Thursday, December 28, 2023

Timbul Terus Maju Jaya yang dari Dulu Didamba


Dengan entri ini, maka genaplah 2023 menjadi tahun tersegalanya dalam semesta kegondrongan ini. Ini kutandai dengan membuat folder baru bertajuk Majujaya 2024 yang bahkan dulu seingatku bilangannya tidak sebanyak itu. Ada juga sepuluh tahun lalu kemajuan dan kejayaan kudoakan karena kali pertama aku diangkat menjadi semacam manajer begitu, bisa diperiksa dalam entri-entri awal pada tahun itu (halah!). Entah bagaimana di titik ini aku seperti menyusuri Kalijodo, Kramat Tunggak dan sebagainya seakan-akan aku pernah ke sana. Betapatah aku.
Aku bahkan ditendang melambung jauh ke persambungan antara Yado I dan III di sekitar tembok spiderman, atau paralelnya yang menyambungkan Haji Sajim dan Kweni ke arah barat sana. Jendela penuh bertempel stiker, salah satunya bertuliskan RAPI yang merupakan singkatan dari Radio Antar Penduduk Indonesia. Ketika itu aku bahkan belum lagi tinggal di situ, masih baru berkunjung ke rumah kakek-nenekku. Apakah sepulang membeli cenil, gethuk, lupis, grontol dan kawan-kawannya, setelah 20 tahun kemudian berubah jadi tahu daging.

Seperti ini bentuk pikiran, ingatan, tidak runtut menurut aturan waktu atau sebab-akibat tetapi berkebat-kebit. Seperti membonceng Cantik mengelilingi boulevard Grand Depok City, ke arah sebaliknya diterjang badai; atau aku yang menerjang badai. Badai tetap di situ saja dengan titik-titik air yang besar jatuh nyaris mendatar dihembus kuatnya angin, menghantam wajah tak bervisor sampai sakit. Meski berponcho tetap saja basah kuyup sampai ke dalam-dalam, kecuali celana fromage yang relatif tetap kering, kecuali bagian pantatnya. Rincian ini teramat penting bagiku.

Rumah yang gelap tanpa satu lampu pun menyala di malam hari ketika semua penghuninya tidur adalah rumah yang hemat energi, hemat biaya. Nasi goreng menjadi spesial sekadar ditambahi telur ceplok seharga enam ribu rupiah, sedangkan Barbra menyenandung betapa ia tidak akan bertahan sehari pun tanpaku. Betapa dua orang lelaki perempuan dapat saling mencinta seperti itu, seperti aku dan Cantik. Jika ia sampai terpaksa kerembetan kecoak atau apapun, itu kesalahanku sendiri, dengan ketololan-ketololan yang masih saja kuulangi sampai detik ini. Setolol itu.

Ternyata Cantik tidak suka jika Barbra tidak bisa bertahan sehari pun tanpaku. Ia menghardik Barbra, menyuruhnya mencari lagunya sendiri untuk dinyanyikan. Tidak usah menyanyi-nyanyikan lagu orang. Kukatakan padanya, dulu semua orang begitu, banyak orang menyanyikan lagu yang sama dengan tafsir dan pembawaan masing-masing. Memang begitulah kenangan, termasuk cara kita dulu, semua tanpa Barbra mengubah bengkok hidungnya sesenti pun. Memang begitu seharusnya. Kekurangan itulah yang menjadi ciri khas, sebab cintanya belahan jiwa. 

Mulai sekarang, kau hanya seseorang yang pernah kucintai. Astaga, sedih sekali sampai mengaduk-aduk perasaanku entah sejak kapan. Ingatanku selalu set furnitur yang kalau tidak salah dibeli di Galur, dan cat yang cenderung terakota atau pernah kuning lembut. Suara irama indah mengalun memenuhi ruangan yang depannya diteduhi oleh pohon palem berbuah gatal dan dadap di luar pagar. Menyapu halaman depan yang tidak seberapa itu saja seingatku dulu cukup merepotkan, apalagi ketika setelah pindah ke Radio Dalam, yakni, ketika Barong masih belum datang.

Aku seekor anak domba yang tersesat di hutan, namun aku selalu yakin akan baik-baik saja selama ada gembalaku, karena ia akan menemukanku dan menyatukanku kembali dengan indukku sayang. Di titik ini, aku berada di ruang flex memandangi garis langit Amsterdam yang kelabu. Udara seperti biasa dingin, namun sejuk saja dalam ruangan ini. Bahkan sangat bisa jadi aku menyanding secangkir besar teh beraroma, roti bawang, croissant keju, atau semacamnya. Terpenting, sup instan berbagai rasa yang sering kutinggal di mejaku, kunikmati kapan kumau. Begitulah.

Wednesday, December 27, 2023

Kembalikan Belah Rotan Waigeoku Padaku, 1983


Dari 40 tahun yang lalu! Maka malam ini agak lain. Aku mengetiki dulu, baru kemudian dipasangi gambar, atau tepatnya, ditempeli perangko. Bahkan, mungkin, malam ini pun aku tidak perlu peduli rata kanan kiri, ya, gara-gara ditempeli perangko itu. Sebelum memulai ini, sempat terpikir untuk memulai entri dengan tuduhan-tuduhan kepada siomay atau boncabe level 30. Namun ternyata belah rotan waigeo lebih memukauku. Betapatah tidak, dari 40 tahun yang lalu. Aku masih kelas 2 SD, berangkat sekolah sekitar jam sembilan pagi kurang. Mungkin adikku sudah pulang, karena kelas 1, 2, dan 3 memang bergantian saja memakai kelas...

Paginya indah, siangnya indah, sorenya indah, malamnya pun indah asalkan Bapak tidak dinas malam. Apalah susahnya hidup bagi anak umur 7 tahun, kecuali jika harus tidur sendiri di kamar belakang. Sedangkan di antara kamar bapak-ibu dan kamarku dan adikku ada hiasan-hiasan dari porselin bergambar kepala orang Afrika. Lelakinya coklat agak miring berahang kukuh agak menyamping, sedangkan perempuannya hitam berwajah oval menghadap penuh ke depan. Lama-lama dipandangi seram juga, akhirnya aku tidak tahan dan mengetuk-ngetuk, setengah menggedor, pintu kamar Ibu, sedang adikku sudah dari tadi tidur di situ...

Uah, akhirnya aku bersama lagi dengan belah rotan waigeoku, seperti ketika Maestria Iopilatula melaungkan ratapannya agar Balinya kembali padanya. Kantor pos di pojokan gedung olahraga (GOR) itu, yang tidak pernah memberiku kebanggaan apalagi kemasyhuran... dalam berolahraga. Namun aku pernah membuat satu GOR membentur-benturkan kepala mengikuti gebukan drumku, menghitamkan satu GOR bersama Biodeath. Demikian pula ketika kugulung pipa-pipa lengan dan celanaku, menghitung-mundur ke kepunahan dan aku lebih membencimu.

Memang tidak semua ide dapat diwujudkan, maka biarkan saja. Sebungkus Indomie Jumbo biru diberi berkuah menjadi lauk makan malam, masih ditambah beberapa lembar pisang goreng bertabur kental manis, gula semut, dan parutan keju. Jangan heran bila asam lambang naik ke kerongkongan, sampai terasa mengganjal di tekak. Tidak ada yang mengherankan dari ini semua. Mungkin karena kebiasaanku congok dari muda. Aku masih ingat di pavilyun bicara mengenai masa depan bersama Bapak sedang isi dan asam lambungku rasa seperti mau melompat keluar.

Perry Kingkong, selain menjadi Cody Allen, ternyata juga menjadi Toby Temple. Ah, tidak sesuai dengan bayangan. Memang trio Joe Penny anak Depok, Perry Kingkong, dan Thom Byar sungguh legendaris sampai diabadikan di lembaran bergambar (lembergar). Aku berjalan di sekitaran Rembrandtplein, tapi makanku tidak makanan mahal yang banyak dijual di situ. Makananku tetap kapsalon karena hari sudah malam. Aku tidak pernah ingat makan kibbeling di malam hari. Selalunya ketika hari masih terang. Terlebih udang surimi dan kerang, rasa-rasa nan lekat terkenang.

Bahkan roti lapisku kini terkenang-kenang, tiga kerat roti gandum kasar, selembar filet kalkun, selembar keju muda, beberapa oles salad kentang, saus kari, masukkan pemanas gelombang mikro sebentar, siapkan sup instan, bisa sup ayam atau tomat Cina, atau apapun. Selalunya memang ada yang harus diurus, yang merepotkan, yang jika tidak bisa membahayakan. Selalu seperti itu. Ditunda-tunda, ketika waktu sudah nyaris habis atau bahkan jauh terlewat, segala kesulitan menerpa seperti sejuta topan badai. Aku suka kemudahan. Aku enggan repot dan pusing.

Bahkan bakmie goreng di sebelah kanan jalan ke arah persimpangan Bendungan Jago selalu terkenang-kenang. Bahkan gudeg murahan yang tahunya sudah cuwil pun, entah mengapa begitu kenanganku. Otot-ototku tidak dempal seperti Galeng yang petani, atau Kala Cuwil yang prajurit. Bahkan bentukku semakin seperti semar bolong di depan pecel Mbak Ira. Seenaknya saja ia menyompret di telingaku, dilanjut menghembus-hembus, sedang piano tidak berhenti ber-kethuwal-kethuwil. Malam telah kelewatan tengah-tengahnya, seperti biasa, tiada makna kata yang terucap.

Tuesday, December 26, 2023

Sebentar Lagi Jatuh Cinta, Sedikit Saja Menjijikkan


"Hanya masalahnya, asaptaga, semua ini khayal belaka," gumamnya lirih tak terdengar oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Betapatah aku akan berkarya, mengungkap dan menyatakan kebenaran, jika di hadapanku gudang penuh bergelantungan celana dalam dan pembalut wanita berkali pakai. Oh, anakku wanita yang tidak sayang padaku. Semua cintaku serasa sia-sia mengenang betapa cantiknya ia membelai-belai hati, perasaan, dan khayalku sejak muda remaja. Di atas loteng dapur panggung itu, sedang rawa menguar metana dan amonia. Bahkan air mandi pula hijau berbau.
Seorang tukang daging yang berpikir bisnis akan menjalankan dirinya sendiri sedang ia akan sibuk berpuisi, sedang puisinya tidak bergaya miskin selera, sedang kelaminnya kecil enggan tegak. Benar-benar kurang ajar si tukang ngibul kelas dunia ini. Apalah bedanya dengan Ria atau Rani yang sungguh aku lupa bagaimana ceritanya, hanya ingat betapa ia menyemburkan makanan kecoak. Tidakkah baunya kemana-mana ketika itu, sama bodohnya seperti mencoba menghapus bau asap rokok dengan berkumur pasta gigi. Semua ketololan itu, siapa sudi kembali ke situ, 'Lol.

Suasana ini tak kutemukan padanannya. Sejuk-nyamannya udara pagi yang sudah sangat larut menjelang siang. Aku butuh udara setidaknya sebebas ini, semenghirup ini, meski saat ini botakan hutan tidak menguarkan hawa-hawa pelarian lautan. Ini mungkin lebih baik daripada dupa yang jelas-jelas menghasilkan asap jelaga. Ini uap yang mungkin tidak terlalu merugikan kesehatan asal tidak dihirup langsung, sedang kusanding sejebung besar teh jawa manis jambu. Sungguh aku berharap seandainya ini kopi meski secangkir kecil saja... Untuk apa lagi ada cinta.

Sungguh aku tertantang seperti kentang ketantang dan berbagai resep lainnya untuk merayakan ulang tahun Femina yang entah keberapa; termasuk kue kaget 'nyemprot, suzie cola, entah apa lagi. Betapa anehnya hidup tanpa Bapak, betapa anehnya hidup tanpa John Gunadi. Semua orang mencari mainan baru sambil menyesali ketololan mengapa gaya-gayaan, ketika Pak Adijaya saja meninggalkan dunia fana tanpa pernah doktor. Bapaknya Madison berpulang pada Penciptanya setelah profesor penuh. Aku malah mengetiki seakan waktu takkan pernah ada akhirnya.

Cara-cara lama sudah tidak akan berhasil, aku tahu. Satu yang belum pernah benar-benar kualami, mengerjakan segala sesuatu karena ingin, tidak karena harus. Selama ini aku hanya mengerjakan keharusan, jika tidak kukerjakan maka hal-hal buruk akan menimpa. Mengapa tidak jika kukerjakan maka berbagai kesenangan akan susul-menyusul menerpa. Mengapa tidak begitu saja. Dunia modern ini, bisa jadi setelah tiga, lima, atau bahkan tujuh abad terakhir ini, sudah pasti antikristus itu sendiri. Orang selalu butuh sedikit sihir, sekelumit saja keajaiban dalam hidupnya.

Oh, Donat yang tidak pernah benar-benar kusuka dalam hidupku, kecuali sedikit krim Boston. Aku lupa adakah pernah kubeli donat kampung bertabur gula halus yang dijual dalam kotak kaca dipanggul di bahu. Jikapun pernah kurasa tidak jauh-jauh dari kolam renang. Aku cukup senang pernah mengalaminya, namun mengulangi jelas tidak mau. Apa coba yang kudapat dan kulakukan sepulang dari kolam renang. Dari mana aku dapat uang jika tidak diberi Ibu. Kini uangku begitu saja masuk rekening bank meski aku bekerja lumayan banting lemak setiap harinya.  

Dorongan terkuat yang kurasakan di paragraf terakhir entri ini adalah berbaring-baring sambil membaca bualan tukang kibul kelas dunia. Jangan-jangan dulu kulakukan di kos Qodir entah siapa di ujung Gang Kober itu, yang benar-benar sudah dekat sekali dengan kober. Adakah tiap hari aku kesitu, sedang rumahku ada meski kontrakan, mungkin belum dibayar. Atau tidak. Ini adalah waktu kumbang-kumbang di taman dan malam-malam bersama Mas Oho dan Mbak Feni, Mbak Eksi, entah siapa lagi. Siang aku membaca-baca, malam berbual-bual, tidur entah di mana. 

Monday, December 25, 2023

Melodi Kecil Keran Marun. Harpsikord-ku Sembalo


Adakah aku berada di mana membuka suatu entri dengan cara begini. Apakah entri selalu mengenai kenangan masa muda, sedang kenangan itu terus saja bermain di depan mata. Kenangan akan markas militer yang suasananya tidak ramah meski hujan mengguyur padang rumput hijau dikelilingi pepohonan. Bagaimana dengan tempat kerjaku sendiri yang merupakan lembaga pendidikan dihajar teriknya matahari tiada ampun, sedang mug vakum aluminium berisi seduhan jahe wangi sido muncul dua saset sekaligus, masih dengan sekantung teh benderanya wangi sekali eee.
Aku seorang bapak. Seorang bapak macam apa bukan urusanku, melainkan urusan semua orang lain kecuali aku. Apakah aku bapak pucung atau lalat kuda atau kunyuk sekalipun, aku tidak bisa protes. Aku hanya harus menerima saja. Sementara seorang bapak sungguhan yang jauh lebih langsing dariku dan tampak lebih sehat sedang membeli roti pisang dua potong diikuti anak-anak perempuannya, aku di sini berteman lalat kuda, di meja yang bergoyang-goyang menjengkelkan ini. Terbang, hinggap, terbang lagi, hinggap lagi, sambil menjilat-jilat permukaan meja.

Kini seorang bapak yang setidaknya setambun aku atau bahkan lebih lagi duduk di hadapanku menghadap ke timur seperti candi-candi jaman Medang. Dari depan tadi ia tampak seperti Agus bapaknya Theo dan Mikail, namun dari samping sini justru seperti khayalan Muhammad Yamin mengenai Gajah Mada. Astaga, bukan hanya lalat kuda, melainkan lalat hijau dan lalat biasa sekaligus beterbangan di sekitarku. Meski berada di keteduhan bahkan berpendingin udara, panas dari luar tak ayal menerobos dari pintu utama yang terbuka lebar. Entah sedang apa aku ini.

Lebih entah lagi, madu telah bersamaku tak tahu sejak kapan, meski mungkin mulai sangat akrab di Cimone. Seingatku, ia bersama dengan Julie dan Laura tidak kuajak ke Magelang. Maduku di Magelang justru bersama dengan kasihku yang pergi kerja naik bis sambil mendoakanku. Ah, waktu-waktu itu tentu ia belum kerja karena aku pun masih sekolah. Namun madu, kasihku, dan tatapan cinta mewarnai hari-hari remaja tanggung, bahkan di antara G17 dan G19, di malam yang sejuk itu. Ah, malam-malam memang selalu sejuk ketika itu, meski berkeringat apelku.

Sungguh aku gagal mengingat sampulnya. Apakah ia di sebalikmu, sinar mentari hidupku, sungguh aku lupa. Hanya kuingat dua putri Leia samar-samar itu. Bahkan harmoni tiada bersampul, hanya ada tulisan tangan ibuku. Aku juga ingat suatu sore bermendung, aku kembali ke kelas berteman keindahan-keindahan ini sampai ruang kelas gelap karena sudah hampir maghrib. Kelakuan seperti ini masih mungkin di Magelang, tidak sebagai calon prajurit, sampai kopral taruna di Surabaya. Ketika itu lain lagi, mencipta lagu tanpa alat musik, hanya membayangkan nadanya.

Akankah tiba masanya lompatan-lompatan kuantum ini tak bermakna. Dalam tahun-tahun yang telah berlalu ada saja rumpang, terkadang demikian panjang, di sana-sini. Jadi bukan kehilangan makna secara permanen, namun memang tergantung waktunya. Jelasnya, inilah temanku satu-satunya kepada siapa aku bisa berbagi apapun yang berkebat-kebit. Ah, ya, begitu aku sampai Phoenix tidak selesai karena pitanya habis. Hahaha, walau mungkin setelah-setelahnya memang tidak berapa cantik. Jaraknya pun lumayan jauh, 1973 ke 1968. Begitulah ianya.

Ketika entri ini kutayangkan sudah hari natal 2023. Astaga, tidakkah natal seharusnya 1982 dan tahun barunya 1983 atau semacam itu. Wajar saja jika udara terik membakar atau pengap merebus. Pantas saja jika Masjid Jami Nurul Islam demikian megahnya, meski seperti dahulu masih sempit dan aneh bangunannya karena dipaksakan menghadap kiblat. Apa yang kulakukan dulu sampai beberapa kali shalat di situ siang-siang hari, ketika matahari belum semarah ini dan badanku belum selemah ini. Suara keheningan yang tak pernah kudengar karena memang tak pernah sampai.

Sunday, December 10, 2023

Terkadang Rasanya Aku Seperti Berteriak Beraknya


Minggu bermendung, berudara lembab, pengap sudah kulalui entah berapa kali dalam hidupku, meninggalkan Minggu-minggu yang terik membakar, memanggang jiwa sampai kering-kerontang. Ada hari-hari seperti ini di rumah petakan di pinggir kebun coklat, ketika seperti sekarang ini, aku berkeringat bertelanjang dada, hanya bercelena pendek tanpa celana dalam, mengepul-ngepulkan asap djarum coklat atau sampoerna king, atau sekadar losta masta. Mungkin, seperti sekarang ini juga, aku menyanding secangkir kopi, mungkin hitam pahit tubruk begitu.
Begitu pula ini bisa jadi sekadar kegabutan Minggu, berjalan dari daerah Malberg sampai Centrum, mungkin tidak mampir Markt tapi langsung ke Zwanenstraat. Aku menyebut tempat-tempat seakan-akan orang-orang gedean yang pernah tinggal di berbagai negara. Padahal ke Zwanen mungkin aku sekadar minta makan, atau ditemani ngobrol oleh Budi. Bahkan setelah pindah ke Sint Antoniuslaan udara sudah hangat, musim semi sudah hampir habis, begitu juga dengan beasiswaku. Aku telah menghabiskan begitu banyak uang dalam hidupku. Seekor anjing kencing.

Demikian juga, rasa sakit ini bukan tidak pernah kurasakan. Aku ingat betapa sakit tangan kiriku ketika berjalan dari Statensingel ke arah Centrum, begitu pula bertebaran dalam blog ini catatan mengenai myalgia. Lebih baik kusugesti diriku sendiri, bahwa suatu hari kita 'kan bersama dan berbagi cinta ini selamanya. Itulah yang kurasakan jika memandangi Cantik dan apapun yang dilakukannya, apakah itu makan bubur ayam Cianjur dengan patkwa padi banyak-banyak, atau minta susu mbok Darmi sekalipun. Justru alpukat dan permen karet jadinya, masing-masingnya.

Lantas ke mana aku kembali jika kehidupan barat kesepian begini. Minggu bermendung begini memang cocok tapi apa sekelilingku, apakah usahaku untuk menangkap siaran Delta FM 99.5 the best oldies station in town masih dengan Aiwa. Mengapa badanku bau saos sari sedap begini. Mengapa kuganti saluran dakwah politik menjadi kotbahnya Evelyn Nadeak bersama bapa John Hartman. Lebih baik aku kembali lagi ke lantai dua Laathofpad enam di akhir-akhir musim dingin, sebelum Sam mencuci dengan air panas di siang hari bolong, ya, kawanku Sam yang itu.

Bisakah gangguan jiwa tetapi tidak marah-marah, tetapi sekadar mandi, tetapi tidak memerlukan air malah mengeluarkan air, ya, itu mandi cudong-cudong bukan cibang-cibung. Suasana senyaman ini dicemari oleh Stuart and Denise, pelaksana halus ini, suasana musik populer kota di sepanjang jalan pesisir California ke arah utara sampai ke pangkalan rongsok Jones. Minggu bermendung seperti ini pula ketika kali pertama berkenalan dengan tebing menyala di Rancho Valverde. Entah berapa judul album cerita ternama pernah kukoleksi, mengapa selalu ingat Robur.

Kau membuatku tersenyum lagi setiap saat dan setiap waktu, Cantik. Terutama karena kenakalan-kenakalanmu yang seakan tak ada habisnya, karena memang kecil sekali, mengertinya belum banyak. Entah mengapa aku tiba-tiba di lantai empat Gedung D atau di tempat lain di kampus pada Minggu yang sepi bermendung, atau semacam libur hari raya begitu, atau entahlah. Seperti ketika Nokia 2100 sering menerima pesan singkat bertuliskan "loe sekarang ada di mana", yang sering kutambahi "enak lo sekarang ada di mana" dari waktu-waktu ketika John Gunadi masih hidup.

Setelah cukup lama, hampir sebulan, akhirnya ada entri baru. Tidak ada yang perlu disayangkan, yang ada adalah yang perlu disayangi, disirami dengan cinta. Seperti ketika menyusuri Borobudur Raya di Cibodasari, Tangerang sana, tiada sesuatu apa dalam hati kecuali keinginan untuk membahagiakan bapak ibuku. Suatu tekad yang sangat bulat dan kuat untuk melakukannya, meski harus merantau ke Magelang. Jika memang dibutuhkan oleh perjuanganku, dengan sendirinya akan datang dia yang menyiramiku dengan cinta yang kudamba. Itu keyakinanku sampai kini.

Saturday, November 11, 2023

Aku Menelepon Sekadar 'Tuk Katakan Cinta Padamu


Sudah lama bahkan mengetiki saja aku malas, apalagi menyentuh benda itu. Aku bahkan tidak tahu lagi untuk apa sebenarnya aku bersamamu. Jika sedang apa maka aku bersamamu, terlebih ketika tidak ada minuman hangat bersamaku sedang udara lebih dari sekadar sejuk. Apa aku harus pergi ke warung kopinya Rapin dan membeli entah sekadar apa. Mungkin harus kulakukan mengendap-endap, karena meski kuliah 2 sks pun seharusnya sekarang belum selesai. Ah, kucoba saja, sekarang juga. Sudah. Aku memang sedang malas menulis, padahal aku sangat ingin menulis. 
Adegan pertempuran antara Bukbis a.k.a Pratalamaryam vs. Anoman (Armando Yonas)
Cintaku memang selalu pada dan untuk Cantik, tidak bisa lain, meski aku baru saja minum coklat yang tidak hangat apalagi panas. Kukorek-korek lubang-lubang hidungku sambil melamun membayangkan kemarin-kemarin, ketika bis kuning digantikan oleh kontainer hijau dan anak-anak perempuan atau lelaki tidak henti-hentinya berfoto di pelataran. Jika aku mau pulang sekarang juga sebenarnya bisa saja, namun aku sudah berjanji untuk mengisi kelas hukum administrasi negara sore nanti. Aku mengetiki seakan mengetuk-ngetuk tuts-tuts piano dengan penuh perasaan padamu.

Sepagian ini aku sudah mengasup cairan hampir satu setengah liter masih kurang satu gelas ukuran sedang. Kini bahkan sudah pagi lagi dan baru sekitar 600-an ml air sejuk kuminum. Aku masih menyanding sekitar 400-an ml air hangat di ruangan Mas Santo yang mubazir besarnya ini sambil ditemani Penelope. Ada padaku kekhawatiran, namun tepatnya beberapa sekaligus, dan itu sungguh tidak baik. Rapin ditemani anak istrinya berjalan pagi di sekeliling kampus, dan Penelope pagi ini terdengar lebih modern dan ramai. Tidak seperti biasanya, lamat-lamat.

Memang mengenang ditemani Paul Mauriat lebih sedap daripada versi manapun, kemajuan teknologi digital dan multimedia yang bagaimanapun. Maka pemutar musik, setidaknya bagiku, akan terus relevan. Sudah November di sini. Belahan bumi utara tentu sudah mulai terasa dingin. Bahkan di kampungnya Xiaodong sudah minus satu. Kurasa cinta dapat membuat orang menahankan apapun, dan aku bahkan tidak berada dalam keadaan sanggup berfilsafat atau sekadar berpikir sekalipun. Stasiun kerjaku ini memang tidak tepat posisinya, di tengah keramaian.

Aku sebenarnya sekadar ingin menikmati teh halua, malah berusaha menyelesaikan entri yang entah sudah kumulai sejak kapan. Ini bukan waktu-waktu untuk dicatat. Ini waktu-waktu sekadar untuk ditahankan. Teh halua panas ini sudah pasti akan memeras keringatku. Apakah aku harus melepaskan kaus dalam angsaku ini, kurasa tepat itu yang akan kulakukan. Makan siang roti lapis tuna mayones dengan banyak sayur-sayuran seharga EUR 2,38 membuatku bertekad untuk tidak sering-sering melakukannya, lebih baik mie ayam hijau jamur, lebih baik lagi capcay.

Haruskah kukatakan betapa sulitnya menyelesaikan entri yang satu ini. Beginilah jika kau tidak sedang benar-benar ingin mengetiki, sekadar tidak tahu lagi harus bagaimana. Dalam keadaan seperti ini aku bahkan terpasung, tak terlempar-lempar dalam lompatan-lompatan kuantum. Bisa jadi aku pulang pesiar sekitar waktu ashar sambil menenteng kantung kresek penuh berisi belanjaan, biasanya mie instan dan susu kedelai bubuk. Lantas bagaimana kuhabiskan waktu sampai menjelang sore dan harus mandi dan bersiap-siap makan malam lalu belajar malam di perpus.

Aku pasti tidak sendirian ketika itu. Banyak yang sepertiku fokus pada masa depan. Tidak ada waktu untuk cinta-cintaan. Inilah yang kudapati pada masa depanku, dan aku merasa lebih baik daripada ketika itu. Aku kini ada yang mencintai, meski selimut peony itu selalu setia menemani. Kehangatan yang pernah diberikannya padaku, pada kami semua tak mudah terlupakan. Kami bertukar bau, sampai peonu berbauku namun aku tak berbau peony. Adakah ketika itu kasurku tidak berselimut, yang jelas udara Magelang selalu dingin ketika itu, terlebih ketika malam hari.

Friday, November 03, 2023

Varikokel. Varises di Kantong Menyan Budak Kuasa


Tolol! Tidak di sini seharusnya kau menulis. Aku ingin menulis berbagai-bagai buku, risalah-risalah yang merupakan hasil pemikiran mendalam, yang filsafati. Gara-gara si tolol ini versi asli Harvey Malaiholo jadi sulit ditemukan. Orang seperti apa ini, yang sudah jadi jenderal masih merasa juga penyanyi, pelukis atau apalah. Mungkin aku pun harus sudah mulai melupakan kecenderungan artistikku dan menyibukkan diri dengan mengejar pangkat, jabatan, dan sebutan. Pikiran ini semakin membuatku ingin meminum sesuatu yang panas, kental, namun tentu bukan semen.
Mau jadi apa dunia ini jika yang jadi dekan terus-terusan orang biasa, orang normal macam Arie Afriansyah atau Choky Ramadhan. Bu Ismu jelas salah telah mengangkat-angkat model Jati Setiawan, Rudi Saladin, Wicahyo Ratomo. Hahaha menyebut nama-nama begini, biarlah mereka tertumbuk pada comberan ketika menelusur nama-nama mereka. Masih ingat rasanya ingin jadi rembulan, namun kembali ke masa-masa itu, tidak ingin lagi. Aku sudah dekat dengan dunia sejuta rembulan, sejuta bintang-gemintang. Untuk apa lagi  jadi rembulan. Aku hanya harus menunggu.

Ini pun aku tidak ingin, kembali ke masa Gita Gutawa memekik melengking-lengking. Segala kesehatan dan kebugaran, entah berapa banyak uang kupunya. Kurasa pada saat itu jangankan mobile banking, rekening bank saja aku tak punya. Bagaimana dan dari mana aku dapat uang ketika itu, adakah kuterima agak satu setengah juta rupiah dari Bang Andhika. Bagaimana caranya itu bisa cukup untuk berbagai kebutuhan, ketika itu aku sudah sering naik taksi. Awal 2008 itu seingatku aku tidak ada pekerjaan. Astaga, waktu itu awal tigapuluhan umurku. Betapa tolol. 

Tidak. Aku tidak merindukannya. Untuk apa makan sahur bersama dengan bapak ibu dan adik-adikku. Namun aku ingat waktu itu pavilyun betapa lapangnya, dengan kasur lipat biru tempatku berbaring menenangkan diri setelah digigit khusus. Akankah kuhapus begitu saja semua kenangan itu dari benakku, ketika aku berseru "Eh!" sambil menuding ke sembarang arah sebelum berjalan-jalan sore-sore, yang  mengejutkan Gundo, Reza, dan Herman; entah sungguhan atau pura-pura. Teringat olehku petualangan kami dari Long Bawan ke Macronesia.  

Kini pun aku bersama lagi dengan Syukur Tulus Ikhlas Sianipar dengan janjinya kepada Elvis: "It's a matter of time". Betapa lucu mengingat bagaimana lelaki remaja mencoba saling berteman di antara mereka. Aku tidak pernah merasa bersalah jika mengatakan aku tidak ada lagi urusan dengan satupun dari mereka. Jikapun aku sampai jadi kepala sekolah, itu semata khayalan belaka karena sampai detik ini pun aku malah main-main mengetik begini; sedang jelas syarat untuknya tidak juga kukerjakan. Entah mengapa teringat sabun mandi dan cuci, mesin cuci tabung dua itu.

Jika pun kini udara sejuk melingkungiku, ruangan remang karena lampu menyala hanya di depan pintu, aku pun masih bukan siapa-siapa. Masih seperti ketika Harvey merasa resah di pertengahan delapan puluhan itu. Akankah kebatan berkebit hati beberapa orang menentukan nasib berjuta-juta orang selebihnya. Benarkah demikian ketentuanNya, membuatku semakin menginginkan minuman hangat semacam kopi susu atau coklat susu. Apakah memang saat-saat seperti ini kantuk menyerang seperti ketika terkena pengar jet, gayanya seakan sering bepergian ke luar negeri.

Maka kembalilah aku ke dalam ruang kerja dokter Harmin yang ketika itu masih berpangkat mayor. Ia pernah menjadi dokter bedah di batalyon marinir entah yang mana. Mungkin ia pun pernah diberangkatkan ke Timor Timur. Mungkin juga ia pernah berusaha menyelamatkan nyawa beberapa orang marinir yang badannya tercabik-cabik peluru atau pecahan granat, mortir, atau ranjau. Namun ketika itu, ia menaruh kaset Chrisye di kantornya yang berperangkat stereo itu, yang ada komputernya sehingga bisa kugunakan mengetik-ngetik entah apa. Aku penulis risalah.

Sunday, October 29, 2023

Apa Bekakak Harus Pakai Sembelihan Ayam Kampus


Gambar di bawah ini menjengkelkan. Apa harus diganti ya. Tapi sungguh aku malas melakukannya, jadi biarkan saja. Aku juga sudah tidak ingat mengapa aku memasangnya. Ya, memang aku sendiri yang memasangnya, dan ruang santai malam ini sungguh nyaman, jika saja sekelilingku tidak seramai ini. Tapi Suhu Yo sedang berulang-tahun yang ke-41. Alangkah sedihnya ia jika tidak ada yang menghadiri. Keinginan lemah untuk membeli pendingin udara dikalahkan oleh perasaan senang yang kuat karena tagihan listrik kami sangat sedikit, jadi biarlah begini apa adanya.
Merasa senang di manapun, kapanpun. Merasa senang ketika kezaliman merajalela, meski kezaliman bertahta. Aku baru sadar bangku rotan di setentangku sudah hilang. Memang sejak selesai shalat tadi, bahkan bangku plastik jingga yang kududuki lenyap. Terlebih penting, colokan listrik di belakangku sekarang sudah dicolok oleh penjual sandal di punggungku. Aku merasa seperti Frank Carpenter yang menginap di Hotel Des Indes sambil memandangi kesibukan kanal Molenvliet di pagi hari, kesibukan yang berbeda dari Nieuw Achtergracht dipandangi dari de Brug.

Mengetiki hanya caraku untuk berteman dengan tiada sesiapa kecuali diriku sendiri, yakni, suatu kehidupan yang mengerikan seandainya saja tidak ada cantik. Karena semua saja sekadar saripati tanah yang terburai memancar ke segela penjuru, ditangkapi saluran telur dan rahim yang menerima dengan suka-cita atau terpaksa. Aku menggelesot di tanah kering berdebu, tahu persis bahwa baju dan celanaku akan kotor. Bahkan jika aku telanjang bulat sekalipun, masih ada keinginan untuk membersihkan badan meski tidak mudah; meski di pom bensin terdekat.

Engkau yang terus saja mengasup zat gizi nutraisi berupa cairan food tanpa pernah pakai kondom, karena kondom belum tentu aman maka jangan jajan. Tidak jajan pun yang kauhasilkan hanya manusia kecil menjerit-jerit karena keinginannya tidak kesampaian, atau bayi merah yang sudah dikerudungi kepalanya hanya karena berkelamin perempuan. Apa jadinya jika ia tidak berbedak setebal itu, sedang anak perempuan jaman sekarang lebih paham nada warna kulit daripada nada suara yang harus digunakan ketika berbicara dengan orangtuanya sendiri. Dunia fana.

Adegan dua pembantu rumah tangga bergumul, bergelut mesra dan hangat, bertelanjang bulat dengan dua raden mas, sebagaimana diulangi di sebuah hotel di Tokyo bersama dua ekor kucing anggora dan siam, sedang istri-istri mereka setia menunggu di rumah, menunggu dibelikan kimono biru tua bergambar bangau putih, menemaniku ke manapun kupergi. Dinginnya Maastricht, dinginnya Amsterdam, seakan aku orang hebat pelanglang buana. Kujalani hidupku sedapatku, sebisa-bisanya, karena aku tak pernah tahu keinginanku. Kacamataku tidak setebal Hatta.

Infantri lintas udara adalah jatidiriku terakhir bersama Dedy dan John Gunadi ketika kami sering berjalan kaki dari sekitaran kampus menuju ke Margo City atau Depok Town Square hampir duapuluh tahun lalu. Ketika itu kami bukan siapa-siapa. Tidak ada gadis-gadis manis yang menundukkan kepala sambil tersenyum manis menyapa kami. Semua berlalu tak peduli, kami tiga prajurit infantri lintas udara atau marinir penyerbu sekali tidak apa, sekadar gara-gara menonton sekumpulan saudara dan seruan pertempuran. Kami bukan sesiapa, orang tolol saja.

Tak pernah kusangka begini jadinya, dari dulu mahasiswa sampai tua bangka, ternyata begini-begini saja, tiada yang berbeda. Buah-buah dada terus bertumbuhan, bergelantungan. Aku bertambah tua, perutku tambah tumpah-ruah menjadi olok-olok semua. Misai jenggotku memutih, badanku semakin sering terasa tidak segar dan tidak sebertenaga dulu. Namun segala sesuatunya tetap seperti ini, dari jaman Raffles bahkan Daendels. Seorang penghibur baru sembilan belas tahun memanggil tua bangka yang pantas jadi kakeknya dengan sebutan "mas." Dunia tua-renta.

Wednesday, October 04, 2023

Jangan Menumis Jika Sedang Sedih Berkepanjangan


Malam telah melewati tengah-tengahnya, namun aku masih tidak rela tidur seperti entah berapa malam dalam hidupku seperti ini. Ternyata sudah ada tempatnya maka segera saja aku mengetiki. Adakah terbersit kerinduan akan tulisan tangan, akan qalam kesayangan, buku tulis yang cantik bentuknya meski daur ulang dari beberapa buku tulis yang tidak habis terpakai, kemudian dijilid sampul keras. Aduhai semua itu sudah dari dasawarsa lalu bahkan lebih. Kini, ini yang kupunya, buku harian daring. Bisa kuketiki dengan Lenovo Aio 520 atau HP Cb 11, sama sajalah.
Jenggot, kumis, dan mungkin rambut kepala juga, meski di samping-samping dan belakang saja, hanya enam milimeter, menghiasi kepala bulat yang makin membulat karena pipi-pipi melembung. Aku jadi ingat musim panas 2018, menyusuri Molukkenstraat sampai hampir di ujungnya, menuju pangkas rambut Ramadhan hanya untuk digundul, sampai diberi diskon. Tentu saja terik matahari kala itu tiada seberapa dibanding yang kurasakan sekarang. Itu saja aku takut-takut, setakut kedinginan ketika pertama menjejakkan kaki di jalan itu. Di Javastraat ada lahmacun Saray.

Aku mundur lebih jauh lagi, hampir sepuluh tahun ketika aku bertahan satu cinta. Dengan gagah perkakas kupacu VarioSty ke mana-mana, tiada pernah ada keluhan ketika itu. Mungkin karena umurnya belum sampai lima tahun. Lima tahunnya adalah ketika aku mengepalai ICT Komintern, tidak sampai sepuluh tahunnya sudah menjadi milik Bu Nunung. Pada ketika itulah kira-kira aku naik ojek ke Pasaraya Manggarai, sambung Metro Mini S.62, sambung Miniarta M.04, sambung ojek sampai rumah. Betapa isengnya, saking takutnya naik kereta. Aku rasa baru 2019 berani.

Salahkah aku jika merindukan tembok tinggi berlubang, entah mengapa begitu desainnya, yang melaluinya dapat kupandangi sebarisan bambu di tepi Cikumpa sebelah Gema Pesona sana. Pada saat itulah bangun sebelum terang sekadar untuk berdiri di atas bordes, entah berdengung entah tidak, yang tidak mungkin kulakukan lagi saat ini. Aku belum memeriksanya. Mungkin masih bisa, tetapi untuk apa. Sekarang ini sudah akhir zaman, ingatlah nasihat Ustadz Adi Hidayat. Apakah kini waktunya kembali dipasangi pendingin udara dengan penghalang hembusan angin.

Kemarau, sayangnya, sedang melanda wajah desaku, hingga semakin pucat-pasi, tiada berseri. Entah mengapa, bukan sekadar hilang selera, aku bisa jengkel sekali melihat cuping telinga yang besar dan tebal, yang konon disukai orang Cina karena bawa hoki. Itu sekadar keanehanku saja, yang entah mengapa membawaku ke siang-siang di Cimone Beta Raya, di depan kedai nasi Ibu Toto, dan bibir yang selalu terlihat basah. Apakah ketika itu sudah ada pelembab atau pengilat bibir. Aku saja malas pakai selama musim dingin di Belanda. Aku hanya pernah ke Belanda, Belgia, Jerman.

Lantas aku terlempar ke malam-malam menunggu diterima tidaknya di SMA Taruna Nusantara. Aku pernah berak-berak, mungkin mencret, mungkin sampai kena celana, yang jelas sampai basah celana seragam SMP-ku. Kupakai berjalan kaki sepanjang dari rumah Rooseno Adi di daerah Cipete sampai rumahku di Radio Dalam. Apakah saat itu atau lainnya aku bertemu Sylvia teman SD-ku, berseragam SMP juga, di sekitar Pasar Blok A. Apakah ketika itu pula di kepalaku bersenandung cinta akan mengarahkanmu kembali, bisa jadi, meski tentu aku tiada seberapa yakin. 

Kini aku tergulung-gulung berhembalang ke kemarau di kos Babe Tafran. Mungkin Intan dan teman-temannya sedang main di depan kamarku. Mengapa aku tidak ke mana-mana. Sakitkah aku. Ternyata aku tidak punya kenang-kenangan mengenai siang hari di kos Annisa kecuali ketika sakit demam beberapa hari, yang sampai memaksaku membeli parasetamol. Meski sakit, makan bubur snar guitar tanpa topping apapun kecuali korned goreng terasa nikmatnya. Begitu juga malam-malam masuk UI hanya 'tuk ke Alfamart beli nasi instan Garudafood rasa ayam bawang.

Tuesday, October 03, 2023

Aku Rindu Pada Sejatinya Sahabat Tak Berkelamin


Apa peduliku, jika sebaris yang seharusnya mengawali sebuah entri justru menjadi judulnya. Masa musik jez alus begini rupa membawaku ke malam-malam di Plempungan atau lain-lain pedalaman pedesaan Magelang, atau bahkan Legok Angris Bojong Nangka beberapa tahun sebelumnya. Ini kan juga bisa kehangatan 25 D8 sedang di luarnya dingin menggigit, mungkin berangin. Ada helikopter mengapung di udara di dekatnya, yang kukira alat berat. Memang berat memutar bilah sayap berputar, terlebih jika lebih dari dua, terlebih beberapa meter panjangnya. 
Aku sudah mengantuk dan tidak seberapa segar, namun kupaksa juga mengetik karena rindu padamu yang sebenarnya diriku sendiri. Aku memang tidak pernah benar-benar punya teman kecuali diriku sendiri, yang mengantarku ke kamar yang kupakai berdua dengan adikku. Tempat tidur susun itu selalu, aku di atas. Dari tempatku dapat terlihat meja makan  yang sangat jarang sekali dipakai makan. Kami lebih sering bertebaran di ruang duduk depan atau depan tivi. Ada anjing menggonggong, lalu melolong di pojokan depan tanah kosong, rumah kosong itu, hanya untuk dua tahun lamanya. Aku belum tersengat saat itu.

Sengatan itu, yang selalu menyambar bahkan di usia tuaku. Seperti ketika menaiki tangga ke kantin atas, selembar itu atau beberapa utas menyengat. Orang mungkin melihatku menunduk atau memandang dengan tatapan kosong dan sendu, namun mataku nyalang ke mana-mana. Aku yang menyusuri jalan radio empat jika berangkat, entah mengapa aku menyukai jalan itu. Tak pernah pula aku mencuri pandang. Pandang untuk ditatapkan, dihunjamkan sampai terasa itu menohok. Jika tidak pernah pergi maka biarkan saja di sudut itu aku, dia bukan siapapun.

Sebanyak apapun dikeremus, digelegak takkan menghilangkan lapar dahaga karena memang tidak pernah. Bukan itu benar tetapi kisah rekaan mengenai seekor tikus, penuh sandi begini, penuh tipu-daya. Ah, ternyata memang ada dan asalnya dari situ. Si tolol yang tidak pernah tahu apa yang diinginkannya dan terlalu malas mengusahakan apapun. Kebohongan dan khayalan saja yang dihasilkannya, tak satupun pernah nyata. Tidak juga karena memang tidak pernah ada yang istimewa bagi hidup yang selalu sepi, yang tiada arti, tak pernah lepas dari penderitaan.

Tak satupun, astaga, tak satupun, meski memang tidak akan pernah ada yang satu itu. Aku kembali ke kos Babe Faishal demi dekatnya jarak antar kedua mata dan kecil-kecilnya anggota gerak. Habislah sudah masa apapun yang tidak bisa lagi diberi nama. Aku tak pernah terlalu menyesal tidak pernah benar-benar jago bermain bola ketika Brondby sudah kubawa entah berapa kali menjuarai Eropa sampai bosan. Entah mengapa dari tadi dorongan untuk merentangkan tangan atau menunjuk langit selalu tanah-tanah kosong di sisi timur Margonda sampai ke tepi Ciliwung.

Pagi-pagi di kampus Universitas Indonesia Depok selalu belum atau kurang tidur semalamnya, jikapun ada yang menyandarkan kepala pada bahuku. Sudah barang tentu rokok agak sebatang dua, meski sepertinya merokok tidak enak jika kurang tidur. Terlebih sarapan mi goreng dobel goreng bakso dilanjut lari-lari naik turun tangga curam bisa membuat kehabisan nafas. Di titik ini hanya ada Jenny yang bentuknya mengerikan dengan rambut keritingnya yang dibiarkan panjang. Aku ingat itu 2001 dan udara panas bahkan di malam-malamnya, maka 2002 banjir besar.  

Biarlah dipukuli xilofon begini dari kecil yang seringkali manisnya. Biarlah begini saja maka kurentangkan tangan lebar-lebar, kutengadahkan kepala menantang langit seakan lelah pada hidup dunia. Jika pun kemudian membuat gerakan-gerakan seperti akan berubah menjadi ultraman, aku tidak ambil pusing jika ternyata berubah menjadi apapun, kuda nil sekalipun. Jika memang bukan bagianku, aku tak akan minta. Terbersit dalam pikiran pun akan segera kutindas dan kugiling di bawah tumit. Aku seperti seorang medik yang membawa senapan runduk, tentu tak pernah.

Monday, October 02, 2023

Mengapa Bentuk Bejana Seperti Pelir Berbuah Dua


Aku tidak suka gambarnya, terlepas dari bejana yang isinya dituangkan ke dalam mangkuk itu. Ini juga tidak perlu menjadi entri yang terikat waktu. Ini justru harus menjadi entri yang universal, menjangkau jauh ke dalam ngarai prasejarah dan buramnya masa depan. Jika aku duduk dengan perut terasa mendesak tak nyaman, itu bisa terjadi kapan saja selama 20 tahunan ini. Begitu pula berita kematian bapak mertua Mas Gitosh karena penyakit lambung bisa datang dan dicatat kapan saja. Tidak masalah. Ruang kerja bersama ini yang dapat terlalu spesifik untuk dideskripsikan.
Dengan perut terasa penuh mengganjal begini, dengan punggung terasa hangat terpanggang matahari sore meski berada dalam ruang berpendingin udara, tidak bisa lain terpaksa menyumpal telinga dengan derap-berdentamnya tambur bass berganda milik Lars Ulrich. Entah mengapa kantuk melanda alam desaku, padahal banyak yang harus kukerjakan, termasuk dan terutama perencanaan acara Pusat Kajian Hukum dan Pancasila untuk Dies Natalis ke-99 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang ternyata belum beranjak banyak. Kantuk terus menderaku menyambar-nyambar bagai gegap-gempitanya petir halilintar.

Memperbanyak apapun yang mengakibatkan mabuk sampai hilang akal hilang kesadaran, memperbanyak makan daging seperti binatang buas, memperbanyak lauk-pauk ketika makan, memperbanyak bahkan sekadar makanan pokok, memperbanyak mengumbar nafsu syahwat justru akan menjauhkan dari keilahian. Sebaliknya, mengurangi sesanggupnya justru akan mendekatkan. Daripada kusut memikirkan bagaimana mengumbar semua itu bisa menjadi digdaya mandraguna, lebih baik menghayati beranda di lantai atas dengan pemandangan mushala kecil mungil cantik.

Seteguk dua cappuccino encer kuharap tiada menyiksaku lebih jauh setelah perutku masih menggelembung mengganjal begini. Idealnya, sebelum hari ini berakhir aku sudah berjaya menghasilkan suatu racauan mengenai hayati dan amalkan Pancasila, kembalikan kedaulatan kepada rakyat, kaji-ulang UUD 1945. Namanya meracau tentu tiada terlalu banyak daya-upaya, namun aku masih punya kewajiban yang katanya sedikit tetapi nyatanya tidak mungkin dikerjakan sambil-lalu. Satu ini mengapa banyak memukau orang, padahal kataku tak lebih istimewa dari lainnya. 

Justru lebih bertenaga jerami terpendek ini. Aku jadi ingin menyimak penyebab kematiannya obituari, tapi tidaklah. Kekerasan ini, keberisikan ini biarlah menemani, seperti seorang teman yang tidak peduli keberadaanku, tidak pula membutuhkanku. Seandainya tiada hiruk-pikuk ini, desau bergumam banyak mulut berbicara bersamaan, mungkin dapat lebih kunikmati simfoni disharmonis ini, yang menciptakan keindahan tersendiri dari masa mudaku. Seandainya saja ini mengilhamiku untuk lebih giat berolahraga. Mungkinkah kulakukan sekarang. Sangat mungkin.

Pada titik ini aku dibawa kembali ke comberan besar di depan Kees Broekmanstraat dengan jembatan di masing-masing ujungnya. Jika aku sedang malas memutar jauh, maka dua jembatan di atas comberan itulah, bersama dengan Kees Broekman dan Ijburglaan menjadi lintasan dzikirku. Bisa ayat-ayat Qur'an dengan alat bantu, bisa dengan mulut dan hatiku sendiri kuulang-ulang. Apa aku akan menyalahkan hawa, cuaca, dan iklim seraya membandingkannya dengan 5 tahun lalu. Memang beda, bukan. Jadi, menyalahkan atau tidak, memang menyebabkan segala perbedaan.

Hari sudah mendekati akhirnya menurut sudut pandang Arab (dan Islam?) atau baru sampai pada tengah-tengahnya menurut orang Jawa (dan Hindu dan Yunani?). Aku masih belum juga beranjak mengerjakan apa yang harus kukerjakan. Sekitar satu jam lagi mungkin aku akan kembali ke mushala mungil nan minimalis itu, mengingatkan diriku sendiri akan sejati dirinya. Memang aku hanya penyederhanaan, daripada repot seperti Rastafari tiap-tiap kali menyebut Aku dan aku, meski jujurnya begitu. aku budak, dan Aku suka jika budakNya mengAkuiNya.

Sunday, October 01, 2023

Sudah Ada Gambar Duyung Pirang, Dugong Biru


Meski yang kusanding ini tidak ada tehnya, entah apa pula yang disebutnya susu, namun jahenya berganda-ganda, termasuk berbagai rempah serbat. Citra ini, meski dari waktu-waktu yang lebih lama lagi, bagiku tidak lebih dari jet penumpang berbadan sempit yang membawaku dari Jakarta ke Surabaya, dilanjut taksi ke Lamongan. Begitu saja aku memesan kamar di Hotel Kabila, tepat di sebelah Masjid Jami' Nur Salim, dan langsung jatuh sakit. Ketika itu bulan puasa. Alhamdulillah aku tak sampai membatalkan puasa, berbuka dan bersahur dengan nasi boranan.
Berapa lama aku di Lamongan, aku tak ingat. Berapa banyak uang yang kuterima dari Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Perikanan dan bagaimana caranya, apakah tunai atau ditransfer, itu pun lupa. Ramadhan 1432 itu, atau sepanjang Agustus 2011 itu, kuhabiskan setengahnya di India setengahnya di Lamongan, itu saja yang kuingat. Sekitar tiga bulan kemudian, bapaknya Soni meninggal karena stroke, setelah membawakan lagu-lagu Koes Plus untuk kali pertama di atas panggung. Belum sempat ia menyanyikan Dewi Impian, tatapan sudah kosong, lidah pun sudah kelu.

Cukuplah kisah sedih di hari minggunya, kini kita berbicara mengenai Nyai Ontohood. Namun baru saja menuliskannya aku sudah kehilangan gairah. Entah mengapa sudah berhari-hari ini aku tiada bergairah, yang mana adalah sesuatu yang baik. Di pojok kanan bawah gambar di atas itulah dapat ditemukan kepala dugong biru. Memang kalau lebih dekat lagi dengan duyung pirangnya akan terlihat tidak realistis. Kurasa jarang sekali, jika bukan baru kali ini, aku mendeskripsikan gambar. Tiba-tiba hidung mengingat aroma citarasa khas Super Bihun buatan Kuala Pangan.

Sedang kepalaku mengenang Minak Djinggo buatan Nojorono, Kudus, aku tidak punya kenangan apa-apa mengenai Kudus. Kenanganku dengan Minak Djinggo selalu di tebing bantaran Ciliwung, setolol-tololnya dengan mesin tik portabel berwarna hijau. Tidak banyak yang kuingat mengenai apa yang biasa kumakan saat itu, apakah memasak sendiri atau beli. Buku-buku yang tidak banyak, hanya satu rak kecil. Di situ jugalah kurasa aku menamatkan Quo Vadis oleh Henryk Sienkiewicz dan banyak bacaan lainnya, sedang naskah Opera Primadona kutamatkan di Gang Pancoran.

Aku tidak sedih meski tak lagi bisa asal-asalan sarapan Hokben atau McD, yang uangnya boleh didapat dari mengemis. Tak apalah, seperti pagi ini, sarapan dengan nasi hampir basi gara-gara ketololanku sendiri, menyimpan nasi di kontainer bekas menyimpan nasi yang umurnya lebih lama. Dalam keadaan seperti ini aku jadi sering berkhayal-khayal mengenai masak-masakan. Seperti semalam aku membayangkan sayur lodeh lengkap berlauk balado aneka isian. Semua orang baru bahkan melontarkanku ke Gang Pepaya: Panas dinginnya terkenang permainya.

Apa tidak boleh di sepanjang peron ada kios-kios orang berjualan. Apa tidak bisa dibuatkan pintu masuk khusus pemilik, penyewa, pengelola kios-kios itu. Apa lebih baik peron lengang terasa mubazir seperti sekarang. Buku-buku tua itu, ketika mataku belum rabun dekat, sungguh merupakan salah satu hiburan utama. National Geographic edisi tua ternyata juga menyenangkan Achmad Sulfikar, entah berapa banyak yang habis terbakar. Makanan memang tidak ada yang terlalu terkenang, bahkan tidak pula siomaynya; kecuali mungkin nasi uduk jauh ke selatan.

Ke situlah aku pulang setelah petualanganku ke India dan Lamongan. Adalah kurasa duduk sebentar di meja kerja abangnya Sopuyan yang sungguh makan tempat itu, merenungi bahan-bahan yang kudapat mengenai rencana minapolitan kabupaten Lamongan, yang bahkan tidak pernah kukerjakan sampai sekarang. Aku memang terlalu banyak gaya. Kukira aku ini siapa, cendekiawan, akademisi, peneliti, keturunan raja-raja Jawa. Aku ini badut belaka, gendut, botak. Aku tak berharga, tiada arti. Kusirami diri sendiri dengan peluhku yang berderai bagai tawa gadis.

Saturday, September 30, 2023

Kutahu Ini Bunyi-bunyian Belanda. Dari Dulukah


Ketika jatuh sampai di bawah 30 itulah, bukan derajat melainkan persen, aku berhenti. Aku bahkan tidak berani mengakui di sini apa yang kuhentikan. Rasanya malu jika sampai ketahuan, dan jika begitu maka banyak betul kemaluanku. Haruskah aku tak peduli pada kambingku yang membandot, yang ingin membuat animasi dewasa, yakni yang berdarah-darah kental. Haruskah aku memompakan realisme sosial padanya sedang aku sendiri tidak begitu percaya. Maka kambing minta segera ke rumah ayahnya, meski masih belum pulang dari les bahasa Arab. Aku maklum...
Anak-anakku adalah anak-anaknya Janus, Azurat, dan 'Wak Karib, maka aku kembali ke 14 tahun yang lalu ketika aku merindukannya, ketika dedaunan musim gugur mulai berguguran. Aku suka di sini, tidak sampai kepanasan, namun jelas tidak kedinginan, karena keringat bahkan masih mengalir sepanjang batang leherku. Bisa jadi aku tidak akan pernah menjadi apa-apa kecuali diriku yang sekarang ini. Bisa jadi hanya ini yang kutinggalkan, tiap-tiap kali tujuh alinea ini. Orang-orang yang lalu-lalang ini, yang lebih banyak dari biasanya, bisa jadi selalu dan semakin banyak.

Hati-hati Amerika dan peluang-peluang memang berada dalam permainan panjang yang sama, tetapi urutannya tidak begitu; seharusnya disusul dengan menjaga cinta tetap hidup. Namun itu jauh lebih baik daripada tersesat dalam cinta, dalam bilik gelap entah yang mana. Kurasa Pram dan Bung Karno sama-sama filoginis. Aku jelas tidak, semata karena pujian dan kekagumanku mahal. Tidakkah kisah-kisah kepahlawanan itu melelahkan. Tidakkah kisah mengenai keseharian penuh kesederhanaan lebih mendukung produksi melatonin. Cuih, adrenalin tak pernah kusuka. 

Terang bulan, terang di kali, terang saja udara panas begini; sedang Cikumpa sudah tidak ada bunyinya sama sekali. Sungguh aku tidak menganggapnya sepele. Aku serius sekali mengenai hal ini, meski selalu kuragukan ketulusan minta ampunku. Kurasa jauh lebih tulus siapapun yang mengais rejeki di bawah perkasanya matahari, yang keperkasaannya bertahan bahkan sepanjang malam kecuali hanya beberapa saat. Selama ini aku selalu hati-hati memilih perkelahianku, seperti Ned Begay; menahan diri meski diseret dilempar keluar warung minum bilagáana.

Sudah setahun ini kemaluanku besar sekali karena terpaksa mengemis ke sana ke mari. Kini hanya satu harapku: Ini semua segera berakhir. Aku hanya suka di pojokan ruang kerja bersama ini, meski sebetulnya sebuah tempat makan. Itu bukan, jika memang mahal gaya hidupku, aku pasti sudah di ruang kerja bersama sungguhan yang mahal-mahal itu. Aku tidak. Di sini modalku hanya 20 sampai 50 ribu ditambah parkir sekitar lima ribu lagi. Jauh lebih kusukai daripada warung-warung kopi kemahalan. Di depanku masih ada risoles ragout ayam dan es teh hijau.

Lantas kerjaku apa, menjaga suasana hati tetap kondusif, menjaga kewarasan. Aku ini apa. Kolaborasi riset internasional. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Aku saja yang mengolok-olok segala sesuatu. Aku yang selalu murung dan bersedih sedangkan seluruh dunia diliputi keceriaan dan kebahagiaan. Jangan lupa bahagia adalah suatu ketololan yang nyata, sedangkan yang benar adalah jangan lupa bersyukur. Memang salahku mengarahkan pandang selalu kepada segala sesuatu yang membuat murung dan sedih, namun bukan berarti iaitu tidak ada, bodoh.

Hidup mengajariku, yang tampak bodoh olehku justru seringnya ceria berbahagia. Jadi tidak perlu khawatir jika kambing ingin membuat animasi dewasa berdarah-darah kental. Apa aku akan dimintai pertanggung-jawaban kelak di akhirat jika sampai begitu. Aku hanya harus memastikan cara hidupku, gaya hidupku, jalan hidupku sesuai dengan tuntunan Allah dan rasulNya. Syukur-syukur, anak-anakku mengikuti. Mereka sudah terlalu besar ketika ikut denganku. Tidak banyak pula yang dapat dilakukan. Ya, entri ini hampir koheren meski tetap saja esai puitis.

Monday, September 25, 2023

Ini Macan Botak Menari, Menyanyi Menyayat Tahiti


Harus segera kutulis di sini, sebelum suasana hati berubah, bahwa aku menyusuri jalan profesor Johan H. Bavinck, setelah sebelumnya keluar dari pintu rumah Hadi ke arah kanan, ke pintu belakang, melintasi parkiran. Dari situ sampai bunderan, lanjut ke jalan Eleanor Roosevelt sampai di Albert Heijn Westerlijk Halfrond, membeli teh Lipton peningkat kekebalan tubuh dan madu termurah. Betul aku melewatkan musim panas terdahuluku di Belanda di sekitaran itu, namun tidak sepanas ini. Aku tidak ingat berkeringat sampai basah-kuyup begini di sana, tiga tahun lalu.
Dari waktu ketika Parul belum jadi dekan, masih dengan laptop raksasanya, setidaknya 17 inci. Edan apa, masih ditambah pelantang aktif beserta gonggongan bawahnya sekaligus. Meski seharusnya waktu itu ada Fujitsu, mungkin bukan itu yang kupakai untuk menunggang video-video musik dari mbak Deborah Gibson, dari 26 tahun lalu. Aku tidak suka, seperti halnya mas Toni, kriminal yang di udara, kataku sambil menuding langit dan menyeringai seakan kejijikan: Padahal terlihat kurang waras. Astaga, mana terbayang ketika itu hidupku akan begini rupa: Sekeren ini.

Aku tidak mau ke mama-mama, apalagi ke mana-mana. Terlebih ketika nasi goreng lengkap dengan bakso, sosis, potongan ayam goreng besar-besar, masih ditambah telur dadar, masih dengan sambal tomat segar, tidak berubah rasanya setelah lebih dari 30 tahun. Anak-anak tolol yang dulu memakannya sekarang sudah jadi bapak-bapak botak gendut yang tidak kalah tololnya. Masih teringat olehku bergelas-gelas es teh manis berjajar di atas rak, siap menemani sepiring nasi goreng lengkap atau polos. Ketika itu aku hampir selalu tauge goreng atau laksa plus gorengan.

Baru kusadari, pukulan cak dan cuknya, terlebih cellonya, tiada asyik, jika saja tidak ditutup oleh ensembel biola yang lumayan cantiknya, seperti sang penyanyi Kartina Dahari, yang mirip istriku. Aku berjalan dari plaza sentral menuju plaza semanggi, naik taksi menuju rumah Radio Dalam, meninggalkan kamar kosku terkunci. Adakah kubawa bersamaku Fujitsu, aku lupa. Jelasnya, kamarku rapi, mungkin sedikit harum. Kamarku selalu rapi, meski mungkin terkadang ada bau-bau kurang sedap. Kakusku tidak pernah yang terbersih, namun bukan jarang pula kusikat, kuberi kamper.

Di paruh kedua dekade 2000-an membuka warung kelontong kecil yang pada awal dekade 2010-an berubah menjadi tempat menjual berbagai pernak-pernik wisuda. Anak-anak ini tidak pernah berhenti mengecil dan terus bertambah kecil, tapi lagaknya memang tidak pernah kurang sedikit pun. Gaya-gayaan mewawancara adik-adiknya, aku tidak yakin anak-anak ini belajar dengan baik di ruang kelas atau di rumah. Apa lantas kupercayakan masa depan hukum Indonesia pada anak-anak kecil ini. Nyatanya, abad ini adalah milik mereka, Aku sendiri lahir di Abad ke-20.

Persembahan untuk paduka yang anggun serta ceria ini ternyata hanya keluar dari sebelah pelantang, aku tidak pernah benar-benar menyadarinya sampai sekarang. Hanya ke depan, tiada menoleh ke belakang. Tiada jalan kembali, semua menuju ke muka. Aduhai, ini mengerikan. Apa begini akibatnya jika dicopot tanpa dilepas terlebih dulu. Besar pula kapasitasnya, sayang sekali. Mungkin itulah sebabnya alat ini tidak dilengkapi dengan penyimpanan dalam yang besar. Entahlah. Biar suatu hari nanti kubaca alinea ini, pun aku sendiri tak paham maksudnya.

Aku yakin tidak akan banyak berbeda sensasinya, karena itu hanya ada dalam khayalan dan persepsi belaka. Jika terbentang itu sealami-alaminya tentu menguarkan bebauan hutan belantara, yakni, dedaunan membusuk yang khas harum wanginya. Belum lagi desahan dan jeritan mahluk-mahluk hutan ketika pagi baru saja menjelang. Menetes tak henti-hentinya embun bening dari ujung biji-bijian, mengalir menderas membasahi dahaga tak kunjung terpuaskan. Entah mengapa, lebat-lebatnya menawan hati, mencengkeramnya sampai tertanam dalam daging, mengalir darah.

Thursday, September 21, 2023

Malam yang Dingin Aku Menyendiri. Dingin-dingin


Dengan nostalgia ini aku terhenyak, kepalaku meneleng ke kanan belakang tanpa kusadari. Aku langsung mengetik meski belum ada pemegang tempat, belum dirata kanan-kiri, belum diberi gambar. Namun judul sudah, dan begitu itu judulnya. Aku tidak betul-betul sendiri, maka kukata menyendiri. Seperti biasa, pada posisi ini, maka dapat kurasakan sejuknya udara malam, istriku berbaring-baring sambil main henfon di ranjang. Uah, tiba-tiba saja aku terlempar ke suatu senja kala nada yang prospeknya sangat tidak cerah. Malam ini aku tidur berteman halelepah!
Ini, jika kau peduli, adalah almarhum Tjahjo Kumolo Nimbo Kalihewu
Apakah melodi-melodi ini yang biasa menemani pemandangan indah dari negeri-negeri yang jauh atau ruangan-ruangan cantik, sedang bapak tidak lama lagi akan terbangun dari tidur siangnya. Aku tak sanggup, karena hidup memang terus melaju ke depan. Adakah harapan akan terwujudnya dambaan-dambaan, maka biarlah kubiarkan rambut tipis seadanya digerai di depan clavicula, yang merupakan karpet merah menuju buah dada, menurut ibu Fowler. Mengapa berpayah-payah, cukup ingat Yahudi Italia yang mati demi anaknya sampai dapat tank sungguhan; setidaknya naik.

Uah, akhirnya berakhir juga dua bar yang diulang-ulang entah berapa puluh kali, dilanjutkan dengan melodi yang tak terantai. Jika dimainkan seperti ini, suasana apa yang dibawanya. Meski botak tambun menjijikkan begini, aku masih laki-laki, meski rayapku mati. Apa yang kulakukan semata-mata untuk diriku sendiri, meski yang kuinginkan sekadar rasa nyaman. Tak lagi kutemukan kesenangan dalam hati berdebar-debar. Apakah karena memang aku terlahir pengecut dengan perut yang lemah mudah bergolak. Apa nyaliku sebesar biji sawi, apa pentingnya semua ini.

Guratan, tarikan artistik, estetik, semata keindahan yang tercerap panca indera, ketika leher jenjang dipertontonkan oleh tutup kepala ibu-ibu pengajian. Untunglah melodi sedap ini membawaku pulang ke masa kecilku, ketika semur tahu dan sop kacang merah adalah surga firdausku. Terpisah jauh sekali sambil memejamkan mata mencoba membuat semuanya masuk akal, segala sesuatu yang terjadi dalam rentang lima windu. Justru kemasukan akal, seperti dorongan naluriah untuk melebarkan paha; kemasukan ular kasur sebesar lemper. Terasa asing aku.

Ternyata tidak, memang sudah lama saja tidak bersua. Aku menari-nari berputar-putar di bawah guyuran kelopak bunga jingga muda. Wajahku tengadah tanpa tuntutan apapun, gugatan apapun. Bahkan jika terhidang di depan hidungku pempek dengan sedikit sekali tepung tapioka, sedangkan hampir seluruhnya dari daging ikan tengiri bahkan belida, dengan kuah manis-manis legit dan cuka yang tidak mengiris dinding lambung, aku memulainya dengan mengendap-endap, untuk kemudian lari cepat-cepat. Memang seingatku di sini ada dua ini yang model begini. 

Kegurihan adalah kata benda, bukan kata sifat yang artinya terlalu gurih dengan konotasi negatif. Aku kembali memejamkan mata untuk menghadirkan tiada sesiapa, mulai berlari, awalnya berjingkat-jingkat, akhirnya lintang pukang. Justru di waktu-waktu seperti ini engkau harus melaluinya dengan berlalu tanpa bertalu-talu. Segala kelezatan itu hanya tipuan khayalmu, seperti fatamorgana bernama Elvira Madigan yang mengajak mati seorang perwira kavaleri, bangsawan pula. Gurih-gurihnya hanya tetes-tetes air comberan penuh sisa-sisa nasi, mie, serta biji cabai. 

Kuangkat telunjukku tinggi-tinggi, tidak kurahkan ke depan seperti sedang meruqyah. Aku tidak peduli lagi apakah ketiakku terpampang jelas, apakah penuh berambut dengan bulir-bulir peluh di sela-selanya. Aku tidak peduli, sebagaimana tiada yang peduli apakah aku kesepian malam ini atau adakah yang kurindukan. Tak satupun rindu padaku, maka kukerutkan kening seakan berpikir keras, padahal mencoba mengirim pesan melalui telepati kepada siapapun yang sudi merindukanku dengan sedahsyatnya: Apa studi hukum adat memelopori studi ekonomi politik.

Sunday, September 17, 2023

Cerminan Alasan Asal-asalan: Keselesaan Semenjana


Adanya aku bisa menulisi lewat tengah malam begini, ada ikan sili alias belut api (mastacembelus erythrotaenia). Itu, di bawah itu, sudah mati karena berenang dalam minyak sawit panas. Sudah lama juga aku tidak mengetik di Lenovo AIO 520 ini, terlebih sambil bersenda-gurau di salju. Posisi meja tulis di sini menjadi sangat tidak enak gara-gara tetangga belakang mendirikan tembok tinggi sekali di hadapannya. Padahal dahulu, sambil mengetik di sini, aku dapat memandangi rumpun bambu mengering di tepi sungai seberang sana. Itu sudah delapan tahun lalu.
Lantas mau apa aku tengah malam begini, pandanganku tertumbuk pada gudang karena semua rumah kurasa perlu ada gudangnya. Apa mau meratapi nasibku tak beranak atau apa lagi. Kursi tetap kursi meski tidak ada yang duduk di atasnya, namun rumah bukan rumah kalau di dalamnya tiada yang memelukmu erat dan mengecupmu selamat malam. Aku menghangatkan badan di malam yang sudah hangat ini dengan secangkir teh tarik tanpa serbat jahe jintan hitam. Dikerok sisiknya hidup-hidup pasti lebih sakit daripada dikuliti, sungguh malang nasib ikan nila.

Entah bagaimana tadi ketika menyongklang VarioSua sedangkan udara malam berkesiuran di muka, aku terpana pandangan cinta. Ketika itu aku masih sangat remaja dan udara malam lebih dingin dari ini. Aku di antara Graha 17 dan 18. Waktu itu kurasa sudah ada isinya, tidak seperti setahun sebelumnya atau lebih ketika seekor katak pohon terbang melintas tepat di depan wajahku di Graha 13. Ingatan-ingatan ini tidak ada gunanya bagi kawan-kawan yang sama-sama mengalaminya. Ya, hanya ingatan-ingatan inilah kawan sejatiku, satu-satunya yang s'lalu setia menemani tiap waktu.

Aku bahkan tidak bisa mengingat dengan tepat seperti apa tahu bakso buatan bu Karim, mbak Anik, dan mbak Henny. Sudah barang tentu ada bakso lengkap dengan mie kuning dan bihunnya, juga sawi, tak lupa saus tomat yang sangat bersahaja, kecap manis, dan tentu saja sambal. Selain itu tentu saja mie instan yang bisa dipesan lima bungkus jadi tiga mangkok, yang membingungkan mbak Henny. Uah, masa-masa ketika hidup belum diharu-biru romansa. Surat selalu kepada dan dari ibu, mana kutahu jika hidup percintaanku, seperti hidupku, ternyata menyedihkan.

Entah mengapa di titik ini aku terhisap ke waktu ketika sepatu olahragaku kanan semua beda nomor pula. Entah bagaimana aku menyalahkannya untuk semua kekusutanku selanjutnya. Padahal, ketika aku masih memimpin suporter bersama mentor Oni dan mentor Samsul, sepatuku masih baik-baik saja. Apalagi ketika aku masih jadi atlet lempar cakram, aku rajin berlatih hampir setiap sore. Perubahan dari tenor drum menjadi bellyra juga sering kusalahkan sebagai biang keladi, maka kupilih flute bahkan piccolo; pikirku lebih berguna untuk bermusik selain drumband.

Selebihnya adalah besame mucho yang pukulan bass drumnya menggelikan, meski aku juga tidak suka versinya sekarang yang ikut-ikutan Akademi Militer. Aku ingat kawan-kawanku berebut alat. Aku yang rumput sepenuhnya di kelas tiga itu tentu lebih suka tidur-tiduran. Takwa tidak ikut karena dia tetap seorang polisi keamanan sekolah sampai lulus. Bagianku adalah memijat ibu jari Ari Prihantoro sang panatarama yang terkilir gara-gara memutar-mutar dan melempar-lempar stik. Aku tidak habis pikir betapa panatarama kedua bergabung dengan korps keuangan.

Maka kini, gara-gara aquamarina, aku kembali ke jalan Yado II bahkan ketika aku belum lahir, atau setidaknya masih kecil, ketika di puncak tiang listrik besi masih ada gelas-gelas kecil berwarna kehijauan. Lalu aku terlempar jauh sekitar dua puluhan tahun ke pantai panjang yang selalu membuatku sedih, karena ia membuat bapakku sedih. Mungkin aku harus mengeraskan hati, jika aku tidak pernah melakukannya sebelumnya, maka inilah waktunya. Jika sampai begitu, maka ini gara-gara bualan tolol di tepi parkiran motor McDonald's Kartini, Depok sambil minum es teh leci.

Wednesday, September 13, 2023

Mengenai Apa Ini Semua: Cintaku, Kesetiaanku


Entah sudah berapa banyak Allah mengaruniakan malam-malam seperti ini, yang nyaman dan menyamankan, sehat dan menyehatkan. Ada waktu-waktu untuk malam-malam tak berangin seperti ini, sedangkan udara hangat. Terlebih bila kau minum air hangat untuk membasuh madu bercampur mint dan rempah-rempah lainnya, keringat bercucuran dari belakang kepala, batang leher, dan dada. Jika sepanjang siang tadi angin bertiup lumayan kencang, itu juga seperti hari-hari yang telah lalu. Teriknya matahari kemarau memanggang udara dan jua tanah selebihnya.
Gebukan Dave ini gunanya untuk menindas. Dentaman Kris ini untuk melindas. Raungan parau Kurt untuk meluapkan rasa yang tidak pernah ada. Begitulah aku memandangi mesjid persaudaraan Islam dari arah utara, sedangkan pemuda berbaju-kerja hijau fluoresen menyapu pelataran pemberian bang Yos dan istrinya. Bau-bau seperti jiwa remaja ini seperti menarik-narik pergelangan kakiku, seperti belenggu budak, agar kembali ke masa remajaku yang sedang-sedang saja senangnya. Aku remaja yang terobsesi berbakti kepada orangtua, meringankan bebannya. 

Ini semua terhenti gara-gara kedatangan Togar Tanjung. Aku memang tidak pernah punya dan tahu prioritas, sedang Yusuf Islam meraungkan hubungannya dengan bapaknya dengan suara parau. Tidak bolehkah aku, ketika malam merayap mendekati tengah-tengahnya, menyelesaikan entri yang tiada pernah berarti. Seperti diriku ini, tiada arti, meski tidak akan kubiarkan begini sampai 'ku mati. Seperti menjelang petang tadi melihat anak-anak kecil berbicara mengenai kejahatan negara, september hitam, menolak lupa. Apa dayaku mencegah anak-anak ini berbuat sia-sia begini.

Maka aku kembali dari mana aku mulai, dengan gebukan, dentaman, dan raungan Dave, Kris, dan Kurt; dan kuganti kembali semuanya menjadi hitam, sehitam kepahitan yang menyumbat pikiran. Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya sedap, nikmat; yang tersisa hanya pahit, getir. Terkadang terasa sedikit manis ketika seorang anak kecil yang malang hidupnya membanggakan kacang kastanye yang tumbuh di halaman rumahnya yang sudah lama ditinggal kosong oleh kedua orangtuanya. Ia sendiri terpaksa ikut orang-orang asing yang menyayanginya. Syukurlah.

Memang harus seperti ini bunyinya berkembang-biak. Memang sudah pada tempatnya kauledakkan kepala celakamu itu, Kurt. Kau pasti tahu kau cerdas, namun siapa yang peduli pada kecerdasanmu yang buatan Sang Pencipta. Orang lebih peduli pada kecerdasan artifisial. Dalam keadaan seperti ini, terbit keinginan untuk mengarungi badan air yang besar ke tengah-tengahnya tanpa peduli kelelahan, tanpa takut tenggelam, tak mempedulikan apapun. Itu jauh lebih baik daripada merokok banyak-banyak, uah, terlebih menenggak alkohol berbotol-botol berkaleng-kaleng.

Bukan jarum super yang kurindukan melainkan sempurna raja yang merah tentunya. Tak pernah terpikir olehku saat itu ia akan dapat menyakitiku. Kupikir saat itu sakit hanya ada dalam hati dan perasaan saja. Sakit tidak mungkin terasa di badan, ketika lelah saja tidak pernah lama hampir. Aku tidak pernah menjadi atlit, hanya saja aku pernah muda. Sedap nikmatnya permen akar manis obat batuk, hitam-hitamnya dikulum-kulum tiada habisnya, apapun mereknya. Matang sempurna, jangan setengah mentah, dagingku dibakar api telanjang berpenghantar.

Tidak apa-apa. Memang hanya itu sikap yang tersisa ketika daging bahkan tidak tersentuh api, atau seringnya malah tidak mungkin disentuh bahkan dengan imajinasi dan ilusi terkuat sekalipun. Tidak apa-apa, sambil menyeringai tolol, seakan memandang matahari lubang hitam tepat pada tengah-tengahnya yang hitam seakan lubang tak berdasar namun di atas sana, di khayangan dewa-dewi dan bidadari. Kau kira aku lupa minum obat, padahal ini bukan puisi atau prosa liris. Ini seperti ketika roket doktor Zharkov masuki atmosfir planet mongo, tom bayi digebuk-gebuki.

Tuesday, September 12, 2023

Legendaris Tiga Bapak-bapak Berpelir Ta' Bersarung


Entah mengapa, lagumu selalu menghanyutkan perasaan jiwaku sampai di persekitaran juragan sinda pada awal Abad ke-20. Pada ketika itu, jangankan punya apa-apa, diriku pun aku tak punya. Hanya jalan pintas melalui apa yang sekarang menjadi pesantren al-Hikam II menuju rumah petakan yang kutekuri entah siang atau malam. Ada rasa takut menyelinap, namun mungkin itu sekadar peringatan untuk tidak membiarkan perut kekenyangan. Jika saja aku punya waktu, semua itu akan kumiliki. Semua apa dan mengapa harus dimiliki. Mana legendaris. 
Batang pelir bersarung, dipotong-potong melintang, ditumbuk halus dikeringkan.
Bapak pertama duduk menekuni pekerjaannya di tepi jalan raya yang ramai. Di atas kepalanya ada terpal yang disangga dan ditulangi oleh batang-batang bambu, sehingga ia teduh dari amarah matahari yang membakar. Ia duduk mengampar di atas selokan bertutup beton, mengenakan batik yang lumayan rapinya. Tiba-tiba aku terhenyak, bagaimana kalau ia terbiasa kerja kantoran. Di sekelilingnya berbagai sampah yang tertata rapi seakan peralatan kantor di atas sebuah meja tulis. Ia tampak sibuk menggaris-garis dan menulis-nulis, bak semenjana.

Bapak kedua memarahi anak perempuannya--yang kebetulan, seperti ibunya, sedap dipandang mata--karena menghisap uap beraroma. Anaknya ini, sebagaimana kedua orangtuanya, berbakat di bidang hiburan: menari, menyanyi, menjual barang dan jasa, digemari remaja tanggung dan bapak-bapak tak tahu diri, membangkitkan khayal yang tidak-tidak mengenai kehidupan suami-istri atau sekadar kesenangan birahi sesaat. Bapak ini, selain dipuji dan dipanggil haji, juga dicaci karena menyuruh anaknya untuk menyukai apa yang disukainya. Mana salahnya.

Bapak ketiga dan terakhir tidak neben tetapi untergeordnet terhadap diri-rendahnya sendiri. Tahi upilnya selalu menguarkan bau yang sesungguhnya tak sedap namun, justru itu, memabukkan dan membuat ketagihan. Ia mengurut-urut batang pelirnya yang telanjang, karena jika masih di balik celana maka itu namanya menggaruk-garuk; meski seringnya kena kantong menyan yang gatal selangkangan. Ia menghina pluralisme hukum dan terjun bebas membuta ke dalam neo receptio a contrario yang kemungkinan besar tidak didukung bukti empirik solid.

Jika bapak pertama sampai bertemu bapak kedua, mungkin tidak akan terjadi interaksi terlebih transaksi apapun. Bapak kedua kemungkinan akan berlalu saja di mobilnya yang lumayan bagus berpendingin udara tanpa pernah menyadari keberadaan bapak pertama. Bukan berarti bapak kedua jahat atau tidak punya empati sosial. Dalam legendaris ini, saya hanya tidak mau merepotkan beliau jika ternyata tidak berkenan. Bisa jadi juga, entah bagaimana caranya, empati sosial bapak kedua lebih besar dari saya. Bisa jadi ia seketika mengaruniakan perhatian pada bapak pertama.

Nyatanya, dua kali bapak ketiga berlalu di hadapan bapak pertama, tidak terjadi interaksi apalagi transaksi apapun. Memang sempat terlihat sekantung penuh kopi sasetan yang kelihatannya masih ada isinya. Mungkin ada orang baik yang ingin bapak pertama lebih semangat mengerjakan apapun yang tengah dikerjakannya, dengan memberinya beberapa bungkus kopi beserta gulanya sekaligus. Namun bapak ketiga tidak melihat sedikit pun ada termos atau dispenser air panas. Jadi bagaimana bapak pertama menyeduh kopinya tetap menjadi misteri kini.

Sementara itu, kemungkinan bapak kedua dan ketiga sama-sama tidak berminat untuk berinteraksi dan bertransaksi. Kehidupan mereka mungkin sangat jauh berbeda, bahkan bertolak-belakang. Yang ada, mengutip Bayu Vita, bapak ketiga iri pada bapak kedua yang dikaruniai anak-anak perempuan, yang mau mengecup pipinya, meski minta uang seratus ribu rupiah untuk setiap kecupan, totalnya dua ratus ribu rupiah dua kali kecupan. Namun sudah barang tentu itu bercanda. Bapak ketiga hanya berteman buku harian digitalnya yang tolol seperti dirinya. Itu saja.

Saturday, September 09, 2023

Jika Bukan Kamu Orangnya, Kutahu Kususu Kamu


Aku hanya mencoba mengingat-ingat, seperti apakah November 2002 itu; waktu ketika belum ada macan gondrong. Seharusnya sudah hujan, dan betul saja 'kan; hari pertama Ramadhan jatuh pada 6 November. Jadi kurang sebulan setelah rasanya mau mati, sudah masuk Ramadhan. Sebanyak itulah kurang lebih waktuku untuk mempersiapkan Ramadhan 1423 Hijriyah. Masya Allah, sudah lebih dari dua puluh tahun lalu. Pada 10 Oktobernya, seingatku, udara masih panas. Aku masih ingat, keesokan harinya, Jumat, melangkah perlahan ke Masjid al-Falah di terik matahari.
Aku tidak ingat rincian Ramadhanku pada 1423 Hijriyah itu, namun aku ingat lebarannya. Beramai-ramai ke rumahnya Siwo di Kukusan bersama mas Babas. Shalat Jumat di mesjid entah di mana bersama almarhum bapak. Entah bagaimana caranya, sampai di kampus, seingatku di dekat telepon umum yang sekarang ATM BNI itu aku mencoba merokok lagi. Seingatku Sampoerna Mild. Seingatku tidak habis satu batang sudah kubuang. Pulangnya pasti ke Radio Dalam lagi. Lucu sekali betapa orang bisa mengingat beberapa hal sedangkan hal-hal lain lupa. Ya begitu itulah.

Tidak perlu jauh-jauh ke empat puluh tahun lalu, dua puluh tahun lalu saja sudah sedemikian melangutkan. Terlebih jika kau menyadari tidak punya banyak teman kecuali buku harian digital ini, yang disimpannya entah di mana. Aku bahkan masih dapat merasakan ketika memulainya. Dingin-dinginnya LKHT bekas M-Web, kubikelnya Dedi, tempat mengetik di radar angkatan udara republik Indonesia. Aku tidak ingat udara panas membakar di 2006. Aku ingat betapa pertengahan 2005 udara panas membuat sakit. Naik angkot dari daerah Pasar Rebo, pulangnya aku sakit. 

Tak kuasa kuragakan, kusandi apapun. Hari ini melelahkan terutama secara mental. Hampir saja judul entri ini tiga serangkai teh leci, mangga, thai. Entah mengapa aku kembali di awal 1996 itu, dalam perjalanan menuju billy and moon. Aku menginap di sana, dan entah mengapa Sampoerna King menyeruak dalam ingatan. Apakah sekitar saat itu juga menginap di Jakarta empat. Belum lagi dua puluh tahun usiaku saat itu. Kurasa bocah-bocah cilik jaman sekarang tidak lebih bodoh dari diriku ketika itu. Kemayoran juga, entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu.

Maka mundurlah aku ke masa-masa ketika aku seumur Adjie sekarang. Siapa benar temanku pada saat itu. Aku pernah ke rumah Maulana di tanjung duren untuk memakan duren benar-benar satu panci dengan roti tawar satu loyang. Selalu itu saja ingatanku, selain pulang naik patas 24 di sore hari berhujan. Bahkan ketika berjuang menghabiskan duren di tanjung duren itu pun juga hujan. Lantas mengapa aku pernah dicakar-cakar maulana sampai luka-luka wajahku. Adakah karena aku menolak memberinya contekan lagi dan justru mengejeknya malas bahkan... bodoh.

Itulah juga waktunya ketika aku entah melempar entah menendang biji salak sampai terkena Dewi Puspita Rini pada dahinya. Ia marah padaku, tentu saja. Namun, entah bagaimana, rasanya kutahu marahnya pura-pura. Benar saja ketika kelas dua ia menyatakan cintanya padaku. Ini juga harus ditulis di sini. Aku menciptakan kata kerja baru dalam bahasa Inggris, yakni "vaque", bahkan kuberi -ing menjadi "vaqueing". Ini memang semacam "This is my book. I am buying this book is in Pasar Anyar". Mengapa aku tak bisa lupa yang seperti-seperti ini, kemaluan ini.

Juga ketika mentor Daymond Iwan dan mentor siapa aku lupa, pokoknya AAL 42, menangkapku sedang nyoro di gedungnya anak elektro atau suplai. Sebenarnya aku tidak suka ingatan yang tidak sempurna dan tidak akurat begini. Namun karena saking memalukannya kutulis juga. Aku memang suka mengingat-ingat kemaluan-kemaluanku. Rasanya seperti mengendus-endus kotoran kuku kaki, menghirupnya dalam-dalam, bahkan menggigit-gigit, mengunyah-ngunyahnya, bahkan menelannya. Sampai bapak-bapak di sampingku menjengit kejijkan melihatnya hahaha

Tuesday, September 05, 2023

Biduanita Biduran Diberi-beri Vidoran Victoria-ria


Aku sudah kenyang tolol gara-gara macanku kakao. Memulai hari dengan.. Uah masa begini terus memulai entri. Apa harus puja-puji bagi Liz Pisani. Apa harus kuceritakan pesan instan Laurens. Apa komentar Prof. Agus Sardjono bahwa bentukku sudah seperti Buddha tertawa. Aha, ini boleh dicatat: hidangan ulang tahunku adalah nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya untuk seratus orang! Paling patut dicatat, di antara tebaran lauk mengelilingi tumpengan itu, ada dendeng sapi manis. Lantas ada juga tape ketan hitam. Untuk ini semua aku dibangunkan si Sopiwan.
Apa benar yang mendorongku menulis entri. Jika deskripsi mendetil Liz Pisani, seharusnya aku malah memulai menulis buku. Namun kau tahu 'kan, menulis buku itu tidak pernah semudah yang Nobita kira. Jadi Nobita tidak usah ikut-ikut menulis buku, ya. Ini jauh lebih lucu daripada rindu itu berat, biar aku saja. Aku memang begitu. Mainan yang dipajang di toko-toko memang banyak yang menarik hati. Namun aku lebih suka mainan yang kubuat sendiri. Seperti sekarang ini, mungkin ada bacaan hebat selain buatan Liz Pisani, tapi aku ingin membuat bacaanku sendiri. 

Tadi, ketika aku memarkir VarioSua, hampir saja entri ini berjudul ruang kerja bersama, atau setidaknya ada itu dalam entrinya. Kurasa sekarang memang ada, karena ruang kerja bersamaku ini aduhai kosong dan nyamannya. Betapatah bila tempat ini penuh sesak, hiruk-pikuk. Mungkin para penjual makanan di sini akan kesenangan meski sibuk bukan buatan, sementara aku dibuat tunggang-langgang karenanya. Wajarlah jika goggle translate mengira aku menulis dalam bahasa Melayu. Bahasaku balai pustaka begini. Jangan seperti pak Tanto yang kena apa, bukan mengapa.

Jadi kapan menulis buku-buku. Kapan berusaha memulihkan harga diri. Hidup itu berarti jika ada macan yang menemani, tidak untuk ditunggangi. Dokter Yusrizal Abubakar mengenaliku sebagai macan di antara kambing-kambing. Ia mungkin bukan macan, mungkin bukan juga binatang-binatang yang gagah dalam khayalan orang. Namun yang jelas ia adalah seseorang yang, tidak sepertiku, berdaya sintas tinggi. Kepalanya yang sudah botak sejak lima belas tahunan lalu, sedang aku masih agak lumayan berambut, menandakan itu. Selamat untukmu sekeluarga, Dok. 

Aku menulis entri sambil mengurus berbagai hal dari dunia nyata. Mengapa harus ada nyata dan khayal, mengapa harus ada cinta-cintaan. Tidak bisakah hidup seperti putri Mikum yang tadi pagi kuusir gara-gara ia sekadar mencari kehangatan di bangku bambuku, di tumpukan barang-barang yang sudah seperti sampah. Ada sebuah kisah mengenai dua kota di situ, oleh Charles Dickens. Ada berpikir ke depan oleh pak Teddy yang salah satunya berisi Maria Elena asal bunyi. Aku berkacamata menghadapi buku kromku seakan-akan sibuk berkarya; cuma mengitiki ketiak sendiri.

Tadi sempat juga terpikir untuk menulis mengenai Yogya. Sudah berulang kali kukatakan aku tidak menyukainya, jika yang dimaksud adalah kota tempat Katon Bagaskara pulang dan menangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu, tiap sudut menyapanya bersahabat penuh selaksa makna. Bukan yang itu. Yogya yang kumaksud adalah ruang kerja bersamaku ini, yang jangankan terisi penuh, setengah penuh saja kurasa belum pernah. Itulah yang membuatnya nyaman. Terlebih berjaket pemberian adinda Savit begini. Pendingin udara di sini tidak sejahat di manapun di kampus.

Sebelum kuakhiri, ada baiknya menyapa Farid Kusmasai. Entri ini juga tadinya hampir menjadi surat untuknya. Entah apa yang membuatku membatalkannya, menulis surat kepada Farid. Menulis surat itu jauh lebih intim, jauh lebih mencurahkan hati melangutkan jiwa, dibanding berpesan instan apalagi bertelepon. Aku sudah lupa rasanya bertelepon dengan seorang perempuan yang kepadanya aku tengah jatuh cinta. Cintaku pada istriku cantik sudah tidak jatuh. Kami sudah berdiri berpelukan seperti dua ekor kukang di tengah kejamnya dunia, dingin menjelang dini hari.

Menari-nari Bolu Meranti, Mencari-cari Jatidiri

Thursday, August 31, 2023

Penikmat Hukum Adat Semoga Makin Menikmat


Aku tidak mau membuatnya menjadi seperti buku harian. Aku mau menulis sesukaku. Untuk hari ini cukuplah kucatat bahwa aku bisa jadi tidur hanya dua jam. Memacu VarioSua, berhenti sebentar di sebelum pintu stasiun pondok cina demi melihat ada arem-arem dalam gerobak itu. Satu isi daging, satu isi sayur. Aku lupa berapa harganya. Seingatku tidak bisa dikata murah, namun rasanya bolehlah terutama yang isi sayur. Entah bagaimana, warnanya kuning, jadi mungkin bumbunya agak lengkap, ada kunyitnya setidaknya. Sementara, yang berisi daging standar.
Ini masih Kamis, ya, dan aku malas mengingat-ingat jika pagi ini mbak Melly sampai berhenti dulu di lenteng agung untuk membeli dunkin' donut. Astaga, aku dan terlebih lagi bang Idon diberi makan donat. Namun ternyata mbak Melly sekadar ingat pada anak-anaknya yang sekarang menjadi marinir dan pelaut, mengikuti jejak bapaknya. Tidak seperti semalam yang dipenuhi dengan syair dan lirik patriotis, siang bermendung ini aku di tepi laut ditemani secangkir besar serbat jahe jintan hitam dan kombo empat instrumen piano, bass betot, bongo, dram.

Entah mengapa, serbat jahe siang ini terasa begitu segar diseruput, meski sekarang jika terpikir kata ini, yang teringat adalah wajah Denny Siregar yang aduhai sekadar mencari uang untuk memelihara rumah yang mungkin agak lebih bagus dari rumahku, dan mungkin sebuah mobil multiguna. Namun, setelah dipikir-pikir, mungkin aku sekadar agak dehidrasi. Jika saja seruputan ini diganti dengan segegak air dingin hasilnya pasti sama saja. Namun rasa manis ini memang menyamankan. Oh ya, aku lupa. Ini bukan sekadar serbat jahe, melainkan juga teh tarik. 

Bahkan ketika aku bergeser dari tepi laut masuk ke dalam kedai kopi mewah, melodi yang menyambutku masih mirip-mirip, hanya saja dimainkan oleh suatu kombo bahkan musik kamar yang lebih lengkap instrumennya. Memang pada tempatnya jika kusebut Denny Siregar tadi, karena siang ini memang aku dijadwalkan bertemu dengan sepupunya, Japri Siregar, yang sekarang menjabat sekretaris program pascasarjana sosiologi fakultas ilmu-ilmu sosial dan politik Universitas Indonesia. Kami, meski di kedai kopi, minum teh mahal yang rasanya tak seberapa.

Setelah bertemu Japri, aku kembali ke fakultas hukum, memarkir VarioSua di parkiran motor samping, lantas shalat dhuhur di kantor bidang studi hukum administrasi negara. Aku sempat memeluk Pak Mono yang mulai besok memasuki masa pensiun, saling mendoa untuk kesehatan dan keselamatan masing-masing. Pak Damanhuri, Pak Sapuan, Ari, John Gunadi, semua tidak sempat lihat aku jadi apa-apa. Semoga Pak Mono masih sempat melihatku jadi diktator yang membersihkan negeri ini dari drubiksa-drubiksa celaka. Aku sempat makan lagi lontong dan pastel.

Seperti kukatakan di awal tadi, aku sangat kurang tidur hari ini, namun aku senang berhasil menyelesaikan apa yang harus kukerjakan. Seperti kata Cicero kepada Maximus, sebagian besar waktuku kukerjakan apa yang harus kukerjakan, selebihnya kukerjakan apa yang ingin kukerjakan. Sebagai seorang ajudan pribadi jenderal, Cicero adalah seorang legioner Romawi yang terhormat. Mungkin ia tidak lagi mengerjakan tugas-tugas garis depan karena luka-luka yang dideritanya, ketika masih menjalankan tugas-tugas garis depan. Meski sekadar pelayan, Cicero itu legioner sejati.

Akan halnya aku, seorang pengemis menjijikkan. Apa mau kaukata, aku megasihani diri sendiri. Ada gurat-gurat itu pada jiwaku entah dari mana datangnya, meski tidak akan pernah terpikir olehku untuk mengguyur seekor kucing sampai kuyup dengan bensin lantas melemparkan pemantik api padanya. Masih mungkin aku melumuri hidangan mewah sampai basah kuyup dengan air liurku, terlebih bila hidangan itu sampai kebasahan mandi lendir sendiri saking terangsangnya. Aku pengemis kotor, bau, tidak tahu malu. Aku memaki-maki diri sendiri tanpa daya apa.