Monday, December 31, 2018

Entri Keenam yang Ditulis di Bagasnami


Kami berangkat lumayan pagi. Maafkan jika aku tengah kesulitan mengingat rincian. Aku baru tahu jika penat terbang (jet lag) dapat berakibat begini. Ini pun—mencoba mengingat-ingat rincian—kulakukan dalam rangka mengatasi penat terbang. Tidak juga. Aku hanya tidak suka jika Desember punya sembilan entri. Mengapa tidak sepuluh, sehingga tahun ini genap empat puluh entri. Aku hanya ingat kami berangkat lumayan pagi hari ini. Bahkan sarapan apa pagi ini aku tidak ingat. Ini sebenarnya mengerikan, karena aku benar-benar nyaris mengandalkan ingatanku semata untuk nafkahku.


Sesampainya di rumah Mama, seperti biasa asbah. Tante Lien sedang keluar ke Pipal bersama Afifah dan Nadia. Tiada berapa lama mereka pulang. Kali ini, Afifah dan Nadia yang asbah padaku, paman mereka yang baru datang dari Amsterdam. Tiba-tiba saja aku punya ide untuk memberikan cangkir-cangkir Maastricht 2017 yang tersisa pada mereka. Satu sudah untuk Khaira, maka dua lagi rasanya pas jika kuberikan pada Afifah dan Nadia. Aku masih ingat Afifah mengatakan kepada sepupunya itu, "kita punya cangkir yang sama." Afifah, kurasa, adalah seorang gadis kecil yang ekspresif, tidak seperti kedua saudara sepupu perempuannya sesama cucu-cucu perempuan Nenek.

Lantas, aku tertidur. Kata Istriku aku tertidur nyenyak. Satu pertanyaan yang paling sering kuulang-ulang beberapa hari terakhir ini adalah apakah aku mendengkur. Ya, itu bisa menjadi tanda nyenyak tidaknya tidurku. Kata Istriku, ketika itu aku mendengkur. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai rencana menghabiskan malam tahun baru di Sultan Residence. Yang ada di kepalaku, aku ingin menraktir Afifah makan sop ikan Batam, seperti yang kujanjikan. Ketika terjadi kekusutan mengenai bagaimana pergi ke Sultan Residence, kupikir rencana makan sop ikan inilah yang akan dijalankan.

Nyatanya, beberapa menit setelah anak-anak dijemput taksi daring kiriman Kak Tina, datanglah taksi daring lainnya, dikirim Kak Tina juga, untuk mengangkut yang tersisa dari Kodamar, yakni Mama, Istriku dan aku. Maka berkendaralah kami, melalui tol JORR timur di atas Bypass ke arah selatan, lalu membelok ke arah barat masuk tol dalam kota. Ketika itu yang dibahas adalah sudah akan ditutupnya Sudirman Thamrin untuk keramaian malam ini. Apa pentingnya bahasan ini untukku, sungguh aku sulit mengingatnya. Yang jelas tiada berapa lama sampailah kami di Sultan Residence, yakni menara keduanya.

Sesampainya di Lantai 17, keponakan-keponakan dan anak-anakku sudah ramai ingin berenang. Aku bersalam-salaman dengan kerabat yang sudah berkumpul. Lengkap sampai ada Mbak Endang, yakni kakaknya Mas Heru, dan satunya lagi yang aku tidak sepenuhnya ingat bagaimana ceritanya. Semacam saudara angkat begitu. Duduk mengepung meja adalah yang teraman bagiku yang cuma pura-pura sanggup bersosialisasi. Kurasa aku berhasil menarik simpati Bang Ian dengan menunjukkan ketertarikanku pada kabar Alfrance Berardi. Aku memang benar-benar tertarik.

Semoga benar-benar terjadi suatu hari nanti, aku naik Air Asia atau apapun, sedangkan terdengar dari pengeras suara: "This is your Captain, Alfrance Berardi speaking." Ah, keberhasilan anak, anak siapapun, selalu membuat hati terasa hangat. Kurasa dapat kukenang dengan terang-benderang betapa wajah Bang Ian menunjukkan kepuasan dan kelegaan ketika menceritakan perihal Ardi. Semoga ia menjadi anak yang tahu berbakti kepada orangtuanya, demikian juga semua sepupunya. Selebihnya, aku adalah suami si Anthi alias Kontil, si bungsu, perempuan. Begitulah posisiku di keluarga besar ini, di bawah naungan Sang Patriark Ian Syahlan Martua Nasution van Pematang Siantar.

Kurasa malam ini aku belum sepenuhnya sadar bahwa badanku masih beroperasi dalam waktu musim dingin Amsterdam. Aku masih hanya khawatir tidak bisa tidur jika bukan di rumahku sendiri, kamarku sendiri, kasurku sendiri, bantalku sendiri. Malam ini, sekitar jam sembilan, kantuk yang mengerikan menyerangku. Aku mencoba tidur di lantai beralaskan karpet tebal dari dinding ke dinding, sampai Bang Ian dan Mbak Erni sendiri menurunkan kasur-kasur agar cukup untuk semua. Tidak sampai sejam bahkan kurang dari itu, aku terbangun dan terus terjaga sampai berganti hari.

Berganti tahun, sebenarnya. Ya, aku sepenuhnya terjaga ketika pergantian tahun a la kalender Gregorian terjadi. Kulihat dari Lantai 17 itu, jauh dan dekat di kaki langit, kembang api menyemburat, meletup, berkeretak berdentam-dentam, seperti entah sudah berapa kali dalam hidupku. Demikianlah sebelum jam menunjukkan pukul dua belas tengah malam, sampai beberapa saat juga setelahnya. Tahun 2018 Masehi sudah berakhir bagiku. Tahun yang penuh berkah dan belas-kasihNya. Semoga tahun depan begitu juga, bahkan jauh lebih baik. Penghambaanku, tentu saja, karena lain dari itu sungguh-sungguh tidak terlalu penting. Allah, atas segala sesuatu, berkuasa.
 

Sunday, December 30, 2018

Dibakar di Kompor, Dikecapi Karena Lapar


Mari kita tinggalkan horor itu, kesedihan itu. Bahkan tidak cukup jika sekadar digambarkan sebagai kesedihan, ini kengerian! Masih saja 'kuberusaha keluar dari kungkungan tujuh lima, agar tampak sungguhan seperti prosa. Tujuh lima sesungguhnya bukan mengungkung, justru membebaskan. Seperti jazz, ia memberdayakan otak bukan memasungnya. Nyatanya, aku tetap saja kembali kepadanya: Tujuh lima. Ini seperti beringsut-ingsut masuk kembali dalam zona nyaman. Seperti seekor siput: Bekicot. Betapa tidak dengan belaian begini, meski udara tidak lagi sesejuk biasa.


Apa yang kualami seminggu ini sungguh aneh. Rasanya hampir-hampir seperti cinta remaja, meski aku tahu betul rayapku sudah mati. Bagaimana caraku memasukkan ini semua di akal, tentu aku tidak tahu. Seperti biasa, aku tidak peduli. Seperti halnya kantuk yang dahsyat bergulung-gulung bagai ombak lautan, sebelum maghrib dan sekarang agak jauh selepas isya,’ rasa ini sungguh tiada tara. Aku tua, apa karena aku belum memulai. Aku tetap saja tua, seperti mantel hujan dijemur di pagar geser.

Serasa tiada berguna semua kebijaksanaan ketika dihadapkan pada situasi ini. Semua pakem bukan saja dilanggar, melainkan memang seakan tiada pernah maujud. Apapun yang terjadi aku akan terus berusaha: Mencoba. Ini bukan bondongan roket mewarnai merah langit malam selatan Jakarta. Ini bukan pula getaran-getaran langit-langit yang hampir meruntuhkan neon panjang. Aku tidak tahu dari mana datangnya. Aku hanya dapat berharap ini menandai berakhirnya horor dengan manis. Sampai-sampai aku tidak membutuhkan horor dan kengerian dalam bentuk apapun.

Betapatah aku terpukau melihat awal, musim semi. Bermekaran, merekah, semerbak. Belum saja aku melihat akhir. Kegelisahan. Sakit. Ada waktu-waktunya di mana kau begitu saja diselamatkan. Ada waktu-waktunya harus menunggu barang sejenak. Pada kenyataannya, semua hanya harus dijalani dan ditahankan. Laki-laki. Perempuan. Ada semua. Aku menjadi bagiannya, meski tidak seharusnya di sini. Aku tidak yakin apakah aku sanggup menyelesaikan ini, ataukah ini akan menjadi sesuatu yang cukup bernilai. Ini bukan hidangan imperialis. Ini adalah kenyataan belaka.

Sebelum memulai, sesudah mengakhirinya. Aku suka berwisata kuliner. Semua asal jangan daging hidup kucicipi. Daging olahan masih bolehlah, namun aku suka dari berbagai ragamnya. Keragaman itu yang aku suka karena khayalanku tak berbatas tak bertepi. Terlintas-lintas dalam bayangku, berkebat-kebat dalam benakku. Berangsung-angsur kuperangi horor, kengerian yang terus menyengat-nyengat sanubariku. Takkan kubiarkan. Terangguk-angguk, daripada mengguguk-guguk. Mengapa aku sampai terperangkap dalam suasana ini, entah aku tidak tahu. Ini adalah sebagian dari pura-pura. Tidak benar-benar sebetulnya, hanya seakan-akan.

Ahoi, hoi-ho-hoi, aku seperti Nano berkisah mengenai Jin dari Tanah Parsi, ragaan dari masa mudaku. Ayoh agak semangat, sedang engkau sudah bertemu Siti Kejora pagi atau petang hari lalu. Seperti itu saja. Aku semangat untuk segera kembali bekerja, meski di sini benar tidak ada polisi maupun polisi pamong praja. Siapa tahu aku benar-benar sanggup mencipta, dengan mengerahkan daya cipta. Ragaan dari sengsaranya Buru saja bisa sekuat itu, masa aku di apartemen mewah begini tidak sanggup.

Dibandingkan seminggu yang lalu, memang suasana hatiku tidak beranjak banyak. Masih ada horornya. Ah, dunia apa ini. Seminggu ini horornya diperkuat. Ah, horor mengapa begini. Kesakitan seperti dikecapi. Meminjam kecap untuk dicrotkan ke atas kompor tua. Ini ayam. Pantas aku tidak suka ayam, meski itu original. Meski baru berpuasa, ayam, mungkin karena lapar; kecap, mungkin karena bakar. Demikianlah horor, masih bagus jika demikian. Bisa jadi segera berakhir. Ayam, yang jelas berakhir. Horor, semoga tiada lagi.

Sunday, December 23, 2018

Diganti: Seperti Makan Micin dengan Chiki


Kalau benar itu alasanmu, mengapa bukan Pak Kaji. Iya, ‘kan sudah kukatakan itu. Aku berbohong. Tepatnya aku menutup-nutupi sesuatu. Apa itu. Biasa. Diri-rendahku. Tidak. Ini bukan karena berada belasan ribu mil dari... mana. Ini lebih seperti berada belasan ribu kaki di surga. Maafkan aku, Dokter. Mungkin benar katamu itu. Kelebatan-kelebatan gagasan. (flight of ideas) Kau mau memaafkan kekuranganku ini ‘kan. Kau pasti mau. Kau dokter benar-benar. Ya, tepat seperti yang kubayangkan mengenai seharusnya seorang dokter.


Jelasnya, aku menulis ini karena tidak mau mengawali kalimat dengan “yang”. Aku gagal lagi menjadi cerpenis. Pram juga menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan cerita. Tapi ia juga menceritakan banyak sekali orang lain, tentu dibumbui dengan khayalnya sendiri. Bedanya, aku ‘membumbui’ khayalku sendiri dengan cerita mengenai orang lain. Hahaha, seperti makan micin dengan chiki. Ini seharusnya judul entri kali ini. Jangan Dokter Icang. Nah, ini lebih suai dengan Kemacangondrongan; dan aku tidak kuasa mengkhianati tujuh lima.

Sedang orang-orang mencipta berbagai hal yang berfaedah bagi hidup dan kehidupan, aku mencipta eksibisionisme dalam format tujuh lima jadi lima dua lima. Biar aku mati dulu, jangan seperti seniorku Denny JA. Biar aku seperti Vincent. Di Minggu pagi yang sunyi dan mendung ini, aku berkesenian setelah menjejali perutku dengan indomie goreng rendang dua bungkus sekaligus, masih dengan cemilan suiran ayam kebap yang rasa-rasanya sudah tidak terlalu segar. Apa karena anak-anak sekolah sudah libur. Bisa jadi.

Di sampingku, seperti biasa, mug kelabu pucat berisi ramuan rempah musim dingin berbasuh madu. Aku bahkan menginginkan campuran Wina sekarang. Bila masih ada hariku, Insya Allah, biar kukenang hari ini, hari-hari terakhirku di studio Kees Broekmanstraat 218, barang-barang berserakan sedang aku masih tidak ada gagasan bagaimana cara terbaik untuk mengepaknya. Aku benar-benar menyanding secangkir campuran Wina sekarang! Eh, tadi mengapa Dokter Icang, bukan Pak Kaji katamu. Nah, coba sembunyikan ini. Bukan karena memanjat kursi dapur...

...bukan pula karena medewerker pas. Ah, kau tahu ‘lah. Tidak, aku tidak tahu. Sialan 'lu! Sekali sesapan saja membuatku urung membawa campuran Wina ke rumah. Mungkin sudah benar itu Douwe Egbert saja. Siap ini akan kubongkar lagi koper untuk mengeluarkan plastik-plastik berpenutup. Buat apa pula kau urusi plastik berpenutup. Memang harus kuurusi karena itu penuh dengan kenangan Cantik. Begitulah aku, seorang yang setia. Prek! Tahi! Uah, pas betul berbom-bom-bom Seandainya Aku Tidak Peduli dari mudaku.

Jadi begitu, ya. Seperti biasa ini adalah entri inkoheren. Aku tidak tahu malu. [masih harus kaukatakan juga?] Aku tidak punya kehormatan. Seperti Paman Yat-fei Si Kepala Besi, aku memakai celana dalamku di kepala dan minta dikencingi. Untunglah tidak ada yang melakukannya sampai hari ini. Bisa-bisa kembali lagi kepala besiku. Bisa-bisa main bola lagi aku. Aku jadi kangen Zulkhali Duki. Masih maukah ia mengencingi mulut Rudy Saladin. Mengapa harus mulut. Apa dia sudah pernah nonton begituan.

Yah, biarlah Hari Demi Hari mengembalikan kewarasanku berangsur-angsur. Dalam kesejukan senja hari, badan bersih habis mandi, bersarung, teh hijau satu gelas besar. [yang mungkin telah menggerus dinding lambungku selama bertahun-tahun] Kembali jelas tidak mungkin, namun terkabulnya doa adalah keniscayaan. Ya Allah, kacau benar aku pagi ini. Namun aku tidak mau lagi berdoa di sini. Ini memang tempat kekacauan. [maafkan aku, Ki Macan] Uah, Ki Macan sudah tidak ada! Akulah Ki Macan! Tiada lain aku sendiri!

...dan selalu aku. Sendiri.

Sunday, December 16, 2018

Salju Pertama di Amsterdam 2018


Kemarin… kau masih bersamaku… husy, koq jadi nyanyi. Kemarin ada kukatakan akan kuceritakan apa jadinya ‘kan. Nah, ini kuceritakan. Akhirnya aku benar-benar naik trem ke arah Nieuwe Sloten, tapi turun di Heemstedestraat, untuk dilanjut jalan kaki ke Jacques Veltmanstraat. Turun di Centraal kusempatkan mampir membeli munchkins isi sembilan, masih ditambah yang isi empat. Kumakan satu, tiga sisanya kugabung dengan yang sembilan, jadilah isi duabelas, tiga untuk masing-masing rasa. Suhu udara ketika itu sekitar minus dua.


Naik trem dengan membawa gitar dalam tasnya, plus tentengan munchkins ternyata cukup merepotkan. Terlebih ketika engkau harus bongkar pasang sarung tangan untuk mengecek peta gugel. Sebenarnya tidak perlu se-umek ini jika udara tidak sedingin itu. Tidak berapa jauh dari halte sampailah aku di semacam Smiley tapi untuk keluarga. Nyaman. Besarnya cukupan ‘lah. Ruang depan multifungsi digabung dengan dapur dan satu kamar mandi, dengan dua kamar tidur yang lapang-lapang. Di dalam situ tinggallah Dokter Icang sekeluarga.

Berhubung belum mulai kerja lapangan dan ini belum benar-benar etnografi, maka belum ada keharusan padaku untuk merinci pengamatanku. Hanya saja perlu dicatat di sini bahwa pallumara itu mungkin memang seharusnya bandeng, atau ikang bolu, kata orang Bugis. Jangan salmon apalagi kepalanya. Aku mau ikang bolu pallumara pada bagian perutnya. Selebihnya, seperti guna blog ini, aku akan mencatat perasaanku. Apa benar yang kurasakan. Benar-benar sulit dilukiskan. Hanya saja, aku yakin, perasaan ini, apapun itu, akan mereda.

Pamit agak cepat setelah meninggalkan gitar kesayanganku di sana, sampai rumah apa yang kukerjakan. Bukan karena tidak mau merinci, melainkan karena aku kali ini memang benar-benar lupa. Malam itu dingin, seingatku. Aku bahkan berjaket berkaus kaki, dan aku tidak bisa tidur hingga menjelang jam empat dini hari, jikapun sekadar agar melihat jatuhnya salju pertama di Amsterdam pada 2018 ini. Demikianlah, maka seperti halnya sepuluh tahun yang lalu, entri ini berjudul “Salju Pertama di Amsterdam 2018.”

Jika entri mengenai salju pertama dari sepuluh tahun lalu aduhai relijiusnya, kali ini aku tidak mau begitu; meski lamat-lamat kuingat betapaku berurai air mata ketika menulisnya dulu. Mengapa. Apa karena sama-sama membawa gitar dan batal menyanyikan lagu satu pun. Ketika itu yang kubawa gitar setengah bodi. Kali ini yang kubawa yang tiga perempat. Ketika itu belum minum obat darah tinggi. Sekarang sudah. Selebihnya, mengapa sih harus menangis. Tidakkah kalau mau menangis lebih baik sekarang ini.

…karena perasaan itu. Terkadang heran betapa di entri-entri terdahulu dapat terpikir olehku kata-kata dan kalimat-kalimat puitis, sedang kini kalimat-kalimatku dan kata-kataku tak lebih dari cericau dan cuitan tak bermakna. Baiklah. Tidak menjadi apa. Namun mereka banyak sekali, mau diapakan. Ya tidak harus diapa-apakan. Tepatnya, amit-amit jabang beibeh jangan sampai diapa-apakan. Semua biarkan seperti adanya. Doakan saja, seperti selalu dibatin kemunafikanmu. [aduhai ribet nian Bahasa Indonesia dengan awalan dan akhirannya] Tidak perlu sok minta ampun pula!

Hanya dirimu yang dapat menghentikan hujan [salju] ini. [Mengapa kurung kotak sih, bukan kurung biasa atau kurawal. Memang apa sih arti kurawal jika bukan kurawa ditambah “l”] Hidup macam apa yang akan dijalani oleh mereka, tidak bisa lain kubumbungkan harapan-harapan baik. Agar suatu hari nanti, tidak akan ada lagi kengerian, horor seperti dikenal kini. Semua damai, meski tidak perlu sampai seperti khayalan mengenai jamannya Lenina Huxley. Aku lelaki lemah, susah mulai dan rayap mati. Sudah.

Saturday, December 15, 2018

Hari Ini Bapak Berulang-tahun yang ke-68


Apakah ini pertanda, bendera di ketinggian seberang sana dicabut orang. Tidak ada lagi penanda bagiku, untuk mengetahui ke arah mana angin bertiup dan seberapa kencang. Sedangkan menjelang siang di Sabtu yang mendung ini, kuminum lagi Campuran Wina, yang tampaknya tiada seberapa menyakiti dibanding Torabika Creamy Latte, meski sama-sama gula pisah. Seperti inilah, maka Insya Allah akan ada hari-hari di mana aku tersenyum-senyum mengenangkan bendera dan Campuran Wina, sedang jiwa dan ragaku terasa ringan dan nyaman.


Jika Kang Ucu saja menikmati Pejah Husnul Hotimah, apatah lagi aku. Sungguh aku bersusah hati tidak sanggup menyenangkan Cantik. Apa yang menyenangkan hatinya membuatku berjengit. Apa yang menyenangkan hatiku membuatnya mencelos. Namun semua ini ‘kan sementara saja, Sayang. Berapa banyak di persekitaranku, persekitaran kita yang sudah mendahului, jadi sabar saja. Kuharap ini tidak terbaca seperti catatan bunuh diri, meski ditulis di muramnya cuaca bersuhu minus tiga derajat celsius. Insya Allah aku baik-baik saja. Tidak mengapa.

Ditemani daftarmain dari sekitar lima belasan tahun yang lalu, dengan jari-jari rampak memberondong papankunci, aku baik-baik saja. Memang sedikit sekali dari dunia ini yang menarik perhatianku. Tidak salah jika Pak Kaji mengatakan aku “klempurak klempuruk rak tau metu kos-kosan.” Benar belaka. Terlebih ini kos-kosan mahal. Harus dimanfaatkan semaksimal mungkin hahaha. Alasan. Namun sepertinya hari ini, tepatnya, setiap hari, aku harus ada ‘lah keluar agak barang sebentar. Semata-mata agar enak tidur malam. Sudah itu saja alasannya.

Nah, untuk hari ini aku berencana untuk mengunjungi kembali Namu, untuk mencicipi lagi semangkuk udon rubah, mungkin juga satu skup rum raisin atau rasa lainnya. Entahlah. Belum tahu juga apakah ini akan kejadian, nanti atau besok akan kuceritakan padamu. Kemarin aku sudah menghabiskan senilai semangkuk udon itu juga. Apakah hari ini akan begitu lagi. Hahaha tiba-tiba kebiasaanku berhemat muncul mak pethungul. Sedangkan kemarin aku sudah mengeluarkan uang terbanyak selama ini, kurasa, untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Belum-belum rencana di atas gagal total, karena baru saja Jeng Isdah mengontak agar aku datang berkunjung ke tempat mereka di Jacques Veltmanstraat. Ini Insya Allah akan menjadi pengalaman baru, karena aku belum pernah punya alasan naik trem nomor 2 ke arah Nieuwe Sloten. Siap ini aku harus segera mandi jika demikian, karena aku berjanji setelah dhuhur berangkat. Ahaha, hari ini Kemacangondrongan kembali menjadi seperti situsweb harian, karena ini bukan buku. Lebih praktis, namun kurang romantis.

Aku membilas cangkir bekas campuran Winaku dengan air keran, lalu memanaskannya dengan magnetron. Pemanas airku yang berbadan plastik menghasilkan air panas yang beraroma. Segala kerepotan ini tidak perlu. Di rumah aku tinggal mengambil air panas dari pengser, yang mana sebentar lagi Insya Allah akan kulakukan. Aku jadi ingat keluarga-keluarga di sini, Pak Kaji, Mas Ihsan. Bertualang? Bisa jadi. Namun aku, pada usiaku sekarang ini, sungguh sulit tertarik pada petualangan jenis apapun, terlebih yang semacam itu.

Sesungguhnya masih ada kusimpan tenagaku untuk satu petualangan, yang tentu saja bagiku itu bukan petualangan sama-sekali. Sementara orang mungkin akan menyebutnya sebagai petualangan, yakni mereka yang kemungkinan tidak sepakat denganku, bahkan mencibirku, bahkan mungkin mencoba membunuhku, jika aku beruntung. Aku bisa apa. Begitulah doa Bapakku, yang hari ini berulang tahun ke-68, bagi anak-anaknya, mungkin terutama yang laki-laki. Aku, Bono anak Harnowo, anak laki-laki tertua Bapakku. Bisa apa lagi aku kecuali berusaha mewujudkan harapan Bapakku ini.

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Thursday, December 13, 2018

Cinta adalah Suatu Permainan yang Aneh. Lho?!


Haruskah aku meninggalkan lima dua lima sekadar agar entri-entriku koheren? Lihat! Belum-belum sudah memulai paragraf dengan ini. Amboi, mana mungkin akan menjadi paragraf yang koheren? Entri, nyatanya, memang tidak pernah benar-benar berisi cerita. Entri selalu mengenai letupan-letupan perasaan, dan, aduhai, betapa perasaan memang selalu meletup-letup. Itulah yang kurekam dalam sebuah entri. Akhirnya aku, pada karater kelima puluh, memutuskan untuk kembali pada lima dua lima; karena aku tidak tahan! Biarlah tujuh lima menjadi penanda. Sudah begitu saja.

Ini Sam, tidak dengan sayur kol, tetapi dengan dedaunan kering
Nah, sekarang pindah. Betapa melegakan. Seperti apa. Malam ini aku sedang tidak merasa lega. [atau merasa tidak lega] Apa benar yang kurasakan malam ini. Yang jelas, roti gandum kasar dengan selai jahe saja sudah nikmat. Apalagi roti putih. Makanan mungkin akan menggairahkanku. Akhir pekan ini cuma harus kutahankan. Cuaca mendadak cerah. Awan-awan menghilang. Udara menjadi dingin dan kering. Tetap saja harus shalat Jumat. Pakai celana yang mana. Halah, begitu saja menjadi problema, 'emangnya Gito Rollies.

Kurasa kebanyakan orang seperti aku begini. Atau tidak banyak. Atau ge-er. Atau teman. Masa tadi aku membatin tidak ada yang lebih memahamiku daripada Tante Connie. Kenyataannya sekarang Tante Connie sedang menemaniku, seperti halnya aku menggunakan sebutan dengan gelarnya sekali sebagai panggilan. Aku ini apa-apa’an. Ini sudah kembali seperti aku yang biasanya. Begitu Senin atau Kamis malah lupa. Begitu Jumat malah kepengin. Maka celana jadi sempit. Pikiran seringnya tidak menyimpang dari kekentuan. Padahal sudah tua. Bodoh.

Kujalani hari-hariku seperti ini entah sudah berapa lama, entah berapa lama lagi. Akhirnya menulis entri lagi. Entah mengapa makan bakso di sore hari berhujan, di seberang Pasaraya Manggarai, setelah itu shalat maghrib berjamaah, sering sekali menjelang. Apakah itu ketika kali pertama bertemu Laurens. Bukan baksonya yang jelas. Bakso justru Bu Dini, yang mungkin akan kukenang selalu. Kesederhanaannya. Kemantapannya. Betapalah tidak menggelendut begitu caranya. Dipaksa tambah terus sama Pak Kaji. Ah, alasan saja. Padahal memang doyan.

Dalam hidup ini, di dunia ini, segala sesuatu selalu datang dan pergi. Lalu Dugem. Pasti dia ingin cabut dari NMN. Ya, cabut saja. Berat, membuat berat. Aku tidak bisa mengisi waktu luangku dengan yang terlalu berat. Jika ringan tentu saja tidak pantas dibayar. Masa mengisi waktu luang minta dibayar. Ah, mau Tante Connie, mau Oom Cliff, sama cantiknya. Selalu cantik, demikian juga ketika digesek Paolo Mantovani. Aku mau marah. Aku sudah marah. Aku sedang marah.

Nyatanya dipenjara juga tidak produktif. Nyatanya hanya merintang waktu. Nyatanya entri lagi saja hasilnya. Sudah begitu berkhayal minta dikurasi sekali. Ini lagi Suatu Saat di Kehangatan Mentari. Aku malah tidak merasa begitu. Ini adalah hangatnya malam hari. Di mana. Di salah satu kamar Mess Pemuda yang baru saja kurapikan. Di manapun berdinding putih, bercahaya lampu neon putih. Berperabotan kayu model lama berpelitur gelap, dengan bau agak apak, agak lembab. Berkomputer atas meja tapi CPU-nya berdiri.

Banyak bukan hari-hari, malam-malam seperti itu. Banyak sekali. Entah sudah berapa ratus, berapa ribu. Mengerikan di masa mudamu seperti itu. Lalu apa bedanya dengan masa tua. Lihatlah. Begini akhirnya entri yang dicita-citakan koheren. Sudah kukatakan. Mana mungkin koheren, apalagi dengan suasana hati seperti ini. Apakah ketika itu sudah turun salju dengan lebatnya, sangat bisa jadi; karena natal hanya berdua, bertiga dengan Sam yang minta pipis. Maka kuantar sebentar keluar. Segera masuk lagi. Apa kabar, Sam.

Wednesday, December 12, 2018

Boro-boro Cappuccino. Ada juga mules!


Apa iya aku harus memulai dengan secangkir kertas latte macchiatto, atau kali ini cappuccino, sedangkan di pojok kopi tadi ada Willy? Suasana siang ini agak berbeda [apanya?] dari hari kemarin. Apakah karena telingaku disumpal Dari Hari ke Hari atau karena fantasi Pram mengenai Jakarta jaman sekitar Revolusi Fisik? Apa juga karena berusaha menyelami suasana kebatinan Pak AB Kusuma dalam dinginnya dini hari Amsterdam? Apa? [Mengapa kembali lagi ini tanda tanya] Gabungan dari semua ini, kurasa.


Jadi tidak cappuccino-nya. Bagaimana dengan perutmu yang tidak kunjung beres. Aku seperti Idulfitri di Kemacangondrongan ini. Aku ada dua, yakni aku dan diriku sendiri. Terkadang diriku sendiri menanyaiku. Terkadang, sebaliknya, aku yang menanyai diriku sendiri. Seringnya kami bercakap-cakap. Sayangnya, tidak seperti Idulfitri dan Namun, kami tidak lapar. Kami berdua memang sudah cenderung tidak peduli, maka aku begitu saja melepas kancing celana. Padahal jaket kubuka. Padahal agak di belakang sana ada Icha. Habis mau bagaimana lagi.

Lantas Inah dan Aminah. Uah, tidak kreatif Pram membuat nama, seperti nama-nama Portugis karangannya. Ia sendiri mengakui, mengapa Portugis bernama Spanyol. Inah dan Aminah, masing-masing mengerikan dengan caranya sendiri. Untukku yang sok relijius ini mungkin lebih ngeri Inah, meski Aminah kemungkinan mati dengan mulut bernanah terkena rajasinga, karena—dalam khayalan Pram—orang laki sudah tidak mau menidurinya seraya memandang wajahnya. Beginikah moral jaman itu? Hanya dua inikah pilihannya, missionary atau fellatio, dan tanpa “kehormatan”?

Inah bagaimana? Sebenarnya, dibanding khayalannya mengenai Aminah, Inah ini tidak ada apa-apanya. Moral bahkan sudah menerimanya jauh lebih dulu, mungkin, daripada apa yang terjadi pada Aminah. Mungkin ada gunanya bagi ilmuwan sosial sepertiku. [“Ceilah!” cibir Sobi, kakak Inah] Cara berpikir Sobi dan Inah segera mengingatkanku pada diriku sendiri yang normatif. Amboi! Bahkan di antara orang-orang hukum saja aku ekstra normatif, ekstra sok moralis. Aku harus melatih diriku agar dapat seperti Pram, melukiskan tepat seperti adanya.

…sementara mengesampingkan penilaian-penilaian moralku sendiri. Di sini tiba-tiba aku teringat sifat burukku yang lain, yakni pembual. Pembohong ‘lah, mudahnya. Bukan sekadar melebih-lebihkan, aku sering mengada-adakan kenyataan yang sebenarnya cuma ada dalam benakku yang hiperbolik. Seperti kata Iwan Goya, aku naga yang ekstrim, suka membesar-besarkan persoalan. Seperti ketika kukatakan, Fawaz sedang “crying for help.” Aku sampai malu sendiri. Tentu saja bundanya tidak suka kukatakan begitu. Bunda mana yang suka anak bujangnya dikatakan seperti itu? Tidak ada!

Ya sutra 'lah. Biarkan Waltz Terakhir ini membelai-belai hatiku, seperti yang selalu ia lakukan semenjak kecilku. Dengan lampu Funai berkelip-kelip mengindikasikan dentam-dentamnya bass, sedang rumah K28 gelap gulita; mungkin Ibu sedang memanggang kue sekaligus memasak nasi. Kenyataannya memang bukan itu kampung halamanku, seperti Aminah yang dalam sekaratnya pulang ke Kebayoran. Semoga ketika waktu itu datang, yang kulihat adalah kampung halaman yang sejati. Jadi bukan dari masa lalu, bukan pula masa depan. Semoga semata gambar keabadian!

Anjrit dengan sayur kol! Tragis sekali. Kesombonganku serasa ingin berkata: “Biasa.” Tanpa tanda seru. Namun tak ayal ia menghantui juga, hampir seperti ketika aku tidak sengaja menonton Insidious atau yang semacamnya. Aku marah karena ia memanipulasi sisi psikologis audiens. Tidak sekadar menakut-nakuti, ia membuat kelompencapir mempertanyakan kewarasan sendiri; standar-standar moralnya, kepatutannya sendiri. Memang begitulah film horor dan suspens masa kini, bahkan ada istilahnya. Suspens psikologis. Hei, tapi ini ‘kan cerpen, dari pertengahan Abad ke-20 pula!

Tok! Tok! Mengetok Pintu Sorga.

Tuesday, December 11, 2018

Syekuntum Mawar Merah, Merpati Putih


Uah, jadi seperti judul perguruan silat. Tadinya, ketika berjalan dari Kees Broekmanstraat ke halte trem Zuiderzeeweg, sempat terpikir olehku untuk menyudahi kegilaan lima dua lima. Namun, entah mengapa, sesampainya di kantor keinginan itu sirna begitu saja. Mungkin karena begitu masuk ruang flex ada Mas Ichsan dan Jeng Isdah suami istri. Hatiku jadi empuk, seperti daging dibungkus daun pepaya. Intinya, kesenian lima dua lima ini lanjoot. Tidak lanjoot hanya jika aku harus bekerja. Berkesenian ya beginilah.


Yang tetap dari awal perjalanan hari ini adalah keinginan untuk melayang-layang bersama seutas merpati putih. Merpati atau dara, begitu sempat ‘ku membatin tadi. Ah, dua-duanya sama-sama menjengkelkan. Sok imut! Apa itu damai. Aku suka [film] perang. Maksudnya, kalau terpaksa ya mau bagaimana lagi. Siapa yang menghendaki kedamaian harus siap berperang, begitu ‘kan? Pikiran[ku] memang jarang koheren. Baru bisa koheren jika kupaksa. [ada tidak sih sebenarnya awalan berupa kata ganti orang? Ini pasti bukan bentuk baku.]

Seperti begitu saja Tjiang Lexsy mengirim tautan video kuliahnya Pak Yudi Latif memperingati Widjojo Nitisastro, di mana beliau bicara mengenai keajaiban Bahasa Indonesia. Ahai, retorika! Lebih baik syair berlagu sekali, seperti Bang Haji Oma, tung keripit ahai tulang bawang. [tahunya dari Togar Tanjung] Aduhai, merpati! Berani-beraninya aku berkhayal mengenai hidup sesudah mati. Hidup dulu! Aduhai, bukan salah panca indera tentu saja, seperti yang kubatin-batin sambil menunggu datangnya Trem 26 tadi. Salah diri-rendahmu sendiri, tentu saja.

Dan begitu saja Japri menepuk pundakku, mengabarkan bahwa ia sudah secara resmi menyerahkan kertas delapan bulannya. Secara resmi?! Aku? Tidak berani berpikir apa-apa. Mengapa pula lagu temanya beberapa malam yang mempesona begini. Mengapa pula acara kuis tebak kata harus diberi nama “Ragam Pesona,” kurasa sama saja. Apakah aku penyair; aku ingin begitu, meski itu budak penyair pujangga lama. Aha, ini dia keinginanku. Aku ingin menyebut diriku sendiri penyair, atau semacam sastrawan begitu. Ilmuwan biar nanti.

Hari ini aku tidak mendapat mug yang biasa, yang bertuliskan “Sharing our resources and exercising our powers transparently and fairly, we strive for a department where we can enjoy our work, feel included and develop our creative potential to the fullest.” Aku mendapat cangkir bening sehingga aku bisa melihat wiskiku yang berwarna cemerlang keemasan. Ternyata ia tidak segelap yang kukira. Ternyata warnanya sungguh indah memukau hati. Semoga baik pula manfaatnya bagi kesehatan lahir dan batin.

Hidup tidak lain sekadar impian. Impian yang bisa indah, bisa mengerikan, karena ia impian yang berakibat; tepatnya, dapat menyebabkan hal-hal yang mengakibatkan. Mengerikan! Berlalunya cinta saja sudah sakit sekali ditanggungkan, terlebih berlalunya hidup yang sia-sia. Setua ini, aku sudah benar-benar lupa seperti apa rasanya cinta remaja. Terkadang aku masih merasakan sesuatu sih, yang mungkin mirip dengan gejolaknya cinta remaja; namun untuk hal-hal yang sama-sekali berbeda. Semoga saja yang kurasakan itu adalah yang sebenarnya, sebenar-benarnya. Semoga.

Bang Andhika bagaimana, sudah merasakannya? Mas Ari bagaimana? Apapun itu, semoga saja jauh lebih baik daripada Mas Ari harus menerima oleh-oleh dariku yang saru bentuknya; seperti yang mungkin akan menimpa Mas Narno, Mas Gitos, Mas Gondrong dan semua anggota klub sarapan, yang sepertinya tidak pernah benar-benar menerimaku. Namun mereka semua menghilang dari pandangan, karena aku hanya punya mata-mata untukmu. Ya, kamu. Siapa lagi. Aku punyanya cuma kamu. Segala puji hanya bagiNya Tuhan seru sekalian alam.

Sunday, December 09, 2018

Suatu Minggu Siang di Uilenstede, Amstelveen


Pik lah udah, pik! Apanya yang pik? Ya, setelah setengah tahun hijriyah lambat-laun kamu banyak makan lagi, sehingga di Rabiul Akhir ini gendut lagi. Sampai ga cukup itu celana yang tadinya longgar setelah agak dua minggu puasa sekitar 19 jam sehari. Jadi tidak perlu menyalahkan sakit perut tiap akhir tahun atau apalah. Tuh kan akhirnya menulis entri lagi. Habis mau begimana lagi, ini masalah kemasan. Aduh, kemasan bagaimanapun menyesuaikan isi. Isi besar kemasan tentu besar.


Isi kecil kemasan juga bisa besar, bahkan tidak ada isinya juga kemasan bisa segede gaban. Aduhai, mau merevisi IuN, ini pekerjaan besar. Mau mengerjakan yang lebih “mudah” terbentur kemasan. Apalagi segala buku teks entah-entah itu. Sudah. Jangan diteruskan. Kerjakan atau diam saja. Ditulis di sini tidak akan selesai juga. Lalu apa bedamu dengan yang suka posting segala sesuatu di medsos. Lebih baik kau tulis di sini bahwa perutmu melembung lagi melebihi celananya sampai sulit dikancing.

Ini jez alus pake ada ombak-ombaknya lagi. Biarlah. Ternyata bukan gruvi, melainkan alus. Nah, ini ajip juga. Sore ini matahari keluar, kira-kira satu jam sebelum terbenamnya. Semoga masih sempat mampir ke Primark malam ini. Akhirnya kejadian beneran, handschoenen jatuh di metro! Aku lupa apakah dulu suka mengantongi handschoenen dalam Badboys, yang jelas waktu di Maastricht aku hanya punya satu dan satu itu saja. Gratis pula. [atau beli di kringloop?] Kini mau ga mau harus beli.

Benar belakalah Adrianus Eryan bahwa entri tercipta bila kita dalam keadaan limbuk; atau bisa juga ketika sedang rutin, seperti ketika tahun-tahun 2013 dan 2014. Aku semangat tidak ya? Semangat dong. Bagaimana mau semangat jika tidak terbayang seperti apa. Akankah aku punya rumah yang agak luas, dengan pekarangan yang lebih luas lagi. Terpenting, ada gardu belajarnya. Aha, masih saja. Lantas apa yang akan dihasilkan gardu itu, jika masalahnya sekarang ternyata kemasan?! [Engkau paham betul apa keinginanku]

Sungguh untuk diriku sendiri tidak penting. Apakah senang hatiku jika aku punya semacam Begreno Home begitu untukku sendiri? Untuk apa punya begituan jika tidak ada Ibu dan Bapak yang senang tinggal di sana? [dan mungkin Mama dan Tante Lien juga] Dan dengan kemasan ini, aku tidak yakin lagi pada gardu belajar, bahkan pada belajarnya itu sendiri. Yang benar mungkin seperti Takwa itu. Berbisnis. Tapi aku tidak bisa begitu. Kalau bisa tentu sudah sejak dulu kulakukan.

Bahkan Rendy sendiri mungkin tidak bisa. Ah Hui bisa. Bahkan Mahawisnu bisa. Aku tidak. Sopuyan tidak. Rendy? Membayangkan Rendy tidak bisa, kecut hatiku. Rendy saja tidak bisa apalagi aku. [berjanjilah kesempatan pertama sampai Jakarta berusaha menemuinya] Berapa banyak utangku pada siapa saja? [Berjuta-juta! Ya Allah, mampukan, sanggupkan hamba untuk melunasi semuanya] Rahmat Bagja saja, kata Bang Isal, orang pinter. Jadi mesti sehat. Tidak boleh kebanyakan makan. Bagaimana, besok sanggup? Harus dong. Bismillah. Insya Allah sanggup.

Ini Torabika Creamy Latte entah-entah. Bukan. Yang entah-entah aku sendiri! Sudah tahu selalu begini akibatnya, mengapa dicoba juga. Jadi dari dulu kalau merasa mengantuk di waktu seharusnya bangun, padahal cukup tidur, solusinya bukan kopi, apalagi kopi-kopian. Itu aktivitas virus, yang berarti daya tahan tubuh sedang lemah. Makanya jangan lemah. Makanya olahraga teratur. Hadi sedang ke Den Haag urusan Panitia Pemilihan Luar Negeri. (PPLN) Hadi sedang menjadi Hadi. Aku harus bisa lebih baik dari diriku sendiri.

Etdahbuset di sini bisa juga Udan Kethek Ngilo

Monday, December 03, 2018

And They Call It "Tummy Love"


Aku tidak akan bicara mengenai sakit atau [ke-]buruk[-an]. Ini awal Desember. Sempat juga terpikir olehku menulis sebuah eulogi. Namun yang kemarin saja tidak diabadikan, mengapa yang ini harus. Terlebih, awal Desember di tepian Buiten Ij begini, hal terakhir yang ingin dilakukan seorang lelaki adalah menonton film mengenai cuaca buruk. Nah, ini lebih mengena. Meski titik hujan terus jatuh di atas kepalaku, aku tidak akan bersedih. Ini malah seperti hujan rahmat. Aku bebas. Tiada yang merisaukanku.

Aku pun tidak akan membutuhkan wiski atau anggur untuk mengusir perasaan tertekan musim dingin. Lebih baik aku bertemu di Lavandou dengan entah siapa. Apakah pengusaha herbal atau kepala kantor internasional, atau kawan lama dari waktu-waktuku di Maastricht. Atau gang kecil di belakang ruko-ruko yang dahulu ada Darma.Net-nya. Apakah Felix.Net masih ada, sedangkan Haji Telecom saja masih ada internet cafĂ©-nya. Majulah ayo maju menyerbu sampai titik darah penghabisan. Hancur lebur perintang kemerdekaan! Jangan menyerah, kata d’Masiv.

Apakah aku ini ilmuwan. Kalau ilmuwan mengapa meracau. Kalau ilmuwan mengapa hiperbolik. Oh, benar-benar berbeda rasanya. Malam ini dan beberapa malam yang lalu. Mungkin memang beginilah akhirnya Asus X450C, untuk bersenang-senang. Sedangkan HP Stream 8 malah untuk bertempur. Sudah tidak pada tempatnya membandingkan, bahkan sekadar membayangkan diriku seorang Ji-Ai, entah di Point Kumana atau di mana. Lebih baik aku membayangkan diriku seperti Gerben. Seperti apa dia. Seperti apa Laurens. Adriaan. Sungguh kasihan. Aku bisa apa.

Minum rum dicampur coca-cola, hahaha dengan terompet yang ditutup pengedam. Uah, rasaku! Dari mudaku. Di pojokan itu, di bawah tangga. Sekarang jadi sarangnya Pak Amin. Tinggal dijalani. Kurikulum sudah berubah entah berapa kali. Mengapa resah. Mengapa gelisah. Sedang anak-anakku sudah gadis semua. Tiada akan lama mereka akan menjadi perempuan. Aku tidak gelisah. Aku hanya harus... Aku... Ah, sedangkan Duma, sedangkan Klowi, sedangkan Luna. Aku memang sentimentil. Kurasa aku akan selalu begini. Aku hanya harus bertahan.

Lalu campuran kunyit dan cardamom, diberi madu. Aku mengidap hipertensi. Semakin lama entri-entri semakin tidak bisa dibaca. Aku membiarkannya begini. Ini hanya tinggal sisa-sisa, karena aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Tahuku hanya ini. Akankah aku masih sanggup menjadi ilmuwan, tidak malam ini. Mungkin besok pagi. Entahlah. Bukan aku tidak pernah dengar Tome Pires. Bukan aku tidak pernah dengar Suma Oriental. Apalagi Babad Tanah Jawi. Akhirnya sampai juga ke tepi sana. Naik feri gratis lagi.

Dan ketika engkau memelukku, betapa hangatnya dirimu. Namun mengapa aku harus memilikimu. Itulah sebabnya. Sebenarnya engkau itu pemberian, tapi tidak berarti lantas engkau menjadi milikku. Meski tetap saja aku berdoa memohon milik. Tidak. Aku memohon karunia. Jauh di dalamku terdapat cukup cinta untuk kita bagi berdua. Lihatlah sekeliling dan kau akan menemukannya di situ. Uah, ada hari-hari tiba-tiba saja aku enak bernyanyi-nyanyi diiringi petikan gitarku sendiri. Untuk diriku sendiri dan dinding-dinding ini. Lain itu tidak.

Malam ini... bahkan aku tidak lagi percaya pada entri. Jika aku saja sudah enggan membacanya, betapatah ada yang masih suka membacanya. Aku jelas bukan Mochtar Lubis atau siapapun itu. Aku justru teringat padanya, yang sempat terpikir olehku untuk menulis eulogi. Di sini. Kasihan betul jika itu sampai terjadi. Ini tempat berolok-olok. Aku saja yang tolol membayangkan ini bisa dikurasi. Kurasi wasaisi! Siapa aku, SM Ardan?! Sepuluh kata terakhir ini kutulis sekadar agar lima dua lima.