Saturday, October 30, 2021

Sampailah Pada Waktu Sejati Tanpa Retroaksi


Meski di setentangku Dik Savit menyapaku, mengucap selamat ulang tahun dengan cangkir kayu berpernis lengkap dengan tatakannya yang tanpa pernis. Sementara itu, Melly mendua disangka Awful lagu Dangdut. Apapun itu, inilah waktu sejati tanpa retroaksi, apalagi progresi. Apakah sekarang waktunya merekam hal-ihwal yang terjadi seperti apa adanya, aku tidak terlalu yakin. Ketukan drum Anto Hoed seakan menarik-narik lengan bajuku untuk kembali ke waktu-waktu yang telah lampau, aku tidak mau.


Ternyata mug anjing laut berstiker Fawaz ini terlalu besar untuk menyeduh teh tarik Max Tea, jadi kurang manis. Aku jadi terkenang waktu-waktu mengajar di Vokasi, apakah itu 2016, yang pasti ketika itu, seperti sekarang aku kegendutan, sampai Bu Ety berkomentar. Ya, di Vokasi itu aku terkadang membeli secangkir plastik teh tarik, yang pernah oleh penjualnya akan diberi air sepenuh cangkir dan ditambahi gula. Untunglah sempat 'kularang. "Airnya sedikit saja," tegahku. Agak setengah cangkir, kurang manis.

Sanggupkah Aku melontarkanku ke masa yang jauh lebih muda. Apakah ini di pintu belakang Graha 5, apakah itu pagi hari. Mengapa pagi hari bersantai sedang berseragam PDH bersama kawan-kawan di belakang situ. Aku bahkan teringat memanggul gitar seraya menyanyikan A la la la la long. Dari jaman segitu pun bisaku hanya itu. Itu pun belum tentu semua orang suka. Dengan ini aku terlempar ke sepanjang tepian Margonda di akhir 1990-an, ketika menenteng gitar menyusuri tanah becek dari tenda ke tenda.

Sabtu pagi ini rasanya sungguh unik. Badanku masih belum sepenuhnya fit. Di kulkas masih ada sampah-sampah bisa-dimakan (edible) namun rasanya seperti ingin membelikan anak perempuan kesayangan Ayam Chigo dari Kopi Kenangan. Satu Jam Saja dari ketika Cantik masih kelas 2 SMP dilanjut duet Rieka dan Reza yang harus diakui sedap. Cintaku memang sudah tidak muda apalagi remaja, namun bukan berarti ia hambar rutin belaka. Kedutan-kedutan kecil intermiten masih selalu ada di antara kami.

Jez asem, begitu katanya nama genrenya. Entah mengapa membawaku ke suatu siang di bilangan pintu keluar terminal Blok M. Sedang apa aku di situ, yang jelas tidak gendut dan lemah begini. Ah, aku lebih suka segera pulang. Entah menyusuri tepi terminal atau sekalian masuk ke Blok M Mall. Seperti biasa tidak ada yang bisa dilihat, bisa jadi aku akan terus lanjut ke Blok M Plaza yang sejuk ber-AC, mungkin ke Mekdi beli es krim kon gopekan. Sambil menjilat-jilat, berpeluh keringat, melangkah mantap pulang ke rumah.

"Selamat jalan, Sayang," begitu saja 'kubisikkan sambil berdiri di dekat pintu depan Debbie. Ini mungkin sudah masuk tol dari depan Citos, atau malah sudah keluar lagi di pintu Pasar Minggu. Mungkin ketika itu aku sudah lelah menggumamkan kalimat-kalimat suci, sampai bergumam begitu. Bisa juga naik taksi, sementara Pak Sopir begitu saja menukas, "Wah, itu yayang saya." Taksinya bisa saja naik dari perempatan Lebak Bulus di seberang Poin Sekuwer, di mana aku pernah bertemu Roni Rahman Gunalan. 

"Selamat Datang, Cinta" adalah depan Kampus FHUI yang sudah ada jalan sepedanya, sedangkan berbagai spanduk baliho berkelepak. Aku sedang melangkah ke Barel, apakah karena akan membeli Bakso Rudal. Bisa jadi ini 2014, ketika John Gunadi masih hidup, Mas Miles Kamil masih sehat. Tak pernah 'kusangka kembali lagi ke sini, terlebih ketika tengah menjalaninya. Cantik masih mengajar di Pramuka, waktu aku sering menunggu sampai setengah sepuluh untuk segera menyongklang Vario ke tapsiun Pondok Cina.

Saturday, October 23, 2021

Kesatuan Satu Di Mana Bude Beristri Wanita


Masalah pertama adalah kibornya tidak beriluminasi, jadi lampu belajar yang tunduk di belakang tidak banyak membantu. Masalah kedua, setelah menyalakan lampu atas, kemiringan layar membuat bayangan terang lampu telak memantul. Tidak mungkin 'kunyalakan lampu depan karena itu akan membuat silau kamar Cantik. Begitulah problematika, dilema sederhana, yang terkadang timbul ketika kita sekadar mengetiki. Ini entri mengenai apa, sudah tidak penting lagi, selama aku terus mengetiki begini.


Tidak akan pula 'kutuliskan di sini, meski jika 'kunyanyikan mungkin bunyi "l"-nya akan 'ku-tasydid-kan, seperti ketika menyanyikan Gubahan Gatot Sunyoto. Seperti sekarang ini, meski sudah sikat gigi, tetap 'kukulum-kulum Ricola Herba Asli, yang rasanya lebih manis dari apapun yang pernah 'kukulum, meski bebas gula. Lonceng-lonceng perak berdentang-dentang dalam kalbuku, mengingatkan betapa apapun di punggung bumi ini tiada yang abadi. Tetap perut bumi yang dapat diharapkan menjadi tempat berakhir.

Namun Lagu Cinta akan selalu sesuai dan mutakhir, meski aku tidak ingat lagi seperti apa cinta muda pada usia duapuluhan sampai awal tigapuluhan. Terlebih cinta remaja, aku tidak tahu apa-apa. Dengan ini, terkenang dingin-dinginnya Maastricht, mungkin masih di bilangan Malberg, atau di sekitar Laathofpad yang aduhai demikian sunyi. Hanya desau bis Veolia sesekali melintas, terdengar dari kamarku di lantai dua. Aduhai kemudaan, aku sekadar teringat, namun tidak sampai merindukanmu. Selamat tinggal.

Malam-malam di Kees Broekmanstraat, Uilenstede, atau Kraanspoor seperti apa, tempat-tempat yang pernah menjadi rumahku secara mental. Bilakah 'kututup tirai di Kees Broekman. Kalau Uilenstede begitu gelap, dan gelap selalu berubah-ubah waktunya di belahan bumi utara. Aku belum pernah tinggal di belahan selatan. Masih adakah padaku kekuatan mental untuk menjalaninya. Entahlah. Hidup seperti apa yang masih tersisa di hadapanku, dengan kesehatan yang tidak 'kupelihara baik begini. Aku sungguh tak tahu.

Seekor [Burung] Kondor melintas di atas kepalaku, sedang Emmanuelle merebahkan kepalanya di dadaku. Justru bau pesing kencing basi yang terhirup olehku, di malam musim semi, di marina dalam kota, di tepi sungai itu. Kini, ketika perutku tumpah-ruah menahan kelebihan beban sekitar duapuluh lima kiloan, aku hanya bisa meringis teringat bau pesing. Sekarang bau pesing hanya bila ada yang lupa menyiram lantai jamban, dan itu jelas bukan aku. Kambing pun kini menjalani hari di kaki Gunung Salak.

Aku Tidak Tahu Bagaimana Mencintaimu. Aku bahkan tidak tahu apakah harus menyisipkan "caranya" di antara "bagaimana" dan "mencintaimu". Uah, aku malah terlempar kembali kepada suatu ketika Sam begitu saja menjulurkan lidahnya di depan pintuku. Itu masih lebih baik daripada Tante Hindry tiba-tiba menyeterika di situ. Apa yang 'kupilin-pilin, 'kukilik-kilik setelah itu akan terus menghantuiku. Tepat di sinilah judul dan isi tulisan bertaut. Tak Perlu Kaukatakan Kau Mencintaiku. Itu bohong belaka.

Aduhai Anggur Cinta dari Selamat Tinggal, Sayang, Selamat Tinggal. Memang itu pada dasarnya yang kauucapkan ketika kita tidak pernah benar-benar berpisah. Langsung 'kuhapus karena memang sangat tidak disiplin seakan tidak tinggal di Hilton Hanoi. Kesakitan itu biarlah sirna, bersamaan dengan sirnanya kelebihan berat badan dan berbagai masalah kesehatan. Cinta itu, lebih dari apapun, adalah menyembuhkan kesakitan, bukan minta disembuhkan. Cinta itu memberi dan memberi, bukan meminta.

Saturday, October 16, 2021

Melumat Kemaluan Putri Salju, Siapa Mau


Ternyata aku sempat membuka penyunting teks ini beberapa hari lalu, dan aku membukanya kembali beberapa hari kemudian, senyampang mendengarkan Camajaya FM yang penyiarnya cingcong mengenai psikologi praktis. Retroaksi membuatku tidak mungkin merekam semua rincian kegiatan hari ini, sebagaimana semua rincian kegiatanku sehari-hari memang tidak penting. Jadi, seperti biasa, aku mengumbarasa. Tidak penting apakah hari mendung sedang udara terasa begitu gerahnya.


Aduhai betapa banyak yang sanggup membuat hati gundah, padahal sekadar tidak sengaja melihat atau mendengar. Lagipula salah sendiri mengapa iseng sampai mengetiki begini. Coba kau menyibukkan diri dengan hal-hal penting yang memang harus kaukerjakan, pasti tidak akan terbersit itu pikiran-pikiran ajaib yang mengganggu hatimu. Lhah, ini kenapa jadi Wali begini namun bukan religi. Tidak heran mereka sudah berhenti bikin album. Seperti Sheila on Seven, kreativitas mereka ini sungguh terbatas.

Maka begitu saja aku kembali mengetiki. Semua sudah 'kuketahui, tinggal dikerjakan, dan ini adalah tanda-tanda betapa kata-kata akan tersendat-sendat. Setiap kali aku menghadapi meja ini, setiap kali aku menghidupkan perkakasku, maka goblog ini pula yang 'kubuka. Ini adalah retroaksi sehingga tidak mungkin 'kurekam apa yang 'kurasa tepat pada saat ini. Aku hanya bisa mengumbar kesan umum dari hidupku yang aduhai, meski boleh saja 'kukatakan betapa putri salju agak menyakiti perutku, membuat pusing.

Aku lebih suka putri malu tinimbang putri salju, meski memang tergantung tempatnya. Jika itu di kawasan NDSM, Amsterdam Utara, maka yang bertebaran berserak di tepi-tepi jalan tentu saja putri salju. Bahkan di suatu akhir Maret atau awal April, di pagi hari yang dimulai begitu cerahnya, putri salju begitu saja memburai dari langit yang mendadak mendung. Namun ya begitu, aku tidak pernah mencicipinya, putri salju kusam bersimbah lumpur. Aku sudah tidak se-greng Gregorius, meski tentu beda alasan.

Ketika pengeluar air panas bergalon bawah mogok, maka cerek dan termos mengambil-alih tugasnya. Ketika secangkir susu jahe merah Bintang Tujuh harus diseduh. Ini apa lagu kacangan begini mengapa diputar, ketika sekitar diafragmaku terasa slentem-slentem. Ketika sebuah koma dapat merusak estetika, ketika itu pula titik berlaku sama saja. Maka begitu saja 'kuberi koma, sedang ini masih baru lima baris. Jika kautanya, sungguh ingin 'kumengganti judul itu, namun setelah 'kubaca lagi, tidak ah biasa saja.

Sempat terpikir olehku untuk menggantinya menjadi blasteran Mandirancan dan Siatas Barita, namun biarlah ini untuk kesempatan lain saja. Memang aku ngomong asal-asalan bukan di sini saja, melainkan juga di kehidupan nyata. Biarlah 'kutulis di sini Hari Prasetyo merasa tidak berbakat menjadi akademisi karena malas menulis. Aku pun, meski alasannya bukan karena aku malas menulis, melainkan karena aku terlalu suka berolok-olok, sedang dunia akademik adalah suatu dunia yang aduhai betapa seriusnya.

Apa 'kukenang saja di sini putri-putri malu, atau putri malu-malu, yang 'kuinjak-injak sepanjang hidupku, ataukah justru mereka yang menginjak-injak harkat dan martabatku yang tidak pernah ada. Aku seperti khayalan Stephen Chow mengenai Kakak Pertama, si Kepala Besi, yang suka dikencingi dan, setelahnya, mengenakan celana dalam si pengencing pada kepalanya. Aku seperti anjing, sedang anjing saja tidak mau seperti aku. Siapa yang mau seperti aku, yang sekadar berkhayal melumat kemaluan putri salju.

Uah, siapa sangka entri ini, seperti lagu-lagu, bisa menyebut judul dalam badannya. Ini suatu dot prestation ratio yang patut dirayakan, dengan apa. Dengan gesekan biola yang sedengarku selalu sok cerdas, seperti lagu-lagu pop Indonesia sepanjang dekade 1990-an, yakni, ketika aku masih muda perkakas namun tolol setengah mati. Sekarang aku bisanya memamah biak, sampai berat badanku lewat seratus lagi. Apa betul mengganti nasi menjadi kentang, baik rebus atau tumbuk, dapat menurunkan berat badanku?

Saturday, October 09, 2021

Cil Takocil Cil Cil Bisa Sangat Berbahaya


Apalagi kalau lewat pagi-pagi sekitar jam sepuluhan, ia bisa merundungmu. Syukur kalau masih hanya beberapa menit, setengah jam paling lama. Bagaimana kalau sepanjang hari itu kau jadi ber-cil takocil cil cil. Apa tidak konyol. Sebuah kamar kecil yang selalu cenderung gelap bahkan di siang hari bolong memang boleh saja diterangi bohlam meski lima atau sepuluh watt. Di dalamnya bisa jadi ada seorang perempuan muda yang begitu saja memelorotkan handuk yang melingkari badannya setelah mandi, menggantinya dengan rok dan blus. Entah habis pulang atau mau berangkat kerja, begitulah perempuan.


Apapun itu, kemudaan memang selalu begitu. Di satu sisi, ia penuh tenaga, khayal maupun nyata. Ia bahkan seringnya ditenagai khayalan, meski kemudian mewujud dalam kenyataan. Di lain sisi, ia tidak punya apa-apa kecuali sedikit sekali, terutama kebijaksanaan, apalagi hikmat. Namun itulah yang menarik dari kemudaan. Ia punya segalanya sekaligus tidak punya apa-apa. Terlebih apabila ia perempuan. Aku sekarang sulit membayangkan perempuan tanpa kerudung, mungkin karena aku sendiri sudah tua sedang anak-anak perempuanku beranjak dewasa. Aku tidak gaya-gaya'an sok tidak mau masuk surga.

Kerinduanku pada pematang yang di sana-sini ditingkahi pohon kelapa atau pepohonan lainnya jelas tidak dirasakan oleh anak-anak perempuanku. 'Kurasa memang sudah dari jaman Nabi Adam namanya perempuan mendambakan kekayaan, maka figurin Venus digambarkan dalam bentuk perempuan gemuk. Jangan-jangan pematungnya laki-laki. Uah, laki-laki memang dari jaman dinosaurus tidak pernah menyimpang dari kekentuan. Dua itu jika sampai bertemu--lelaki dengan kekentuannya dan perempuan dengan kekayaannya--bisa menyesatkan manusia dari jalan pulang ke kampung halaman.

Cintailah Aku! Ini bukan rengekan mengemis cinta. Ini perintah yang bergemerincing riang begitu. Ah, untung dia sudah berakhir. Maka 'kukancingkan celanaku, melangkah mantap menembus udara Manhattan yang sudah mulai menusuk tulang di awal Oktober ini. Khayalan mengenai seribu kunang-kunang yang menutupi sepetak sawah, sedang berkhayalnya di sebuah apartemen di ketinggian Manhattan memang keterlaluan picisannya, meski Umar Kayam sekali yang mengkhayalkannya. Aku lebih suka rumah petakan berbau sedikit apak--ada tidak ada kunang-kunangnya--di tepi kebun kecapi.

Apa yang akan kaulakukan, ketika kau tengah menggumuli perempuanmu, berdua telanjang bulat tentunya, sedangkan tangan-tangan menggerayang dari kaca nako bertutup tirai lusuh. Apa kau akan melompat menepis tangan-tangan itu dengan kebulatan telanjangmu, seraya meneriakkan seruan perang. Kau tidak tahu apa-apa mengenai perang, anak kota. Bahkan persetubuhanmu pun sesinis barang-barang Cina yang beberapa puluh tahun kemudian membanjiri negeri sawah berkunang-kunangmu. Kau, tentu saja, tidak bisa apa-apa ketika itu; Bahkan yang kaugumuli pun sekadar guling.

Dari hari ke hari, tanpa kausadari, kaunikmati kehidupanmu dengan berbagai hidangan sarapan, paling seringnya nasi lengkap dengan lauk-pauknya, sampai perutmu tumpah-ruah. Tidak ada bedanya apakah ketika itu kau sudah berkeluarga, berumah-tangga seperti orang-orang kebanyakan. Namun tetap harus kausyukuri. Bayangkan, dengan melemahnya badan, kau masih tetap bergentayangan di tepi-tepi jalan, di emperan-emperan toko di sepanjang peron stasiun, yang bahkan sekarang sudah tidak ada gara-gara Jonan. Maka tertibkan, seperti halnya badanmu hanya duduk-duduk, begitu pula sebaiknya pikiran.

Jadilah Kekasihku! 'Kusemburkan lagi perintah pada seorang perempuan muda, yang bahkan mungkin belum cukup umur. 'Kupunguti kepingan-kepingan hatiku, sedang yang kecil-kecil 'kukumpulkan dengan sapu ke dalam pengki. 'Kulemparkan ia ke kenangan akan pematang ditingkahi pepohonan kelapa atau entah apa; Aku pun melangkah pergi, meninggalkan Claire seorang diri. Gadis dari masa kecilku sendiri, selalu ada meski aku belum tahu namanya; Aku bahkan tidak menengoknya lagi barang sekali. Sudahkah ia tumbuh menjadi perempuan dewasa aku tidak peduli. Aku lebih baik sendiri. Sepi.