Saturday, March 31, 2012

Stoller dan Göring Ngiler Liat Ayam Goring


Tidak usah repot-repot, Eric Alexander sudah suka Hitler. Serahkan saja padanya. Judul entri ini sedianya seperti yang sudah tertulis di atas itu. Akan tetapi, berminggu-minggu sudah berlalu dari suasana hati itu. Suasana hati ketika aku menonton The Winds of War di tengah hari bolong. Hermann Göring jelas merupakan tokoh faktual dalam sejarah, sedangkan Wolf Stoller jelas adalah tokoh rekaan. Bahkan baru terpikir olehku malam ini, nama itu jelas merupakan permainan kata. Wolf jelas untuk serigala. Stoller adalah plesetan dari Stealer. Sangat sugestif. Aku mungkin tidak akan bisa sepenuhnya tahu perasaan seorang Yahudi mengenai Holocaust, tetapi Herman Wouk kentara sekali bencinya... dan ketika ini kutulis, sudah berminggu-minggu lagi lamanya berlalu. Topik di atas memang masih menjadi kegemaranku. Sulit untuk tidak menunjukkan minat ketika ia dibahas. Ya sudahlah, tidak apa-apa. Yang jelas kini aku sedang duduk di ambang pintu pavilyun, seperti yang pernah kulakukan beberapa kali selama beberapa tahun yang lalu, di rumah Yado, Radio Dalam.

...dan... ternyata ketika aku meneruskan menulis lagi entri ini, sudah lebih dari lima bulan berlalu. Pagi ini aku menggunakan tempat-kerjanya (workstation) Mas Milson Kamil, karena komputerku tiba-tiba ngadat tidak mau hidup. Tak dinyana tiba-tiba datang Pak Amin Mubarok, sedianya mencari Mas Milson mau pinjam penginstal Windows 7. Jadilah kutanyakan padanya kenapa komputerku. Ini kalau tidak memori ya VGA-nya, kata Pak Amin. Jadilah komputerku digotong ke bengkelnya di bawah. Hari ini saya ke Salemba, jadi besok saya kerjakan, begitu katanya. Sekarang apa yang akan kulakukan? Masa aku harus kembali untuk mengambil laptopku? Tapi mungkin begini lebih baik. Siapa tahu, aku justru bisa membaca sesuatu yang berguna tanpa benda itu, yang selama ini hanya punya satu guna untukku, yaitu membangun peradaban dan mengusili peradaban orang lain hohoho... Setidaknya, gara-gara komputerku mati, aku jadi terpikir untuk menengok blog ini, yang sudah lima bulan sekurangnya kubiarkan menganggur.

Ini adalah gambar pasang surut (ebb tide). Sebuah lagu yang sangat indah, yang selalu membuatku tercekik bila menyanyikannya penuh penghayatan. I'm at peace in the web of your arms.

Biar kucatat di sini, hari ini adalah hari pertama Cantik mengajar di UI. Insya Allah, semoga ini bisa menjadi tengara bagi peningkatan karirnya. Aku sendiri membayangkan baginya, ia akan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Aku sudah menelusur Internet untuk mencari program master yang kiranya sesuai baginya. Ada beberapa, yang pertama adalah Master of Arts in Applied Linguistics and English Language Teaching di St. Mary's University College Maastricht. Ini kurasa adalah pilihan terbaik karena yang paling relevan dengan taraf karirnya sekarang. Akan tetapi, mungkin akan ada beberapa kesulitan untuk mengikuti program ini. Dari sudut pandangku, tempatnya sangat jauh dari Leiden. Nah, berbicara mengenai dekat dengan Leiden, pilihan terbaik kedua mungkin ini, Master of Arts in English Language and Culture di University of Amsterdam. Setelah kubaca-baca lagi, ini bahkan bisa jadi pilihan terbaik. Selain karena tempatnya di Amsterdam, program ini menawarkan cakrawala yang lebih luas dan generalis, sehingga, mungkin, membuka kemungkinan pengembangan karir yang lebih beragam daripada sekadar mengajarkan bahasa Inggris sebagai bahasa asing atau bahasa kedua. Aku bahkan sudah terpikir ide untuk topik tesis ...kutulis di sini tidak ya... petunjuknya saja deh... cincha laouwra. Semoga aku ingat apa yang kumaksud dengannya hohoho.

Harus kucatat di sini juga bahwa aku menyelesaikan entri ini kembali dengan komputerku sendiri. Tadi sudah sempat dibawa ke bawah, ke bengkel Pak Amin. Sejurus kemudian datang Mas Milson. Ia menawarkan diri untuk memeriksa komputerku dan... ajaib! Hanya karena dipanggul olehnya kembali ke atas, komputer itu kembali hidup dengan sendirinya! Ini adalah godaan besar untuk membangun peradaban hohoho tetapi tidak. Sambil mencangkung tadi akhirnya aku membuka plastik buku Hukum Lingkungan di Indonesia oleh Prof. Takdir Rahmadi dari Universitas Andalas. Terlepas dari apapun kekurangannya, jika pun ada, dia sudah menulisnya! Aku jadi ingat bahwa aku pun harus menyiapkan diri untuk membuka kelas Environmental Law besok di KKI Angkatan Kedua. Tidak ada pentingnya menggunakan bahasa Indonesia dalam mata kuliah ini, karena memang, bagiku, subjek ini sama-sekali tidak ada Indonesia-Indonesianya.

cukuplah tiga paragraf ditambahkan pada 6 September 2012 jam 11.00

Friday, March 30, 2012

Anak Anjing Agar Mengibing


Dengan ini, terlampauilah 2009 dengan 5 entrinya!
Masih ada 2011 dengan 8 entri...


Judul entri ini ada beberapa versi. Versi pertama adalah "Anak Bajing Menggiring Angan." Ini yang paling biasa. Bahkan tidak orisinal, karena Shawn juga pernah menggunakannya, kalau tidak salah. Kemudian terlintas olehku "Anak Anjing Mengiba Garing." Ini saja sudah membuatku tertawa senang. "Anak Anjing Agar Mengibing"-lah yang terpikir terakhir, dengan tertawa-tawa riang. Itulah yang kupakai untuk judul entri ini. Setelah kupikir-pikir, dua yang terakhir itu sebenarnya sama lucunya. Dulu, entah bagaimana caranya, membaca karya Romo Sindhu yang judulnya kuanagram ini rasanya menyenangkan. Kini sedang kubaca lagi, ternyata melelahkan. Ia terlalu banyak berpuisi! Namun terus kubaca juga, setidaknya setiap perut mulas.

Dalam entri ini, aku ingin bercerita mengenai The Winds of War, yang novelnya ditulis oleh Herman Wouk, demikian juga skrip filmnya. Aku berkenalan kali pertama dengan mini serinya, diputar di TVRI sekitar 1986. Waktu itu aku masih kelas 4 atau 5 SD. Cukup larut lah jika aku menonton film ini, karena biasanya diputar pada jam 22.30. Aku lupa setiap hari apa. Seingatku, aku pernah bercerita, entah di mana, entah kepada siapa, bahwa di situlah aku pertama kali jatuh cinta. Jatuh cinta yang aneh. Sampai hari ini pun, tiap kutonton lagi dan lagi, tiap kali itulah aku jatuh cinta pada kisah cinta Byron Henry dan Natalie Jastrow, dihidupkan dengan sangat hidup oleh Jan-Michel Vincent dan Ali McGraw. Kurasa, sejak itu pulalah aku ngefans pada Jan Michel Vincent. Yang kuingat kini, Baby Blue Marine dan, tentu saja, Airwolf.

Di Maastricht-lah aku temukan lagi film ini, melalui Internet. Di kota ini pulalah kutemukan novelnya versi paperback. Hidup di kota itu... HP 520-ku inilah teman sejatiku. Ia selalu bersamaku di kala senang dan susah. Film itu kudapat melalui file torrent. Aku lupa aplikasi apa dulu yang biasa kugunakan untuk mendonlot torrent. Seingatku, kudapat dari Frederik Marmann waktu mencari salinan Stata di Internet. Belakangan kusadari, aplikasi ini dapat digunakan untuk bersenang-senang juga. Entah sudah berapa ratus musik, berapa puluh film kudonlot dengannya. Dan novelnya... kutemukan ketika di sekolahku dijual buku bekas, di ruang bawah tanah. Berapa harganya? Satu Euro? Aku lupa, tetapi yang jelas tidak sampai EUR 5. Kubaca novelnya sambil melepas mulas juga, meski belakangan aku lebih suka menonton filmnya. Novelnya, tentu saja, lebih detil ketimbang filmnya.

Kembali pada jatuh cinta... Aku tidak secara khusus jatuh cinta pada Natalie Jastrow apalagi Ali McGraw. Mungkin Ali McGraw lebih terkenal ketika ia main di Love Story, waktu itu juga masih lebih muda. Aku tidak tahu dan tidak berusaha tahu, karena memang aku tidak secara khusus jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta, seperti telah kukatakan, pada kisah cintanya sebagai Natalie Jastrow dengan Byron Henry. Tidak ada film yang lebih berkesan dari masa kecilku, kurasa, daripada film ini. Mungkin karena latarnya. Heman Wouk menggunakan hari-hari pertama Perang Dunia Kedua sampai Penyerbuan Pearl Harbour sebagai latar bagi ceritanya mengenai dua keluarga, Henrys dan Jastrows. Orang bilang, The Winds of War adalah untuk Perang Dunia Kedua sebagaimana Gone with the Wind untuk Perang Saudara. Aku belum pernah membaca Gone with the Wind, jadi percaya saja.

Ndikane Ibu dulu, Ali McGraw koyo wong lanang. Ketika aku menontonnya, aku tidak pernah memperhatikannya. Ndikane Ibu juga, Ibu wegah nonton, sing main tuwo-tuwo. Waktu itu aku juga tidak seberapa memperhatikan. Entah bagaimana caranya, sepertinya film ini benar-benar membentuk persepsiku mengenai perempuan, dalam bawah sadarku. Sejujurnya, aku selalu tertarik pada bad girls, seperti bahagianya aku ketika menemukan lagu Neil Sedaka lainnya yang juga berjudul Bad Girl. Aku tidak pernah begitu tertarik pada perempuan yang lemah lembut, medoki... mungkin juga karena ibuku tidak begitu. Begitu bertambah dewasa, aku suka perempuan yang... bagaimana caraku menggambarkannya... Aku suka yang 'liar'! Ah, lihatlah sendiri Natalie Jastrow. Seperti itulah! Namun, sekali lagi, bukan karena Natalie Jastrow-nya semata. Kisah cintanya dengan Byron Henry-lah yang membuatku jatuh cinta.

Kemudian... jelas aku menyukai tema-tema perang dan keprajuritan. Namun, sepanjang yang kuingat, aku tidak pernah membayangkan diri menjadi... sniper, misalnya, atau penerbang tempur... The Winds of War membuatku tertarik pada... perang itu sendiri, Perang Eropa 1939-1945 khususnya. Kepada penyebabnya. Kepada... Adolf Hitler. Kepada... Nazi. Kurasa, dalam hal ini, Swargi Akung R. Talkoeto berperan penting. Aku tidak pernah bisa benar-benar mengingat detilnya, tapi samar-samar terlintas Akung beberapa kali menemaniku, atau kami, bersama adikku, menonton film ini. Sama-samar dalam ingatanku, aku ngobrol dengan Akung mengenai topik-topik dalam film ini. Aku ingat dulu kami punya komik seri Perang Dunia Dua. Ada Dari Stalingrad ke Berlin, lalu ada kisah Rommel si Rubah Gurun; pastilah Akung yang membelikan.

Demikianlah, pendek kata, The Winds of War sangat berarti bagiku. Dan bukan suatu kebetulan. Ia kembali padaku justru ketika aku berada di Eropa, tempat itu semua terjadi. Kini topik kualihkan pada masa depanku. Entah bagaimana, siang ini terlintas padaku, Leiden. Dengan tenggat yang sangat ketat, kurasa sulit Selandia Baru diusahakan. Lagipula, Selandia Baru. Apa itu? Tidak ada hubungan sesuatu apa dengan apapun! Leiden. Ya, mungkin Leiden juga akhirnya. Kedua pendorong hidupku menginginkannya. Insya Allah, Leiden juga akhirnya... seperti dahulu Maastricht. Namun, sebelum itu, masih ada yang harus dibereskan. Pusaka! Tadi juga sempat terlintas, apakah karena kubagi semua rahasia perusahaan, maka selalu kusut urusannya? Jadi, sistemnya penggajian? Wallahu'alam. Kita coba Insya Allah besok, meski kalau yang ini juga tidak, sejujurnya, aku tidak terbayang harus bagaimana lagi...

Thursday, March 29, 2012

Teh Hijau Gelombang-mikro dan Cinta Kirik


Yah
, akhirnya inilah idenya. Gelombang-mikro datang terlebih dahulu, gara-gara melihat setumpuk wadah pizza hut yang dapat digunakan di maikrowev. Aku jadi ingat ingin membeli benda itu. Tidak perlu yang besar-besar. Sudah kulihat-lihat harganya, masih di bawah satu setengah juta. Selain itu, ada juga teh hijau. Ternyata white koffie tidak cukup memberikan tendangan, dan aku masih menginginkan minuman hangat. Tapi apa? Teh hijau jawabannya! Sebelum white koffie, aku sudah minum teh hitam Sari Wangi pakai gula sedikit. White koffie pasti banyak gulanya. Maka sekarang, teh hijau. Lionel Richie bernyanyi, "Kaulah matahari, kaulah hujan. Kau membuat hidupku seperti permainan tolol!" Sedap betul memang lagu ini. Sejak kecil kusuka.

Maikrowev, alias Microwave, alias Magnetron, alias gelombang -mikro. Sangat tolol! Kenapa aku merasa membutuhkan benda ini? Yang jelas, kulkasku kosong. Aku tidak pernah memasak. Keinginan memasak itu hilang begitu saja. Satu tomat sudah mulai berjamur. Berkantong-kantong sambal aneka rupa sudah mangkrak berminggu-minggu. Jadi... idenya, jika punya maikrowev, maka semua bisa ditimbun di dalam kulkas. Kalau mau dimakan, tinggal dipanaskan di dalamnya. Begitu. Segitu saja. Setolol itu. Aku memang harus memikirkan suatu rumah. Aku harus tinggal di sebuah rumah. Tidak bisa terus-menerus begini. Nah, di rumah itulah, baru relevan jika aku memikirkan maikrowev, bahkan televisi. Televisi datar, LCD. Buat apa barang-barang itu semua? Terutama televisi aku tidak pernah, atau jarang sekali, menonton.

Benar-benar tidak mungkin kukerjakan sendiri. Mustahil. Tapi, berapa akan kubagi? Satu berbanding dua, atau gaji bulanan? Lima juta sebulan untuk tiga bulan? Sangat menarik! Okay. Akan kucoba tawarkan. Lima juta itu uang yang tidak sedikit loh. Sedangkan Sofyan, entah apa yang dikerjakannya. Pikirannya jualan tanah, dan, sapi. Tapi, kurasa ia pun berpikir bagaimana agar Pusaka tetap hidup. Pusaka pun kesayangannya. Ia tidak akan membiarkannya lepas percuma. Akankah nama-nama itu kutulis di sini? Sekarang? Nama-nama yang akan kutawari pekerjaan ini? Jangan dulu. Biar di dalam benak saja dulu. Setelah ini, aku mandi, dan kucari dia. Kalau ada, kutawari. Paragraf ini tentang Pusaka dan masa depannya. Kuakui, mungkin masih jauh lebih peduli Sofyan pada Pusaka dibandingkan aku...

Oh ya, sebaiknya kuabadikan juga di sini bahwa kemarin Selasa, 27 Maret 2012 adalah kali pertama aku mengajar di Program Magister Hukum, di hadapan hakim-hakim, di Gedung IASTH Salemba, membawakan materi Pertanggungjawaban Korporasi. Alhamdulillah. Aku harus memeriksa jadwal lainnya. Ya, aku baru sadar apa yang dimaksud oleh Mas Huda. Di daftar kelasku sudah tidak ada Politik Hukum. Apakah itu berarti aku tidak akan menyampaikan materi apapun dalam mata kuliah itu? Baguslah bila begitu. Depok - Salemba itu tidak dekat. Ini pun perlu disyukuri. Alhamdulillah. Hari ini, sore nanti, adalah jadwalnya UTS Hukum Lingkungan untuk Ekstensi. Aku sendiri yang akan mengurusnya, karena cuma satu kelas. Kemarin, untuk reguler, aku bersama Mas Harsanto.

Otago, New Zealand. Leiden, Netherlands. Dengan semua kesibukan ini, terasalah sulitnya. Pengalaman terdahulu, keduanya tidak mungkin beriringan. Salah satu harus ditinggalkan. Kaderisasi. Kader. Orang gila mana lagi? Mana lagi orang gila? Tidak ada! Kasihan kalau ada. Nama itu, ya, hanya nama itu dan satunya lagi. Oh iya, kan bisa di-split jadi masing-masing dua setengah juta. Itu juga masih banyak. Yang satunya kita tugaskan untuk mengurus Hukum Koperasi Indonesia. Mungkin itu jawabannya. Atau... am I being greedy? I don't think so... Sepertinya, memang jumlah yang dapat diterima itu segitu. Lebih kecil lagi, maka kita tidak dapat mengharapkan apa-apa. Jika berjalan baik, mungkin dapat segera pergi dari sini. Aku pun tidak nyaman. Aku ingin rumah sendiri. Aku ingin berangkat dari rumah, menuju kantor.

Siapapun, kumohon, tolonglah, tolonglah aku
Inilah jawaban dari Dewata
Betapalah dapat kukatakan pada mereka
Ini bukan cinta kirik


Sunday, March 25, 2012

Berdandan a la Fantastik, Walaupun Drop Out


Sekali lagi, dan seperti biasa, selalu kuulangi, menulisi macangondrong itu tidak ada gunanya. Seharusnya malam ini aku buat outline untuk setidaknya dua tulisan. Itu juga yang tidak kukerjakan. Sampai saat ini, mengetik dengan HP 520 tetap masih enak; dan aku yakin mengetik dengan tablet tidak akan seenak ini. Aku baru saja memandangi foto-foto adikku Andri Dwi Sukmawijaya. Maafkan aku, Dik. Mungkin aku telah mengecewakanmu. Mungkin banyak di antara kalian adik-adikku angkatan 3 yang telah kukecewakan, apalagi yang di AAL. Sekali lagi, maafkan aku, Adik-adik. Tak ada yang dapat kukatakan selain, aku keple. Mungkin, kalian sudah melupakanku, di tengah kesibukan kita sehari-hari. Janganlah lupa kalian itu meluputkan dari menerima permintaan maafku ini.

Bertemu Bagus Suryahutama itu memang tidak akan membuat hati bertambah lega. Tambah kusut, iya. Wuanjrit mana lagunya Menepis Bayang Kasih... Menye abis dah lagu ini parah! Parah. Tiba-tiba aku teringat adikku yang lain lagi. Ega Windratno. Yang baru saja tadi Dwi Saputro Nugroho. Kurasa ini harusnya entri mengenai adik-adik. Banyak sekali adik yang kuingat di dalamnya, kecuali Bagus Suryahutama. Terlepas dari gelarnya yang Paduka Yang Maha Mulia, dia tidak lebih dari anak sulung Mas Bambang dan Tante Tita. Terserah lah, Gus. Aku juga tidak tahu kenapa aku ingin bertemu denganmu malam ini. Mungkin sekadar ingin membuang uang hahaha... Jangan tersinggung, Gus. Dwi Saputro ini lebih kusut. Entahlah apa yang terjadi padanya. Entah bagaimana dulu dia tersangkut urusan dengan Aulia Rahman. Aku lupa dan tidak berminat untuk menanyakan. Yang jelas, dia punya daya dorong. Yang jelas, tidak jelas bagiku, ke mana akan ia arahkan daya itu. Terserah lah, Wi.

Sekarang sudah lewat dari setengah dua dini hari. Begini terus aku setiap hari. Apakah aku akan terus menyalahkan cuaca? Tenggorokanku pun masih terasa tak enak. Malah mulai batuk-batuk. Kualitas hidupku merosot dan terus merosot. Ah, kalau bicara ini sih tidak akan melegakan hati. Lagu Irianti Erningpraja ini terpaksa kulewati daripada menambah kusut rasa hatiku, setelah agak tertata oleh lantunan Ratih Purwasih. Ternyata, berikutnya adalah Andi Meriem. Mana judulnya Bimbang lagi... Sekali lagi, selalu masa lalu, masa kecil, yang nyaman dikenang-kenang. Membuat hati terasa begitu nyaman. Membuatku teringat tekadku, akan kukembalikan perasaan nyaman masa kecilku. Apa saja unsur-unsurnya? Entahlah. Ndikane Bapak, seperti suara seruling yang merintih rindu pada buluh bambu yang menjadi asalnya. Pulang ke rumah. Itu selalu yang kurindukan.

Ratu Sejagad-nya Vonny Sumlang dan Gejolak Jiwa-nya Ramona Purba terpaksa juga kulongkapi. Gila apa?! Aku tidak pernah ingin jadi ratu apalagi sejagad, dan jiwaku sedang ingin tenang tidak bergolak. Maka sampailah aku pada Biru-nya Vina Panduwinata. Kekasihku, padamukah terletak kebahagiaanku? Setidaknya meringankan beban hidup dunia ini sampai tiba masaku? Padamukah? Sungguh aku sedih. Biarlah tak kusebut namanya, tetapi ada seorang teman yang pernah berkata padaku: "Perkawinan itu seperti berjudi." Ia meninggal tidak lama setelah mengatakannya. Istrinya, kurasa mencintainya. Apakah ia tidak mencintainya? Tidak! Insya Allah, ia mencintainya. Saling mencintai, mereka. Aku mohon pada Allah semoga dilapangkan kuburnya, diampuni dan dihapus semua dosanya, diterima dan dilipatgandakan semua perbuatan baiknya. Temanku itu. Abangku.

Tinggi menuju nirwana
Lembut menembus rahasia
Kukuh menahan putaran waktu
Bersatu dalam damai


Tuesday, March 13, 2012

I Can't Believe It's True, Really You!


Dear Diary.


Hari ini suasana hatiku tidak menyenangkan. Entah kenapa. Aku tidak senang dengan keadaanku sekarang. Aku ingin seperti mereka. Mereka berbahagia. Mereka pulang kepada keluarganya masing-masing. Mereka punya kehidupan. Aku tidak. Aku malas sekali. Aku tidak ingin mengerjakan apa-apa. Aku hanya ingin mencurahkan perasaan hatiku padamu, Diary-ku. Hanya kamu yang mengerti perasaanku ini. Yang lain tidak peduli. Yang lain tidak mau tahu. Aku hanya ingin berbahagia seperti mereka. Aku ingin punya kehidupan. Aku ingin hidup normal.

Aku... mungkin gara-gara ini, maka hatiku tidak merasa senang. Segala sesuatunya selalu mengenai aku. Tapi... sebelum ganti topik, aku ingin bercerita tentang lagunya Phil Collins, I can't believe it's true. Lagu ini sepertinya cukup membekas dalam ingatanku. Selalu saja, kalau membekas, itu berarti jaman aku kecil. Lagu ini memang sudah cukup lama, rilis pada 1982. Berarti bahkan jaman di Kemayoran. Tadi aku ingin tahu, apa sih ceritanya lagu ini? Ada yang komentar di Youtube, "That sure is happy music for such sad and angry lyrics!"Kurasa aku setuju padanya. Tidak benar-benar gembira sih, hanya saja memang agak tidak nyambung antara musik dan liriknya, menurutku. Kira-kira cerita apa yang cocok untuk musik seperti ini ya? Apakah mungkin justru tentang jatuh cinta?


Ini di belakang rumah aqyuwh. Tuh ada Grand Lucky-nya.
(Kenapa ada tulisan Ray White Tebet?! Ngepestz!)


Bicara tentang jatuh cinta... Kembali pada Dear Diary itu tadi... Tadinya aku ingin pura-pura jadi abege. Ternyata aku memang sudah bukan abege lagi. Ada juga anakku sekarang sudah abege. Kemarin ketemu Intan. Ada Cik Wen juga di situ. Aku tanya pada Intan, lahir tahun berapa. 1996 jawabnya. Lebih tua tiga tahun dari anakku. Mereka berdua mirip. Rambutnya yang keriting. Bentuk badannya yang kurus panjang. Warna kulitnya. Abege-nya... I can't believe it's true! Tidak lama lagi, anakku sendiri yang Insya Allah akan duduk di bangku kuliah, seperti anak-anaknya entah siapa ini yang kudongengi setiap minggu. Akankah aku masih hidup ketika itu terjadi? Wallahua'lam. Kalau aku harus jatuh cinta lagi, aku hanya ingin jatuh cinta lagi padaMu. Tidak ada kurasa di dunia ini yang sanggup benar-benar membahagiakanku. Tidak akan ada...

I cannot believe it's true. Dulu aku suka bermain khayal-khayalan bersama Adikku. Kami mendengarkan lagu, lalu kutanyakan padanya, suasana apa yang cocok dengan lagu itu. I can't believe it's true... yang terbayang olehku adalah Jalan Yado II depan rumah, ketika aku SD, mungkin sekitar 1987, Akung sudah seda. Siang hari. Tidak terlalu terik. Sudah lewat tengah hari, bahkan mungkin sudah Ashar. Al-Mukhlisin sudah mengumandangkan adzan Asharnya yang khas itu. Atau mungkin sebelum Ashar. Mungkin aku sedang atau baru saja diutus Ibu ke warung, mungkin warung ting klambruk yang belakangan namanya Ayat itu (kenapa sekarang sudah tidak pernah belanja ke situ ya?) Aku ingat... terakhir aku beberapa kali membeli susu kedelai di situ, beberapa tahun yang lalu...

Besok, Insya Allah, ada kesenangan kecil. Tiga novel bajakanku akan selesai dikerjakan Cano. Arus Balik. Anak Bajang Menggiring Angin. Para Priyayi. Tiga novel bajakan dengan hard cover, untuk sampulnya saja masing-masing seharga Rp 25,000. Mahal. Kamar mandi kering. Ya Allah, akankah dalam hidupku ini aku boleh merasakan punya kamar mandi kering? Dua-duanya bukan punyaku sendiri, tentunya. Aku tidak begitu peduli apakah kamar mandiku kering atau basah. Eh, aku juga tidak tahu apakah Ibu kersa siram pakai shower. Terserah. Pokoknya, ndalemnya Ibu, dan rumah"ku", Insya Allah, harus lux. Dua-duanya bukan punyaku. Aku tidak peduli. Apa lagi yang sanggup membuatku senang? Berita bahwa Allah menyayangiku, itulah yang PASTI membuatku senang. Bagaimana caranya?

Wallahu'alam bissawab.

Shalat Ashar dulu. Sudah hampir jam lima sore...

Wednesday, March 07, 2012

Suatu Sore Bersama Dangdut Italia


Kemarin, Selasa, 6 Maret 2012, aku bergegas menuju gedung E tempatku akan memberi kuliah mengenai Sistem Ekonomi Koperasi. Di bawah tangga aku bertemu dengan Pak Arman Bustaman dan Bu Farida Prihatini. Kusempatkan untuk menyapa mereka dulu. Aku tidak tahu apa yang mereka percakapkan sebelumnya, tetapi Pak Arman minta diri pada Bu Ida sambil berkata: Mau jual obat dulu. Pak Arman ini pengajar yang sangat sangat senior, entahlah angkatan berapa beliau. Kurasa tidak jauh-jauh dari Shogun Bakti. Entah sudah berapa tahun ia mengajar, berpuluh-puluh kurasa; dan menurutnya, mengajar itu jual obat.

Itulah juga yang saya rasakan, Pak. Entah apa yang kulakukan. Tahu apa aku tentang sistem ekonomi koperasi. Jika kupikirkan, wewenang apa, hak apa yang kumiliki, sehingga aku boleh menghasut anak-anak kelahiran awal '90-an ini. Akan tetapi, aku tidak suka memikirkannya. Lebih baik kusyukuri saja, apapun ini. Allah mengijinkanku melakukannya. Apakah Ia meridhainya? Wallahua'lam. Apakah artinya menjadi seorang ilmuwan? Apakah itu berarti aku harus percaya pada prosedur ilmiah, apapun itu? Apakah aku harus percaya pada imparsialitas ilmiah, apapun itu? Sakit kepala aku memikirkannya. Entah siapa, salah satu orang ICIS itulah, entah yang mana, mengatakan aku "deterministik". Apa peduliku!

Aku memang menyandang gelar Master of Science, sebagaimana mereka berikan padaku. Namun itu tidak akan menghentikan determinismeku, seperti halnya, Insya Allah, aku berketetapan hati, berkeras hati bahwa Allah Tuhanku, Islam agamaku dan Muhammad adalah Nabi dan RasulNya! RidhaNyalah yang penting bagiku, dan itu, Insya Allah, dapat dicapai dengan menepati perintahNya dan petunjuk RasulNya. Sistem Ekonomi Koperasiku, harus kuakui, memang propaganda. Aku menyampaikannya dengan berapi-api. Selalu. Salah satu mahasiswa berkomentar: Bapak membela rakyat kecil. Ha?! Aku hanya bicara. Aku hanya mendongeng. Tiada padaku daya upaya untuk "membela rakyat kecil." Aku hanya bisa cingcong.

---sudah adzan Maghrib, shalat dulu---

Aku sedang bungah! Kurasa ada hikmahnya library.nu sekarang jadi begitu. Itu bukan akhir dari kemajuan ilmu pengetahuan dan seni. Masih ada Candi Gumilar yang merampas buku-buku dari semua perpustakaan yang ada di UI. Ternyata, dengan begitu, aku dengan mudah dapat mengakses semua koleksi yang sebelumnya hanya ada di perpustakaan-perpustakaan fakultas. Persik ganda! Dan tempatnya nyaman pula! Sistem akses langsung seperti perpustakaan Sastra dulu memang nyaman. Aku bisa berjalan di antara rak-rak buku itu, benar-benar merasakan mataku menelusur judul-judul itu, menemukan yang menarik hatiku. Aku benar-benar bungah!

Ada satu lagi. Ini membuatku semakin mendambakan komputer tablet. Apa kubeli saja yang murah itu? Ternyata ada juga aplikasi pengolah kata untuk sistem operasi Android. Seandainya saja ada yang punya dan aku bisa mencobanya dahulu. Mungkin mengetiknya tidak akan senyaman aku mengetik dengan HP 520-ku ini. Akan tetapi, dengan sedikit pembiasaan, lama-kelamaan juga akan terbiasa. Satu pertimbangan lagi, kurasa aku harus membeli yang dapat dipasangi kartu GSM untuk koneksi internetnya. Wi-fi boleh juga, tapi kalau bisa terkoneksi dengan kartu GSM, kurasa lebih praktis. Kata Doel, kalau punya tablet, yang langganan internet cukup tabletnya saja. Blackberry cukup untuk BBM saja.

Namun... semua ini kembali kepada pertanyaan: Apa sebenarnya yang kulakukan? Siapa aku? Betapa senangnya jika aku bisa menghabiskan waktu seharian di dalam Candi Gumilar, yakni dari jam delapan tiga puluh sampai sembilan belas setiap hari kerjanya. Bahkan Minggu pun ia buka! Benar-benar superb candi yang satu ini. Mengerjakan segala sesuatu itu harus senang. Orang sukses adalah yang menyukai apa yang dikerjakannya, katanya. Terserahlah. Kalau begitu definisi orang sukses, tak sukses pun tak apalah. Lalu apa namanya orang yang mengerjakan apa yang disukainya? Namanya, semau gue alias sak karepe dewek. Tidak baik juga itu...

...dan dengan taufik dan hidayah Allah, keselamatan atasmu, dan rahmat Allah, dan berkahNya.

Sunday, March 04, 2012

Menanti Ajal di Bawah Pohon Kamboja


Semoga ini benar menjadi entri pertama di 2012. Wah, lagunya adjieb! Suatu hari nanti, aku akan pergi keliling dunia. Aku ingat ketika masih remaja belasan tahun. Betapa dadaku bisa sesak menyanyikan lagu ini dengan sekuat paru-paruku. Dan kau akan berkata, aku dapat dibanggakan. Dan kau senang karena mengenalku. Dan aku akan berkata, semua yang kulakukan ini adalah untuk...mu!

Di bagian ini suaraku biasanya sudah tidak terkendali lagi. Biasanya, aku akan menangis sepuas-puasnya. Lalu, siapa "mu" itu? Dulu, ketika aku masih remaja belasan tahun, "mu" adalah Bapak Ibu. Sampai hari ini pun masih begitu. Aku sulit memikirkan sesuatu yang kuinginkan untuk diriku sendiri. Kurasa aku beruntung dilahirkan sebagai anak tertua. Kurasa memang benar, dan itu sangat wajar, alami. Anak tertua tentu mendapat perhatian lebih banyak dari adik-adiknya. Anak tertua tentu menjadi tumpuan harapan orangtua, lebih dari adik-adiknya. Dan, menurutku, memang begitulah nasib anak tertua. Alhamdulillah, aku bersyukur terlahir sebagai anak tertua. Semoga Allah menolongku dalam menjalani suratanku ini.

Bayang-bayang senyummu... kembali ke lagu "Suatu Hari" tadi... terkadang, dulu, terselip angan. Mungkin karena kebanyakan nonton pelem, meski aku tidak bisa dibilang doyan nonton. Ya, dulu kurasa beberapa kali terselip angan, "mu" itu seorang perempuan. Perempuanku. Ibu dari anak-anakku, begitu pernah kukatakan pada Ajo. MoMC. Aku memang tukang cingcong. Cuma itu kebisaanku. Akan tetapi... yaa... kenyataannya tidak seindah angan. Meski begitu, kurasa itulah memang tujuan hidupku. Aku hidup hanya untuk membahagiakan orangtuaku dan membahagiakan...mu! Ya, kamu, Cantik.

Buatku sendiri... aku tidak tahu. Aku bahkan sulit membayangkan punya anak lagi. Entah bagaimana caranya, aku merasa sudah terlalu tua untuk memulai dari awal sama-sekali. Mungkin karena itu juga aku sangat menginginkanmu... Namun... yaa... kenyataannya tidak seindah angan. Sungguh sangat mudah bagiku menerima hal ini. Insya Allah. Alhamdulillah. Semoga Allah tidak menjadikanku panjang angan. Ada ding yang kuinginkan untuk diriku sendiri. Aku ingin mati! Itu pun aku tidak perlu payah-payah ingin. Aku pasti mati. Tinggal menunggu waktunya saja.

Kalau keinginanku itu harus diceritakan, mungkin begini ceritanya. Aku ingin dikenang, olehMu Ya Rabb, sebagai seorang anak yang berbakti kepada orangtuanya. Jika masih boleh ditambah... Aku ingin dikenang sebagai seorang suami yang sangat sayang kepada istrinya. Jika masih boleh ditambah... Inilah yang membuatku gamang... Seandainya... seandainya diperkenankan... Aku ingin dikenang sebagai bapak yang... Aku berdoa kepadaMu Ya Allah Maha Memelihara, agar anakku menjadi hambaMu yang teguh imannya dan suka beramal shalih. Doa yang sama tentu saja kupanjatkan bagi diriku sendiri.

Ya Allah, sungguh hamba sangat merindukanMu, hamba yang durhaka dan berlumur dosa ini... Ampuni hamba Ya Allah... Kasihanilah hamba Ya Allah... Tolonglah hamba Ya Allah... Sungguh hamba sangat merindukan berdua-duaan denganMu saja... Hamba tidak tahu hidup macam apa yang tengah hamba jalani kini. Namun... sungguh hamba takut, janganlah hamba diberi penyakit atau kekurangan... Sungguh kurang-ajar hamba memohon ini. Ampuni hamba Ya Allah... Engkau lebih tahu apa yang menyusahkan hamba, Ya Maha Memberi Pertolongan dan Perlindungan... Kasihanilah, Tolonglah hamba...