Sunday, July 24, 2016

Menetapkan Langkah Pelaksanaan Protokol Nagoya


Ini adalah sejenis entri yang mungkin akan menyesatkan anak manusia yang sungguh-sungguh ingin mencari informasi yang sesungguhnya mengenai Protokol Nagoya. Untuk itu, sebelum terlalu jauh, perkenankanlah patik memohonkan maaf yang sebesar-besarnya, karena mungkin apa yang patik tulis mengenai Protokol Nagoya di sini tidak ada gunanya sama-sekali bagi Tuan-tuan dan Puan-puan sekalian. Ini sekadar tulisan berolok-olok, sebagaimana blog ini pun, bahkan hidup patik seluruhnya ini pun, tiada lebih dari olok-olok belaka. Hanya suara Puan Karen Carpenter yang sungguh merdu tiada tara ini sahaja yang membuat hidup patik ini terasa lebih tertahankan.


[Apa keq selain Penelope dan Burung Mekanik Kecilnya, meski kini Puan Carpenter tidak ada. Ya sudah, ini sajalah Pasokan Udara] "Establishing Measures to Implement Nagoya Protocol," sebuah Workshop yang terselenggara atas kerjasama The Secretariat of the Convention on Biological Diversity (SCBD) yang bermarkas besar di Montreal, Canada; International Development Law Organization (IDLO) yang bermarkas besar di Roma, Italia; dan, Center for Law and Good Governance Studies (CLGS) yang bermarkas kecil di ruangan saya biasa nongkrong setiap hari—tidak ada yang istimewa darinya, kecuali ia sekarang sudah terasa seperti markas ICT 2014 atau Sesfak 2012-2013.

Dari bunyi-bunyinya memang terasa gagah. Mentereng, setidaknya untuk gagah-gagahan, karena memang itu saja kurasa gunanya—untuk gagah-gagahan. Dari LUAR NEGERI, seperti M.Sc.-ku begitu. Makanya ruangan kecil tempatku biasa nongkrong pun diberi nama mentereng begitu agar terkesan gagah, padahal ia tidak lebih dari tempat melepas penat, bahkan tiada jarang pula digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan nirguna nirmanfaat, kecuali untuk menambah rasa penat di hati. Namun bisa apa aku di tempat di mana semua orang adu gagah-gagahan begini, seperti burung-burung tolol memamerkan jambul-jambul mereka yang tidak kalah tololnya, sejak jaman dinosaurus.

Aku—sementara itu—memang tolol, maka kupamerkan saja kemaluanku. Biar kumuntahkan semua kepenatan di sini, di dalam guagarba nenek-nenek celaka yang terus saja bersolek dan bersolek ini. Biar mengerang ia pura-pura mencapai puncak, aku sudah tidak peduli. Biar mendelep itu ditekan, lalu monyong ditarik, persetan! Kemarahan, kekecewaan hanya membawa penyakit, sedangkan kemaluanku sudah mendelep masuk perut tidak peduli udara panas atau dingin, aku lelaki gendut usia empat puluh! Biarlah suatu saat nanti Pak Erie Tamale menggugling namanya, mungkin dengan menambahkan kata "Indonesia" dalam kuerinya, dan ia akan berakhir di sini, dan ia akan berakhir menyesali investasinya padaku!

Akses dan Pembagian Keuntungan? Anjing! [Hah! Akhirnya muncrat juga bisanya] Tahukah seperti apa ia terdengar olehku? "Silakan nikmati kelamin kecilku atau lubang tahiku ini, asalkan kau membagi sedikit uang yang kaudapat dari apapun yang kaukerjakan, setelah melepas penatmu padaku, seperti telah kaulakukan pada kelamin-kelamin kecil dan lubang-lubang tahi lainnya sepertiku." Iblis Laknat! Perlindungan produk bioteknologi telah dilakukan melalui hak kekayaan intelektual. Sumberdaya genetik, bahan dasar dari produk itu, oleh karenanya, harus dilindungi dengan Akses dan Pembagian Keuntungan (access and benefit sharing; ABS) ini. (sic!)

Nah, jika sudah keluar semua upas racun begini, barulah kubuat catatan kecil di sini—biar terbaca ia oleh Bang Andri G Wibisana yang keren abis internesyenel. Terserah kau, Bang, mau kauapakan mata kuliah Hukum dan Perubahan Iklim-mu, tapi tidak akan kubiarkan kauacak-acak Hukum dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (Nasional Indonesia)-ku! Aku tidak peduli! Udara, baik sebagai ruang maupun campuran gas, yang ada di atas air dan bumi Pertiwi adalah milik Bangsa Indonesia sampai kapanpun; dan terserah Bangsa Indonesia untuk menentukan sumberdayanya sendiri termasuk penjenisannya. UUPA tegas menambahkan "udara" selain bumi dan air yang sudah disebut dalam Pasal 33 UUD 1945, maka udara adalah sumberdaya!

Well, untuk menghormati kecoak, semua asumsi memang harus di-challenge. Aku setuju itu. Aku juga tidak suka pada argumen "pokoknya..." Namun ada yang namanya "keberpihakan." Tidak, Bang, aku juga tidak akan membiarkan orang tolol berdalih "terserah kami, kami masih butuh pembangunan, [ekonomi] maka biarkan kami mencemari atmosfir kami sendiri." Oleh itu, bantulah aku membangun konsep dan teorinya, Bang. Bukan untukku, melainkan untuk Para Pendiri Negara ini, Leluhur-leluhur Bangsa sendiri. Anak-cucunya, kita semua, butuh udara bersih, udara segar dan ruang udara yang bebas merdeka untuk mewujudkan Keadilan Sosial, tidak saja bagi Bangsa Indonesia, tapi bagi Umat Manusia, bahkan seluruh mahluk Allah. Amin. Merdeka!

Friday, July 08, 2016

Entri Ketiga Yang Ditulis di Bagasnami


Harus banget ya judulnya seperti itu? Apakah yang Pertama dan Kedua juga seperti ini, ditemani oleh Penelope dan Burung Mekaniknya yang Mungil? Yang jelas, ini kutulis setelah bangun tidur, setelah sahur dan shalat shubuh, bahkan sempat tadabbur al-Qur’an. [Insya Allah] Yang Pertama dan Kedua seingatku ditulis sebelum tidur, di sini juga, di ruang tamu Bagasnami yang remang-remang temaram, dihembus dinginnya pendingin udara. Seingatku, Penelope justru tidak pernah menemani hari-hariku di Eropa. Selama di sana, Kerjaku hanya Memikirkanmu.


Teringatnya, aku sempat membaca postingan mengenai bagaimana ngeblog yang baik. Seingatku, hampir semua kiat di situ kulanggar hahaha. Aku memperlakukan blogku seperti sebuah diare, dan aku memang tidak ingin dan tidak butuh ngeblog, jika begitu definisi dan tujuan ngeblog. Aku sendiri pribadi. Namun kebutuhan untuk menulisi selalu kurasakan entah sejak kapan. Apakah sejak SMP ketika aku mulai menulis Bonoisme? Sangat bisa jadi. Ketika kebanyakan bocah baru gede mulai merintis karir sebagai pemain asmara, aku justru berpikir-pikir mengenai Bonoisme.

Akibatnya, nyaris tidak ada yang kuingat mengenai Metty Mediawati, Yashmine apalagi Ririn Andriani yang padahal sekompleks denganku. Uah, panjang sekali alinea di atas! Hanya karena ingin menulis nama-nama itu. Maka kupindahlah kalimat itu ke alinea yang ini. Ini bukan blog, karena apa yang kutulis di sini semata-mata mengenai aku dan aku saja. Lagipula, aku memang tidak tahu apa-apa yang lain kecuali diriku sendiri. Alangkah bodohnya jika aku merasa mengenal Nietzche, atau Feuerbach dan Freud sekali, hatta menyebut diriku Nietzcheian, Feuerbachian atau Freudian.

Sedangkan aku sendiri memaksa anak bocah untuk menulis makalah Owenian. Sedangkan kutegur Ciki karena ia merasa lebih menguasai bagian “ideologis” dari Hukum Koperasi. Jika demikian memang yang kaurasakan, Cik, maka lebih tepat jika engkau bersama Sopuyan saja. Lebih cucok jika engkau berusaha mencari jalanmu ke dalam Dasar-dasar Ilmu Hukum. Untuk sementara, karena jika sampai waktuku, kumau tak seorangpun kan merayu. [halahmadrid!] Asal goblek, asal ngomyang begini memang terasa sangat ideologis, terasa manis-manis filsafatinya.

Nyatanya, di sinilah kutemukan diriku. Apa yang kuinginkan? Semangkuk Sop Ikan Batam bersama nasi putihnya sekali, dengan rajangan cabe rawit direndam kecap asinnya? Apa kukira diriku Jason Yeoh? Apa karena aku terancam goblek ngomyang mengenai Protokol Nagoya lantas aku merasa berhak untuk melakukan itu semua? Apa karena Rosewitha Irawati berlebaran di rumah tahun ini, sedangkan Sopuyan merasa yakin akan kediktian tahun depan, lantas aku merindukan Sop Ikan Batam, padahal baru saja, apa sehari sebelum puasa, aku menikmatinya?

Jama’ah Goblekiyah yang [semoga] diampuniNya Sang Maha Berbelas-kasih, haruskah alinea ini juga kupenuhi dengan kalimat-kalimat tanya, meski memang masih ada satu tanya lagi yang mengganjal entah di bagian mana tubuhku? Atau jiwaku? Apa salah jika aku bersimpati pada apa yang diyakini oleh Bang Junaidi Madri? Terkadang aku merasa hatiku lunak pada abang-abangku, sedikit orang di dunia ini yang dengan sepenuh kerelaan kupanggil “Bang.” Sedangkan ia menuduh adik-adiknya pemuja setan. Tidakkah kau takut dituduh begitu?

Jiah, alinea terakhir ini seakan menunggu Toccata untuk menemaninya. Menemani jiwa yang dirundung, diharu-biru oleh entah apa, rasa sayangnya pada kedua orangtua atau sekadar masa lalu, atau sekadar khayalan konyolnya mengenai masa lalu. Sedangkan bunyi hapsicord itu masih terdengar, meski dalam ingatannya sepanjang lagu tanpa ditingkahi piano. Toccata ah Toccata, kaulah gadisku yang sebenarnya, yang selalu gadis, selalu perawan, selalu bulat montok, segar dan sebaya. Biar kau kunikmati di fananya dunia ini, nanti hanya WajahNya yang kuinginkan.

Wallahua’lam bishawab