Friday, December 31, 2010

Di Bulan Kulihat Wajahmu, di Apapun


Kali ini aku akan sulit menemukan ilustrasi untuk entriku ini; Insya Allah, entri terakhir di 2010 ini. (Ya Allah, sudah banyak sekali bilangan tahunnya) Sulit. Serba sulit. Sekadar "tidak ada yang menandingi kecantikanmu" tidak cukup untuk mengungkapkan apa yang kurasakan. Wajah cantikmu kulihat pada apapun. Kumelihat wajah cantikmu di setiap bunga, mata indahmu di bintang-bintang di atas sana. Engkaulah segalanya, dan tidak ada lagi yang penting kecuali cinta yang kaubawa. Engkaulah segalanya, demi memandangmu di pagi hari dengan matamu yang besar, berbiji coklat. Bagaimana caraku mengilustrasikannya? Bahkan kata-kata terasa kelu. Tidak. Tidak mungkin kutemukan caranya. Aku hanya mungkin mengalaminya, tapi tidak mungkin menceritakannya. Ini bukan sesuatu yang bisa dibagi kepada siapapun, apapun. Ini hanya bisa kualami sendiri, dan tinggal dalam benakku. Tidak mau pergi. Tidak akan pernah pergi. Mari, marilah, Kasih, bersama kita mereguk kenikmatan dan sejuta kemesraan. Wouwohohoho... agar resahnya hati tersirami peluh kita yang berderai, dan mengucap bahagia... ooh... Bahagia! Bahagia! Bahagia! (Hahaha... akhirnya aku tahu bagaimana mengilustrasikannya!)

Malam ini sungguh panas sekali udaranya, dan aku memunggungi surga... Aah... tidak mungkin kutemukan pencitraan yang tepat untuk itu! Aku nyaris frustrasi... Ingin kulukiskan dalam citra... itu pun tak mampu aku. Lihat, begitu banyak titik-titik, menunjukkan betapa galau namun risaunya aku. Ingin sekali kuungkapkan rasa hatiku, tapi kepada siapa? Yang kumiliki ini entahlah apa. Ini nyata! Kaulah belahan jiwaku! Kau nyata! Kau ada! ...tapi tiada. Ya, kini aku memunggungi surga, dan kaulah bidadarinya. Bukan. Kaulah surga itu sendiri (Memangnya surga itu apa? Bidadari itu apa?) Aku frustrasi! Aku frustrasi! Bukan, Sayang. Aku frustrasi karena aku tidak menemukan citra yang sesuai untuk melukiskan perasaanku, yang selalu saja seperti itu. Aku diliputimu. Kemanapun kupalingkan wajahku, kemanapun kuarahkan pandanganku, hanya ada wajah cantikmu. KAMU CANTIK BANGET SIH... Aku mendesah dalam sepi, di tengah peluh yang membanjir didera panasnya udara malam ini. (Setelah kupikir-pikir... aku kehilangan rasa humorku, yang tadi akan kugunakan sebagai ilustrasi)

'Ku tak mampu dan tak mampu lagi menahan gejolak ini, Semakin terasa hasratku kian menggebu, fu fu fu... dipacu hasratku 'tuk menciptakan suasana romansa bagi dirimu dan aku 'kan menyatukan asmara bahagia. Alhamdulillah, sepanjang sore sampai larut senja tadi aku memacu Vario-ku di jalan-jalan Jakarta. Makan di tempat jajan sebelah Plasa Menteng. Aku makan bubur ayam yang sama-sekali tidak istimewa, begitu juga Sofyan. Namun, aku masih ada tahu gejrot lagi, dengan satu cabai rawit, dan segelas Indocafé Coffeemix. Aku dan Sofyan minum teh manis hangat. Rendy minum air hangat, yang disamping gelasnya ada kantung teh. Sama-sekali tidak istimewa. Baguslah itu bertemu Rendy. Selebihnya, aku tidak merasa seperti ingin menulis apa-apa yang kami bicarakan tadi. Sesungguhnya ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Sedikit. Semoga tidak apa-apa. Semoga baik-baik saja. Ya Allah... hapuslah kekhawatiranku ini. Seharian ini udara panas sekali dan aku selalu haus. Depok, Pengadegan... dan aku selalu haus. Aku memang agak kurang sehat, seperti hampir flu.

Sekarang sudah lewat jam satu. Sepertinya, setelah menulisi blog ini, aku ingin mandi. Atau berbaring saja di lantai ya? Kurasa itu lebih baik. Yang jelas rambutku sudah panjang, dan harus segera dicukur. Aku tahu, tidak banyak dalam hari-hariku belakangan ini yang betul-betul membuatku merasa bahagia. Namun tidak juga hampa, karena aku punya harapan, dan khayalan, dan kenyataan. Seenak jidatnya saja Sofyan ngomyang, "Gue bilang lu jadi dosen, bukan administrasi." Kami sudah tua. Kami bertiga, tigapuluhan pertengahan, dan masih bermimpi. Apa pula yang kami impikan? Rendy menunjukkan sebuah edisi Forbes, orang-orang terkaya di Indonesia. Tahu tidak? Aku hanya mengimpikanmu, meski aku tahu, mungkin, akan lebih cepat menjadi kenyataan impian itu, bila aku juga mengimpikan diriku masuk Forbes sebagai salah satu orang terkaya. Ah, tidak. Aku masih tetap menginginkanNya. Kamu pun aku yakin menginginkanNya. Hanya saja, mungkin, kita memahaminya dengan cara yang agak berbeda. Aku tidak yakin dengan pemahamanku kini. Jadi, kenapa aku tidak mencoba caramu?

Kuraba-raba dadaku ini. Kuraba dan raba lagi. Nikmat terasa, naluriku berkata... fu fu... ada cinta. Getaran-getaran seluruh tubuhku. Api memerah setitik senyumku yang telah lama dilanda dahaga. Tahukah kamu? Berkali-kali aku menuliskan doa di sini, dan berkali-kali pula kuhapus. Aku merasa... tidak pantas. Bukan. Bukan akunya yang tidak pantas menuliskan doa. Hanya saja... itu sangat pribadi. Sampai kapanpun aku tidak akan setuju jika agama digunakan sebagai alat kekuasaan, dalam bentuk apapun! Aku tidak akan terima! Entah apa pulak yang kumaksud dengannya, aku sedang tidak ingin membicarakannya. Hey, masih belum ada ilustrasi nih. Apa ya? Biar kuberkhayal sedikit di sini... Tidak... ternyata tidak berhasil. Tadinya aku ingin berkhayal mengenai pulang ke rumah, setelah seharian bekerja. Istriku sudah di rumah terlebih dulu, dan ia menyambutku di muka pintu. Senyum mengembang di wajahnya yang cantik, dan aku pun memeluknya, mengecup-ngecup wajahnya. Anak-anak kami memandangi. Kuraih juga mereka. Kukecup anak-anak perempuanku. Kuacak-acak lembut kepala anakku laki-laki.

Okay. Baiklah. Kututup saja entri tutup tahun ini dengan menyinggung Enjang. Enjang Dana Resi menulis status begini di Facebook: "hope so many big-good things happen in 2011." Biarlah aku jujur di sini. Aku tidak suka padamu! Aku tidak masalah dengan orang yang bersikap dan berlaku superior terhadapku, jika dia memang punya cukup alasan untuk itu. Tapi kamu?! (tuh kan aku sampai melanggar EYD) Yah... mungkin memang dia punya alasan. Ya sudahlah, tidak penting juga hahaha... Eniwei, langsung ku-copy saja statusmu itu 'Njang. Sama! Persis! Amin. Insya Allah. No hard feeling. Lock and Load. Dog and Toad. Sebentar lagi sudah kembali Januari, semakin dekat saja ajalku. Bono, Sofyan dan Rendy. Rendy ingin mengajak teman. Aku bilang Ige. Maksud Rendy Ira. Ira menjual lebih baik. Aku memang masih seperti yang dulu menunggumu sampai akhir hidupku. Kesetiaanku tak luntur, hatiku rela berkorban, demi keutuhan kau dan aku. (lama-lama aku bisa jadi Toni Blank kalau terus-terusan begini) Enjang! Semoga banyak hal baik yang besar terjadi di 2011. Apa itu yang baik dan besar? Kutitipkan semuanya pada Allah. Kamu cantik banget siiih... (cium... cium... cium...)

To See You in the Morning with Those Big Brown Eyes

Tuesday, December 28, 2010

Madre es Despiadado, Bebe Café


Kenapa aku menulis entri ini ya? Karena sesungguhnya aku selalu ingin menulisinya setiap hari. Aku senang menulis. Sungguh. Jauh lebih senang daripada cingcong. Masalahnya, aku tidak selalu bisa menulis yang aku senangi. Lebih sering, bahkan hampir selalu, aku harus menulis sesuatu yang aku tak peduli (kalimat macam apa ini!), atau lebih parah lagi, kubenci! Hey, kenapa harus benci? Kenapa sulit sekali bagiku bersikap biasa saja terhadap "hak asasi manusia"? Kebebasan berekspresi? Kebebasan pers? Kebebasan?! Baiklah, sebelum kebablasan, harus kukatakan di sini, aku menulis entri ini, setidaknya, karena aku pernah berkata, sebelum berakhir 2010 ini, setidaknya adalah satu dua entri di bulan terakhirnya. Kemarin sudah satu, ini berarti yang dua. Tidakkah kuperhatikan beberapa entri terakhir judulnya selalu tidak dalam Bahasa Indonesia? Aku juga tidak punya penjelasan untuk itu. Aku memang seorang amatir dalam menyembunyikan apapun, apalagi berbohong. Kata Sapardi Djoko Damono, berpuisi, bersyair itu maunya begini bilangnya begitu. Hahaha! Yaa... mungkin aku ceritanya sedang bersyair dengan judul-judul itu.

Banyak buah pikiran menggelegak meluap-luap dalam otakku, sudah sejak lamaaa sekali. Sejak kecil. Namun ramuan dasarnya kurasa dapat ditengarai. Khayalan mengenai kejawaan, nasionalisme yang akut, religiositas Islam yang mistis dan punya kecenderungan fanatik. Kurasa aku tidak sendiri. Jadi, kubiarkan saja mereka yang punya aspirasi sepertiku mengejar ambisinya. Ya, kurasa aku tidak cukup berambisi untuk mewujudkannya menjadi nyata. Akan tetapi, aku selalu ingin menuliskannya. Aku suka menulis. Untuk apa? Tidak tahu. Silakan menyebutku fatalis, akan tetapi, jujur, kurasa aku sudah menyerah. Menyerah, karena aku tidak memaksa diriku, bahkan pikiranku, ke arah sana. Aku ingin punya anak-anak, dan tentu saja aku menginginkan dunia yang aman dan berkecukupan bagi mereka. Apakah aku menginginkan kehancuran? Hmm... aku memang hobi eskatologi. Yaa... hancur atau tidak, semoga Allah menjadikanku termasuk dalam golongan hambaNya yang ikhlas. Aku dan keluargaku. Apa itu dunia yang aman dan berkecukupan? Seperti apa? Aku tidak tahu. Wallahua'lam bissawab.

Mempelajari Kediktatoran Proletariat

Semalam, Mas Ige mengangkat topik nasionalisme ketika kami berbicara mengenai sepak terjang tim nasional sepak bola di Piala AFF Suzuki 2010. Mas Ige itulah contohnya. Kurasa ia pun tersusun atas ramuan yang kurang dan lebihnya sama denganku. Bukan kebetulan dia I Gusti Ngurah Gede dan beragama Islam pulak! (Ibunya boru Sinaga, loh) Entah dari mana aku mendapat ide ia akan menjadi kontributor par excellence bagi buku "Hukum Koperasi Indonesia". Katanya semalam, "Nah, seharusnya seperti ini wujud nasionalisme!" Insya Allah, karena ini hukum koperasi INDONESIA. Dengan nama apapun ia disebut, kami paham apa yang kami maksud. Sofyan seakan-akan menunjukkan aspirasi yang sama, begitu juga Hadi. Akan tetapi, Indonesia mereka tidak sama dengan Indonesia Mas Ige. Antara Farid dan Sandoro, sejujurnya aku mulai membeda-bedakan mereka. Aku tidak suka ini, tapi aku sulit menahannya. Aku merasa Sandoro lebih Indonesia daripada Farid. Entahlah. Mungkin juga tidak. Ya, karena mengerjakan "Hukum Koperasi Indonesia" harus didorong oleh motif itu. Jika tidak, pasti sulit sekali. Sofyan punya motif itu. Meski berbeda dariku, sejujurnya, motifnya lebih besar.

Pusaka memutuskan untuk menerbitkan sendiri buku-bukunya. Bahkan untuk "Ikan untuk Nelayan" saja, aku belum terbayang dari mana aku akan mendapatkan sepuluh juta biaya cetaknya. Jelas ini bukan bisnis yang menguntungkan, namun kuberharap setidaknya jangan sampai rugi. Semoga balik modal dengan satu dan lain cara. Aku bukan pebisnis, apalagi pedagang. Aku punya tugas lain. Insya Allah, jika kujalankan tugasku ini dengan sebaik-baiknya, Allah akan mencukupi kebutuhan-kebutuhanku dan keluargaku. Hey, sudah lama aku tidak Yasin Fadhilah-an! Lagipula baca Qur'an masa cuma Yasin? Ini saja sudah Dzuhur dan aku masih belum juga bangkit ambil wudhu. Kuselesaikan dulu entri ini. Aku masih punya tugas tambahan dari Prof. Safri untuk menempelkan kembali kutipan-kutipan ke tempatnya semula. Sungguh menjengkelkan, tetapi kalau tidak dimulai tidak selesai-selesai. Aku juga masih harus membereskan proposal Sandoro. Aku bahkan belum meng-sms Mbak Meli, baik untuk yang dimintanya kemarin, maupun untuk kepentingan mengajukan hibah riset ini. Belum lagi, aku harus mengawasi Agam mengerjakan berbagai kelengkapan administrasi...

Aku tahu produktifitasku masih rendah. Apakah kulkas akan meningkatkannya? Apa hubungannya? Kondisi keuangan belum membaik. Tidak ada kepastian kapan uang berikutnya akan masuk. Aku masih harus menahan pengeluaranku untuk berjaga mendukung Pusaka. Jangan sampai kejadian gaji tertunda. Kurasa aku harus melecut mereka untuk bekerja lebih keras lagi. Tiada waktu untuk menoleransi PYMM kalau dia bertingkah lagi. Sofyan semangat sekali dengan TKBM ini, terkadang aku tidak habis pikir bagaimana jalan pikirannya. Namun, apapun itu, pasti sederhana. Aku harus membuat perencanaan yang lebih baik untuk meninggalkannya. Pertama, untuk diriku sendiri. Kedua, baru untuk Pusaka. Untukku... wow, masih banyak juga yang harus kukerjakan. Hukum Koperasi Indonesia, Adat Law, Kepulauan Seribu, pusaka.info, Sengketa Tanah Adat, Pelaku Informal, Nelayan Teluk Jakarta... Cicil satu persatu! Aku harus keluar dari semua ini! Farid dan Sandoro, awas saja kalau kalian berpangku tangan. Kalian harus mampu mengambil alih tugas-tugasku sesegera mungkin! Awas saja kalau kalian santai-santai! Baiklah sebegini saja dulu entriku. Mungkin ini akan menjadi entri terakhir di 2010.

Tuesday, December 07, 2010

Perdonami, Amore. Io Sarò Ricco


Ini adalah saat yang tepat untuk menulisi Macangondrong. Sebenarnya sudah dari kemarin aku ingin menulisinya. Entah kenapa, ketika aku menengoknya, ia begitu menantang. Yah, setidaknya sebelum tutup tahun 2010 ini, ada-lah satu dua entri, di bulan Desember ini. Baiklah, kawan-kawan, saat ini aku sedang berada di lantai 8 Hotel Shangri-La Jakarta... dan aku merasa sangat nyaman! Hahaha... Biarlah kuakui di sini, di Macangondrong ini. Sungguh tidak tahu malu aku. Kurasa Ki Macan sedang tidak ada dekat-dekat sini... Terus terang, aku malu padanya kalau sampai ketahuan menikmati kemewahan ini. Tapi aku memang sedang menikmatinya. Aku sedang sangat menikmatinya. Hahaha... Kemewahan ini, memang nikmat. Di ketinggian, memandang gedung-gedung di sebelah utara Hotel ini, tampak Hotel Mandarin. Tigapuluh tahun yang lalu, ketika aku masih kanak-kanak, gedung itu merupakan salah satu tandamedan (landmark) bila memasuki kawasan selatan Jakarta. Kini... hahaha... kini... kasihan betul kau Hotel Mandarin... masa aku harus turut bersedih-sedih denganmu? Tidak! Aku sedang menikmati kemewahan ini, dan aku sedang sangat menikmatinya!

Well, selera musikku sangat bagus. Jadul, tapi sangat bagus. Berkelas. Lagipula, aku lebih dari sekadar burjuis. Aku seorang aristokrat, dan aku selalu memanfaatkan kesempatan untuk mengungkap kenyataan itu, dengan sebaik-baiknya. Bahkan, seringkali, ketika kesempatan itu tidak ada, maka kuciptakanlah. Apapun itu, tetap saja aku terlahir dari golongan aristokrat, dan kenyataan itu percuma saja disembunyikan. Terlihat dengan sendirinya, koq. Seorang aristokrat harus mempertahankan kehormatannya. Ya, kehormatannya, bukan sekadar ke-'berada'-annya. Akan halnya, di akhir jaman ini, salah satu unsur (penting) kehormatan adalah berada, maka itu pun harus dipertahankan. Aku, seorang aristokrat, memang harus mendapat tamparan seperti yang kudapat tadi malam (Walau aku sangat berharap sekali Si Penampar merasa menyesal telah menamparku). Dunia ini perlu bukti, Milord! Dunia ini visual! Dan anda adalah seorang satria, Milord! Maaf, tapi jangan cengeng. Maka buktikanlah! Kalau anda memang harus makan di Mbak Yem tiap hari (maksudnya ga boleh lagi ada Mie Berkat, Burger and Grill dan sebagainya), then so be it!

Dan rice-cooker kecil! Well well, that's exactly just what I need now! Jadi, Gober Bebek, ketika kali pertama merantau meninggalkan kastil keluarganya di Skotlandia sana, untuk mencari emas di Klondike, Alaska, bertemu seekor bebek-betina penghibur. Alkisah sahibul hikayat, bebek-betina ini bertanya kepada Gober, apakah dia sudah makan. Gober menukas ketus, "Sudah! Seminggu yang lalu!" "Tapi itu sudah lama sekali." "Makan teratur hanya untuk bebek lemah!" dan Gober meneruskan perjalanannya. Sayangnya, meski bukan bebek, aku lemah. Perutku lemah. Sebenarnya aku bisa saja memperjarang makan, tetapi lambungku semakin jebol saja nanti. Dan memang tidak boleh (baru saja aku meneguk habis secangkir kopi, oh, harusnya tidak boleh...). Yah... meski makan teratur, aku harus melakukan sesuatu yang setara dengan apa yang dilakukan Gober; sekali lagi, meski aku bukan bebek. Kurasa memang benar itu, rice-cooker kecil! dan aku harus bersetia padanya, sebagaimana aku setia kepada Istriku Sayang. Apalagi kalau aku sampai bisa membeli kulkas... Ya Allah... semoga USAID membayarku banyak untuk pekerjaan Papua ini (wait... mungkin aku harus nambah iuran listrik sama Bang Gojay...)

Dan menabung setiap awal bulan di Muamalat untuk anakku tertua! Ya, itu juga salah satu cara untuk membuktikan pada Gober bahwa aku tidak lemah, meski aku bukan bebek. Setidaknya itu! Aku juga bingung kenapa semalam jadi bertengkar gara-gara ini. Aku tahu, sih. Bagaimana pun pekerjaan itu melelahkan. Amore, perdonami. Aku tahu persis tanpa ada diskon sama sekali, Il Mio Tesoro, betapa berat beban yang tengah kaupikul. Ancora una volta, perdonami, Amore. Aku memang berlebihan. Aku memang keterlaluan. Insya Allah, itu akan kulakukan, semoga Allah menolongku. Sungguh benar caramu berpikir. Sungguh, aku mengaguminya. Sungguh, engkaulah yang sangat kubutuhkan. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menuju ke arah itu. Kaulah yang menunjukkan caranya. Benar, aku harus membuktikannya, aku harus melatih diriku, dan itu dimulai dengan menabung untuk anakku tertua. Sungguh, aku memang selalu ingin melakukannya, Mio Vita. Aku ingin... yah... menanggungnya. Ibu juga selalu mengatakannya. Aku harus menunjukkan pada Ibunya Kin bahwa aku sembada, sesuai namaku. Namun, sejujurnya, aku tidak pernah tahu bagaimana caranya, atau tepatnya, aku tidak tahu bagaimana memulainya. Kini akan kumulai, Il Mio Sole.

Setengah jam lagi aku akan makan malam. Aku masih menikmati kamarku, kamar 0806 Hotel Shangri-La Jakarta. Sudah beberapa hotel kukunjungi, tetapi entah kenapa, kali ini benar-benar menikmatinya. Vorrei che tu fossi qui con me, Il Mio Chiaro di Luna delicato. Aku belum tega untuk mengatakan bahwa aku menyukai kehidupan semacam ini, kehidupan yang... mewah? berkelas? Bagaimana aku menerjemahkan good life? Fine life? Namun, honest to God, aku, setidaknya sekarang, sedang menikmatinya. Tahu tidak? Di sini sangat sepi. Aku jadi ingat kamarku waktu di Belanda dahulu. Mungkin aku sebenarnya menikmati hidup di sana. Coba kuingat-ingat dulu... Hmm... Menikmati tidak ya...? Biarlah kuingat malam musim panas itu, di Maastricht Centrum, langit cerah dan sebuah bintang jatuh membelah angkasa dengan penuh keagungan (No, I'm not being lebay). Kubisikkan permohonan itu. Kumohonkan pertolongan kepada Sang Perkasa, Sang Pengiba. Ibu mendoakan pula, dan, tampaknya, sebagian terpenting dari permohonan itu sudah menunjukkan tanda-tanda akan terkabul. Tu sai cosa voglio dire, La Mia Speranza per la Vita. Biarlah kututup entri ini dengan syair gubahan Pakde Burt dan Hal.

If I could catch a star before it touched the ground
I'd place it in a box, tie ribbons all around
and then I'd offer it to you
A token of my love and deep devotion
The world's a better place
with you to turn to
I'm a better man
for having loved you

And now, at last, I face the future unafraid
With you here by my side, how fast the shadows fade
And there is hope inside my heart
'cause I have someone wonderful to live for
The world's a better place
with you turn to
I'm a better man
for having loved you

And as I am today
That's how I'll always stay
A better man for having loved you
A better man for having loved you

Monday, September 13, 2010

Dum Dum Dum WOW Bad Bad Girl


Dapatkah aku menyembunyikannya dengan permainan kata? [Gramsci, ketika menulis risalahnya... apa ya judulnya... juga memainkan kata-kata untuk menghindari sensor penjara. Itulah sebabnya sulit dimengerti.] Lagu-lagu. Ya, lagu-lagu keparat itulah yang kuminta. Selain itu juga kesenangan duniawi yang paripurna [benarkah?]. Semuanya kudapat! Akan tetapi rintangannya luar binasa sulit dilampaui... Astaghfirullah... tak pernah kusangka akan begini jadinya. Semua tepat seperti yang pernah hadir dalam penglihatanku. Rinciannya? Kurasa aku cukup fleksibel. Aku bisa sangat fleksibel karena alasan cinta. Karena aku tidak sering-sering mencinta, jadi tidak apalah, sekali mencinta sesekali semua ditekuk-bengkokkan [kata bentukan apa pulak ini?!] Dan aku sudah menekuk sesuatu yang, menurut patokan apapun, sungguh tidak patut ditekuk. Demi cinta, cinta dengan huruf "c" kecil! Tidak ada lagi alasan, tiada tersisa pembenaran. Kata-kata sudah habis. Hanya kata itu yang tinggal. cinta. [perhatikan huruf "c"-nya kecil]. Mungkinkah cinta yang kecil ini membawaku pada Cinta? Dengan terlebih dahulu melewati rintangan ini? --aku cari makan dulu, ah. Lapar...

Mulia? Tidak, Cantik. Orang mungkin berpikir yang kucari adalah kemuliaan. Hahaha... mulia apanya? Aku cuma tidak bisa yang lain saja. Namun memang kesukaanku pada tragedi, kebiasaanku merengek-rengek, meratap-ratap, memang harus ditekan. Aku harus belajar lebih menikmati hidup. Makanya temani aku, dong. Kalau aku sendiri terus seperti ini, mana aku tahu kalau dunia ini indah. Aku pernah membaca, entah Umar ra. atau malah Rasul SAW sendiri, mengasihani biarawan yang menyiksa diri. Orang ini, katanya, tersiksa di dunia, tersiksa di akhirat. Hiy... naudzubillah! Lalu mencintai seseorang yang kamu cintai sesuka hatimu? Aku tahu kamu tidak begitu. Aku tahu kamu penuh perhatian. Hanya saja situasimu selama ini sulit dan menyulitkanmu. Sudahlah. Itu masa lalu. Dan kamu nakalnya amit-amit! Kamu suka menggunakan kata-kata yang mengerikan. Bukan berita baru 'kan? Katamu sendiri, saudara-saudaramu pun mengeluhkan hal yang sama. Aku belajar darimu, Cantik. Bagiku, kau seperti cermin. Kuharap masih ada yang dapat kaupelajari dariku [tepat di sini cemburu menyelinap].

Cemburu. Well, ini bagian terberat. Resepnya hanya satu. Jangan bawa-bawa masa lalu. Terus menatap ke depan. Memangnya kenapa sih kita sering menengok ke belakang? Biasanya sih ketika jalan ke depan tidak jelas terlihat, atau terlihat sukar ditempuh. [Aku lagi ngapain sih? Seperti sedang mengasuh rubrik konsultasi... ngomong-ngomong, mie goreng-ku sudah jadi belum yaa...] ...Tepat di sinilah, setelah lebih dari tiga bulan, entri ini kusambung lagi, pada hari terakhir 2010 ini... Hohoho, aku baru tahu bisa begini. Kurasa kemampuan ini cukup banyak gunanya. Kali lain, meski sangat tidak tepat suasana hati, aku tetap bisa mencatat garis besar kejadian-kejadian penting sepanjang hari, dan menyimpannya lebih dulu sebagai draft, untuk kulanjutkan ketika suasana hati seperti sekarang ini [panjang betul kalimatku]. Jika kubaca apa yang kutulis tiga bulanan lalu itu... terasa betul betapa aku mencintainya. Orang pasti akan menebak-nebak, siapakah yang sangat kucintai itu? Baiklah, untuk saat ini, aku hanya bisa mengatakan ini: Dia adalah kenyataan yang menjadi khayalanku. Sekarang. Siapa yang tahu kalau suatu saat nanti, kelak di kemudian hari, ia menjadi khayalan yang menjadi kenyataan.

Baiklah aku berbicara mengenai suasana hati saja. Ada orang-orang yang sangat dikendalikan oleh suasana hatinya. Salah satu contohnya mungkin aku. Lihat saja. Entah bagaimana caranya, beberapa hari terakhir ini aku diliputi semangat untuk menulisimu. Dan aku benar-benar melakukannya. Ada hari-hari di mana semangat itu juga tinggi, tetapi perbuatan menulis tak kunjung mewujud. Di hari lain, aku mungkin akan membaca-baca entri-entri lama dengan penuh minat, tetapi menulisinya aku tiada berminat. Lebih banyak lagi hari-hari di mana aku bahkan tidak ingat kalau kamu ada, apalagi Ki Macan. Hiy, maaf, Ki Macan. Engkau sedang tidak berada di sekitar sini 'kan? Jujur Ki Macan, sudah cukup lama aku tidak berminat berbincang-bincang denganmu. Aku tidak tahu, Ki. Hilangkah semangatku untuk melanjutkan peperangan ini? Apalagi kalau mendengar Ismi Azis menyanyikan Cinta Kami, cinta antara aku dan dia. Beribu ampun, Ki... Sungguh aku tidak melihat akhir dari peperangan ini. Benarkah aku rela menyerahkan seluruh hidupku bagi peperangan ini? Maafkan aku, Ki. Aku sedang mencinta. Engkau mungkin telah berhasil melatih diri sehingga mampu Mencinta. Aku, dengan segala rasa malu, mengakui. Aku gagal, Ki... Maafkan aku [menunduk dalam-dalam, bersimpuh]

Thursday, September 09, 2010

Malam Takbiran Malah Menulis Entri


Ini malah lebih parah! Tidak ada isinya sama-sekali, hanya judulnya. Hahaha... tapi kurasa aku bisa membayangkan perasaanku pada saat itu. Seingatku, aku sendirian menghadapi meja ini, sementara takbir menggema bersahut-sahutan di luar sana. Seingatku, malam itu agak dingin. Yang lebih penting lagi, saat itu aku pasti sedang kusut karena tidak maju-maju juga menerjemahkan hak asasi manusia dan kepemerintahan yang baik. Tahukah kamu bahwa benda itu kuselesaikan baru-baru ini saja, yang berarti tiga bulan lebih, karena judul kosong ini baru kuiisi pada hari terakhir 2010? Hahaha... tidak seberapa lucu, sih. Yang lucu justru kenapa hari ini aku semangat sekali menulisimu. Dengan ini sudah tiga entri. Baru saja aku dapat sms dari Smart, begini bunyinya: Jangan takut untuk mengambil satu langkah besar bila memang itu diperlukan. Anda tak akan bisa melompati jurang dengan dua lompatan kecil (David Lloyd George). Hahaha... boleh juga! Aku heran kenapa orang menyukai kata-kata mutiara. Ngomong-ngomong ada engga ya yang menyukai kata-kata mutiara yang kutuliskan di situsweb Pusaka? Apa aku harus menyediakan fasilitas forum? Shawn?

Yang lebih sulit lagi kumengerti, adalah bisnis motivasi. Itu bisnis tergila yang bisa kubayangkan. Kalian menjual cingcong?! Aku sendiri juga tidak habis pikir kenapa dulu aku pernah membaca buku-buku psikologi populer, dan menyukainya! Darn! Memalukan! Dan mereka, para motivator itu, punya semacam asosiasi. Hahaha... apa yang akan mereka lakukan dengan asosiasinya itu? Semacam asosiasi profesi begitu? Menentukan standar dan kode etik? Atau semacam kartel agar tidak ada yang banting harga dan, karena itu, laku ditanggap orang? Hahaha... kurasa, dengan mengatakan ini, orang akan segera tahu aku tidak tahu apa-apa mengenai bisnis itu. Biarlah. Aku tidak ingin ambil bagian di dalamnya, meski, kata Sandoro, aku seperti seorang kakek yang sedang mewejangi cucu-cucunya jika sedang cingcong di depan kelas. Itu bukan yang kubayangkan mengenai peran seorang dosen, seorang akademisi. Rendy ingin mengajak Ira ke dalam Pusaka. Sofyan mengajak Jafar. Aku mengajak... Aku sudah terlalu banyak mengajak orang. Kami memang tajam berbeda pandangan dalam pasal ajak-mengajak ini. Biarlah. Namun aku yakin, dari sinergi ini, kami akan menghasilkan sesuatu.

Kapitalisme! Kolonialisme! Imperialisme! Itu musuh kita! Kalian bersumpah untuk apa?! Mempersembahkan jiwa untuk jaya bangsa, apa itu "jaya bangsa"? Mempertaruhkan tanah airmu, untuk apa? [untung saja yang kalian pertaruhkan Indonesia, yang sudah, setidaknya, kehilangan Kalimantan Utara dan Timor Timur] Jaya bangsa itu tunainya amanat penderitaan rakyat! Tunaikan itu! Selama masih ada rakyat di tanah air Nusantara ini yang masih bingung besok makan apa, mengenakan pakaian yang kurang layak, tidak memiliki tempat berteduh yang sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan, selama itulah bangsa ini belum jaya! Itu semua terjadi karena satu hal: RAKUS! Apapun sebutannya, bagaimanapun dikonsepkan, dikonstruksikan, intinya tetap sama: KERAKUSAN! Itulah musuh kita yang sejati! ...ahaha... Lalu bagaimana cara memeranginya? Bagaimana caraku memeranginya? [kurasa Ki Macan tiba-tiba hadir, setelah aku sengaja menghindarinya tadi...] Menulis buku? Menulis risalah? Sesungguhnya, mungkin, itu jawabannya. Sudah tidak ada 'kan orang yang kuat menulis sesuatu yang seperti itu? Apa aku harus masuk penjara dulu barang setahun untuk melakukannya? Sekarang? Karena apa?

My time is running out!

Wednesday, September 08, 2010

Non Posso Vivere Senza di Te


Sungguh sulit menulisi kemacangondrongan setiap hari. Waktu terasa terlalu sedikit [...ditemani La Boheme, Paul Mauriat Greatest Hits Volume One, boleh ngedonlot waktu di Maastricht... Kurasa ini satu di antara yang terpenting yang kuperoleh dari Maastricht]. Aku ingin kembali lagi! Hahahaha... I can't believe I say that. Aku juga mau Ph.D seperti orang-orang itu. Semoga saja Ph.D-nya bisa sesuai dengan keinginanku, bukan asal Ph.D saja. Ya Allah, di akhir Ramadhan ini, hamba mohon ampun padaMu. Sungguh tak pantas penghambaan ini dihadapkan. Aampuuun Ya Rabb. Aampuuun [Masih ada hari ini dan besok, masih bisakah? Ayo, Tolol! Harus bisa! Hahaha kayak SBY].

Sekarang aku sedang mencuci di Yado. Sudah lama ini tidak kulakukan. Biasanya, tentu saja di laundry kiloan. Londre Kuning, terus terang kelebihanmu dari yang lain hanyalah kamu terdekat dari kosku. Sisanya... tidak ada yang betul-betul bermanfaat! Maaf, ya. Aku terpaksa meninggalkanmu, dan meninggalkan member card-ku di ATM BNI FHUI. Kasihan dia sudah berbulan-bulan menghuni dompetku. Kini entah di mana dia... Maafkan aku... Kini aku ganti mencuci di Ma Oleh. Masih empat ribu sekilo cuci komplit. Wow! Asyik 'kan. Aku juga pernah meninggalkan Bibi's. Tepatnya, sepulang dari Belanda, setelah tidak di tempat Babe lagi, aku tidak mencuci di situ lagi.

Akan kutulis judul calon disertasiku, Insya Allah, di sini. Awas ga boleh ada yang niru! [klo ada gimana...?] Codifying Local Wisdom: Institutional Framework and Strategy for Community-based Small-scale Fisheries Management in Indonesian Urban Coastal Areas. Coba aja tiru! Judul ini sudah beberapa kali mengalami perubahan. Sebelumnya, aku sempat tergoda untuk menggunakan judul Adat Fishery Laws, sedangkan adatstrafrecht, bahkan adatstaatsrecht saja ada! Oh, Van Vollenhoven Instituut, terimalah aku tahun depan. Oh, Pemerintah Belanda, berilah aku beasiswa [hahaha!] Akan tetapi, Codifying Local Wisdom mungkin lebih sesuai bagi konteks kekinian dan justru menjadi justifikasi mengapa harus dibimbing di Leiden, Insya Allah.

Sesungguhnya aku ingin membereskan proposalku pada libur lebaran ini juga. Ini gara-gara Jumat 3 September 2010 yang lalu, Wakil Duta Besar Belanda [aduh... siapa namanya ya?] berkunjung ke FHUI. Dia memberikan kuliah mengenai sumbangan Belanda pada perkembangan hukum di Indonesia. Hello! Yang paling utama ya Adatrecht lah! Katanya, our legal systems are like cousins stemming from the same grandparent, begitulah kurang dan lebihnya. Well, Bu, terserah deh. Semoga Allah mengijinkanku menuruti kemauanku yang ini. Aku mau Hukum Adat! [Sofyan juga mau hahaha...] Emang buat apa sih? Apa karena yang ini tidak terlalu menyakitkan? Tidak! Aku senang yang ini! Ini impianku!

Impian. Mungkin pada awalnya ada sedikit rasa iri, selain kekhawatiran utama berkenaan dengan kondisi persekitaran yang tidak lagi memungkinkan, ketika kamu semakin dekat dengan impianmu, Cantik. Sekarang sudah tidak. Sekarang yang ada hanya kesedihan tertahan. Selebihnya, aku senang kamu, Insya Allah, berkesempatan meraih impianmu. Aku mendukung dan membantu sebisaku. Meski kamu tidak akan bisa mencintaiku lebih dari mencintai dirimu sendiri [aku pun begitu, itulah sulitnya menjadi kita], kuambil kesempatan ini. But I'm willing to learn. I learn! Kurasa ini adalah terapi yang sangat baik untuk menekan kedirianku yang seringkali keterlaluan. Kuharap, begitu juga bagimu, Cantik. Let's improve together.

Urban (small-scale) fisheries. Aku yakin, para nelayan inilah yang merupakan pertahanan terakhir peradaban bahari Nusantara. Skala yang mana? Kukatakan, skala kecil, karena etos semi-subsistennya. Kenapa pergeseran ke arah ekonomi uang harus dianggap tidak terelakkan? Ini bagian penting dari ideologiku. Subsistensi. Berdikari. Bagaimana cara mempertahankannya secara ilmiah ya? Ayo berlatih! Lalu mengapa urban? Masa hanya karena perhatian terhadap yang rural sudah cukup banyak? Satu, karena ini merupakan wicked problem [Sok tau, emangnya iya?! Cek!] Tesisnya, justru urban waterfront, agar lestari, membutuhkan nelayan-nelayan ini untuk menjadi stewards of the environment. Well, banyak juga yang harus dipertahankan. Insya Allah, selama ada UI deepaccess, rebes! [duanya mana...?]

Senin 6 September 2010 lalu, Prof. Safri memanggilku sore-sore. Ternyata kerjaan terjemahan. AsiaLink Sourcebook on Human Rights and Good Governance. Hahaha... why would I care?! Because... because... because... it is worth four million Rupiahs! Alhamdulillah, karena aku masih harus keluar untuk saweran akta notaris. Akta notaris... tiidaaak... ini juga belum beres. Anggaran dasar! I really need to work. Depok is an ideal place to work at this time of the year. Sayangnya, sulit sekali cari orang jualan makanan... dan sepi [biasa 'kan?]. Malah jadi ada alasan untuk saben-saben makan borju di Detos atau Margo [bahkan makan saja sudah tidak menggembirakanku...] Jadi ada tiga. AsiaLink, Anggaran Dasar, Proposal. Begitu urutannya.

Kapan ke Leidennya...?! Tahun depan!

Friday, August 27, 2010

Malam Jumat Malam Turunnya Quran


Wuih, terlalu banyak yang terjadi dalam dua hari terakhir ini (masa siy?), sampai aku kehilangan jejak. Yang kuingat sekarang, pertama, perasaan sedihku karena tidak masuk SIAK, namun, tidak seperti Boy Mardjono, aku tidak bisa menyuruh siapapun untuk memastikan namaku ada di sana. Kedua, pengalamanku bertemu dengan orang-orang dari Forum Reklamasi Hutan pada Lahan Bekas Tambang (RHLBT). Ketiga, yang baru saja kubaca tadi sambil mules, bahwa sebutan Indonesie itu berkonotasi primitif, sedangkan Indie setelah diberadabkan oleh Belanda. Entah harus dibahas tersendiri, aku juga ingin mencatat tentang kegelisahan Farid yang kelihatannya sulit disembuhkan. Oh iya, Cantik, tentu saja, catatan tentang gairahmu berdagang. Aku selalu suka melihatmu bergairah, Sayang.

Masuk topik pertama. Beberapa hari lalu, aku ingat betapa sedihnya ketika menyadari namaku tidak ada di SIAK. Jadi, semester ini aku tidak secara resmi terdaftar di matakuliah mana pun. Aku tahu ini masalah remunerasi. Buat apa berbagi denganku yang tidak butuh cumshot ini. Emangnya bukake. [baru saja kutenggak habis segelas indocafe coffeemix] Di tengah kesedihan itu, aku berjalan ke Bagian Keperdataan, siapa tahu ketemu Bang Idon. Ternyata memang ada beliau di sana. Bahkan ada Bu Mira segala. Akhirnya, aku menemukan diriku ngolor kepada Bang Idon. Aku berbicara mengenai kemungkinan aku sit-in di kelasnya Mbak Meli. Melengkapi catatan, kataku, persiapan untuk menyusun modul kelas internasional. Bang Idon menjelaskan, karena di kelas internasional tidak ada matakuliah Hukum Benda dan Perikatan Adat dan Hukum Waris Adat, maka materi Hukum Adat yang diberikan di sana harus diperkaya dengan bahasan-bahasan terkait yang disebut belakangan itu. That's alright, Mama. Sepotong bolu, kuharap. Akan tetapi, yang membuatku sedih adalah pilihan kata yang terpaksa kugunakan. Hiks, aku masih sit-in.

Aku belum diakui, sedangkan umurku sudah banyak. [Bang Idon juga menjelaskan bahwa di mata kuliah Hukum Adat belum dibahas mengenai norma. Ini menarik] Apakah aku harus meminta sekali lagi kepada Bang Idon agar namaku dimasukkan dalam SIAK? Hmmhhh... akan kutanyakan siang atau sore ini, Insya Allah, kalau beliau ada. Bu Mira, dalam kesempatan itu juga, menyarankan bila ada bukaan PNS aku lebih baik ikut. Bilakah itu? Batas umur untuk diterima sebagai PNS adalah 34, seingatku. Aku sudah 34 dari beberapa hari yang lalu. Masih adakah waktu? Pagi kemarin, sambil berkendara sepanjang Rasuna Said, Ditha berkata ingin mendapatkan ijin advokat, karena bidangnya, persaingan, banyak kasus mahal. Iya ya, kataku. Mumpung bukan PNS. Apapun itu, kalau tidak salah segera setelah aku turun dari Bidang Keperdataan, melewati pintu bagian Rumah Tangga, Pak Sardi mengangsurkan sepucuk surat padaku. Bono Budi Priambodo, SH., M.Sc. Staf Pengajar Program Sarjana, begitu tertulis di situ. Alhamdulillah, sedikit penghiburan di kala sedih.

--Berhenti dulu shalat Shubuh. Bersyukur. Mohon ampun--

Topik kedua, Forum RHLBT. Dari pertemuan pagi itu 26 Agustus 2010 sekitar 09.45 - 11.00, yang kupahami adalah sebagai berikut. Perusahaan pertambangan merasa perlu untuk mengamankan "investasi"-nya ketika menghutankan kembali lahan bekas tambang. Menurut Pak Jeffrey, Ketua Umum Forum RHLBT, petambang tidak berkeberatan untuk mengeluarkan sejumlah (besar) uang untuk mereklamasi lahan bekas tambang, sedangkan itu adalah kewajiban menurut peraturan perundang-undangan. Namun, alangkah baiknya jika, dengan menambahkan sedikit lagi dana, alih-alih menyerahkan "begitu saja" kembali kepada pemerintah, petambang atau pengusaha lainnya dapat terus mengusahakan hutan hasil reklamasi itu. Pak Jeffrey berdalih, petambang telah mengusahakan reforestasi itu dengan sedemikian baiknya, sedangkan, jika kegiatan pasca tambang ini telah selesai dan hutan yang telah tumbuh kembali itu dilepaskan begitu saja, pihak lain belum tentu mampu mengelolanya dengan baik. Ia khawatir, alih-alih membawa manfaat dan keuntungan bagi rakyat dan negara, hutan ini justru akan dimanfaatkan oleh para "pencoleng".

Yang agak menggangguku dalam pertemuan itu adalah pernyataan Pak Jon (Suhardijono?). Jika aku tidak salah tangkap, ia mengatakan hutan hasil reforestasi itu adalah "hak negara". Jadi, terserah negara mau diapakan, apakah dilelang kayunya kepada penawar tertinggi (Ini harus dikonfirmasi pada peraturannya). Jika benar apa yang kudengar itu, siapapun yang akhirnya berbicara tentang adanya "hak ulayat negara" tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Birokrat-birokrat seperti Pak Jon inilah yang, mungkin, mengakibatkannya. Istilah hak ini memang sangat problematik. Kurasa, biar berabad-abad telah berlalu, konsep property tidak akan pernah sepenuhnya dipahami oleh alam pikiran "ketimuran", atau, mungkin lebih tepat, siapapun yang menempatkan Tuhan pada posisi sentral a.k.a. teosentrisme. Yang bisa "memiliki" ya hanya Allah. Tak satu mahluk pun dapat memiliki apapun. Namun orang Barat kafir ini, yang antroposentris, mengemansipasikan manusia sebagai pengemban tidak saja kewajiban-kewajiban, tetapi, yang paling penting, juga hak! Sejak saat itulah urusan milik-memilik, hak-menghaki di Nusantara menjadi "kusut masam" (kata Obbie Mesakh hahaha...).

Dari sini, kita dapat beranjak ke topik ketiga. Segala kekusut-masaman yang ditimbulkan sejak imperialis-imperialis itu menjejakkan lunas kapal dan kaki di bumi air Nusantara bersumber dari pertanyaan: "Alam yang kaya ini, punya siapa?" Sebenarnya, satu-satunya jawaban yang ingin mereka dengar adalah: Punyaku! Akan tetapi, ada juga orang-orang seperti van Vollenhoven, dan lain-lain yang sepikiran dengannya, yang tidak rakus dan ingin membaginya dengan "penduduk asli". Bukan sekadar masalah balas budi atau tanggung-jawab moral, van Vollenhoven berusaha mengonstruksikan "kepemilikan" penduduk asli atas kekayaan alam itu, hence, konstruksi beschikkingsrecht alias hak ulayat. Samakah pengertian konsep ini dengan common property, di manakah letak perbedaannya, harus kuperiksa terlebih dulu. All in all, semoga aku tidak salah di sini. Siapapun van Vollenhoven, apapun yang dipikirkannya, kuharap satu watak yang mendasarinya. Tidak rakus. Jika betul demikian, maka kita sejalan. Just because of this, if I didn't remember a more important signifier, I'd love to call this entry: In the Spirit of van Vollenhoven, or would I make it an entry in Pusaka.info?

Farid bercerita, Anton bercerita, bahkan di Leiden sekalipun, di Van Vollenhoven Instituut sekalipun, masih juga developmentalis. Itu istilah yang digunakan entah Farid entah Anton. Aku berkomentar, mau bagaimana lagi. Aku juga mendengar kalau VVI pun kesulitan dana. Tentu saja ia berusaha memutakhirkan pendekatan, bahkan kalau perlu paradigmanya, agar terus mendapatkan pendanaan (dari pemerintah Belanda?) Aku sudah mengantisipasi hal ini, koq. Sekali lagi, mau bagaimana lagi? Negeri itu indah, harus kuakui, seperti dongeng. Lebih indah lagi euro-nya. Jadi aku tetap harus berusaha untuk kembali ke sana, jika semangat untuk membahagiakan kedua orangtuaku masih kurang cukup mendorongku. Biar kuulangi. Negeri keparat itu betapa permainya, dan euro-nya sedap betul! Lagipula, aku bukan eskapis. Aku pantang lari dari kenyataan! Sungguh aku ingin tertawa mendengar Farid membuat skripsi (hukum) mengenai Derrida(?!), seperti aku selalu ingin menertawakan kekaguman Sofyan pada Jafar Suryomenggolo. Larilah! Lari kemana pun kau suka! Berani kau mengkhianati harapan orangtuamu? Aku pengecut. Aku tidak! [ternyata segini saja tentang kegelisahan]

Dua tahun lalu, dalam rangka yang sama, Nuzulul Qur'an, aku menulis tentang Khadijah r.a. Aisyah r.a. Tahun ini aku juga menulis tentang perempuan, Gadis Kecilku Sayang.

Sampailah pada topik favoritku. Gairah Cinta! Sayang... Cantik... sungguh aku senang mendengarmu bergairah. Meski aku masih berpendapat tiga juta untuk modal awal terlalu berani, dan itu juga membuatku minder karena bahkan aku tidak punya sebanyak itu untuk kupertaruhkan pada ekspres gembolku, tapi aku suka gairahmu. Jumlah yang lebih kecil dari itu mungkin memang tidak sepadan denganmu yang, seperti halnya aku, meledak-ledak. Aah, sungguh aku suka melihatmu bergairah, Sayang. Sungguh tidak sedap dipandang jika kau sampai layu lesu karena tidak ada yang kaukejar. Aku membayangkan diriku sendiri. Betul-betul bencana jika aku sampai tidak punya sesuatu untuk dikejar, untuk diperjuangkan. Gadis Kecilku Sayang, jika pun bukan untuk apa-apa, jika pun bukan untuk bersamaku, gairah itu, semangat itu, sangat kauperlukan. Itu baik untuk kesehatanmu, Cantik. Fisik dan mental. Ya Allah, kumohonkan padaMu kebahagiaan bagi Gadis Kecilku Sayang. Aku sungguh mencintainya.

Wednesday, August 25, 2010

Aku Lelaki yang Lebih Baik


Sahur ini, Ki Macan, setelah hampir dua tahun tidak pernah muncul, begitu saja menjelang dari kegelapan, seperti kebiasaannya [Ugh, koq mules lagi ya... Cepet amat reaksinya kopi ini] Ki Macan memang begitu. Semenjak perutnya terus bertambah gondrong, ia jadi banyak keluhan. Namun, pagi ini Ki Macan sedang tidak mau membicarakan perutnya. Aku menggunakan kesempatan ini untuk memperkenalkan Cantikku kepadanya. Tidak enak. Sudah beberapa kali aku melakukan rujukan eksplisit mengenainya, tetapi belum sekalipun aku mengenalkannya secara resmi pada Ki Macan. Pagi ini, sepertinya waktu yang tepat, sedangkan aku sangat merindukannya, seperti yang selalu kurasakan. Setiap waktu.

"Ki Macan... Aku ingin memperkenalkan Cantikku kepadamu." Ki Macan mengangkat alisnya yang gondrong sebelah, melirikku dengan kepala botaknya yang setengah tertunduk.
"Ia impian seumur hidupku, Ki Macan..." Sepi beberapa menit...
"Aku sudah bermimpi bersamamu jauh sebelum kau menyadari keberadaanku." Gumam Ki Macan memecah kesepian. [Seharusnya "keheningan," tapi sungguh aku malas menggunakan referensi langsung pada kata yang akhirnya menjadi nama istrinya Mayor Nawawi itu]
"Pakde Lenthu kemarin ngendika, tidak baik lama-lama membujang. Rasulullah Muhammad SAW pun membuat rujukan langsung mengenainya [Apa sih, dari tadi rujukan langsung melulu]. Bukan umatku, katanya, yang membenci sunnahku."
"Aku tidak membencinya." Tukasku defensif. "Lagipula ini bukan masalah bujang-membujang. Ini masalah impian. Hanya saja selama ini aku melatih diri sedikit lebih keras dari yang seharusnya untuk tidak menginginkan apapun. Apalagi bermimpi."
Ki Macan terdiam lama.
"Ia impianku sejak lama." Kini aku yang memecah kesepian.
"Aku tahu." Sambil berkata demikian, ia berangsur-angsur menghilang kembali ke dalam kegelapan.

Aku menyimpul sesungging senyum. Ah, Ki Macan memang begitu. Rasanya memang tidak mungkin berbagi perasaan romantis dengannya. Bukan berarti dia tidak menyukai Cantikku. Bukan. Dia hanya tidak tahu harus bagaimana. Ki Macan memang tidak terlatih untuk itu, atau tepatnya, ia melatih dirinya ke arah yang berkebalikan. Aku tidak bisa menyalahkan. Sepanjang hidupnya, setidaknya begitu dugaanku, ia melatih diri untuk tidak memberi wujud kepada impian-impiannya, karena mustahil Impiannya itu wujud selama dunia ini masih wujud, dalam benaknya, apalagi benakku. Impianku ini, kini berwujud. Ia berwujud gadis kecil, yang suka menangis berlama-lama untuk menarik perhatian. Bila akhirnya diperhatikan, ia akan memperkeras tangisnya, agar perhatian yang baru didapat itu tetap padanya. Ah, gadis kecil yang cantik.

Aku sangat menyukai suaranya. Seperti dalam impian. Suara itu seperti telah kudengar sejak lama. Suara yang membangkitkan gairah untuk mencinta. Gairah yang liar namun syahdu, seperti dua ekor harimau loreng satu jantan satu betina dilanda birahi. Saling menggigit lembut, saling mencakar mesra. Suara itu, seperti suara harimau betina yang tengah mengasuh anak-anaknya. Geraman lembut yang penuh kasih-sayang. Suara itu... sangat kusukai. Suara itu selalu kurindukan. Aku menyukainya sejak entah kapan aku tidak peduli. Maka ketika aku mendengarnya, aku langsung suka. Di sini aku kehabisan citra. Seandainya saja aku tidak harus susah payah merangkai citra. Seandainya saja, pagi ini, suara itu bukan sekadar citra. Seandainya saja suara itu, seperti adanya, hanya gelombang suara yang membentur selaput tipis gendang telinga, pun begitu membangkitkan hasrat yang paling purba. [Tidak boleh. Sudah masuk waktu shubuh. Ini bulan puasa]

Senin pagi sampai siang, kubereskan semuanya. Belum, ding. Hamid Chalid belum, seperti belumnya Kurnia Toha dan Andhika Danesjvara untuk urusan lain. Juga, seperti belumnya John Gunadi, apalagi Samsul. Namun aku merasa sudah, karena sudah atau belum itu masalah perasaan, bukan indikator kinerja apalagi pencapaian. Aku seniman bukan birokrat. Lalu aku pergi ke Pusaka bersama Sofyan sore harinya, naik Taruna. Aku urung menyongklang Vario, padahal Pertamax-nya sudah tiris dan harus kuisi. [Aku jadi ingat. Dia menemukannya lucu sekali, ketika aku mengangkat-angkat alisku sambil tersenyum pongah, berkata: Pertamax. Penuh! Aku suka ia menganggapku lucu. Aku suka ia suka.]

--Berhenti dulu shalat Shubuh--

Di Tanjung Barat membeli tahu petis dan tempe mendoan. Sofyan sedih karena serabinya tidak ada. Sampai di kantor belum buka, aku dan Agam mencoba Smash-nya untuk pergi ke Warung Padang "Mini Indah". Berbuka dengan nasi Padang (lagi?!), Sofyan cukup terlipur dengan kolak UKM yang kubeli. Dasar orang Sumatra! Belum berbuka rasanya kalau belum pakai kolak atau sepupu-sepupunya. Setelah berbuka, Rapat Senin tanpa kehadiran Sandoro. Rapatnya para seniman. Bahkan Sofyan yang paling medioker --dan, karena itu, terorganisir-- pun merasa dirinya seniman. Kalau tidak, mungkin dia tidak akan tahan berlama-lama denganku. Justru itu yang agak mengusikku. Aku. Farid. Sandoro. Aduh, kombinasi macam apa ini. Aku hanya berharap mereka mampu menunjukkan kinerja yang setidaknya setara denganku, terlepas dari dorongan-dorongan untuk berkesenian yang, aku tahu persis, selalu menggoda mereka. Justru itu juga yang pada kesempatan pertama membuat mereka tertarik padaku, kurasa. Okay, kids! Setidaknya lihat aku! Aku bisa sampai sini, kalian pasti bisa lebih jauh lagi!

Itu, jika kalian sepakat untuk membantuku mewujudkan impian-impianku. Beginilah kurang lebihnya notulensi Rapat Senin kemarin. Hahahaha, notulensi macam mana pulak! 'Kan sudah kubilang, ini rapat seniman bukan rapat kajian. Aku hanya bisa berharap, lukisan kami mencapai taraf estetika yang memadai, sehingga tidak seperti lukisan-lukisan murahan yang dijual eceran di pinggir-pinggir jalan, karya seniman-seniman tanggung itu [Maafkan aku, Saudara-saudaraku]. Sungguh, itu nista, dan kami menempuh jalan nista ini! Nista, karena kami sengaja menempuh jalan yang tidak biasa. Jalan yang tidak biasa 'kan biasanya becek berlumpur. Sungguh! Aku tidak menyebutnya jalan pintas! Aku melalui jalan ini karena aku MAU melalui jalan ini. Bukan untuk kemana-mana. Itu juga yang kutekankan pada bocah-bocah ini. Kalian ingin ketenaran? Kekuasaan? Well, aku tidak tahu, tapi aku bisa jamin, JANGAN CARI DI SINI!

Yang kuinginkan adalah PRODUK! Mari berproduksi. Kalian bicara Marxisme tetapi tidak berproduksi. Sama saja COLI! [Ini lecutan untukku juga] Bicara mengenai produksi... dapur kami dingin sekali! Pantas saja bocah-bocah itu pada sakit-sakitan. Sandoro mungkin masih terampil menggunakan akal sehatnya, tetapi aku mengkhawatirkan Farid. Ia sama bebalnya denganku, Si Bodoh ini. Semoga saja ia menemukan sesuatu cara untuk membuat dirinya sedikit teratur. [Sudah terang. Tadi, ketika kegelapan masih mengambang tipis di udara, Ki Macan melirik dari kegelapan, mengucap selamat tinggal. Aku balas melirik. Sampai jumpa, batinku. "Tentu," sahut suara batinnya. Aku lega.] Pula, gara-gara Si Bocah Gemblung ini aku menginap untuk kali pertama di kantor. AC-nya, Mak, mana tahan! Sakit semua badanku. Untung ada yang keluar sahur, jadi aku bisa keluar makan nasi Padang (lagi?!). Enak, sih.

Paginya Ditha Wiradiputra telpon, bertanya padaku, siapa ahli hukum pertambangan. Tidak pakai lama, kutukas: Ya, saya lah, Pak! Begitulah maka Insya Allah Kamis ini jam 09.00 kami akan bertemu Indonesian Mining Association (IMA), begitu kalau tidak salah, untuk membicarakan mengenai konversi kawasan konservasi menjadi wilayah pertambangan. Ahli atau tidak, aku berminat pada topik ini. Ahli atau tidak, aku, katanya, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum dan Sumberdaya Alam, salah satu subsidiary dari Djokosutono Research Center. Ahli atau tidak, ini dia yang terpenting, aku harus membuat bocah-bocah ngawur ini menjadi dosen, seperti yang seringkali terlintas dalam kepala ngaco mereka. Insya Allah, itu suatu kebaikan buat kedua orangtua mereka. Amin. Ada satu lagi. Ahli atau tidak, Insya Allah, gaji mereka bisa naik. Kata Farid, starting bagi fresh graduate di Ignatius apa begitu lima juta. We will reach that figure! Someday, somehow...

Sepanjang pagi sampai siang kemarin, aku korve di kantor. Sandoro berkomentar, di kantor ini tidak bisa dibedakan antara direktur penelitian dengan opas. Tepat itulah yang akan selalu menjadi ciri khas kantorku selama ada aku, sampai tiba waktunya kami mampu menggaji dengan layak orang yang bersedia melakukan tugas-tugas opas. Sebenarnya tiada seberapa sulit. Orang itu tidak perlu bekerja sepanjang hari. Seperti Pak Aceng, ia hanya harus datang pagi dan sore hari. Ya, nanti jika aliran tunai sudah lebih memungkinkan, akan kutugaskan Agam untuk mencari orang yang bersedia melakukan itu. Kemarin, perlistrikan dibenahi, mungkin masih berlanjut sampai hari ini. Insya Allah hari ini beres. Banyak juga habisnya. Dua ratus ribu lebih. Kabelnya, menurutku, masih terlalu kecil. Seharusnya Sandoro beli yang tembaga solid, bukan rambut. Semoga kuat.

Jikaku dapat menangkap bintang
sebelum ia jatuh ke tanah
Akan kutaruh dalam sebuah kotak
kuikat dengan pita sekeliling

'kan kuberikan padamu
sebagai tanda cinta
dan kesetiaan mendalam

Dunia menjadi lebih baik
jika aku dapat pulang padamu
Aku lelaki yang lebih baik
karena mencintaimu

Cantik, aku mengantuk sekali. Sekarang sudah jam enam. Sudah terang. Selalu aneh kalau berangkat tidur sementara hari sudah terang seperti ini. Akan tetapi, badanku masih agak remuk rasanya gara-gara digebugin AC dan kerasnya permukaan meja. Tidurku harus cukup. Aku mencintaimu. Selalu dalam impianku, suatu hari nanti aku bangun tidur dan menemukanmu masih pulas di sisiku. Mungkin, akan kukecup lembut bibirmu, tanpa membangunkanmu. Mungkin, aku akan berjingkat-jingkat bangun terlebih dulu menyiapkan sarapan untuk kita. Mungkin, anak-anak perempuan kita sudah bangun terlebih-lebih dahulu dan melakukannya. Mungkin, mereka akan membangunkan kita. Mungkin, kalau kau sudah terbangun, entah kau, aku atau kita berdua akan meminta mereka untuk menunggu sebentar... Mungkin. Sampai tiba waktunya, aku tidak keberatan untuk terus terbuai mimpi indah ini. Kini, aku tidak takut bermimpi. Kini, aku tidak takut berharap.

Monday, August 23, 2010

Mungkin, Kali Ini Kau Percaya


Mungkin aku tidak akan pernah dapat memahami sepenuhnya permainan ini. Mungkin karena aku sok-sok'an menyebutnya sebagai "permainan," sementara kebanyakan orang begitu saja melakukannya. Hanya salah satu tahap dalam kehidupan yang harus dilalui. Namun demikian, betapakah aku tidak akan memandangnya sebagai permainan. Jalanku sangat dramatis [Ah, itu 'kan gara-gara kamu sendiri hobi mendramatisir apapun]. Mainkan saja! Bersenang-senang! (Bersenang-senang?) Sepertinya sulit. Aku terlalu serius untuk bersenang-senang. Sudahlah. Percuma saja. Tak dapat lagi kulawan perasaan ini (Ini kata Kevin Cronin lho).

Ada yang penting dan nyaris terlewat dari China Town. Oh ya, China Town itu majalah yang ada di Bakmi Margonda. Boleh dibaca, dibawa pulang jangan. Jadi, ada rubrik yang isinya kata-kata bijak orang Tionghoa. Salah satunya, intinya, celaan terhadap pengeluaran yang sama besar dengan pemasukan. Hal ini dipandang sebagai kesalahan besar. Aku sangat terilhami olehnya, tapi apakah aku mampu menepatinya? Hari ini saja sepertinya aku sudah gagal. Buka tadi, aku makan Bakso Semeru sampai sembilan ribu. Baru saja, aku makan malam pakai nasi Padang seharga sembilan ribu juga. Well, makan memang setidaknya segitu di Depok sekarang. Dapatkah aku lebih hemat dari itu? Haruskah?

Lebih gawat lagi, hari ini aku masih juga tidak menyentuh formulir evaluasi diri dosen-dosen inti itu! Berikan padaku apa saja kecuali itu... dan laporan pertanggungjawaban RKAT mungkin ya... Grrhhh!!! Mana tahan 'dah kerjaan-kerjaan ini. Lihat! Aku lebih tua darimu duabelas tahun 'Rid, dan masih saja aku mengeluhkan hal yang sama dengan yang kau keluhkan sekarang, seperti kukeluhkan duabelas tahun yang lalu. Jadi, memang tidak mungkin melarikan diri dari kenyataan ini. Hadapi! Kamu mau jadi dosen?! Hahaha! Kalau kamu mau tahu, aku jadi asistennya Sofyan karena aku pengecut! Aku tidak seberani Pendekar Hina Kelana [...tapi dia 'kan anak bungsu dalam keluarganya, dan orangtuanya sudah tidak ingin apa-apa lagi...]

Bakso Semeru hari ini agak lumayan. Sambelnya kuberi dua sendok. Mungkin bukan itu juga penyebabnya. Mengerikan sekali. Makanan adalah satu-satunya rekreasiku! Menonton... Ya, malam ini aku menonton (atau lebih tepatnya menamatkan) Raiders of the Lost Ark, seperti kemarin aku menamatkan Temple of Doom. Sama saja 'kan? Di Belanda dulu juga begitu. Makan dan nonton. Itu pun lebih untuk lari dari kenyataan. Aku sudah tidak telaten main permainan komputer. Mengerikan! Setidaknya aku tahu pasti bahwa kemarin itu bukan homesickness. Ternyata di sini pun aku begitu. Jalan ke arah Selatan, entah kenapa terpikir Bubur Jagung, ternyata habis. Begitulah akhirnya menyeberang ke Siang Malam. Oh, sebelumnya beli teh Tong Tji dan Antangin di Alfa Midi. How eventful my life is!

Henry W. "Indiana" Jones, Jr. Ph.D. Seorang doktor yang jago lompat-lompat kesana-kemari, tetapi juga mengajar di depan kelas, meski digambarkan mahasiswanya "mengagumi"-nya tidak karena kuliahnya. Tidak apa-apa. Hollywood keparat, biasalah itu. Seperti halnya ketika harus mengerjakan sesuatu yang belum pernah dikerjakan, aku butuh pembanding. Bagaimana sih cara orang mengerjakannya? Oh, begitu. Lantas aku mencoba untuk membuat yang lebih baik darinya. Benar juga kata Khairil Azmi. Sekarang sulit menulis sesuatu yang fenomenal. Saingannya banyak. Namun, yang penting menulis! Dapatkah aku melecut diriku sendiri untuk menulis, sambil menyemangati Sofyan, Farid dan Sandoro? Sofyan jelas sangat membutuhkan semangatku, dan dia benci sekali tragedi-tragediku. Hahahahah!


"It was common for them to lift their skirts and reveal their legs, underwear and occasionally the genitals" (Wikipedia.com on how the courtesans there used to dance in Moulin Rouge's early days)

Aku mencintaimu, Cantik. Sangat! Kamulah yang akan membuatku tidak percaya pada horoskop, karena kamu akan membuktikan betapa kita bisa saling mencinta dengan syahdunya. Jangan salah! Aku selalu siap untuk kaya! Segala yang ada dalam kepalaku ini hanya akan terwujud jika aku kaya, maka aku selalu mempersiapkan diri untuk itu. Aku yakin kamu bisa membantuku menuju kesana, Cantik. Akan kubuktikan kalau impian-impianmu tidak bertentangan dengan jalan yang akan kutempuh. Bersamaku, impian-impianmu akan mendapatkan bentuknya yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya. Aku sudah tidak mampu membayangkan diriku tanpamu, meski aku juga tidak sepenuhnya terbayang apa jadinya bila bersamamu. Kau mungkin bukan orang yang percaya bahwa cinta akan menghidupi kita. Mungkin, kali ini kau akan percaya. [Kalau ternyata aku gagal, bagaimana? Kalau ternyata Carry pun tak terbeli, bagaimana? Akankah kau meninggalkanku?]

Sunday, August 22, 2010

Kau Tahu Kaulah Satu-satunya Bagiku


Sudah setengah satu lebih. Jadi lebih baik cepat saja. Bersama... siapa ini ya? Robin atau Barry? Yang mana saja lah... sambil berandai-andai sekiranya pikiranku bisa mengenai sesuatu yang lain. Kenyataannya sulit. Sialnya aku menemukan diriku sangat percaya padanya. Gak bener banget! Namun aku yakin bisa dilatih. Semua saja bisa dilatih. Bisa jadi, ini semua terjadi atasku agar aku meninggalkan imanku pada hal itu. Halah! Masih saja seperti ini!

Apapun itu, malam ini, setelah berbuka dengan Bakso Semeru baru yang rasanya tidak seberapa itu, aku makan lagi di Bakmi Margonda. Bakmi Sapi Cah Cabe porsi kecil, Pangsit Goreng setengah porsi, teh tawar. Dua puluh ribu lima ratus Rupiah, yang kalau diredenominasi menjadi... dua puluh rupiah lima puluh sen. Masih mahal juga. Sekali makan kalau sampai dua puluh Euro pasti menyesal.

Kau Tahu Kaulah Satu-satunya Bagiku Jadi Jangan Nakal

Aku berjalan di bawah hujan. Dilindungi payung yang salah satu rangkanya sudah rusak, tapi operasional. Gara-garanya nyari Tahu Telor. Ternyata yang bisa masak itu cuma Teh Lilis dan Ujang, dan mereka entah ke mana. Jadilah aku berjalan di bawah hujan. Sempat mempertimbangkan seafood tenda dekat bengkel, tetapi tidak jadi karena lantainya miring. Pasti tidak nyaman. Ini semua gara-gara pelebaran jalan Margonda. Sempat terpikir Siang Malam, tetapi tidak ada keripik kentang. Sepertinya aku tadi cari yang asin-asin. Ternyata Bakmi Margonda pun tidak asin, terutama pangsit goreng lima bijinya itu. Susah payah aku menghabiskannya.

Jika ada yang agak penting, mungkin majalah China Town. Harusnya tidak dipisah, tapi seingatku nama majalah itu memisahkannya. Bisnis! Itulah dia! Bisnis apa coba yang sedang kubangun ini?! Memang ada kemajuan. Sofyan Pulungan sudah berpikir bahwa yang dilakukannya adalah bisnis. Jadi yang penting jadi uang. Sepertinya dia sudah tidak terlalu peduli bersih dan kotor lagi. Namanya bisnis berarti kerja keras, dan kerjaku tidak keras. Belum. Insya Allah akan segera. Di Majalah itu, ada cerita seseorang yang hancur toko pakaiannya gara-gara kerusuhan. Dia memulai lagi dengan menawarkan dari pintu ke pintu, sampai punya toko yang lebih besar dari sebelumnya.

Kemudian Royen, Grudo dan nyonya, Dolyn dan nyonya, Jody. Apakah mereka betul yang membuatku teringat Si Macan Gondrong lagi, atau yang mana, aku tidak pasti. Cerita-cerita jaman dulu saja. Kalau ketemu mereka ya pasti tentang jaman dulu. Akankah aku menyukainya? Entahlah. Royen itu mungkin sisunku yang aku tidak pernah punya. Tentu saja. Aku dikeluarkan ketika kopral. Namun, kalau aku harus punya sisun, ya Royen itulah. Aku memang tidak pandai berteman, mungkin. Aku terlalu sombong untuk membutuhkan teman, bisa jadi. Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak pernah tahu cara menyegarkan kembali diriku sendiri. Refreshing. Rekreasi. Aku tidak tahu.

Bismillahi ar-Rahmani ar-Rahimi. Mari kita tata lagi. Insya Allah besok masuk ke kantorku di lantai dua. Mungkin dengan menata fisiknya, mentalnya pun akan tertata. Insya Allah. Setelah itu membereskan dosen inti. Bagaimanapun aku dibayar dua setengah juta untuk itu, salah satunya. Apa lagi sih yang lain? Buku Pedoman. Kurikulum masih harus dikonsultasikan pada Bang Andhika. Kerjaannya John Gunadi masih harus dicek. Hibah Riset, Bang Andhika dan Bang Kurnia belum masuk. Catur disiagakan untuk membuat kontrak, dan tentu saja rapat. Tidak susah. Hanya harus ditata lagi. Insya Allah.

Ya Allah, lapangkanlah dadaku, permudahlah urusanku, lancarkanlah lisanku, baguskanlah ucapanku. Amin.