Friday, April 30, 2021

Benjamin Mangkudilaga Meninggalkan Medan Laga


Sepertinya sudah pernah 'kutuliskan di sini mengenai buck compton. Aku baik-baik saja, dan Insya Allah memang akan baik-baik saja; meski mereka tidak mungkin benar-benar seperti saudara. Tidak ada persaudaraan, bahkan sekadar pertemanan, dalam bisnis itu, seperti Isdah menyebutnya jalan sunyi. Maka 'kutinggalkan begitu saja. Entah bagaimana perasaan mereka. Rasaku sendiri adalah seperti benjamin mangkudilaga, yakni seperti frank lampard jika belum makan dan peabo bryson sesudahnya. Seperti itu saja, meski bisa jadi ada sistem pendukung.


Bahkan ketika 'kukosongkan tiada melankoli. Hatiku tidak ikut jadi melompong karenanya. Mungkin karena buck compton itu tadi. Ini bukan benar-benar hari kemenangan di Eropa. Jangankan itu, berakhirnya pengepungan Bastogne pun bukan. Ini sekadar bekerja dari rumah yang sebenarnya, karena 25 D8 itu tidak pernah benar-benar menjadi rumah. Bahkan KB 218 dan Uilenstede 79C lebih terasa rumah. Kamar itu memang selalu melompong sejak dari awalnya. Ketika 'kuisi barang-barang perabotan pun tidak lantas menjadi berisi. Begitu itulah ia adanya.

Bahkan ketika 'kujejali Navy Club, hanya sepenuh itu. Memang Japri merasa menjadi semacam bantar gebang, namun ia lebih tahu sarapan sereal daripada bantar gebang; atau semacam itulah. Sungguh aku tidak tahu bagaimana memaknainya. Dapatkah aku menuliskannya seperti orang-orang itu. Mungkin akan 'kulakukan juga sekadar membumbungkan harap akan belas-kasihNya. Navy Club hanya 30,8 kg sehingga membuyarkan impianku untuk bepergian ringan. Samsonit jadi berat, sekitar lima kiloan, belum lagi tas jinjing Ikea juga sekitar segituan.

Ini benjamin mangkudilaga, Kawan-kawan. Inilah sebenarnya yang membuatku galau. Namun aku terbiasa dalam hidupku mengambil keputusan-keputusan komando jihad. Ini salah satunya. Apapun jadinya akan 'kuhadapi, tentunya penuh dengan harapan-harapan baik. Juga untuk kalian semua, meski Japri tak sudi 'kuanggap teman seangkatan. Ketika kita melangkah meninggalkan Kranspoor menuju dermaga feri NDSM, bahkan tiada melankoli untukku. Terlebih ketika mesin feri menggeram merayapi Ij. Aku 'kan kembali membersamai, meski sebentar.

Peron 14b menjadi saksi, betapa bukan ini yang harus 'kulakukan. Perjalanan masih panjang. Draf komplit kedua bukan mainan. Meski jika 'kukenangkan soto dan nasi uduk karya Gerardus, betapapun itu kenangan manis. Aku bisa dengan yakin mengatakan, kedua hidangan itu jauh lebih bermakna ketimbang puyunghai vegan apalagi tahu buda. Aku dalam hal ini harus minta maaf pada penjual kibbeling yang ramah di dekat Sexyland, karena kibbelingnya bukan yang terbaik. Sesi satu-satu dengan Japri dan Pak Greg pun selalu bermakna, menawarkan cakrawala baru.

Jeng Arum tak diragukan lagi yang paling harum dan cemerlang. Memang jika ramai-ramai yang tersisa tinggal harumnya, sedang ia enggan berbagi kecemerlangan. Apapun itu, melihat Pak Greg dan Gerardus begitu semangatnya mengikuti berbagai kursus sangat mengilhami; bahkan Japri yang, sepertiku, sedang dalam fase pijat refleksi. Mungkin memang ada melankoli meski sedikit, terkubur dalam keterpenjaraan, disambar gledek keputusan komando. Mungkin memang itulah waktunya udon tahu jamur, masih dengan mie udang bawang sekali, terpedo udang dan lumpia ayam.

Akhirnya, kepada pemandanganku, sudah jelas aku tak akan merindukan kalian; meski dua kali kita bertemu di tempat cuci. Anak Arab yang dua mingguan terakhir ditinggal kekasihnya, dan selebihnya. Ada waktu-waktunya aku menyanyikan bagi jendelaku sendiri berbagai ratapan dan balada. Aku pasti kembali, Insya Allah dengan berjaya. Ini bukan perpisahan. Ini benjamin mangkudilaga. Ini buck compton. Kaki-kaki Bill Guarnere dan Joe Toye boleh putus. Kakiku Insya Allah menjadi perkasa seperti sedia kala, begitu pula geraham kanan dan apapun mengenaiku.

Wednesday, April 21, 2021

Rabu-rabu Tanpa Alasan Malah 'Ngantor


Aku adalah generasi pembaca Iwan Goya sambil mendengarkan Francis Gayo. Aku bahkan sudah tidak boleh mengaku paruh baya lagi; Siapa yang bisa yakin mencapai usia 90 tahun. Balada untuk Adelina Haratua dengan bas yang menowew-nowew ini agak menjengkelkan sih, tapi, apapun yang terjadi, entri ini harus jadi. Jez yang membuat santai, sedang hujan kopi mengguyur merintik, adalah khayalan mengenai waktu-waktu yang lain. Siang ini cuaca terik bermendung berganti-ganti. Aku melangkahkan kaki perlahan ke kantor, ternyata bertemu Mas Gerben dan Pak Greg Sallatu.


Lantas begitu saja di hari ke-9 Ramadhan 1442 H ini aku tergetar, sedang Roadfill dan Muriel berduet mengenai Menyatu Kembali. Ini setelah aku pulang dari kantor. Nyatanya aku di kantor tidak lama. Aku bahkan tidak tahu mengapa aku ke kantor tadi, jika tidak karena sekadar bersopan-santun. Maka malamnya, setelah buka, kembali 'kuhadapi laptop di kamar ini, sedang Kelompok Moymoypalaboy memainkan Akhir-akhir ini. Mausnya Japri tertinggal di kantor. Ini yang terpenting, karena karenanya aku dapat merasakan lagi lembut mantapnya maus blutut setengah jutaan.

Memang sedih karena pasangannya sudah terbengkalai, HP Stream itu. Kondisinya sekarang menyedihkan. Dompetnya yang dulu elegan biru angkatan laut itu kini buluk. Mau bagaimana lagi, kulit imitasi. Uah, ini sikampret Gerard Joling, seandainya Cantik tidak ngefan padamu takkan 'kumaafkan. Tidak juga. Aku memang suka sudah sedari dulu, peralihan antara SD dan SMP. Cantik adalah cintaku selalu. Kami tumbuh besar dalam rangka-waktu yang sama, sehingga dapat berbagi kenangan, meski diskontinu; Semata untuk mengingatkan betapa hidup di dunia ini fana.

Ohya, ini Ramadhan, sebagaimana yang beberapa kali 'kuabadikan di sini. Ramadhan kali ini bolehlah diberi nama Ramadhan soto. Akankah aku tega memberi makan diriku sendiri soto seperti itu lagi. Semoga tidak pernah terjadi lagi. Semoga soto-sotoku setelah ini semua patut, setidaknya seperti soto bikinan Gerardus. Sebenarnya mudah saja, namun mengapa aku malas sekali. Adakah benar, seperti biasa 'kukatakan, semata karena aku sudah tua. Aku menua, sementara persekitaranku terus memuda. Betapa tidak, gadis-gadisku sudah tumbuh menjadi perempuan.

Pencapaian-pencapaian ini memang harus segera diselesaikan, entah di Agnietenkapel atau Zoom. Setelahnya aku benar-benar ingin mempersiapkan. Apakah akan seperti lelaki tua yang menekuri langkahnya menuju mesjid, sedang bersarung berkoko, mungkin berkopiah. Uah, pada saat begini tiba-tiba Tante Geri Logan memanggil-manggil Cintaku, Cintaku, khayalan masa kecil sampai awal dewasaku. Sekarang cukuplah 'kupandangi anak-anak dan keponakan-keponakanku. Mereka kini yang mengalaminya. Aku tiba-tiba menjadi Pakde Bintonya.

Bagaimana betul mempersiapkan. Apakah para awak Nanggala beserta Harry Setiawan sekali tengah mempersiapkan. Tidak ada yang tahu, maka bersiaplah setiap waktu. Sedang John Gunadi pun bertumor. John Gunadi yang dulu tolol-tololan saja kerjanya sehari-hari bersamaku, bersama kami semua. Dedy yang terkenang steik t-bone Bu Mar "kalau lagi punya duit." Uah, terdengar sangat akrab. Mengerikan namun akrab, namun kehidupan sehari-hari. Sedang Jlaga Iman masih suka WA, sedang Gus Wandi mainan mesenjernya pesbuk. Itulah kehidupanku, yang 'kujalani.

Sekarang belum tercapai. Sekarang aku harus mengingat-ingat bagaimana dorongan seorang lelaki muda di awal duapuluhan. Hahaha tidak ada dan tidak pernah. Aku memang selalu sudah setua ini sejak dan dari kapanpun. Aku selalu menCinta Panjang dan Tahan Lama bahkan sebelum Glen mendendangkannya, bahkan sebelum Pak Pandir makan aprem. Aku tidak peduli. Beginilah aku apa adanya. Jika minggu lalu aku terlambat sekali yasinan fadilah, adakah minggu ini 'kupercepat saja. Glenn yang ini seekor Elang, baru tahu; Seperti rambut bersulam uban.

Tuesday, April 13, 2021

Marhaban Ya Ramadhan 1442 H. Sahur Pertama


Memang sudah tidak bisa lagi sahur. Jangankan yang berat, yang ringan saja 'kurasa sudah tidak sanggup. Masa tiga kerat roti gandum, dua lembar keju gouda muda kurang garam, dua lembar filet kalkun, masih disimbah saus tomat berbumbu dan sriracha, kau kata "ringan". Insya Allah, jika besok sahur, maka cukup dengan semug kecil sup dan semug besar teh. Mungkin sekerat roti gandum. Mana tahu dengan begitu aku masih sanggup minum air agak beberapa teguk. Mana tahu dengan begitu, aku lebih cepat berangkat tidur lagi, karena tidur memang baru empat jam.


Wajah seorang akademisi, semacam Asshieq Mijidlidy begitu
Apapun itu, Alhamdulillah, Allah menyampaikanku pada Ramadhan tahun ini, sebagaimana tahun lalu. Tahun ini pun, selepas sahur aku tidak bisa langsung tidur. Aku malah mengetiki sambil ditemani jez positif dan suara ombak menerpa lembut pasir pantai. Aku tidak ingin berandai-andai, namun suasana hati memang sedang sungguh cocoknya untuk berandai-andai. Uah, bahkan pada diriku sendiri saja aku seakan masih menyembunyikan. Entahlah, mungkin semata aku tidak ingin terlalu cepat bergembira, karena memang mustahil berlabuh jika dayung tak berkayuh.

Begitu saja suasana petang, ba'da Ashar sebelum Maghrib, di Jalan Radio menyelimutiku. Hangatnya cahaya matahari sore, mengapa garasi E8 yang tergambar di benak. Akankah 'kumemuktikan ndalem Yado E4, ndalemnya Ibu, ataukah sekadar khayalan otak kekurangan oksigen ditingkahi dentingan piano dan deburan lembut ombak; sedang tadi sempat membaca-baca cerita horor mengenai rumah di Mahoni 30, Bungur itu. Adakah hubungan antara Yado E8 dan Mahoni 30. Semoga Yado E4 terhindar, dijauhkan dari yang begitu. Naudzubillahi min dzalik!

Tahun lalu aku berpuasa di Uilenstede, masih terasa lamat-lamat. Kini aku berpuasa di Kraanspoor dan aku merasa berbahagia, meski di sini aku dikerubungi anak-anak kecil. Jiwaku yang tua ini lelah. Masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan, semoga lancar dan dimudahkan. Setelah itu, aku bahkan masih menyembunyikannya dari diriku sendiri. Seakan enggan 'kupercaya jika belum 'kulihat dengan mata kepala sendiri. Aku menantinya dengan kegairahan khas seorang tua. Bergairah namun tidak melonjak-lonjak, bukan gairah kekanakan yang melompat-lompat.

Betapa tidak horor, terlebih setelah mendengar kajian mengenai tafsir surat an-Naziat, terlebih yang ada fragmennya. Aku ingat di sofa itu seorang diri menikmati sahurku sambil menyaksikannya, di bawah lukisan pemandangan pedesaan yang tiada seberapa bagusnya. Itu sudah setahun lalu. Setapak demi setapak aku maju. Apa yang ada sekarang sudah lebih baik dari setahun lalu. Insya Allah setahun lagi sudah lebih baik dari kini. Begitu sajalah hidup antara harap dan cemas sepanjang hanya kepadaNya. Tiada habis 'kubersyukur dipertemukan lagi dengan Ramadhan tahun ini.

Berapa entri yang akan 'kuhasilkan Ramadhan ini, adalah bukti betapa aku bergairah menanti-nanti. Kegairahan dalam penantian inilah yang 'kubutuhkan. Mungkin aku sudah seperti Buck Compton atau entahlah siapa. Tak hendak pula membandingkan diriku dengan anak-anak kecil ini, terlebih yang baru mulai. Aku, Alhamdulillah, sudah melampaui tiga perempat perjalanan. Takkan pula 'kusebut "tinggal", hanya 'kan 'kujalani meski thimik-thimik. Ini seperti penantian waktu berbuka. Tidak penting baru sahur atau ketika matahari lingsir, waktu berbuka memang dinanti.

Apakah itu di perpus HAN yang agak dingin dari satu AC saja, atau di Kraanspoor yang hangat sedang suhu di luar di bawah nol derajat selsius, menanti waktu berbuka ya sama saja. Bahkan di Uilenstede kemarin waktu buka tidak perlu dinanti. Ia datang begitu saja. Berpuasa 14 atau 18 jam rasanya sama saja, yang membedakan adalah apakah berbuka dengan gorengan bala-bala dan teh manis jambu hangat masih nikmat atau tidak. Tehnya mungkin masih, namun bala-bala entahlah. Selamat datang Ramadhan. Aku berharap banyak padamu, padaku sendiri, seperti biasa.

Thursday, April 01, 2021

Woy! Main Slepot Tangannya Sempoyongan


Ya, memang masih bukan wanita tuna stereo (WTS), tapi ini kali pertama aku mengenakannya setelah bertahun-tahun gara-gara debaman, ya, dentangan tiada henti yang sudah memasuki minggu ketiga. Bahasa Jawanya jauh lebih parah dari aku, padahal dia mengajar bahkan lahir besar di kedua-dua pusat kebudayaan Jawa nan adiluhung. Beginilah pikiranku melompat-lompat, berkebat dan berkebit berkesiuran, lincah dan liar, sedang badanku sendiri lebih banyak diam dan bergerak pelan seperti seekor kukang. Itu setelah menyeruput susu kedelai tercemar kopi.


Tidak berarti juga entri ini dikasihkan Dedi pada Simbah Eric Victor Burdon. Meski memang keren, tapi hidup liarnya sok musisi '60-an aku tidak suka. Akan halnya aku menulisi ini, ada ular... halah. Pokoknya, belum. Daun-daun masih lama lagi akan berguguran, dan 'kuharap aku tidak akan menyaksikannya yang tahun Gregorian ini. Biarlah 'kusaksikan dedaunan bersemi, sedang awal musim semi ini suhu mencapai duapuluh dua derajat selsius! Hiy, meski gelombang panas, 'kuharap aku tidak akan mengalaminya tahun Gregorian ini. Aku lebih suka musim kemarau basah.

Baik Bu Andras maupun Charlie Chaplin menyuruhku tersenyum, sedang Bu Eko membuatku bernyanyi. Aku, yang seperti Itang Yunasz atau Stringfellow Hawke ini, memang suka bernyanyi. Jika Adjie sangat berminat pada ketampanan, tidak menjadi masalah. Memang benar kata Pakde Gomblohnya: goblok 'dikit tidak apa, asal baik dan rajin. Hinaan dan cercaan membuatku teramat menyukai tragedi sampai-sampai membuat Istriku tersiksa. Apa jadinya pada Adjie. Hinaan dan cercaan juga membuatku memaki. Seperti apa aduhai kiranya dunia tanpa makian.

Alhambra! Bulbul dua kali berturut-turut! Aduhai cantiknya seperti Istriku yang membuatku melafalkannya menjadi naitinggel, tidak lagi naitinjel. Jika habis ini aku membangun peradaban, mau apa dikata. Tidak Gerben, tidak Laurens dapat berkata apa-apa mengenainya. Pernahkah engkau digantung pada ibu jari kaki sedang tangan-tanganmu dibelenggu bandul besi. Lebay sudah tentu, namun begitulah. Biarlah aku menari berputar-putar ditingkahi gaung-gemanya nyanyian bulbul dari masa mudaku, dua kali berturut-turut! Tinggal itu yang tersisa padaku, agar riang rasa hatiku.

Ya, hatiku bernyanyi karena cinta sejati. Cinta adalah sesuatu yang sangat megah. Baru tahu aku kalau terjemahannya begitu, setelah hampir empatpuluh lima tahun hidup. Asaptaga, usap dengan lembut. Balada romantika, entah mengapa begitu saja. Tidak perlu memasang tarjet apapun, selama masih ada ibu-ibu rempong berlejing pink. Selain tragis juga fatalis, itulah akibatnya. Adakah harus 'kuselamatkan 'ponakanku dari nasib itu, 'ku 'tak tahu pasti. Hidup begini adakah hidup yang benar-benar enak. Seperti Tony Benedetto, hidup enak dicium selamat tinggal.

Rasanya seperti edan saban-saban memeriksa pratinjau. Kapan kebiasaan buruk itu harus dihentikan. Adakah sekarang. Bisa jadi. Lihat. Aku tidak terkungkung oleh apapun, apalagi prasangka tolol seperti rata kanan kiri. Toh nyatanya tidak pernah benar-benar bisa rata kanan kiri seperti di Word, jadi hentikan kebiasaan tolol saban-saban memeriksa pratinjau, seperti kebiasaan tujuh lima, tujuh lima, jadi lima dua lima. Lantas kalau tiada yang dihentikan apa akan diumbar saja seperti kengerian menggeliat-geliat. Uah, sampai di sini aku ragu. Aku t'lah terlalu terbiasa.

Kalau dikatakan ini surat cinta, jelas musykil. Namun hatiku rasanya seperti sedang mencinta. Tidak. Aku sudah tidak sanggup lagi berbalada romantika. Cintaku sekarang cinta pensiunan yang lamat-lamat mengalun, tidak lagi cinta muda yang menjompak-jompak. Namun bukan berarti aku sudah tidak sanggup lagi jatuh cinta. Masih. Sekarang saja aku mengajak jatuh cinta, namun yang mengalun lamat-lamat begini. Ada yang mau. Tentu tidak ada kecuali diriku sendiri. Tidak mengapa. 'Kudengar diriku sendiri menyahut ajakan untuk jatuh cinta. Aduh, sungguh syahdu mesra.