Thursday, October 17, 2019

Dara Petak, Sayangku, Ini Untukmu: Surat Cinta


Sayangku,

Apakah betul hari ini atau entah kapan terjadinya, yang jelas ini mengenai suatu malam berhujan lebat, setelah berbulan-bulan tiada pernah hujan. Aku harus memaksakan diri melakukan ini, menulis surat cinta, karena bahkan ketika mudaku aku tidak pernah melakukannya. Ada sedikit dari dalamku berharap aku melakukannya ketika masih muda remaja dahulu, semacam penyesalan begitu. Ya, aku menyesal, mengapa tidak kulakukan dulu ketika testosteronku masih baru-barunya diproduksi. Sungguh betapa tolol terasa melakukannya sekarang ketika sudah senista-renta ini.


Jangan pula kaubayangkan ini surat cinta yang ditulis seorang om-om botak gendut pada gadis perawan kencur, atau bahkan pada tante-tante sebaya yang tiba-tiba rajin perawatan dan senam kebugaran. Salahkah aku bila mencintaimu, memanggilmu "sayangku," jika nyatanya cinta dan sayang dalam hatiku sudah nyaris tak bersisa. Cinta yang seperti deburan ombak itu berkejar-kejaran, sedang aku menenggak pahitnya bir hitam dan mencecap manis-manisnya Djarum Super, rokok lonte itu, sedang di hadapanku ada lonte sekali, kupandangi dari ujung rambut ke ujung kaki.

Jika pun ada yang lebih bagus dari ini, masih tidak dapat kulupakan seprai-seprai lusuh dan bau amis bacin nanah rajasinga. Jagad Dewa Batara, itulah cinta bagiku! Aku yang lembut hati ini, mengapa begini. Siapa sebenarnya yang sedang kugugat ini. Masih terbayang jelas segala fantasmagoria celana dalam yang tidak segera dilepas atau yang tidak dipakai sekali. Masih terpampang bagaikan layar tancap gerimis bubar segala kengerian itu dan tidak satupun darinya yang membelai jiwa. Aku bahkan benar-benar tidak tahu bagaimana seharusnya menulis surat cinta.

Sayangku,

Aku tidak akan membentukmu dari apapun, karena memang tiada padaku kuasa pun kekuatan untuk itu. Kau membentuk dirimu sendiri, aku tidak berdaya. Di sudut itu aku hanya dapat memandangimu, kali ini tidak kucuri-curi. Kuberikan seluruh pandang kedua mataku padamu. Aku tahu kau tidak menginginkan apalagi membutuhkannya. Masih untung aku tidak kauadukan karena pelecehan seksual. Bahkan jika kupejamkan mataku sekeras-kerasnya, tetap masih dirimu yang ada dalam kegelapanku: anak-anak rambut di tengkukmu, disanggulkan seadanya.

Aku tidak suka jahat pada pelacur-pelacur jika mereka memang mengakui bahwa dirinya pelacur, dengan cara menengadahkan telapak tangan. Belum pernah kulihat pelacur menengadahkan kepala sambil memejamkan mata. Oh, perempuan mana yang suka diceritai mengenai pelacur-pelacur. Bahkan pelacur pun tidak suka, kurasa. Kepada mereka yang mengakuinya, hatiku bagaikan margarin dilelehkan di wajan penggorengan. Kepada mereka yang melacur untuk mendapat kehormatan dan kekayaan, kusuapkan margarin leleh langsung dari wajannya sekali.

Terserah kauterima atau tidak ini kusebut surat cinta, aku tidak dapat memaksa. Masa sudah setua ini masih saja penuh dengan kemarahan. Ini tidak bisa disebut kemarahan. Ini kebiasaan, seperti sarang laba-laba yang menumpuk menahun di sudut-sudut langit-langit. Ini jelaga pikiran. Aku dikatakan merayu, aku setua ini merayu. Tidak. Apa peduliku. Masih saja testosteron diproduksi, dan selalu saja ada solusi. Aku tidak pernah mengeluh mengenai hal ini, kukerjakan saja dengan ketekunan seorang kurcaci, tiada henti. Belum akan kuakhiri, sebelum aku menyampaikan ini.

Dara Petak, Sayangku,

Bisa jadi kau memang gadis tercantik, namun tidak banyak faedahnya pernyataanku ini. Kau pasti sudah tahu itu, apa pedulimu. Kukatakan tidak menambah cantikmu, kutelan sendiri kata-kataku tidak menguranginya pula. Kemudaanmu, kesederhanaan bentukmu, biarlah menjadi milik masamu. Aku sudah pernah memiliki masaku, kuhambur-hamburkan pula. Jika kuucapkan pula selamat menempuh hidup baru, tidak akan menambah ketulusanku. Aku tidak peduli. Aku cukup kembali ke tempatku biasa menekuni, gunamu tiada bagi desakan membuncah ini.

Jakarta, 17 Oktober 1952.