Sunday, February 26, 2023

Separatos dari Bahasa Marka Peramban Internet


Apa jadinya jika di suatu Minggu pagi bermendung sistemmu dipaksa mencerna sekitar 200 ml es krim vanilla diberi bersaus cokelat, setelah sebelumnya menggiling setangkap muffin Inggris berisi dua potong sosis ayam asin mengapit selembar keju cheddar Amerika dan roti tipis kecil gulung berisi orak-arik telur ayam, sekerat daging asap tipis dan selembar juga keju cheddar Amerika. Jadinya engkau mungkin sedang berada di Albany, Atlanta, atau Augusta, yaitu kampung halaman JChosen, Avery, dan James, orang Afro-Amerikan semua. Mari, pergi terbang bersamaku!
Jika tidak 'ku buka lagi profil paling sialan ini, mungkin aku 'kan lupa bahwa Sang Suara pernah berduet dengan Si Tolol Bono yang tentu membuatku jengkel dari waktu-waktu yang tak terperi. Sedang belum lama ini hampir-hampir saja aku mengirim pesan instan kepada Bu Eti menanyakan resor apa yang dipakai untuk rapat kerja manajemen pada sekitar awal 2012. Semua ini bisa terjadi kapanpun, pada Minggu pagi bermendung yang manapun, meski Karen selalu saja mendamba kemarin sekali lagi, seperti halnya 'ku. Segelas lagi air panas 200 ml boleh 'lah pula.

Uah, meminta kembali pulang ke rumah bisa menjadi mengerikan ketika cinta sudah sama-sekali menguap, yang biasanya disebabkan karena adanya cinta yang baru. Bau selangkangan sudah menguar karena memang sudah tiga hari tidak mandi, membuatku mengingat tempat-tempat yang biasa 'ku anggap rumah. Suatu waktu larut malam kau kata cinta padaku. Cuih, apa cinta. Kasihan kambing kebanyakan makan ayam suntik sedang kurang gerak sehingga pikirannya istri tok. Kambing begini memang sebaiknya disembelih timbang keburu kawak, tak enak dimakan.

Sudah masuk alinea baru sedang gambaran audio akhirnya berganti menjadi burung malam. Ah, ini lebih menyedihkan lagi. Seorang gadis kecil, mungkin baru empat belas tahun, terpaksa minta dibelikan teh Saigon pada tentara Amerika umur dua puluhan awal, karena keluarganya habis dibunuh Viet Cong. Tinggal ia dan ibunya yang sakit, mungkin karena luka-luka yang dideritanya akibat Viet Cong memorak-porandakan kampungnya. Ada lagi lebih kecil dari itu berjualan sate nanas, sedang tentara Amerika lain ingin membuat jarinya bau. Membuat sesak dada.

Bisa saja 'ku lindungi mereka dengan mengatakan: "gadis-gadis ini milikku". Namun ini jauh lebih mengerikan lagi. Anak laki-laki yang entah mengalami apa di masa kecil dan remajanya, sampai ia menimpakan apa yang pernah menimpanya pada anak laki-laki lain ketika ia seharusnya dewasa. Ini menunjukkan bahwa kanak-kanak, remaja, dewasa benar-benar tidak berarti apa-apa. Sangatlah bisa dipahami jika Rasulullah, kedamaian semoga selalu atas beliau, mewanti-wanti umatnya mengenai si anggur busuk untuk sebelah mata; harus memohon perlindunganNya.

Di titik ini aku menyerah, dan itu sama sekali bukan berita karena aku memang jadi orang gampang menyerah. Tepatnya aku tidak pedulian, meski hujan menerpa wajahku sedang badanku tiada seberapa enak rasanya. Ini, 'ku akui, bukan sebuah entri yang bagus; sekadar 'ku kitiki karena aku ingin mengitiki. Apa harus 'kukitiki Ratu Bilqis dari negeri Saba. Adakah dia akhirnya menjadi Muslim karena diperistri Nabi Sulaiman alaihissalam. Keinginan membuat kaus juga masih ada, mengapa tidak beli kaus polo polos saja; atau dibordir agak apalah begitu.

Baru di alinea terakhir ini Penelope menjelang padaku, tapi untuk apa. Ia menguap begitu saja, bahkan tidak seperti asap dupa setanggi. Ia lebih seperti hembusan uap air dalam nafasku yang terperangkap masker dan mengembun di kaca mata hitamku. Aku bahkan tidak akan menyamakannya dengan uap air dalam nafasku ketika musim dingin di Belanda, karena aku tidak suka Belanda apalagi Siberia. Sungguh sedih jika seperti Mbak Dina yang sebenarnya lebih suka di sini tapi sedang harus melarikan diri ke Jerman. Untukku sendiri, sungguh aku tak peduli. 

Wednesday, February 22, 2023

Kisah Cinta, Kisah Batang Permen Lunak Dikunyah


Masa 'ku awali entri ini dengan pertanyaan mengenai dari mana 'ku mulai, ketika makanan tidak pernah benar-benar jadi masalah secara kuantitas. Bahkan aku pernah membuang seplastik penuh dendeng manis gara-gara dengan tololnya 'ku buat lodeh, malah jadi kolak daging dan sayur; 'ku buang di selokan. Menunggu datangnya trem nomor 26 jurusan Ijburg sudah pernah 'ku lakukan, dan rasa kesepian itu bukan main. Aku suka di sini, tak pernah 'ku sendiri meski sepi. Sunyi, sepi, sendiri adalah perpaduan yang kurang baik bagi orang yang secara mental beranjak tua.
Di luar rintik hujan mengelus membelai cucuran sebelum lagumu berakhir di penghujung pagi menjelang siang. Sungguh menarik suasana yang ditimbulkannya lahir batin, terlebih dengan penggambaran batang permen lunak berkaramel berlapis krim coklat. 'Ku t'lah ditinggalkan dan meninggalkan. Dua-duanya sama-sama meninggalkan rasa sakit tumpul di ulu hati, meski demi apapun bintang toedjoe tidak mungkin diakronim jadi Bejo. Kasur dakron lipat bergambar Tayo dan bantal Canon klasik yang dulu 'ku punya, sekarang menemaniku lagi di sini: Cuma Rp 118.000.

Adakah jika hujan berhenti aku 'kan pergi ke Alfamart, membela-beli seakan banyak uangku. Rejeki yang luas bentuknya bisa apa saja. Setiap entri yang 'ku kitikkan pun merupakan pertanda adanya rejeki padaku. Seandainya saja aku punya waktu dilanjutkan dengan tahukah kau ke mana kau akan pergi memang berasal dari waktu-waktu melewati kantor redaksi Kartini dan Ananda, yang banyak antenanya itu di atasnya. Tentu tidak setinggi yang di Radio Dalam. Dulu tampak baik dari kursi malas di teras atau jendela kamar tamu ke arah kebun belakang berpohon pipisang.


Aquarius baru saja berlalu, sampai aku berpikir akankah 'ku warnai biru alinea ini. Untunglah baik Jojo maupun Loretta Martin yang manis diteriaki ibu-ibu mereka masing-masing: "Kembali!" dengan suara organ tiup dan flut yang sebenarnya kocak; entah mengapa begitu tafsirnya. Akan halnya sesaset bejo 'ku tenggak lagi setelah memakan sepotong beng-beng mini dan dua keping biskuit marie, 'ku basuh saja dengan seteguk dua air hangat. Terlebih jika semangkok mie ayam bersambal jempol apo ronju masih dilanjut empat potong gorengan, dua oncom, satu cireng, satu bakwan, pembasuhnya pun teh botol yang 'duhai manis sekali.

Bersama Isadora dalam ketukan dua pertiga begini, entah mengapa aku ber-waltz ria ke Gedung yang dulu bernama POMDA di awal 2010-an. Di depan sekali langsung ada lapak gigitan kedua, tepat di emperan bakwan malang yang pernah jual nasi bogana juga. Di belakangnya ada goodank milik bekas adik iparku, dan jauh ke belakang sana ada Kantin Via. Uah, akhirnya 'ku ingat juga nama kantin yang menjual masakan-masakan Jawa tradisional itu. Di situlah Dedy Sudedy bertanya apakah aku masih bisa menyantet, sedang maksud sebenarnya ialah memelet Asmirandah.  

Sudah kurang lebih lima belas tahun berlalu dari waktu-waktu itu, ketika aku bangun tidur agak siang lantas terpikir makan bakwan malang atau gudeg Via mengajak Dedy Sudedy. Kini Dedy Sudedy beranak banyak, tak 'ku sangka dari waktu tiba-tiba ia relijius di Gang Pepaya sana, sedang biasanya menjodoh-jodohkan binatang atau tutup botol sekali. Aku pun tak percaya jika tidak banyak yang berubah padaku kecuali bahwa aku minum tiga macam obat darah tinggi setiap malam sekarang dan lebih berat sekitar dua puluh kiloan. Selebihnya, meski tak pernah lagi membeli puding mentega di omongan roti, aku masih teramat menyayangi Ibuku. 

Seperti sering 'ku lakukan di entri-entri terdahulu, disengaja atau tidak aku mengabadikan suatu waktu. Seperti sekarang ini, dalam waktu kurang-lebih setengah jam aku akan mengajar hukum koperasi lagi dalam Bahasa Inggris. Kini aku masih di tempat persembunyian menyanding semug dies natalis ke-91, yakni 2015, kopi susu jahe, ditemani orang asing dari Venezia. Benar-benar suatu perpaduan yang aneh, karena orang asing satu ini sudah menemaniku entah sejak kapan. Setidaknya dari hari-hari mengerikan di awal 1996 itu, hampir tiga puluh tahun lalu: Hati, hidupku.

Friday, February 17, 2023

Sebenarnya Maria Helena, Tetapi "H"-nya Tak Bunyi


Sejalan dengan merabun-dekatnya mata, kilau-cerlangnya dunia sudah tak lagi menyilaukan. Mengejutkan terkadang, membuat heran betapa kerjap-kerjapnya bagai sambaran halilintar; karena kerlap-kerling berlian tidak pernah mempesonakan. Jika selain Maria Helena masih ada Veronica apa mau dikata. Segala yang indah dan menyenangkan dari dunia ini memang untuk diraup dan direguk banyak-banyak, maka dua belum apa-apa. Tidak heran segala maharaja diraja sampai menumpuk banyak, hanya untuk ditanya kelak ketika segala kembali suwung: Siapa Maharaja Diraja di sini.
Bahkan ketika baru kedirian saja dihilangkan sudah terasa esoterisnya, maka 'ku kembalikan keakuanku. Maka sangatlah dapat dipahami jika lubang yang sembilan itu harus ditutupi. Kedua mata, kedua lubang hidung, kedua lubang telinga, mulut dan dubur serta qubul. Yang terakhir ini tidak dua pada satu diri, karena satu lagi ada pada diri lain. Padahal hanya seonggok daging namun mengaku diri, namun memang yang seonggok itu pula melenakan. Padahal baunya bisa sangat memuakkan lubang-lubang itu, namun dicari pula, untuk disumpal dengan kotoran jua.

Anjay, begitu menelusur esoterisme langsung entri pertama adalah wihdatul adyan versi yaqut, cukup membuatku muak padanya. Sedikit protein atau lemak teroksidasi masih tertahankan baunya, namun jika agak beberapa kilo darinya--karena sekitar 80% lebih adalah air--pasti memuakkan sampai terburai semua sarapan sampai makan malam lengkap beserta kudapan-kudapannya. Hei, 'ku berseru pada semua koprofil dan nekrofil yang sibuk melahap tahi dan bangkai, atau sekadar mencuil-cuil mengudapnya. Tanpa ayal, 'ku sembur dengan pelempar api.

Dari mana 'ku mulai bercerita mengenai betapa cinta semendalam ini. Cinta begini bukan tahi pada tahi, bangkai pada bangkai, melainkan diri pada diri, yang mungkin belum menyadari betapa sejatinya mereka satu diri, karena Diri memang hanya Satu. Ah, hentikan semua esoterisme ini, karena 'ku yakin hanya satu jalan yang akan menuntunku pada Diri yang Mencinta. Orang meremehkan pentingnya penyaksian, perbuatan nyata dari hati, pikiran, kesadaran, perhatian, hasrat, keinginan, idam-idaman, sampai seluruh anggota tubuh mengikuti. Orang meremehkan rasa aman.

Aku harus tegas, kini dan di sini juga. 'Ku berakkan tahi! 'Ku beraki tahi! Aku bangkai, masih bertahi, berlumur tahi. Berapa juta batang amirul uud, al khanjar, atau kiswah 'ku bakar, tidak dapat menghapus kenyataan itu. Beralih dari esoterisme ke fetisisme feromon sungguh tidak mudah. Namun jika benar-benar kau pejamkan matamu, kau santaikan rambut-rambut hidungmu, feromon dari jarak berapapun dari waktu kapanpun akan terhirup olehmu. Akhirnya, pikiranmu santai, sampai-sampai kau bisa mengajak tidur meski baru kenal, karena kau keong racun tidak lain.

Jika sudah begini, jangankan malu, kemaluan siapapun sepanjang masih satu spesies dan berbeda jenis tidak ada bedanya bagimu. Apa jadinya. Tentu tantrisme, Bodoh. Sampai di sini aku mengguguk seorang diri di pojokan gelap, menyadari bahwa ini semua tidak bisa lepas dari kolonialisme-imperialisme. 'Ku pandangi dunia yang terus saja cantik merekah di antara senggakan dan sengalan nafasku, lirih bertanya: "Adakah kalian sadari juga". 'Ku raup ceceran tahi di sekeliling bangkaiku, 'ku balurkan pedih-pedihnya pada luka-luka busuk bernanah. Kesakitan.

Di pojokan itu, penuh sampah belumpur berbelatung, 'ku pandangi dunia. "Ku pertontonkan pada siapapun yang lalu-lalang kemaluanku. Ini kemaluanku, mana kemaluanmu, lantangku. Jika beruntung, semburan ludah yang 'ku terima. Jika lebih beruntung lagi, dari seorang perawan kencur yang cantiknya mengalahkan seribu bunga taman sari dewa-dewa. Jika masih lebih beruntung lagi, ludah itu mendarat tidak jauh dari bangkai mulutku. 'Ku julurkan bangkai lidahku melata-lata untuk menjilat asam deoksiribo nukleat hidup itu. Bangkai mulutku merekahkan senyum.

Thursday, February 16, 2023

Angga Priancha. Anak KKI Pertama yang Jadi Dosen


Tidak mudah lho menggambarkan, terlebih jika di mata kaki kananmu ada seutas otot atau pembuluh yang bila kau pijat-pijat akan njarem nyetrum sampai ke jari-jari kaki. Di titik ini, aku belum memutuskan judul apapun untuk entri ini, meski satu inspirasi berdenyut-denyut di pelipisku, atau pipisku. Meski akhirnya 'ku putuskan begitu judulnya, seperti biasa, tidak berarti ini adalah entri mengenainya. Judul biasanya semacam kode lemah syahwat yang didesahkan lelaki paruh baya pada burungnya sendiri, atau bahkan bukan semacam apapun; cuma letupan, crit-crotnya tahi macan.
Malam mendekati tengahnya ketika aku sudah tidak sanggup apapun kecuali mengitiki, segelas air panas 'tuk basuh sisa-sisa susu prendjak yang tadi 'ku gelegak membasahi kerongkongan. Suasana hatiku sedang tidak di mana-mana kecuali merindukan nyamannya lapar, piano berkelentang-kelenting di pojokan lobi. Jika ini hotel bintang tujuh sekalipun, takkan mengalahkan nyamannya berkaos oblong angsa cina, bercelana pendek super jumbo boleh beli di ITC Depok. Malam ini panas tidak dingin tidak, namun ada yang berdenyut-denyut entah di mana, seakan ingin meletup.

Meski 'kususuri kembali jalan-jalan seputar Bangunrejo, mesjid yang mengumandangkan adzan subuh itu, dan lalu-lalang mulai reda apatah lagi hiruk-pikuk. Selesai shalat subuh sudah betul-betul sepi seakan tidak pernah ada keramaian. Wisma-wisma mulai tutup menggelap. Rumah tangga mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Apakah aku bergegas mencari taksi, adakah 'ku kembali ketika kawan-kawanku sudah siap-siap lari pagi di selasar-selasar Candrasa. Jika sudah begini, mau ikan paus, ikan teri, ikan lele, ikan kongtol sekalipun ingin 'ku letakkan di atas bata, lantas 'ku gecek dengan bata lainnya. Mejret. Jeroannya dimakan kucing. 

Bisa juga setelah dislepot bencong sontolmeongnya, lanjut menyusu pada simbok sampai hari terang. Seorang pelacur terlelap meringkuk di bale-bale, tersingkap roknya, tampak celana dalamnya. Dicarikannya sehelai selimut, diselimutkan pada tubuhnya, menutupi rok tersingkapnya, penampakan celana dalamnya. Hari sudah terang ketika lelaki melangkah keluar dari rumah pelacuran itu. Adakah ia sarapan setelah itu, bisa jadi telur balado atau kalio, bisa jadi juga peyek udang atau sejenisnya. Meski ke mana lelaki pergi setelahnya, takkan seorang pun mau memperhatikan.

Itulah sebabnya jika melihat mbak-mbak kuliahan, kantoran, atau yang sejenisnya, senyum tersungging di bibir yang kering menghitam penuh jelaga rokok berbagai-bagai merek. Ketika obat kumur disangka obat kuat, apa lagi mau dikata. Lubang di tanah sudah seperti kuburan belum diuruk, ditutup sehelai kardus entah bekas kulkas atau kompor induksi empat tungku, di dalamnya digoyang dombret mbah-mbah, ya, itulah di Puri Misteri. Hidup berlanjut, namun ingatan tak beranjak dari comberan-comberan penuh sarang tikus berpantat botak, ya, cinta itu terus berlanjut.

Kini, ketika pura-pura peduli pada deforestasi atau abu batu bara, masalah hukum apa yang timbul, slontongan tidak pernah berhenti dikunyah-kunyah ketika masih lembek, dikulum maju-mundur ketika sudah keras, sampai terburai itu tahi macan di pangkal tekak. Nyatanya, kaki-kaki masih tertanam dalam di lumpur dasar comberan, geli rasanya jari-jari kaki digerak-gerakkan. Kepala tegak terhormat meski membotak, tak bisa melupakan hangatnya kasih-sayang yang diberikan simbok, simbah, atau entah siapa dia, memanggil-manggil Mas Manto sambil mengerang-erang.

Rekan sejawat memujinya sebagai kuntilanak, meski sejujurnya, rambut Suketi atau Katemi jauh lebih bagus dari itu. Rambut ketiaknya, seperti rambut kepalanya, pun kribo, tetap kentara meski dicukur cepak. Foto yang diambilnya entah tetap disimpan meski berganti ponsel pintar android yang sekarang murah. Ada lagi berhiaskan kalung emas besar di setentang dadanya yang gemuk. Pesan-pesan pendek nan tak berdaya, seperti dirinya, dilupakan oleh datang perginya tahun yang terus berganti. Sedang jiwanya pulang, ia mati di taman kota itu, terkena penyakit kotor.

Hari Prasetiyo Ogah Menggantikanku Jadi Keset. Budak

Tuesday, February 14, 2023

Aing Bogoh Ka Siah. Tong Nguciwakeun Aing


'Ku rasa malam tadi aku tidak sikat gigi. Pagi ini pun tidak sikat gigi, maka setelah melahap sepiring nasi padang lauk telur balado dan perkedel kentang masih dilanjut risoles isi ragu dan dimsum tiga biji, mulutku terasa kotor. Masih lebih baik daripada yang keluar dari mulut yang kotor. Mungkin karena Michele meratap-ratap minta dicintai, aku merasa seperti di Jalan Angkasa bilangan Jiung, bahkan di Patrice Lumumba sekali. Nah, terlebih bila ditegaskan begini: Hitam adalah hitam. Kini perut terasa kenyang, perut yang mengalir sampai jauh ini. Lalu, tak boleh jatuh cinta
Sang Pemimpin bertanya: Apakah Paris terbakar. Jih, memang harus dibakar simbol segala dekadensi itu. Aku memang bahan tertawaan, namun Insya Allah aku tidak akan tertawa jika kelak Tumasik benar-benar menjadi lautan api. Haruskah membakar lumbung jika tikus-tikus sudah beranak-pinak tujuh turunan di dalamnya, sampai tidak bisa dikenali lagi bau padi-padian di lumbung itu, kecuali bau tahi diberakin tikus. Aku suka ragaan bernuansa agraris ini. Namun apa daya jika kantuk menyerang. Dapatkah kiranya mengitiki benak menjaganya tetap terjaga.

Celana djinn belel dibasahi seduhan jahe merah herbal dan gula aren, membuatnya pliket, dibasahi air keran membuat dingin. Ini sekadar untuk mengalihkan pikiran dari bunga sakura dan bunga-bungaan lain. Meja-mejaan yang tentunya mahal ini tampaknya tidak kokoh. Aku sekadar meletakkan kedua pergelangan tangan di atasnya saja sudah ndut-ndutan. Maka tiada lain harus dibeli juga itu kasur yang 'ku rasa mutunya tiada seberapa. Selembar kasur masih ditambah bantal guling tidak sampai Rp 120,000 sudah termasuk ongkos kirim, mau berharap apa, Dewi Murniku. 

Tidak mungkin pula kasur itu ditiduri bersama Dewi Murni, karena lebarnya hanya 80 cm. Panjangnya yang hanya 180 cm pun meragukan. Jika diberi berbantal Canon yang lebarnya bisa sampai 40 cm-an, sudah tinggal 140 cm. Apapun itu, masih lebih baik dari kursi ekonomi MH yang dioperasikan Sky Team, apalagi terbang lama dari Kuala Lumpur ke Amsterdam. Di atas kasur ini, Insya Allah, aku bisa terbang ke mana saja asalkan jangan sampai lebih dari jam 16.30-an setiap harinya, kecuali kau ingin bertemu pocong. Bahkan Nancy Setiawati dikatakan jelek oleh Hari.

Aku sudah pernah ke Kota Solo, meski di kamar hotel saja ditambah sedikit berjalan-jalan di seputar hotel. Seingatku, aku bangun pagi dan belum ada kegiatan, maka 'ku berjalan-jalan saja. Pernah juga aku berjalan-jalan di siang hari, apakah ketika aku makan bakso. Bertambah tua, aku semakin tidak ingin menggerakkan badanku ke mana-mana. Aku ingin di satu tempat saja yang permai, sampai-sampai pikiranku tertata rapi. Setua ini, sudah tidak banyak yang 'ku inginkan. Bahkan makan tiga kali sehari terasa berat; lebih mudah berpuasa, Insya Allah, di Rajab ini. 

Satu atau dua saja yang begitu, sedang belasan atau bahkan puluhan lainnya mengenang dengan manisnya bukanlah tukaran yang buruk. Perut yang melimpah ruah ini jika tidak puasa apakah dapat menjadi alasan untuk terus puasa. Aku sengaja tidak puasa terus-terusan karena tidak ada contohnya begitu. Namun besok aku sudah niat tidak berpuasa karena Insya Allah waktu Salemba adalah waktu mie ayam bersambal apo ronju. Hari ini setelah nasi padang pagi masih ditambah sedikit lagi, secentong nasi, di Simpang Raya, dengan terong teri lado mudo dan udang balado.

Kalau Togar bahkan Oom Rahmat Tanjung sekali membaca entri-entri goblog ini, sudah bukan berita. Namun kalau Zefanya Albrena Sembiring Depari membacanya, dan katanya: bacaan mahasiswa, ya tidak apa-apa juga. Mereka sudah dewasa. Sudah bisa membedakan mana yang goblog mana yang tolol. Apakah menyobek-nyobek kelambu untuk membuat bandana dan sebagainya termasuk tolol, tidak bagi Brigjen Mar Oni Junianto. Bagiku, itu adalah satu dari serangkaian ketololan yang panjangnya mungkin sekeliling Bima Sakti. Mengapa jalan susu jadi 'gitu.

Selamat Hari Kasih-sayang, Diri-diri Sendiri

Sunday, February 12, 2023

'Ku Relakan Kau Denganku Asalkan Kau Bahagia


Dihapuslah satu kalimat yang tidak bisa maju lebih jauh gara-gara hampir dua porsi sarapan kontinental masih ditambah dengan baramundi goreng tepung dan kentang goreng potongan Belgia. Jika seekor tapir tampak sedang menunduk malu dalam penggambaran di bawah ini, itu karena aku dulu sering meminta orang untuk menggambar tapir. Tapir ini, tidak sepertiku, tahu malu. Di sore berangin bermendung begini--yang seharusnya memang umum terjadi di Februari--aku menyumpal telingaku dengan lamaran yang lebih terdengar seperti gombalan begini; mengembalikanku ke LKHT berkubikel, yang di pertengahan 2000-an itu.
Mungkin karena kantuk yang menyerang bertubi-tubi tiap menjelang maghrib maka pikiranku mengalir seperti pasta darah dalam pembuluh pemakan makanan sampah. Lihat betapa lemahnya ragaan ini, padahal bass berdentam-dentam begini. Kejengkelan memang biasanya harus disalurkan dengan meny'plak sesuatu, namun cinta April ini membawa kenangan yang t'lah mati. Kenangan gemuk putih karena kebanyakan nyoro dalam TPS, koq berani-beraninya memakai PDL berfoto-foto dengan sisun pula. Atau lebih indah lagi, di undak-undakan rumah dinas wakil direktur RSJP, sejuknya udara malam meski tiada cinta dalam dada.

Oh, tapir hitam putihmu indah, belalai pendekmu menemaniku di lantai teraso lama sampai keramik putih model lama 1980-an akhir atau 1990-an awal. Udara sejuk belaka pada saat itu sambil membaca-baca skrip primadona atau bahkan irama-irama sinting. Nasi Padang bunga cempaka berlauk peyek udang seingatku selalu banjir kuah dan, terpenting, kecambah. Uah, kecambah belum lagi es doger. Cepat ke depan, ke kamarku di pojokan bekas gudang bekas garasi itu, komputer atas-meja yang mana aku lupa. Ini mungkin kompilasi Mas Ihsan, Tante Connie ini.

Aku tidak pernah benar-benar terkenang betung tebal, kecuali suatu hari Gani pulang dari Mampang, rumah Oom Raufnya, minta uang, dibelikan cincang. Kami sudah beberapa hari tidak punya uang dan mungkin juga tidak makan. Namun cincang, tidaklah. Untung bagiku selalu ada piring terbang ketika itu. Begitulah 'ku habiskan umur dua puluh tahunanku, agak membaik di akhir-akhir paruh keduanya. Bahkan Sasari selalu terkenang setengah tahu cina dipotong diagonal dimasak kuning. Warung bambu yang kini telah terbakar itu selalu saja indomie goreng dobel bakso.

Bahkan ketoprak telor Cak Ricak kini pun tinggal kenangan, terlebih nasi uduk stasiun UI agak kesonoan. Bakwan Malang seadanya di seberang Jang Gobay jika sedang malas makan, serta tentu Yak Mbem dengan lodeh 'cambah dan tempenya. Stasiun UI sebelum diacak-acak Jonan memang tidak permai, namun penuh dengan kehidupan. Yang lain tiada begitu penting bagiku, bahkan somay-somay apalagi batagor kuahnya, meski yang terakhir ini kenangannya mendalam. Itulah yang 'kulakukan setelahnya sudah sepuluh tahun lebih ini: Menyayangi Cantik tiap waktu.

Kemacangondrongan, bahkan, adalah suatu kebetulan yang goblog dan penuh keberuntungan, seperti ditemani warna-warna dalam hidupku dilantunkan dengan ensembel alat gesek di pagi hari berangin di Februari. Bahkan di Amsterdam pun pagi-pagi bisa berangin mendung begini di Februari, dan suhunya jelas bukan 22 derajat celsius begini. Di sana, paling banter roti lemak keju atau roti keju bawang bisa ditambah sup bawang Perancis atau sup tomat Cina jika suasana hati sedang ke situ. Di sampingnya bisa cokelat gelap panas atau sekadar peningkat kekebalan...  

...yang sejujurnya mengerikan. Cantik ingin sekali ke Arab lalu ke Belanda sekali. Mungkinkah cintaku padanya yang sedalam lautan seluas samudera mengantarkan kami kembali ke sana, bergandengan tangan bersarung di bilangan Rembrandtplein makan ayam tanduri. Sesungguhnya aku lebih suka membayangkan berdua bersama Cantik di bilangan Jombor makan bakmie goreng, yang langsung membuat air liurku membanjir. Siapa tahu memang ada hari tua bagi kami, dan itu akan kami habiskan dengan mengunjungi tempat-tempat. Aku tak suka puisi 'bab hidupku t'lah puitis.

Friday, February 10, 2023

Pengharapan Hurung, Durung Meneh Penghurufan


Tenang saja, sekeras apapun kau memikirkan paradoks-paradoks kecilmu, takkan seorang pun peduli. Tidak juga anak perempuan yang kausayangi, sampai kau tak tahu lagi apa makna rumah untukmu. Hanya saja kemenyalaan tidak pernah pergi dari ingatanmu, sedang kau sendiri lebih suka keredupan. Bayangan, yang mungkin dapat kau temui di Lamongan sampai Ngawi. Menyala, memangnya menyala dalam gelap seperti tengkorak mainan halloween. Entri ini hampir saja berpenggambaran tengkorak, diganti penghurufan selamat datang ke duniaku yang cantik.
Warna-warna yang seperti gula-gula kapas ini memang kanak-kanak, meski tidak selalu kekanak-kanakan. Kepada siapa dapat 'ku berpaling jika tidak ada yang membutuhkanku. Kepada kamar mandi merangkap jamban berkloset jongkok di pojokan itu, yang berlantai merah tua itu. Bisa juga kamar mandi luas berkeramik putih yang tak lama kemudian kumuh, sehingga diubah jadi merah tua juga. Kepul-kepulnya asap rokok di kamar tivi berkursi malas plastik bisa jadi juga. Mengapa, tanyamu dari Depok kepadaku yang di Radio Dalam atau sebaliknya. Hanya itu saja.

Perangai buruk adalah hukuman. Pun tidak selalu buruk, maka terimalah hukumanmu dengan kepala tunduk, hei, orang hukuman. Sekarang 'kan jadi kenangan yang paling 'ku sukai, titik-titik air sedingin es bahkan salju sekali ketika berjalan sepanjang dermaga perusahaan dok kering dan galangan kapal Belanda di tepian Ij dalam. Mengajak seorang perempuan Cina untuk sekadar berbual di sekitar satu dua cangkir teh di Ij luar adalah suatu ketololan yang, 'ku rasa, tidak disengaja. Terlebih menonton perempuan cina dicium-cium bibirnya oleh anak kaukasian. Itu tolol juga. 

Hatta, kembalilah aku ke tempat di mana cahaya bintang bersinar tentu di petang hari. Tiada berhenti berlalu-lalang ketika itu yang, seperti sekarang, pun tiada gunanya. Hanya ingatan mengenai sakitnya kepala sedang berjongkok di jamban kotor, malah ngampar sekali di atas karena lebih bersih. Apa benar Jenny mengintip tidak akan lebih nista dari Eko menarik cuatan sarung Baron. Dunia ketika belum ada cebong-cebong dan kadal pun masih kebun bukan gurun. Itulah ketika aku kali pertama tahu bahwa ada yang bisa menyala, pun aku hanya membayangkan gula kelapa.

Aku tidak akan berkomentar, apalagi berharap, mengenai kemarin sekali lagi, apakah itu tukang kayu atau palank merah, apalagi Nicole. Aku tidak ingat apakah akhirnya bersama Nicol karena sesampainya di Inggris tidak ada yang menjemput. Entahlah. Apa peduliku pada kapal induk penuh pengantin yang justru membuang pesawat-pesawat terbangnya ke laut. Ah, cinta muda yang lebih baik 'ku kebatkan peluru bahu yang membulat karena kurang daging. Apa jadinya jika dini hari begini aku terjun ke dalam pintu air saluran irigasi itu lantas menyusurinya sampai Cisadane.

Hidup sebatas nasi uduk entah lima puluh perak berlauk bala-bala disiram kuah. Bisa saja 'ku daftar di sini nasi uduk-nasi uduk yang membekas dalam kenangan, namun nasi ulam daging 'ku rasa tidak termasuk di dalamnya, natura siaga el plus itu. Setelahnya soto meletup yang seingatku tiga ratus perak itu, selalu ada yang seperti itu di mana pun, bahkan di Akademi Teater Maastricht. Satu Euro dapat roti pentung berlapis selada telur atau kepiting bohong-bohongan, masih ditambah dengan sup satu mangkuk besar. Entah halal entah tidak itu makanan calon-calon aktor.

Betapa satu entri bisa melanglang buana ke mana-mana, merintang waktu seperti lompatan-lompatan kuantum. Jika 'ku lebih sehat dari ini, ya, artinya Jumat dini hari ini aku tiada begitu sehat, mungkin jelajahku lebih membahana, lompatanku lebih tak terduga. Bisa juga menjelajahi bebauan, melompat dari satu bau ke bau lainnya. Bau bisa dilukiskan, namun tak mungkin dibagi pengalamannya, meski kau mengendus-endus layar gawai atau komputermu. Bau ada yang sedap ada yang tidak. Bau sedap terkenang, bau tak sedap mengendap. Aku nyaris yakin ini klarinet.

Bukan kacang kastanye, apalagi kastanyet 

Wednesday, February 08, 2023

Mereguk Teh Susu Prendjak Ditemani Papisy Reina


Judul adalah bla bla bla, gunanya untuk bla bla bla, maka harus bla bla bla... Kalau aku tidak mau menerima pemaknaan apapun, merasa tidak berguna dan tidak ada yang berguna, tidak suka diharuskan, lantas mengapa aku harus memaknai, menggunakan, mengharuskan. Judul adalah apa yang ada di atas, di depan, di awal, suka-sukamu lah, karena judulku pun suka-sukaku. Judul gunanya untuk biar ada saja yang di atas, atau di depan, atau di awal, suka-sukamu lah, karena judulku pun aku tak suka. Maka judul harus suka-suka, mau dia ada hubungannya dengan isi tulisan kakek-moyangnya entah siapa atau tidak, suka-sukamu lah, karena judulku pun tak 'kuharuskan apapun. Tak sengaja, terhirup susu Prendjak.
Nah, tahukah kau siapa itu Prendjak? Prendjak adalah seorang ledek terkenal yang membuat Mamisy sakit kepala sampai harus minum telor kocok mentah sama merica sama madu. Sebenarnya bukan Prendjaknya benar yang membuat sakit kepala Mamisy, tapi Papisy yang pakai menyeretnya ke kamar yang telah tersedia, setelah menayubnya berputar-putar, pakai segala menciumnya. Aku bisa membayangkan wajah ledek itu. Mungkin dengan teatrikal ia membelalakkan matanya, seakan baru kali pertama itu seorang lelaki paruh baya menyerempet pipinya dengan bibir.

Berapa umur Prendjak kala itu, masih belasan? Jangan-jangan lima belas tahun. Papisy umur berapa waktu itu. Mungkin belum paruh baya benar. Mungkin bahkan pada akhir tiga puluhan atau awal empat puluhan begitu. Masih gagah Papisy ketika itu. Namun ya Papisy 'kan sudah pantas jadi bapaknya Prendjak. Prendjak bisa jadi anak sulung Papisy, meski haram jadah karena kebiasaan Papisy buang-buang tahi macan sembarangan di awal usia dua puluhannya. Jangan-jangan ibunya Prendjak seorang sinden atau ledek juga. Lho lho ini kenak'apa mengitiki jadi seperti cerpen begini.

Daripada mengitiki penyalahgunaan obat dan pelacuran, aku membiarkan diriku terbetot suasana hati ke atas sebentuk sofa di ruang tamu sebuah apartemen yang terbilang mewah di bilangan Zwanenstraat, Maastricht, gara-gara bulan berwarna kuning. Mudaku adalah awal tiga puluhan, karena awal dua puluhan dengan penuh kesengajaan dan kesadaran aku menolak muda. Aku sengaja melompati tahun-tahunku, meski betulkah penuh kesadaran aku tidak yakin juga. Aku, dengan hidupku sendiri, terbiasa melompat duluan sambil berteriak "Komando!" dan berpikir belakangan. Bagaimana jika ternyata di depanku jurang dalam. Entahlah...

Sudah tak terhitung kalinya dalam hidupku orang mencemooh karena aku terlahir romantis, sentimental, melankolis, hiperbolis entah apa lagi. Aku sampai lupa pernahkah aku benar-benar jengkel karenanya, ketika Bapakku sendiri pun tersenyum penuh arti pada ceritaku yang penuh emosi dan heroisme. Seperti dini hari yang gerah karena di utara sedang badai ini, seperti itulah suasana hatiku. Entah sudah tak terhitung kalinya ia begitu. Salah satunya ketika aku menghadapi si Hijau-cantik Bisa-terbang, dengan seslof Bentoel biru dan sebaskom kopi. Ya, aku setolol itu.

Minak Djinggo nyatanya tidak pernah lama bersamaku, meski kami menghabiskan banyak malam berdua saja, ia berbatang-batang. Seingatku ketika itu belum terlalu alkohol, bahkan bir pun tak. Ingatanku mengenai alkohol selalu mengenai kesedihan dan kemarahan. Bersama Minak Djinggo aku tidak marah. Sedih sedikit mungkin ya, namun marah jelas tidak. Marahku seperti biasa pada kesenjangan, ketimpangan, namun Minak Djinggo menemani malam-malamku seperti seorang kawan yang lebih tua dan bijaksana. Seperti itulah rasanya 'ku bersama Minak Djinggo.

Lembut-bintang memang sudah sejak awal kadang-kadang, meski akhir-akhirnya hampir tidak pernah biru, selalu hijau. Ah, kenangan akan Robert Redford dan Barbra Streissand yang komunis dan berhidung Yahudi itu, mengingatkanku akan Cahaya-bintang yang menjadi bagian dari hari-hariku entah berapa minggu berapa bulan. Jangankan ia, Maknya Soleh penjual nasi goreng pun aku tak peduli. Seperti inilah seharusnya entri. Ia tidak koheren, seperti ketika Max Saphiro baru pulang dari patrolinya yang legendaris di Makin. Aku memang hanya sok jagoan.

Aku Memang Suka Main Bapak-bapakan

Thursday, February 02, 2023

Belum Terlalu Mengantuk Jangankan Susu Berkerim


Sudah tiga entri bersama yang ini gambarannya bangsa ayam-ayaman. Yang ini adalah gambar ayam penyuling anakan. Aku suka, meski hanya gambarnya saja. Aku akan merasa tolol bahkan jika sekadar terpikir untuk berusaha memiliki dan menerbangkannya sendiri, sampai punya lisensi pilot meski privat. Tidak 'lah. Itu biar untuk Rapin saja. Ia Alhamdulillah Muslim dan Insya Allah kaya. Adakah Togar sekaya Rapin, akan atau lebih, itu terserah dia. Aku akan tetap mengitiki begini, sambil memberi gambaran-gambaran baik audio maupun visual 'tuk mengolok-olok dunia.
Begini sudah terasa sempurna, tengah malam begini memandangi ayam bumbu kuning. Bentuknya jelas lebih bagus daripada pelayang lempar yang terbuat dari gabus, yang biasa 'kubeli dulu di tukang krotok-krotok. Semakin banyak huruf 'kuberondongkan, semakin menginginkan 'ku akan susu berkerim. Suatu kemewahan dunia yang sialnya masih menarik hatiku, tidak seperti Tissot maupun Svarovski. Rasanya pasti getir cenderung asin. Sedap manis atau rasa-rasa lain hanya ada dalam khayal belaka. Kental atau encer pun bukan rasa melainkan konsistensi lendirnya.

Aku tiba-tiba gusar hahaha. Ini sempurna gara-gara ketololan. Namun ketololan atau ke-ndeso-an justru seringnya menyenangkan bahkan mengilhami. Ternyata penyebab kegusaran bisa berbeda-beda. Berbeda-beda tapi gusar jua hahaha. Ini jelas lebih baik daripada beda satukan kita. Kalau aku sudah cukup edan mungkin akan 'kubuat kaus polo bertuliskan begitu, tapi itu dulu. Sekarang biarlah dikitiki di sini saja. Jika suatu hari nanti aku lupa apa itu gusar dan apa yang membuatku begitu, akan lebih baik karena aku memang tidak mudah penasaran. Itulah memang adaku.

Abu dupa berceceran tidak di mana-mana tetapi tetap di sekitar pot plastik tempat ditancapkannya. Entah sudah berapa lama 'kucari pedupaan yang sesuai dan langgeng, sampai hari ini masih seadanya dan sementara. Tepat di sini entah mengapa aku merasa tidak sendiri dan tidak nyaman. Sudah mendekati jam satu dini hari, untung tidak terdengar suara iwak sriti. Itulah mungkin sebabnya aku bablas tidur sampai siang karena tidak ada Tjakrabirawa yang menjemput. Maka terbangunlah aku pada ketika telah terang cuaca, menghadapi kenyataan sarapan pagi setelah sekian lama...

Hari istimewa begini membuatku terpikir muffin Inggris berlapis keju cheddar Amerika berisi dua kerat sosis ayam yang asin, masih ditambah roti pita gulung berisi keju yang sama, orak-arik telur, dan sekepret daging asap yang juga asin. Namun, yang 'kuhadapi dan 'kulicin-tandaskan adalah sepiring indomie goreng jumbo biru dipugas dengan telur ceplok bumbu kare, baso ikan dan chikunguya masing-masing dua, bahkan masih ditambah beberapa keping krekers rasa ayam. Sungguh aku sudah tidak terbiasa lagi begini, aku ingin mengosong lagi. Tunggulah beberapa hari.

Tidak sampai dua belas jam dan aku tersungkur di hadapan susu berkerim, sedang kelelakianku tegak mengacung begini. Di hadapan penguasa dunia aku bisa berdiri berpongahan. Di hadapan harta mulai Karun sampai Anthony Salim aku mengeryit mencemoohkan. Di hadapan susu berkerim, lain lagi ceritanya. Kedirianku lunglai, kuyu pada ujung-ujungnya, sedang kelelakianku menegakkan tudungnya lebar-lebar sambil mematuk memagut begini. Tidak. Ini bukan tentang Sophia Latjuba apalagi anaknya Eva Celia, melainkan kegusaran lelaki yang tak bertepi...

Maka 'kugenggam kelelakianku pada tangan kanan. Dengan jari tengah dan ibu jari tangan kiri, 'kuselentik kepalanya yang tolol. Ia tentu terkejut terperanjat, namun segera kuyu setelah memuntahkan bibit-bibit kehidupan. 'Kubiarkan mereka terkejut terjerembab pada lantai kamar mandi yang lembab dingin, rusuh bertanya-tanya dalam bahasa yang hanya aku dan mereka sendiri yang mengerti. Di tengah kerusuhan itu, 'kuinjak benjret mereka. 'Kugilas-gilas di bawah tumitku seperti tembelek lincung. Entah mengapa diriku selalu ingin mencicipi berbagai kegusaran.

Wednesday, February 01, 2023

'Ku Pasangi Tidak Agar Berpasang-pasangan, 'Kan


Ini adalah upayaku untuk menyusun ulang Botticelli sebelum menemukan, ya, menyajikan Botticelli. Sempat terlintas membuat cerita yang runtut mengenai sebuah bekas dusun di bilangan Banyurojo, Mertoyudan, Magelang, tapi itu bukan gayaku. Apakah itu mengenai impian yang hancur berkeping-keping. Apakah orang-orang waras yang sederhana berpikir ini 'ku biarkan melempariku dengan senyum penuh arti, ya, memang itu yang 'ku lakukan sepanjang hidupku. Mengobrol berdua saja bisa sangat menyenangkan, menyamankan, aku tahu memang.
Sudah empat puluh tujuh Satu Februari 'ku lalui, tentu aku lupa yang pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya aku hanya bisa mengira-ngira. Sedang Nemesis Latuconsina ini sudah tidak sedap baunya, aku ditertawakan karena berpangkat kopral taruna purnawirawan. Dinginnya pagi tidak bisa lebih dingin dari pagi-pagi mengeluarkan sampah ke tengah-tengah Kees Broekmanstraat atau Kraanspoor. Kandang-kandang sepeda, bahkan tempat mencuci baju itu, dingin, sedingin hati yang tak jua menghangat padaku. Namun, roti gandum dimagnetron selalu panas juga.

Air susu jika sampai dibalas air tuba pasti menjijikkan, karena itu berarti liur-liur Enzo Zenz Allie dan kawan-kawan satu kopelnya. Sampai di sini aku tak hendak meratapi pikiranku yang ruwet karena toh masih ada Farid Hanggawan yang pikirannya kusmasai. Apakah di kulkas masih ada mie goreng chopstix yang dimakan dengan sambal kecap botolan saja aduhai, apalagi sampai masih ada tetahuan dan foo young veggie-nya. Bisa jadi Chochomel dark atau Bengal spices, ah, langsung terasa sepi-sepi mencekamnya. Aku suka di sini saja bersama Cantik, meski ia tidak suka.

Mana berani 'ku katakan bahwa kau adalah hal terbaik yang pernah terjadi padaku di Belanda sana, bahkan sekadar udara yang 'ku hirup bisa jadi sangat meremukkan. Seandainya saja cukup tidur malam, maka pagi adalah waktu yang cocok untuk tadinya akan 'ku tulis makan nasi uduk tok pikirannya. Ternyata pagi belum tentu dingin, terutama jika Nemesis Latuconsina mendekapimu, mana bau. Sama seperti Erven Kaseh. Siapa yang berani bilang dia tidak bau, sini berkelahi denganku, demikian raung Abimanyu semasa hidupnya, yakni, sebelum masuk jebakan cakrawyuha.

Selain makna, tentu aku mengacau dengan sebab-akibat pula dalih dan dalil. Katakan pada Mas Toni Edi Riwanto betapa hidupnya, tidak seperti hidup Jimly Quasi Assilikidik, penuh makna. Betapa pencerahannya adalah suatu akibat dari pencariannya, sebagai penyebabnya. Betapa ia berdalih selalu dengan dalil-dalilnya yang intuitif dan separatos. Sudah barang tentu ia akan menyahuti premis-premismu dengan permisivitasnya yang permeatif-komutatif. 'Ku rasa aku belum pernah sejengkel barusan dalam upaya meratakan kanan kiri. Awas kalau begitu lagi. 'Ku hapus kau!

Ada waktu-waktu seperti pengar jet, entah mengapa begitu, atau akibat berpuasa aku tak tahu. Seperti terbang dari Amsterdam sekitar pukul 10.00 waktu Eropa tengah, terbang sekitar empat belas jam non stop seharusnya 'kan sampai Jakarta jam 24.00 waktu eropa tengah, eh, ini koq sampai-sampai sudah pagi. Jadilah baru mulai mengantuk sekitar subuh waktu Indonesia barat, tidur bisa sampai lepas dhuhur hampir ashar. Lucu memang pengar jet itu. Sembuhnya kapan dan bagaimana pun tidak tahu. Tahu-tahu sembuh saja dan bagiku itu bisa makan waktu dua mingguan.

Di alinea [atau paragraf?] terakhir ini, pernah juga aku serasa kurang tidur justru bermotor ke bilangan Pondok Indah untuk mengikuti tes bahasa Inggris. Malah bertemu Fachrurrozi di situ, malah rasanya seperti masuk angin berat, kepala sakit bukan alang-kepalang. Istirahat sebentar siang sampai hampir sore di ndalem Radio Dalam, dilanjut tes bicara di ruko-ruko Margaguna. Ketika itu pulang-pergi masih menyongklang VarioSty riwayatmu dulu. Kini aku menyongklang VarioSua entah sampai kapan. Seperti inilah kisah-kisah yang takkan lekang dimakan pakai sambal petis.