Thursday, June 29, 2017

Syawalan Tidak Lain Tiruan Ramadhan 'kan?


Masa setiap kali membuang tenaga mental dan otak untuk memulai hari dengan menulis entri di hari-hari puasa ini, sedangkan ukuran lambungku tampaknya mengecil setelah berpuasa sebulan penuh? Apakah akan menggunakan alasan pemanasan? Apa tidak takut rekening kosong? Apa malu menerima tanpa memberi, sedang yang diberikan sesuatu yang tiada arti, seperti hidup dan diriku sendiri? Apa tidak ingin Asus Zenfone 3 Max? Mengapa memulai entri dengan berondongan pertanyaan begini?

Sedang muadzin Masjid Ukhuwah Islamiyah sudah mengumandangkan adzan dhuhur pada 5 Syawal 1438 H ini, apa hari-hari puasa sekadar menunggu maghrib? Lantas, kalau sudah maghrib, lalu berbuka, lalu shalat maghrib, lalu shalat isya', lalu apa? Tidur? Bangun sahur? Tidur lagi setelah shubuh sampai matahari tinggi dan panas sinarnya? Aku sendirian di kubik PS-PKR UNHCR gara-gara Dwaskoro Syahbanu. Sebenarnya bisa saja sekarang ini aku membariskan resimen-resimen kavaleri mandekalu di lepas pantai Berlin untuk menghentikan kesombongan Ashurbanipal.

Namun aku memilih kemari... untuk menulis entri hahaha. Kelembagaan konservasi entah-entah pada 27 Ramadhan lalu juga kurasa disebabkan oleh ritme puasa, meski akibatnya jelas hidangan berbuka dari dapur kekaisaran. Aku kaisar? Tidak. Aku biasa makan sampah koq sehari-hari. Terlebih dengan kemiskinan merundung, apa tega aku makan yang bukan sampah? Aku melakukannya bukan karena empati sosial atau yang sejenisnya, semata karena memang uangku sedikit. Nanti cepat habis jika bergaya hidup kaisar, bahkan meski aku kaisar benar sekalipun.

Lalu silaturahmi ini, seperti orang-orang, apa benar? Uah, jika benar aku harus seperti orang-orang, maka biarkan aku... [sampai di sini tercekat] Edan! Seperti tidak pernah kenal Pengungkap Kegaiban, yang membuat takut almarhum[ah?] Santiago dan Lemonado yang entah mungkin masih hidup. Ahaha, adakah sempat dalam hidupmu berkenalan dengan Pengungkap Kegaiban, Santiago? Semoga Allah mengampuni dan menghapus dosa-dosamu, Kawan. Bagaimanapun, kau orang baik. Semoga perbuatan baikmu diterimaNya dan dilipatgandakan balasannya.

Jelasnya, aku masih dibiarkan hidup sampai sekarang, dan tidak lucu sok-sok'an bercanda mengenai hidup dan mati seakan jagoan. Ini saja, mengapa tidak terbirit-birit ambil wudhu lalu shalat? Apa? Mau pakai alasan sedang telanjang dada? Uah, seandainya Sentosa 52 itu bakmi dan aku masih jauh lebih muda dan punya uang, bisa jadi aku mengunjunginya rutin. Aku tidak terpikir makanan apa yang bisa dikaitkan dengan Indragiri, tapi itu pun bisa jadi tidak banyak berguna sekarang. Insya Allah masih ada sih selera makan, apalagi sedang berpuasa begini.

Aku baru sadar setelah melihat kalender meja resmi FHUI, ternyata dituliskan di situ cuti bersama berlangsung selama 27-30 Juni 2017, berarti benar kampus ini baru akan mulai ramai lagi Insya Allah pada Senin, 3 Juli 2017. Apakah besok sudah ada Jumatan di Mesjid UI? Dapatkah aku menyelesaikan sesuatu hari ini sebelum datang besok? Adakah besok menjelang kabar gembira? Illahi Rabbi, mengapa semua perhatian dan perasaanku tercurah padanya? Adakah harap-harap cemas seperti ini menebus dosa?

Bagaimana jika sekali lagi aku dikecewakan? Adakah itu menghapus kesalahan? Ada yang lebih mengerikan daripada kekecewaan. Ingkar janji! Sedangkan Bude Ning semalam mengingatkan betapa aku tidak menepati janji menyelesaikan terjemahan UU HAM dan UU Fidusia sampai Bude menagih-nagihku. Seperti itulah yang akan terjadi jika besok aku tidak segera mulai melembagakan konservasi. Apakah akan kausesali kegegabahan ini? Seenaknya saja janji-janji hanya karena dijanjikan hidangan dari dapur kekaisaran. Sejatinya, kau ini budak hina!

Dengan budak hina ini, tiba-tiba saja terlintas di kepalaku seorang penyalin yang mengencingi celananya sendiri karena akan berhadapan dengan manusia-manusia ganas haus darah. Begitu saja ketika ia keluar dari kandang, kepalanya dihantam ayunan gada. Pecah. Tangannya yang terhubung dengan rantai pada mitranya lantas dibuntung karena mengganggu gerak. Ya, begitulah nasib budak hina. Mati dengan kepala pecah dan tangan buntung, dibuang ke comberan seperti bangkai tikus. Mungkin gara-gara tidak membayar utang untuk membiayai gaya hidup? Naudzubillah!

Monday, June 26, 2017

Ini Tentang Kenikmatan Seksuil ('emang Enak)


Ini adalah sejenis judul jika aku sedang marah sangat. Sayangnya, seperti biasa, tidak ada yang peduli apa yang kurasakan sekarang atau kemarin dulu. Apakah aku tertengah di jepit-jepit ataukah permata mendung-mendungnya Rama Sindhunata melendung, semua menjadi deritaku sendiri. Nah, bicara tentang seorang Imam Katolik, biarlah kutulis dulu di sini dari Mazmur 51:5, ketika Raja Daud berkata, "Aku senantiasa bergumul dengan dosaku," meski menurut Prof. Yusril, Injil dan mungkin Alkitab seluruhnya lebih seperti kitab hadits daripada Quran.


Mungkin tidak ada salahnya juga 'kan kalau kutambahkan di sini dari Yesaya 6:8 "Setelah itu, aku mendengar suara Tuhan, berfirman, "Siapa yang akan Kuutus? Siapa yang mau pergi untukKu?" Lalu, aku menjawab, "Ini aku. Utuslah aku!" Ya, kenyataannya diam bisa jadi adalah nyanyian termerdu. [apakah bunyi "r" pada ter- harus dilesapkan menjadi "temerdu"?] Nyatanya, Pram sampai pada simpulan mengenai Nyanyi[-an] Sunyi Seorang Bisu ketika dipenjara di Pulau Buru. Bahkan Rasulullah berkata, "Dunia adalah penjara orang beriman dan surga orang kafir."

Namun ini tentang kenikmatan seksuil yang memang enak. Enak-enaknya seperti mentega lembut yang tidak digarami, meleleh di atas roti hangat yang baru keluar dari pembakaran. Tidak suka mentega? Bagaimana dengan kuning-kuning organ dalam bulu babi (echinoidea) segar yang dibumbui tetes-tetes air laut? Tidak suka juga? Bagaimana dengan gurih-gurih liur perempuan yang memberahikanmu, meski tonggos giginya, sedang pada ketiak, kemaluan, dan duburnya baru kembali tumbuh rambut-rambutnya setelah dicukur klimis beberapa hari lalu?

Ahaha, iblisnya memang pada rincian! Tidak. Rincian mengenai sifat lubang-lubang dan liang-liang lainnya tidak akan diberikan di sini, sekadar menghormati Yuli Cahyono yang sejatinya adalah diriku sebagaimana ingin kumenjadi. Ya, meski ini tentang kenikmatan seksuil! Memang pada dasarnya ada kemiripan di antara Rama Sindhunata dan Ahmad Tohari. Mereka berdua sama-sama sering keasyikan sendiri dengan rincian, sampai-sampai orang lupa pada alur utama. Ada lagi, mereka berdua sama-sama suka burung kedasih atau tadahasih.

Nah, dalam hal ini mereka berdua sama denganku. Bisa kubayangkan kami bertiga adalah orang-orang bisu yang kesepian dalam kesunyian kami. Bisu namun tidak tuli, sehingga terdengarlah dengan jelas nyanyian kedasih atau tadahasih yang... memilukan? Memang berbeda dari kicauan riang prenjak yang sangat tidak disukai Ibuku, tapi apakah memilukan? Ataukah asosiasinya dengan berita kematian membuatnya terdengar pilu? Di manapun aku menyepi, di ketinggian lantai empat atau tepian Cikumpa, hiasannya memang selalu nyanyian kedasih.

Lalu Istriku. Aku mencintaimu. Jelas aku secara emosional tertambat erat, lekat padamu, mungkin seperti lintah yang menghisap darahmu. Akan halnya engkau punya kehidupanmu sendiri, aku bisa apa. Aku pun tidak pernah bisa lepas dari kebisuan yang sunyi sepi ini, yang kau tidak pernah suka. Mengharapkan seseorang memasuki dan menjadi bagian dari dunia bisuku yang sunyi sepi ini, bahkan dirimu? Tidaklah. Aku tidak akan sampai hati, meski jujur kuakui, seandainya mungkin aduhai betapa indahnya lagi permai, tapi tidaklah.

Langit hari ini, seperti telah kuduga, penuh dengan bidadari menangis. Apa benar yang mereka tangisi? Apakah pertengkaran Jokower-Ahoker melawan hater yang tidak kunjung usai? Aku tidak sudi percaya kalau bidadari secetek, seklise itu. Lebih baik aku ge-er, merasa bidadari-bidadari menangisi kebisuanku, kesepianku, kesunyianku, sedang aku, seperti Rahwana, terjepit di tengah-tengah dua gunung. Kepalaku tetap sepuluh. Aku tetap hidup. Namun aku tidak bisa apa-apa selain berteman nyanyian sunyi, sepi, bisu.

Di sini sebenarnya ingin sekali kuberi rincian mengenai kenikmatan seksuil yang tengah kurasakan seraya terjepit di tengah-tengah begini, namun karena tekadku untuk menjadi Yuli Cahyono, tentu saja kuurungkan niatku. Biarlah sidang pembaca mengerahkan segenap daya khayal mencipta kembali kenikmatan seksuil dalam benak masing-masing. Ya, karena itu semua hanya dalam pikiran. Bahkan ketika kau merasa seperti menjerit, itu pun hanya dalam pikiran. Karena sekelilingmu tiada lain kecuali kesunyian, kesepian, kebisuan. "Seperti itu," kata Bang Sony Maulana Sikumbang.

Thursday, June 22, 2017

Entri Keempat yang Ditulis di Bagasnami


Setidaknya adalah yang bertema berseri seperti ini, meski dengan ini terekam pula betapa jarangnya aku ke sini. Sebelumnya, sungguh pada tempatnya aku berterima kasih pada Allah SWT, memujiNya atas rasa badan dan hatiku yang Alhamdulillah positif pagi ini. Saat ini aku berada di ruang tamu Bagasnami yang kasur-kasurnya masih berhumbalangan, padahal tadi agak jam 07.00 datang Tante Ida. Padahal ada juga tadi aku diajak ngobrol, tetapi aku malah menyeringai tolol sambil berkata, "ke kamar mandi dulu," untuk selanjutnya menyelinap lewat pintu samping.

Gambar cantik ini kuperoleh dari Chika-chika Kelap-kelip. Ia dapat entah dari mana.
Untuk melanjutkan tidur. Meski sepanjang puasa ini tidurku setelah sahur hampir selalu tidak nyenyak, tidurku barusan hitungannya lumayan juga. Sampai aku terbangun ketika hampir jam sembilan, cukup segar rasa badan dan hatiku. Patut juga dicatat di sini, setelah lima tahunan aku berkenalan dengan Bagasnami dan beberapa kali mendengar mie dukduk, baru kemarin malam aku berhasil menangkapnya karena lewat tepat di depan rumah. Segera kupanggil dan kupesan mie goreng. Fawoz pun demi mendengar ada nasi goreng ikut memesan, dengan telur diceplok.

Ya, memang hidup berwarna-warni. Acara hari ini selalu silih berganti. Itulah sebabnya taruna selalu berseri-seri. Meski tidak seperti mie dukduk yang kuharapkan, setidaknya seperti yang dulu di depan Antena IV, sebenarnya agak lumayan juga mie goreng semalam. Apakah karena setelahnya kutambah kentang mustafa, luka di pangkal kerongkonganku ketika mencerna makanan membuat jantungku berdebar-debar. Cantik makan nasi gorengnya, begitu juga Fawoz setelah pulang tarawih baru dapat empat rakaat dengan baju bersimbah darah karena mimisan. "Enakan mienya," kata Cantik.

Jangan sampai lupa pula dicatat di sini, Smartfren berfungsi sempurna di Bagasnami ini! Aduhai, aku 'kan tidak beroperasi di sini. Jika mungkin aku inginnya beroperasi selalu di tepian Cikumpa itu, namun di sana Smartfren aduhai lambatnya. Cantik entah mengapa masih mengeluhkan Telkomselnya. Aku sepertinya tidak punya pilihan lain kecuali mengganti PJIku ke Telkomsel. Apakah Telkom, seperti halnya BUMN lainnya, sehat-sehat saja, sesungguhnya aku tidak peduli. Saking saja Bapak tampak sangat berminat pada topik ini. Aku cuma butuh internet lancar.

Teringatnya, aku baru menyadari bahwa standar NATO untuk sebuah entri seharusnya tujuh, bukan delapan paragraf. Apa yang selama ini membuatku berpikir sebuah entri harus delapan paragraf? Entri-entri ini memang nyaris seperti saranaku melarikan diri dari kenyataan bahwa aku tidak menghasilkan apa-apa, sedang yang bisa kulakukan hanya ini. Entri-entri ini adalah duniaku, malam-malam berbintang-bintangku, wujud penderitaan yang diakibatkan oleh kewarasanku, atau semata-mata kemalasanku; karena aku bukan seniman dan tidak jenius.

Di Bagasnami ini, semua terasa mengalir meski jauh sekali dari Cikumpa. Aku tidak tahu apakah Ihza punya mimpi-mimpi dan ambisi, yang jelas Tante Anthi-nya berkhayal-khayal di rumah ini. Khayalan-khayalan yang menurut pengakuannya, dan dari apa yang kusaksikan sendiri, mendorongnya melakukan berbagai hal. Aku sampai sekarang masih merasa, aku tidak lebih dari seekor monyet yang tiba-tiba saja diinginkannya, seperti kalau ia menginginkan segala sesuatu. Begitulah cara pikirannya bekerja. Begitulah istriku, kusanding dalam hatiku.

Di dunia ini, tiada lain yang kupikirkan kecuali berusaha mencari tambahan uang. Aku sendiri hampir selalu tidak tahu untuk apa, kecuali sekarang ketika aku sangat menginginkan Asus Zenfone 3 Max. [kenapa harus yang ini?] Cantik selalu tahu untuk apa setiap uang tambahan itu. Aku sudah punya segala sesuatu yang kubutuhkan. Jika ada yang aku belum punya, biasanya hal-hal yang tidak mungkin dibeli dengan uang. Hari Prasetiyo begitu saja nyelonong, "ada dosa-dosa yang hanya bisa dihapus dengan susah-payahnya mencari nafkah." Baguslah.

Tuesday, June 20, 2017

Satu Tujuh Sudah 'Gitu Ga Penting. Sudahlah


Sungguh aku merasa sayang membunyikan musik, ketika di kejauhan masih terdengar suara orang membaca Quran di mesjid meski lamat-lamat. Siapa tahu, suasana seperti ini akan kutinggalkan barang beberapa jenak, sampai-sampai aku akan merindukannya. Harapan. Mengapa aku berharap-harap? Mengapa aku merasa seakan-akan berhak atas itu semua hatta berharap? Sedangkan berat, sulit itu semua datang padaku. Ingin aku tidak berharap, namun tak kuasa. Tidak tega, tepatnya. Aku harus berharap, karena aku diharap-harapkan. Begitulah. Aku sendiri? Entahlah.


Mau tak mau kumainkan juga akhirnya Kembali ke Garis Depan-nya Lionel Richie. Kenangan dari masa muda. Kekecewaan. Kesulitan. Ngeri sekali aku merekam ini semua. Ini tidak seharusnya direkam dalam Kemacangondrongan. Tidakkah Kemacangondrongan sudah merekam merosotnya diriku menuju titik nadir? Perlahan tapi pasti. Adakah terekam juga puncaknya? Tadi sudah kuperiksa, tapi tepat pada saat itu juga aku meluncur terjun bebas. Tiada sekolosal waktu-waktu sesudahnya, sih, tapi memang sudah terasa kemerosotannya. Aduhai, ingin sekali—seandainya bisa—aku menghela nafas panjang.

Ah, mungkin lebih baik aku merekam apa yang terjadi padaku hari ini, yang bisa dimulai dari Farid Hanggawan. Lalu Togar Tanjung. Kalian. Apa sebaiknya kudoakan kalian agar jangan sampai mengalami apa yang harus kujalani? Kalian jelas lebih baik dariku. Aku... gila. Klise sekali kata ini terdengar. Tolol? Pengecut? Apa lagi? Yah, semua itu lebih tepat untuk menggambarkanku. Si Tolol yang... ah, tak terucapkan pagi-pagi yang menyapu halaman... sudah hanya ini yang sanggup terkatakan. Sisanya pasti meratap-ratap minta ampun.

Aduhai, begini betul! Sedangkan Marapulai muncul begitu saja disambut Komendan, aku lantas hanya melangkah ke Barel. Gontai, menyadari bahwa ini bukan Barel yang biasanya. Barel yang kurindukan namun kena’apa juga? Semacam penyapuan halaman, lalu permintaan boneka yang seperti itu, kemudian Sasari. Mengapa tidak Padaringan, ada sedikit penyesalan. Ibunya yang maju, sehingga telor ceplok pedas, tahu, capcai, kuah-kuah entah-entah, tahu goreng dua. Lima belas ribu Rupiah.  Entah apa sebabnya sesaset Sari Wangi dan seprapat gula. Enam ribu pula.

Lihat, jika kau tidak bercakap-cakap dengan seseorang, percakapan yang cukup berarti, beginilah akibatnya. Aku mudah kesepian semakin tua begini. Bagaimana dengan Bapak? Ya Allah, gembirakanlah hati Bapak hamba, sehatkanlah badannya. Entri ini terasa seperti tidak menulisi. Ini semata karena aku kesepian yang teramat sangat, sampai-sampai tidak tahu lagi harus bagaimana kecuali menulis entri; karena menulis yang lainnya aku sudah tidak sanggup lagi. Mengapa tidak membaca? Itu butuh suasana hati yang lain lagi, yang baik tentunya.

Tidak. Aku tidak menggugat. Aku hanya meratap. Apa yang kuratapi? Kutahankan saja. Mau bagaimana lagi? Lihatlah. Aku bahkan sudah tidak sanggup bersenang-senang dengan kata-kata, temanku yang tersisa. Aku butuh teman, namun kubatasi diriku sendiri. Semakin tua begini harus hati-hati berteman jika tidak mau kena kulit durian, terlebih yang habis digunakan cuci tangan pemakan durian. Jijik! Berteman sepi? Itu ‘kan gaya-gaya’an jaman muda. Setua ini, gagasan itu terdengar sangat mengerikan, karena sepi berteman kecewa dan gresula.

Setidaknya, meski perut terasa penuh terisi tahu, pangsit, baso ikan dan sapi, rasanya seperti mengantuk. Ini bagus! Istirahat malam yang nyaman adalah anugerah yang sungguh indah. Ketika terbangun sahur nanti, sudah menunggu mie hijau jamur atau kalau enggan bisa kembali ke nasi berlauk sambel goreng tahu baso kakap bikinan sendiri. Terlebih penting, Ustadz Quraish masih akan membabar tafsir surat Yasin. Beginilah harapan. Tidak usahlah berjengit membayangkan bintang tamu atau Alvin Adam-nya sekali, atau pertanyaan masyarakat. Namanya juga tivi.

Monday, June 19, 2017

Ratapan Anak Kambing Balap 25 Ramadhan 1438 H


Mungkin karena aku terlalu kesepian, aku melakukan sesuatu yang—kalaupun pernah—sudah lama sekali tidak kulakukan. Aku mengetik dahulu secara luar jaringan, (luring; offline) baru kemudian kutayangkan ketika ada akses internet. Terakhir kali melakukan ini seingatku di Kosan Babeh, sepuluh tahun lalu, dengan Fujitsu-ku yang gagah perkakas itu. Adakah aku merindukan waktu itu, atau semata rindu pada kemudaanku? Akankah kebugaran jiwa ragaku kembali membaik, sedang ini adalah penghapusan dan pengampunan tumpukan dosa-dosa? Insya Allah.


Bagaimanakah puasaku sepuluh tahun lalu? Aku hanya ingat adanya malam-malam di mana aku sulit tidur. Jam satu dini hari belum tidur sedangkan jam dua Masjid Khairatul Muslimin di Gang Haji Mahali akan mulai berseru-seru membangunkan orang sahur. Ada kalanya tidak bisa tidur bahkan sampai jam dua padahal setidaknya jam setengah empat sudah harus beranjak ke Barel, entah ke Sasari atau ke mana aku lupa. Di Warteg Jaya pernah mungkin beberapa kali. Aku justru lupa apakah pernah sahur di Mbak Yem.

Ah, kurasa aku benar-benar kangen masa mudaku. Apanya betul yang kurindukan? Ini nyaris seperti ketika aku merindukan entah apa di kamarku di Sint Antoniuslaan itu, akhir musim dingin 2009. Adakah aku merindukan ketidakpastian? Selintas teringat, sabun cair aroma lavender dan guyuran air hangat cukup menyamankan jiwa raga. Ya Allah, angkatlah penyakit hamba. Tunjukkanlah jalan menuju kesembuhan dan kesehatan yang sempurna. Ya Allah sungguh Engkau Pemaaf lagi menyukai permohonan maaf, maka maafkanlah hamba. Angkatlah penyakit hamba, Ya Rabb.

Haruskah hamba berjanji untuk meninggalkan segala kebodohan dan kesia-siaan agar Engkau mengembalikan kebugaran jiwa raga hamba? Mampukah hamba menepati janji itu? MAMPUKAN hamba, Ya Allah Maha Perkasa, Maha Penyayang. Jangan biarkan hamba menyia-nyiakan umur hamba yang tersisa dengan kebodohan dan kesia-siaan. Sebaliknya, ilhamkanlah, tunjukkanlah jalan dan cara menuju ampunan dan maafMu yang sempurna. Tolonglah hamba, Rabb, kasihanilah hamba. Ini semua tidak bisa lain adalah akibat dari dosa-dosa hamba yang memang mengerikan. Ampun Ya Allah, kasihanilah hamba.

Lebih mengerikan lagi... tiba-tiba saja kengerian itu melintas dalam benak. Bagaimanapun aku terlibat dalam kedzaliman ini. Lantas apa yang harus kulakukan? Ya Allah, hamba mohon diberitahu bagaimana mengakhiri ini semua. Sungguh terasa berat hidup hamba karena tanggungan beban dosa-dosa. Tunjukkanlah kepada hamba cara melepaskan beban ini, Ya Rabb. Jangan sampai berakhir waktu hamba di dunia ini sedangkan masih menanggungnya. Naudzubillah tsumma naudzubillah! Dapatkah dikatakan puasa Ramadhanku tahun ini imaanan wahtisaban? Ya Allah, sungguh aku mengharapkannya.

...seingatku aku sudah minta maaf. Lalu bagaimana kalau tidak dimaafkan? Apakah harus kuulangi lagi permintaan maafku? Mengapa tidak? Ini pun salah satu yang harus diperbaiki. Aku harus menahan hatiku untuk berbuat buruk, bahkan ketika tidak satupun tahu kecuali Allah. Siapa tahu dengan begini Allah sayang padaku. Dan tentu saja yang satu itu. Baru beberapa saat tadi saja aku sudah gatot nurmantyo. Ayo semangat! Ingat Yuli Cahyono! Tahan hatimu. Tahan lidahmu. Tahan tanganmu. Tahan matamu. Bukan dimatikan, melainkan dikendalikan!

Iya. Aku emang orangnya 'gitu. Marah. Meledak. Sudah itu sudah. Aku tidak bisa, tepatnya tidak kuat, marah lama-lama. Aku pada dasarnya seorang pecinta, seniman begitu. Ilmuwan jika itu artinya saintis jelas tidak. Budiman, Insya Allah, aku berusaha sedapat-dapatnya. Akan tetapi, seringkali aku gagal menahan diri. Lihat saja buktinya bertebaran di sini, di Kemacangondrongan ini. Yuli Cahyono, kusebut-sebut namamu berulang-ulang di sini. Aku memang tidak betah jenggotan, tapi aku akan berusaha jenggotan dalam hatiku. Insya Allah.

Friday, June 16, 2017

Tidakkah Ini Berita Baik, Kabar Gembira?


Sampai kapan harus berharap akan kabar baik, berita gembira? Tidak bisakah hidup saja menunggu yang telah dijanjikan, yang telah pasti datangnya? Pantaskah mengharap ditambah ilmu? Tahukah aku apa artinya, arti pentingnya keselamatan dalam beragama dan keberkahan rejeki? Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan ini, segala puji memang hanya pantas bagiNya, Rabb seluruh alam. Ya Allah, hamba mohon diajari bersyukur atas nikmat sehat nyaman lahir batin yang tengah hamba rasakan saat ini, sedang hamba menunggu datangnya waktu shalat Jumat.


Lantas apa pantas menunggu datangnya waktu shalat jumat di kubik penampungan sementara pengungsi korban rezim ini, sedang telinga disumpal melodi Seperti Seorang Perawan oleh Madonna? Apa pantas yang seperti ini disebut i'tikaf? Sedang Ibu kemarin terkena serangan vertigo dan Bapak menghubungiku setelah sahur ingin membicarakan sesuatu yang penting. Sedang aku memandangi wajah keduanya pada foto yang terdapat di kubik ini. Sedang aku memandangi wajahku sendiri yang tampak tolol di foto satunya, di kubik ini juga. [kalimat macam apa?!]

Hello. Apa pantas aku yang sudah empatpuluh satu tahun menurut perhitungan surya ini masih mengharapkan kabar baik yang duniawi? Apakah yang kuharapkan ini penting untuk kehidupan yang sebenar-benarnya sejati kehidupan, sedang kemarin M. Farid Hanggawan sudah bersama-sama M. Sofyan Pulungan dan Mas Ari Wahyudi Hertanto mempresentasikan proposal penelitian doktoralnya? Apakah sengaja tidak tarawih dapat tergantikan oleh mendengarkan Kajian Tafsir al-Mishbah oleh Habib M. Quraish Shihab dengan sungguh-sungguh atau membaca buku-buku agama?

Mendengar bertubi-tubinya kabar yang tidak menggembirakan hati tak ayal membuat dosa-dosaku berbaris dengan langkah tegap majuj jalan di hadapan mata batinku. Tak ayal yang seperti itu pun membuatku menyesali Chacha Frederica bahkan Mbak Didit Budi Sulistyowati binti Suryono Sukanto sekali, sedang Ibu Betty Nurbaiti Kurnain apalagi Ibu Sri Suparti tiada begitu. Aku tidak tahu harus bagaimana seandainya Selalu Hijau tidak mengalun lembut dalam pendengaran batinku, seperti halnya Maria Lo terngiang menggeremang dalam benak sepanjang pagi ini.

Ya Allah adakah ini semua terdengar seperti keluh-kesah padaMu, sedangkan rasa hamba, tiada lain dalam benak hamba kecuali Engkau yang Maha Tahu, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Penolong bagi mahluk-mahlukNya yang meratap-ratap minta tolong, minta ampun. Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Yang Menyukai permintaan maaf, maka maafkanlah hamba, duhai Yang Maha Mulia. Inilah hamba, sahaya yang hina-dina, menjijikkan berlumur dosa dan kedurhakaan, memohon maafMu, memohon ampunanMu. Ampun, Ya Allah, ampun.

Lalu Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra yang menjadi khatib Jumat kali ini. Ini adalah sebuah pelajaran. Jangan sekali-kali berpikir buruk mengenai seseorang, terlebih jika ia lebih tua darimu, terlebih bila ia seorang Muslim! Nyatanya, aku belajar setidaknya dua hal dari Prof. Yusril hari ini, bahwa al-Quran itulah, serangkaian puisi dan prosa dalam bahasa Arab itulah, yang merupakan wahyu. Itulah sebabnya Injil, meski ditulis dalam bahasa Arab, tidak bisa ditilawahkan seperti Quran. Dalam teologi Kristen, badan Yesus itu sendiri yang merupakan wahyu, bukan Injil.

Lalu, gagasan mengenai bentuk republik bagi negara Indonesia merdeka tidak bisa lain berasal dari para pendiri negara yang Muslim. Jika negara Indonesia merdeka harus didirikan sesuai teladan para penerus Nabi Muhammad saw. yakni para khulafaur rasyidin, maka yang paling dekat dengan itu adalah bentuk republik atau jumhuriyah. Jadi, Republik Indonesia ini sesungguhnya adalah sebuah khilafah Islamiyah! Masya Allah! Toh, hal ini tidak mengakibatkan Indonesia menjadi sebuah negara Islam. Buat apa negara Islam namanya saja sedang isinya, praktiknya tidak demikian?!

Akhirul kalam, ini tetap sebuah entri mengenai berita baik, kabar gembira. Betapa banyak berita baik, kabar gembira di sekelilingku, seperti ketika sahur tadi aku menyimak kajian Habib M. Quraish Shihab mengenai betapa hanya ulama yang takut kepada Allah. Ulama di sini bukan hanya pembelajar ilmu agama, melainkan semua saja ilmu. Lantas mengenai takut ini, jika biasanya kita menjauh atau menghindar dari yang ditakuti, rasa takut kepada Allah hanya bisa "diatasi" dengan mendekatkan diri kepadaNya. Subhanallah! Tidakkah ini berita baik, kabar gembira?

Wednesday, June 14, 2017

Ramadhan Ini Mungkin Tentang Yuli Cahyono


...karena ia menolak untuk ikut membahas enam sembilan. Asepteven! Sementara aku asal-asalan sekali dalam urusan itu, seakan-akan Allah tidak pernah mengawasiku, astaghfirullah. Ini sangat inspirasional, mengapa aku tidak meniru Yuli Cahyono? Tidak ada gunanya pun asal-asalanku itu, membuat hati senang juga tidak. Ada juga menambah sakit, sedang menyakiti diri sendiri adalah jelas suatu kebodohan yang nyata. Setua ini, tidak ada waktu lagi menambah kebodohan, sedang Ramadhan 1438 H ini tersisa sepuluh hari saja. (hiks)


Demikian pula mengenai Kemacangondrongan ini. Apakah dengan ini berarti aku harus berhenti berolok-olok? Tidak lagi membadut? Tidak lagi membiarkan diri jadi tontonan orang? Membubarkan sendiri aliran eksibisionis yang kurintis sendiri? Bisa jadi. Terlebih Takwa tidak mau kapok, atau mungkin ini adalah jawaban atas doaku tanggal 15 kemarin. Jika pun aku moderat itu karena Islam mengajarkan untuk begitu. Moderat tidak sama dengan tidak mengambil sikap. Dan politik identitas, amboi! Apa itu politik? Apa itu identitas? Insya Allah, aku sekadar berusaha menggapai ridhaNya.

Aku yang tidak tahu apa-apa ini. Aku yang sekadar ingin mengenali Imam Mahdi ketika beliau muncul. Aku yang Insya Allah ingin sekali melihat huruf-huruf kaf, fa dan ra terpahat jelas di kening Masihud Dajjal. Aku yang Insya Allah ingin sekali mengenali Isa al-Masih as. jika beliau hadir sekali lagi di antara manusia. Aku yang nista, hina dina ini, mungkin tidak lebih baik dari Ephialtes anak Eurydemus. Namun, Insya Allah tidak akan kukhianati Allah dan RasulNya. Naudzubillah! Aku Bono anak Harnowo, ya Rasulullah! Terimalah baktiku!

...dan dalam keadaan seperti ini, Toccata membelai pendengaranku, seperti selalu saja dilakukannya sejak remajaku. Aku kini dalam kubik penampungan sementara pengungsi korban rezim, masih di sini. Aku memang cenderung begini, berlama-lama di satu tempat sedang angan dan khayalku yang mengembara. Aku bisanya ini, yang mana kalau dipikir-pikir tiada banyak gunanya, sedang kebutuhanku sepertinya banyak sekali. Keinginan aku tidak punya. Aku tidak tahu lagi. Kebutuhan ada, meski sungguh malu jika sampai merasa kekurangan.

Seandainya pun ikut ke Oslo buat apa? Sekadar dapat uang sakunya? Apakah di Oslo aku bisa menulis, satu-satunya yang aku bisa ini? Ahaha, gara-gara sambil ceting sama Cantik aku sudah dapat jawabnya. Aku mending mentahnya hahaha. Coba segala tiket, hotel dan sebagainya itu boleh mentahnya aja, tapi karena pasti tidak bisa ya udah. Ngapain juga. Hahaha, aku bukan halelepah, tapi kalau urusan ini suwer deh aku mending mentahnya. Jalan-jalan? Jauh dari pikiranku. Sudah kukata tadi, badanku harus diam agar pikiranku dapat mengembara.

Bagian ini diteruskan setelah shalat lohor berjamaah di Mesjid Ukhuwah Islamiyah. Ketika aku merasa malang, pada saat itu pandanganku tertumbuk pada bapak entah satpam entah siapa yang pernah kutemui sedang duduk terpekur dalam kegelapan mesjid sebelum subuh. Tepat ketika itu aku memohon ampun kepada Rabbku atas dosa-dosaku yang mengerikan, di hari-hari ketika Ia menyelamatkanku dari marabahaya lagi menutup aibku. Astaghfirullah. Naudzubillahi min dzalik, jangan sampai kufur nikmat! Sedang setelah itu masih saja berlumur dosa.

...sehingga kini! Lalu kau merasa malang, heh, Tolol! Aduh sayang buku Achmad Chodjim yang Membangun Surga itu malah kubawa pulang, kehujanan lagi. Padahal cucok sekali itu kubaca dalam suasana hati seperti ini. Kemarin bagaimana sih rencananya? Kalau tidak salah memang ia sengaja kubawa pulang agar aku fokus menulis di kantor. Toh, kemarin aku masih sempat membaca-baca antara setelah buka dan tidur. Baik. Insya Allah setelah ini akan kucoba menulis. Semoga Allah menolongku, meridhai, merahmati, melimpahkan berkahNya. Amin.

Saturday, June 10, 2017

Di Purnamanya 15 Ramadhan 1438 H Aku Duduk...


...dan menangis. Biarlah untuk sementara begitu, karena aku pun lupa bagaimana kemarin itu. Hanya saja baru kuingat, betapa oh yeah Asus X450C ini dengan sandaran tangannya. Cukup tarik ia sedekat mungkin dengan tubuhmu, letakkan pergelangan tangan padanya, dan biarkan jari-jarimu rampak mengetiki. Berarti sudah cukup lama aku mengetik menggunakan HP Stream sampai lupa rasa mengetik dengan Asus X450C. Ini alat produksi mantabp, Mayor Taruna! Apa yang kau produksi? Pengetahuan, katamu? Pengetahuan 'pale lo amsyong!


Alhamdulillah, kalau aku sampai masih bisa ngomyang begini, berarti aku tengah diliputi nikmatNya, sedangkan mustahil aku pernah tidak diliputi nikmatNya. Aku ini apa? Aku ini belum pernah tarawih sekalipun Ramadhan ini. Semuanya serba standar, tidak ada ekstra. Padahal ini Ramadhan. Ya, aku memang Alhamdulillah mengkhatamkan Rahasia al-Fatihah. Selebihnya tidak ada yang istimewa. Semua standar saja. Hari ini, meski demikian, luar biasa! Aku selalu takut kalau aku tidak mensyukuri nikmatNya dengan patut. Aku takut nikmat itu dicabut!

Ramadhan itu sedikit loh. Nyaris tidak ada bedanya dengan menunggu gajian berikutnya, ketika gaji bulan ini sudah habis bahkan di hari-hari pertamanya. Apa mungkin ini sekadar latihan untuk membenarkan yang kuterima? Apa bisa dibenarkan dengan tulisan-tulisan entah apa? Tidakkah seharusnya aku datang lebih teratur? Hei, siapa tahu dalam hari-hari ke depan ini kekuatanku pulih untuk ulang-alik Cikumpa-Kenanga! Yah, meski Kenanga bukan Mesjid al-Barkah, entah mengapa begitu terikat hati ini padanya. Meski Kenanga terasa kurang enak... Apa karena baru beberapa kali?

Kenanga, Sayang, kenanga! Cananga odorata alias ylang-ylang. Bentuknya memang tiada seberapa cantik. Cenderung aneh bahkan. Namun harumnya! Harumnya Masya Allah! Harumnya adalah lemari Uti Allah yarham. Semoga demikianlah harumnya tempat peristirahatan sementara Uti Akung, sambil menunggu waktunya berkumpul kembali dengan semua yang dicintai di Surga Firdaus. Aamiin. Kata Rasulullah berdoa itu harus optimis, maka begitulah doaku. Mana tahu, ketika kami tengah bercengkerama di rerumputan nyaman, beliau menghampiri dan menyapa. Aamiin.

Apa yang akan kulakukan? Menubruk tangan beliau dan menciumnya, seperti biasa kulakukan pada Pak Bakti? Apapun itu, kurasa ini benar yang kuinginkan. Apa dari dunia ini yang masih kuinginkan? Aku harus doktor, meski ada juga inginnya. Ini adalah sesuatu yang harus kulakukan, harus kuselesaikan selama hayat masih dikandung badan. Untukku sendiri? Aku ingin bertemu dengan Kanjeng Nabi! Bagaimana caraku menyapanya, ya? Aku ingin bersama beliau memandangi WajahNya. Masya Allah! Apa tidak terlalu muluk? Tapi 'kan harus optimis. Apa lagi yang lebih tinggi dari itu?

Yuli Rachmawati saja sudah mendahului meninggalkan dunia ini. Tidak, aku tidak benci dunia yang ditinggalkan Yuli. Nyatanya, di sinilah ladang penggarapan. Di sinilah tempat menyemai apa yang akan kelak dituai. Mana mungkin menuai jika tidak menyemai, bukan? Semoga semua penderitaanmu menghapus semua dosamu tanpa bekas, Yul, sehingga tersisa hanya ampunan dan kasih-sayangNya. Semoga semua saja yang masih hidup diijinkan untuk terus dan terus menambah bekal berupa perbuatan yang patut, sesuai dengan adab. Semoga semua kita menemui akhir yang baik. Aamiin.

Jadi Kenanga bagaimana? Rutin kesana? Jika aku harus menulis memang sebaiknya di sana, karena di Ampera tidak kondusif. Sedang bisaku hanya menulis. Ya Allah, sungguh hamba malu dan gundah. Hamba mohon pertolongan. Hamba memang hanya dapat memohon pertolongan, hanya kepadaMu. Bahkan ketika seharusnya aku kembali ke dunia ini, aku kembali kepadaMu. Apakah ini kelemahan? Apakah ini kemalasan? Hamba sungguh tidak tahu, Ya Allah. Hamba mohon dibimbing ke arah jalan yang lurus, yakni jalannya mereka yang Engkau beri nikmat.

Bukan mereka yang dimurkai dan tersesat. Naudzubillah! Terlebih jaman seperti ini. Jadi ingat kata Bapak Supir Gokar tempo hari, bukan hanya akhir-akhir ini saja. Manusia dari dulu memang selalu seperti ini. Sudah sifat bawaannya! Entahlah. Rasaku, akhir-akhir ini semakin hebat saja. Allah selalu andalanku. Hasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man nasir. Tidak ada yang terlalu penting dari dunia ini yang membutuhkan curahan segala perhatian, kecuali perintah-perintahNya agar selalu dijalankan, dan larangan-laranganNya agar jangan sampai dilanggar.

Sabar dan syukur. Sudah.