yang paling kuingat di sana, yaitu semacam lampu isyarat yang filternya bisa diganti-ganti, merah, kuning, hijau... apa itu ya; Lalu, mungkin, semacam seismograf, atau entah apa. Ada lengan kecilnya yang dapat bergerak bebas, di lengan kecil itu ada ujung pena yang menulisi kertas berjalan. Adikku mungkin bisa menggambarkan keadaan menara ini dengan lebih baik.

Sesungguhnya bukan itu benar yang ingin kubicarakan. Hari ini tanggal 29 Ramadhan 1428H, Ibuku sakit di rumah. Masuk angin, karena kemarinnya kurang tidur. Yah, begitulah ibuku. Perfeksionis sampai pada taraf obsesif. Aku diminta pulang untuk memijat Ibu, karena memang pijatanku Alhamdulillah bisa membuat Ibu merasa lebih baik. Namun aku sayangnya belum bisa pulang, karena komitmen yang telah kubuat untuk memperjuangkan demokrasi liberal sampai sukses. Semoga dengan cara lain Ibu bisa merasa lebih baik. Semoga Allah selalu menjaga Ibu dan Bapak dengan penuh kasih sayang, seperti mereka menjagaku dan adik-adikku selama ini. Aamiin.

Inilah yang sebenarnya ingin kubicarakan. Bapak dan Ibuku telah memberikan kepadaku masa kecil yang gilang-gemilang, sebagiannya selama di Kemayoran. Di Kompleks Angkasa Pura K-28 Kemayoran Gempol. Di sepanjang jalan Bendungan Jago. Di sepanjang tepi landasan utama Bandara Kemayoran. Di tempat-tempat lainnya, Kebayoran baru, Cimone Tangerang, kembali lagi ke Kebayoran sebentar, selama di Magelang lalu Surabaya. Benar-benar Bapak dan Ibu telah menjadi sumber rasa nyaman bagiku. Hanya Bapak dan Ibu, tidak yang lainnya, sampai aku harus memasuki hidup dewasaku.

Kini kubertekad, akan kukembalikan semua kegemilangan itu. Akan kualami lagi semua rasa nyaman itu. Akan kuhadirkan kembali semua kebahagiaan itu. Kali ini sepenuhnya atas tanggung-jawabku. Jika dahulu aku sepenuhnya bergantung kepada Bapak dan Ibu, maka kini aku harus dapat menjadi tempat mereka bergantung. Tempat mereka menemukan rasa nyaman dan kebahagiaan. Sudah sewajarnya itu. Insya Allah bukan sesumbar yang berlebihan, ampunilah hamba Oh Allah. Tidak ada yang lebih penting daripada itu bagiku sekarang. Akan kulakukan dengan atau tanpa bantuan dari siapa pun.

Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan mereka, Harnowo dan Meity, merekalah manusia-manusia terpenting bagiku. Merekalah tokoh-tokoh idolaku. Merekalah segalanya bagiku. Akan kucurahkan segala daya upayaku, bersama Allah Maha Perkasa melindungiku, bagi mereka. Dan karena tiada lain tujuan mereka adalah akhir yang baik dalam perjalan pulang mereka. Itulah yang atas IjinNya akan kupastikan. Ijinkanlah hamba Oh Allah untuk ambil bagian dalam memastikan akhir yang baik bagi mereka. Aamiin.

Gambar-di-Kanan Pertama


Manusia adalah binatang yang jahat. Tepatnya, hanya manusia yang boleh dikatakan sebagai binatang yang jahat. Nanti dulu, seharusnya hal ini kukaitkan dengan volume otak yang semakin besar, sehingga membutuhkan pasokan gula yang lebih besar daripada mahluk-mahluk lainnya. Tetapi aku sedang ngegantung gara-gara Lasagna Beef keparat! Hah! Teruslah memaki-maki makanan! Teruslah memaki-maki segala sesuatu!

Aku ingat dahulu kesadaran seperti ini pernah datang padaku, di suatu hari. Suasananya pun masih ingat. Rasanya mirip seperti sekarang ini. Aku hanya mengenakan kaus dalam. Berkeringat. Masih bercelana panjang. Itu pasti kelas 2, karena rasanya relatif bebas. Kenapa aku terus memaki, begitu batinku waktu itu. Waktu itu ada Catur tidak ya? karena seingatku aku mengajaknya. 'Tur, begitu kataku, mari kita berhenti memaki. Ayo, kata Catur.

Harus seperti itu lagi! Aku butuh pencapaian besar! Aku butuh melompat sangat jauh, eh, jauh saja, deh, jangan berlebihan. Ingat kata Muthahari, moderasi! Tapi tetap aku butuh lagi yang seperti itu. Keteguhan. Ayo, kau pemburu! Tunjukkan keteguhanmu! Kau terlahir sebagai pemburu. Nalurimu terbentuk untuk selalu waspada. Berhubung tidak ada lagi yang mampu membahayakanmu dari persekitaranmu, maka hanya satu lagi yang masih tersedia untuk menyalurkan naluri kewaspadaan pemburumu: KAU!

Ya, kau sendiri! Sebentar... salah satu cara mewaspadai dirimu sendiri adalah membatasi asupan gula ke otakmu, yang mana sudah pasti menurunkan kewaspadaan... Hlah! Agar waspada maka menurunkan kewaspadaan? Ini paradoks! Ini sebuah paradoks untuk diolah oleh otakku yang sudah kebanyakan gula. Ayo olahlah! Olah! Tidak bisa... tidak sekarang mungkin, lain kali saja...

Agresifitas itu padanan katanya apa ya dalam Bahasa Indonesia? Kami Bangsa Indonesia, berbahasa satu, Bahasa Indonesia! Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa! Tiada yang lebih penting daripada persatuan dan kesatuan bangsa. Wawasan Kebangsaan. Wawasan Kejuangan. Wawasan Kebudayaan. GEMBEL! Padanan agresivitas saja tidak ada! Agresifitas atau Agresivitas? Rumput Biru! Glukosa, glikoken, adrenalin, insulin, testosteron... Ngapain aku masuk hukum ya? Ngapain aku sekolah ya?

Biru Kocok! Kasihan Bung Karno, musik-musikan ngak-ngik-ngek gila-gilaan. Yang begini koq bisa masuk pidato resmi kenegaraan ya? Pasti LBJ jijiq sekali mendengarnya, maka ia dibilang demagog, maka ia dibilang diktator. Bung, tapi apa lagi yang harus dilakukan selain itu, jika ingin - paling tidak - kata agresifitas ada padanannya dalam Bahasa Indonesia. Kini Bung sudah entah kemana. Eh, Bung, aku pernah jadi anggota GMNI lho, walau ga pakai PPAB, karena aku caretaker.

UUD 1945
Sosialisme Indonesia
Demokrasi Terpimpin
Ekonomi Terpimpin
Kepribadian Nasional

Wednesday, October 10, 2007

Ramadhan yang Pergi Karena Kuabaikan


Kiranya hancurlah sudah apa yang pernah kubayangkan dahulu, setahun penanggalan bulan yang lalu. Aku berjalan mengantarkan Puus pulang ke kostnya, dan kukatakan kepadanya: "Semoga tahun depan aku sudah tidak sekusut ini sehingga aku bisa menikmati Ramadhan yang khusyu'." Yang kubayangkan mengenai Ramadhan yang khusyu' adalah tarawih sebulan penuh. Jelas hal itu tidak terjadi.

Tinggal dua hari lagi Ramadhan, dan tak satu hari pun kuisi dengan ibadah tambahan. Shalat wajib saja tidak meningkat sama sekali mutunya. Sama, atau bakan lebih buruk dari sebelum masuk Ramadhan. Kini, Ramadhan sudah hampir angkat kaki. Sungguh bagiku ia bermuka masam. Tentu saja karena ia kuacuhkan. Jangankan kusambut dengan pantas, melangkahkan kaki membuka pintu saja enggan.

Sekarang, seperti biasa keluhanku, aku sedang buntu. He he he, sama saja ternyata sama Ditta, ada waktunya seperti ini. Tapi semua pekerjaan tentu mengalami fase seperti ini, sejauh pengalamanku selama ini. Semua saja pekerjaan. Dan kalau memang sudah waktunya selesai, selesai saja ia begitu saja. Hasan berkata ia sudah sampai bab empat, yah, baguslah itu. Setelah segala apa yang kulalui, setelah selama ini aku berkutat dari yang ini ke yang ini lagi, sampailah aku pada titik ini. Benar-benar melatih stamina, melatih kesabaran.

Ah, sudahlah. Aku sedang tidak butuh kebijaksanaan. Lagipula, siapa yang suruh harus terus-menerus bijak? Buka puasa tadi saja sudah tidak bijak. Tuna Egg Croissant Sandwich, Boston Creme, dan Cokelat Panas. Tidak lagi-lagi dalam waktu dekat. Seorang diri lagi di ketinggian. Memang menyenangkan sendiri saja.

I've searched and I've searched but I never find
Nowhere on earth to gain a peace of mind


Bidadari, Demagogi, dan Chimpanzee


This is to test a multiple-pictures page


Bidadari adalah salah satu subjek yang sangat mengundang perdebatan. Benarkah bahwa di kehidupan kekal nanti masih ada birahi? Penggambarannya, kalau mau jujur, memang sangat badani. Tetapi kiranya harus diingat bahwa kemungkinan besar semua citraan itu bermakna ganda. Bisa jadi itu adalah suatu pengibaratan, namun sangat bisa jadi itu adalah deskripsi gambaran inderawi sekaligus juga badani. Salah satu citraan favoritku adalah "mata hur-hur". Waouw, apa gerangan yang dimaksud dengannya, sebagai suatu ganjaran yang tiada tara bagi usaha yang tentu sangat keras.

Terus terang aku tidak suka dengan ungkapan "meminang bidadari surga, maharnya tidaklah murah". Ah, duniawi sekali. Seakan semua jerih payah di tempat celaka ini hanya untuk meminang bidadari di surga. Harus ada janji yang jauh lebih menggiurkan lagi dari ini. Lagipula, ungkapan itu menurutku mengesampingkan sentralitas ketokohanNya dalam semua ini, Kemurahan dan AmpunanNya dalam menyelamatkan mereka yang lalai sampai para pendurhaka. Bersama KekasihNya memandangi WajahNya, nah, itu baru sepadan!

Oleh sebab itu, sungguh, kalau aku boleh memilih, aku lebih ingin jadi seorang pendiam. Aku lebih suka menjadi air dalam yang tenang permukaannya. Siapa yang bisa menjamin kedalamanku, apalagi relatif terhadap yang lain? Danau Baykal masih lebih dalam dari Danau Victoria, dan entah pasti ada danau-danau purba yang lebih dalam lagi. Adakah aku ini contoh nyata air beriak tanda tak dalam? Oh Allah Gusti, apapun hamba, tunjukkanlah jalan yang selamat menuju keselamatan. Sungguh tiada tahu hamba mengapa hamba jadi begini, meski bila hamba berkata bahwa tiada pernah hamba meminta terlahir begini, itu adalah suatu kedurhakaan.

Berbagai-bagai macam engkau ciptakaan Oh Gusti hamba, bermacam-macam ragam. Untuk apa mereka semua? Ampuni hamba mahluk yang bodoh dan picik lagi pongah dan angkuh, Ya Pencipta Belas Kasih. Engkaulah yang membiarkan primata berbatang tenggorok sempurna berpita suara terus hidup beranak-pinak, dan di antara mereka ada yang cingcongnya luar binasa seperti hamba. Oh Allah Gusti, kasihanilah hamba, ampunilah hamba. Demagogy: Political strategy for obtaining and gaining political power by appealing to the popular prejudices, fears and expectations of the public — typically via impassioned rhetoric and propaganda, and often using nationalist or populist themes.

Namun demikian - Aha, ini topik favoritku - betapalah ngeri keadaan kita di sini, wahai saudara. Ngeri betul! Ada saja di antara kita yang menggunakan cingcongnya untuk merayu perempuan, padahal yang dia inginkan dari perempuan itu tiada lebih dari apa yang diinginkan sepupu Simpanse jantan dari betinanya. Aduhai! Amboi! Kita manusia, dengan segala alat kelengkapan yang kita kumpulkan selama beratus-ratus ribu tahun; dan untuk meyakinkan bahwa kita saja yang punya alat-alat itu, kita basmi sepupu-sepupu kita yang lain. Kita sisakan sepupu Simpanse, Gorila, dan Orangutan; yaitu sepupu-sepupu yang paling tidak lengkap alat-alatnya.

Dan antara lain dari rayuan gombal tengik itulah, aduhai, jumlah kita berlipat-lipat luar binasa banyaknya. Bodohnya! Kita katakan, spesies ini paling adaptif, maka jumlahnya banyak. Spesies itu kurang adaptif, maka punah. Amboi! (amboi aduhai melulu!) Kitalah spesies paling adaptif! Tahu kenapa? Karena kita bisa membunuh untuk alasan-alasan lain selain makan. Semua saja membunuh, termasuk membunuh rumput atau memodifikasi sel, tapi mereka semua membunuh hanya untuk bertahan hidup. Kita membunuh karena kebiasaan! Kita membunuh untuk kesenangan! Untuk hobby! Aduhai! Amboi! tuh kan cingcong lagi...

Tuesday, October 09, 2007

Demokrasi Liberal Kumis Kucing


Siawl, koq gua jadi ikut-ikutan setres gara-gara demokrasi liberal kumis kucing Nya' Sopian, tapi yang lebih seteres lagi, akankah aku dapat menyelesaikan skripsiku dalam waktu dua bulan saja. Itu karena aku merasa bahwa skripsiku harus sok dahsyat. Kalau biasa-biasa aja, pasti tidak jadi setres. 'Ntar dulu, aku bener gak sih nulis liberalnya? l-i-b-e-r-a-l atau l-i-b-e-l-a-r?

Har har har emang gua Sopian disleksia. Masih aja tuh bocah, yang sekuralisme-lah, libelar-lah. Ora opo-opo, yang penting jadi pegawai BHMN. Lagipula dia bilang, kalau dia udah jadi propesor nanti aku boleh mbersihin salah satu mushala di FHUI. Baik benar dia 'tu. Ya sudah mari kita doakan agar Sopian segera saja jadi propesor.

Tadi aku, seperti biasa, cingcong lagi sama Sopian, bahwa hidup seorang demagog itu pasti sepi. Bung Karno melawan takdirnya sebagai seorang demagog dengan mencoba mengusir kesepian dari dirinya, dengan cara... well, you know lah. Tidak! Seorang demagog pasti harus kesepian di dunia ini. Kerja dia nyingcongin orang, maka tak seorang pun ditakdirkan untuk cingcong balik padanya. Ia tidak bisa membagi keluh-kesah kenapa siapa pun di dunia ini. Padahal Bung Karno punya Istana Cipanas, Istana Tampak Siring. Wah, itu betul-betul tempat yang ideal.

Ya, seorang demagog harus cingcong kepada semua saja orang lain di siang hari, tetapi di malam hari, atau kapanpun ia sendiri, ia harus menyediakan diri untuk dicingcongi oleh Yang Maha Cingcong. Oh, kasihan sekali kalian para demagog. Bukan karena hidup kalian yang sepi itu, itu tidak mungkin ditawar lagi. Harga mati. Bahkan gunung pun luluh lantak mendengar CingcongNya. Kiranya hanya Musa, dan orang-orang yang sekuat dia, yang mampu menahan CingcongNya. Maha Benar Ia dengan segala CingcongNya!

Kembali kepada masalah kumis kucing, Ige mengartikan bidadari secara sangat fisik. Yeah, itu terpulang kepada pengalamannya. Aku pun punya pengalamanku sendiri, karena aku seekor Simpanse yang kadangkala merindukan untuk dijadikan kucing saja. Tapi kalau boleh jangan yang bodoh seperti Bule, jangan pula seperti Coko, apalagi seperti Khusus. Seperti Keley? Tidak juga... Seperti Opa Cempey? ...Jangan juga. Terus seperti siapa dong?!

Well, Simpanse akan selalu menjadi simpanse, yang menyalurkan hasrat birahinya sambil menikmati pisang atau seranting penuh rayap. Itulah kebebasan! Itulah liberal! Jadi, kalau kau tidak doyan pisang, apalagi tidak doyan seranting penuh rayap, berarti bukan liberal. Berarti kau harus tunduk khidmat kepada seorang RAJA!

Moritori te Salutant!


Sunday, October 07, 2007

Bersama Lagi di Kerendahan


Misalkan terjulur itu aku selesa tak berbelit di sela-sela
Misalkan teruntai itu engkau merasa tak berambut di sana
Misalkan terjalin itu kita meliuk tak berkubang di awal mula
Maka mendesak aduh melenguh rusuh memburai mencairnya

Pelepah menjuntai indah meneteskan nira
Harum bagai madu manis bagai bunga
Berbalut lembut terawang sutra
Ah, keindahan dunia fana

Sementara berderai-derai 'ku mau tertawa
Sementara mendengking-dengking kau terlena
Tegak menantang langit-langit kamar redup cahaya
Terus menetes-netes dari liang mencangkung di atasnya

Berlipat-lipat dua lapis indah bentuknya
Beringsut-ingsut keluar cairannya
Berbinar-binar bola mata
Ah, kau dunia fana

Sendiri Lagi Di Ketinggian


Aku mengetik seorang diri di Lantai 4 Gedung D FHUI, di laptopnya Parul, sambil mendengarkan Slow Machine-nya Parul. Uah, betapa enaknya seorang diri. Betapa besarnya kebutuhanku atas kesendirian. Di sana kelak, di dalam liang aku 'kan sendiri saja. Benarkah itu? Ataukah aku akan berada di tempat lain? Entah. Perutku tak kunjung beres juga, mungkinkah akan mengantarku ke dalam liang kesendirian itu?

Apapun itu, semoga Allah menjadikanku termasuk hambaNya yang bergembira harap-harap cemas untuk bertemu denganNya. Mati adalah satu-satunya cara yang paling jelas, bagi mahluk lemah sepertiku. Di dunia ini, kecil harapanku untuk bertemu denganNya. Oh Allah, Maha Tahu Engkau atas segala pertanyaan yang memenuhi benakku. Hapuslah atau jawablah.

Ramadhan akan segera berakhir, tinggal beberapa hari saja. Mengerikan sekali! Tak sekali pun, tak sedikit pun aku berusaha meningkatkan kualitas penghambaan. Tak satu surat pendek pun, tak satu kali tarawih pun, tak satu kali tahajjud pun! Shalat pun semakin berantakan. Pikiranku kalut ke mana-mana, memikirkan apa yang kutinggalkan dan apa yang kuharapkan. Ngeri benar! Jangan sampai, amit-amit, aku mengakhiri hidupku dengan cara itu.

Aku berlindung kepadaMu Allah dari yang seperti itu. Hanya berlindung kepadaMu, berharap belas kasihMu, andalanku. Lantas, apa lagi yang dapat kuandalkan? Orang kata ini tanda kebodohan. Bila benar begitu, semoga Allah menghapus kebodohan itu dariku, membuang kemalasan dariku. Allahumma paksakeun?!

Jam biologisku kacau-balau. Aku tidak bisa tidur malam. Baru bisa tidur lepas Shubuh, baru bangun setelah Dhuhur. Tidak mungkin segar badanku bila begitu caranya. Padahal, Sofyan menunggu Bab IV-nya. Insya Allah, hari ini Allah memberikan kekuatan lahir dan batin untukku menyelesaikannya.

Sekarang sudah Ashar, hari Minggu seorang diri di Lantai 4 Gedung D FHUI. Sungguh nyaman rasa hatiku, segala puji bagi Allah. Sedikit aneh rasa perutku, memang selalu begitu dia, aku sudah nyaris tak peduli lagi. Tiada daya upaya, tiada kekuatan, kecuali dengan Allah Ta'ala. Maha besar Allah, Maha Besar Allah, Tiada Sesembahan selain-Nya.

Saturday, October 06, 2007

Santai Saja


Sepinggan sepi terhidang bagi semalam demam
Tak ada waktu lagi bagi bagi-bagi derma
Lebam di dalam sentak di dada
Menelan mempelam

Almanak hijau derasnya
Bilakah tiba waktu bagi samsara
Semakin jauh tapal batas jika terpermana
Aliran terasa ada di situ di mana tiada kemaluannya

Santai Saja!

Terasa takut di dalam sana
Terasa benar takut di dalam sana
Terasa benar-benar takut di dalam sana
Di bawah sana

Aku kemana?
Dingin
Aku bagaimana?
Gelap
Aku siapa?
Lembab
Aku kenapa?
Sunyi

Tidak mungin santai saja!

Wednesday, October 03, 2007

Suatu Posting Tanpa Aku, Aluna Sagita


Pak Erwin Gutawa berhasil melakukannya! Hampir tidak ada pemusik Indonesia yang berhasil membuat bersetuju sealbum suntuk. Jarang sekali, sangat jarang. Pak Erwin Gutawa-lah yang berhasil melakukannya, walau ia terpaksa menyuruh anaknya untuk keperluan itu. Tak apalah, yang penting hasilnya bersetuju. Hanya saja, sungguh teknik vokalmu, Dik, membawa kenangan pada seseorang, tiada lain Bibimu sendiri. Sekali lagi, tak apalah.

Selamat! Suatu strategi yang jitu! Entah apa yang ada dalam pikiran Sherina ketika ia menjejali albumnya dengan lagu-lagu ciptaannya sendiri. Sulit, sulit bersaing melawan Pak Erwin Gutawa yang memang senior itu. Semua ini tentu saja bisnis, dan bisnis ada yang untung ada yang rugi. Bisnis hiburan memang keparat, tak apalah kalau memang menghibur. Sungguh menghibur. Berkali-kali diputar tetap menghibur. Biarpun bajakan, tak apalah, tetap menghibur.

Kekesalan dan kemuraman yang menakutkan membuatnya berbuat banyak kesalahan, melakukan langkah-langkah yang tidak perlu. Mubazir. Bodoh. Jauh di kedung memusar kedengkian yang berarti tidak suka akan keberhasilan orang lain. Ini bukan tentang kamu, Dik, semoga Allah menolongmu dan keluargamu. Ini tentang pengumbar keindahan yang menguarkan bau. Sungguh menghentak jauh ke bawah membuat jengah.

Jengah yang basa-basi, tetapi selalu dipaksakan untuk tulus. Mau apa dikata, ketika yang tumpah ruah itu tak lain tak bukan api pembakar segala yang berguna, satu-satunya yang berguna. Aduhai, betapa benar belaka peringatan itu. Jangan menghambur ke telaga sejuk karena itu insinerator. Justru ke dalam insinerator itu masuklah. Aduhai, insinerator itu panas! Tidak! Itu sejuk!

Bukan! Telaga yang sejuk! Tumpah ruah mengalir membanjiri pandangan yang setegak tiang bendera tak mau ditundukkan. Kesal dan muram. Paksakan! Jangan berhenti di sini! Sama seperti ketika kau memaksanya sampai ke batas kekenyalannya. Meskipun ia masih saja kenyal, meskipun perih di sana-sini, meskipun tidak tampak ada luka, meskipun berambut tetap saja! Itulah sebabnya muka berpaling menatapi besi berkarat di sana-sini, telinga dipaksa mendengar denting sendok beradu dengan piring beradu dengan gigi.

Selama masih seperti itu, aliran hawa panas bagaikan mistral menerbangkan kestrel jauh ke langit-langit benua. Aliran hawa panas menggelegak dalam ketel seperti tidak sabar ingin segera meniup melalui lubang-lubang yang tersedia. Ketika lubang telah ditiupkan... diludahkan... cuih... mengalir melalui relung-relung kenyal kemerah-merahan. Bagaikan senja malu-malu bersembunyi di balik cakrawala!

Doo Be Doo Be Doo Be Doo Bae!

Lucy Bukan Malaekat yang Menyerbu dari Langit


Lucy bukan malaekat yang menyerbu dari langit, karena entah di mana ia sekarang. Lihatlah, ia menggendong anaknya dengan satu tangan, tangan kiri pula. Didekapkan anaknya itu ke dadanya. Lahap anak itu menyusu padanya. Siapa namanya? Siapa peduli? Adakah kalian mengenalinya, Lucy, dari sekelebat pandang saja? atau perlu sedikit lebih lama mengamati? Entah anak itu bernama Charlie, entahlah. Ia menyusu pada Lucy itu yang pasti.

Di manakah Charlie sekarang ini? Adakah ia berhasil membalaskan dendam ibunya? atau... adakah Lucy pernah mendendam kepada kita? Kita mungkin berhutang nyawa berhutang darah pada Lucy dan sanak kerabatnya, pada ayahnya, pada ibunya, pada saudara-saudaranya. Kita mungkin basmi mereka semua, karena mereka buruk rupa dan banyak makannya. Padahal, tak perlu sampai kita basmi pun cukup banyak makanan bagi semua; bagi Lucy dan saudara-saudaranya, bagi kita bersaudara. Yah, memang Lucy dan saudara-saudaranya lebih jelek dari kita, lebih bodoh dari kita; tetapi apa cukup alasan untuk membasmi mereka? Hanya karena jelek? hanya karena bodoh? Dengar! lamat-lamat rintih penderitaan Lucy dan saudara-saudaranya. Dengar! lamat-lamat dari setiap sudut kumuh yang kita tidak pernah mau tahu.

Jelaslah Lucy bukan malaekat. Charlie bukan malaekat. Ia tak bersayap. Ia tak membawa busur dan anak panah. Jangankan menyemai cinta di hati orang lain, membuat orang jatuh kasihan padanya saja ia tak bisa. Ia bukan malaekat. Ia tak akan bisa menyerbu, dan jelas tidak dari langit. Ia entah apa. Aku bukan siapa-siapa untuknya. Aku cuma mengira aku mendengar mereka. Lirih dan lamat-lamat, padahal tidak. Tidak pernah dalam hidupku kini aku mendengar mereka, tidak juga di hidup yang lainnya. Apakah pernah? Aku pun bukan malaekat, karena aku pun tak bisa menyerbu, dan aku pun tidak punya sayap, dan aku pun tak bisa terbang, dan aku pun bukan dari langit. Apakah pernah? Aku apakah pernah? Kita apakah pernah? Membunuh mereka? Membantai mereka? Mencincang mereka? Membasmi mereka? Apakah mereka? Apakah kita? Apakah aku?!

Laksana Malaekat Menjerbu dari Langit Djalannja Revolusi Kita! (tersedu tertahan)