Monday, January 31, 2022

Setelahmu Memang Bukan Bentuk Baku


Harus dicatat di sini, yang istimewa dari rendisi Antonius Ventura terhadap setelah engkau adalah selingannya. Ingat, selingan, bukan nyamikan 'loh. Setelah setelahmu malah ketagihan, malah dilanjut apabila engkau minggat. Ya, minggat saja sana. Apa ketika dikeroki, apa setelah disabet sapu lidi sampai menancap-nancap di tengkuk, minggat selalu menjadi kebiasaanku. Sedang air panas bersimbah madu, jahe merah, dan mentol ini membahasi kerongkonganku, ada yang seperti menyangkut di sana, sudah terlalu sering aku merasakan yang seperti itu, tak mengapa.

Uah, cocok belaka dinamai Charmaine, membawa suka-cita, keriangan. Sesuatu yang katanya ada di dunia ini, namun--mungkin karena aku pemurung--jarang kutemui. Hidup seperti inilah yang akhirnya kupilih, atau dipilihkan untukku, aku tidak peduli. Mungkin itulah sebabnya aku diberi daya khayal yang di atas rata-rata, karena dedaunan hijau musim panas sudah memanggil-manggilku pulang. Pengembaraan ini sudah terlalu membosankan bagiku yang, jangankan mengembara, jalan-jalan saja tidak suka. Akibatnya aku buncit dan lemah begini, rata kanan-kiri. 

Jika kau mencintaiku, benar-benar mencintaiku, maka lakukanlah, aku tidak peduli. Lakukan apa. Memberakiku yang memang sudah tidak punya harga diri ini, meski keturunan bangsawan, meski pangeran aku ini. Ahoi ho hoi, dunia sudah tidak butuh bangsawan, pangeran dan sejenisnya, sedang seling-selingan ini memang benar-benar charmaine. Dari sinilah asal gembira, suka-citaku, melalui seling-selingan ini. Aku tidak suka nyemil apalagi kalau merepotkan. Jangankan kepiting saus lada hitam atau telur asin sekali, kacang kulit saja sudah terlalu merepotkan bagiku.

Ahaha lebih baik jangan, meski ini diilhami oleh versi Ray Charles, mungkin aku sudah terlalu biasa dengan rendisi James Brown yang penuh kekuatan terhadap Georgia dalam khayalku. Georgia itu sebuah negara berdaulat jika saja tidak dipaksa masuk ke dalam federasi Amerika. Ya, kedua orangtuaku memang bernenek-moyang dari selatan Jawa. Tidak heran jika aku merasa lebih terhubung dengan bagian selatan pesisir Amerika timur ketimbang utaranya. Mungkin aku--seperti Tom Jefferson--semacam pemilik budak yang baik hati, jika bukan pecinta negro sekali.

Lantas Serazad dari masa kecilku, di suatu siang hari ketika Pancito riang menyanyikan bayi-bayiku bola-bola, sedang diputar bolak-balik begitu sehingga terlihat lucu. Untunglah kutemukan kembali setelah salah menutup tab, ketika mau menutup pratinjau. Maka setelah kenangan tentang Georgia yang lucu, aku menyusuri Sungai Bulan. Tidak, aku tidak mau melakukannya bersama Holly Golightly. Aku, jikapun tidak bersama Cantik, lebih suka bersama Bude Connie, atau, lebih tepat lagi, Ibu. Ibulah yang kali pertama membawaku ke Sungai Bulan ini, menghiliri mudiknya.

Heh, ini kecerdikan! Apa Anton menafsirkan Sungai Bulan sebagai Mississippi, menyambungnya begitu rupa. Suka-suka dia, memang cantik dibuatnya. Tak heran Ibu menyukainya. Oh, ubin kelabu, karpet vinil biru muda, laut. Mungkin bukan laut benar-benar, bagaimana aku bisa sampai berpikir benar-benar laut padahal aku dibesarkan di tepi lapangan udara. Sanggupkah aku, seperti Febby Aldrian dan Ari Sutopo, hidup tidak jauh-jauh dari lapangan udara seumur hidupku. Sekarang hidupku tidak jauh-jauh dari tepian sungai dan itu cukup baik untukku. Aku menyukainya.

Sejak bertemu denganmu, Sayang, aku hampir gila. Hahaha, memang inilah yang akrab denganku dari kecil, jadi tidak heran jika aku mengalami, menghayatinya. Biarkan angan melayang, bersama soleado ini, yang bisa saja disalah-mengerti sebagai lagu Batak, ke bilangan Jeruk Purut, dekat Mesjid al-Barkah itu. Sungguh nyaman bekerja di sana, meski AC-nya seingatku agak terlalu dingin. Di mana pun AC akan terasa begitu olehku. Hanya di sinilah, menghadap tirai bambu ini, atau di Jang Gobay bersama teriakan elang dan betet, aku tidak merasa kedingingan. Biasa.

Barcarolle, bukan Mull of Kyntire!

Saturday, January 29, 2022

'Kuakui, Ini Memang Entri Tentang Legiman


Mengitiki tiap hari, harus diakui, memang lebay. Nyatanya, berapa kali saja aku harus beretroaksi untuk melakukannya. Namun, menjaga agar entri tidak lebih dari bilangan tertentu dalam sebulannya, harus diakui, memang artifisial, tidak mengalir. Berkesenian itu seharusnya seperti deburan ombak. Kau tidak akan pernah tahu sebesar apa deburannya pada suatu saat tertentu. Bisa jadi ia bahkan tidak menyentuh ujung jari-jari kakimu, atau, dalam kasus Pendeta-wanita Uxia, tentakel-tentakelnya. Lain waktu, sangat mungkin ia mengebur sekuatnya sampai kau kuyup.

Segelas plastik merah teh hijau bersimbah yuzu menjadi penggambaran bagi keluh-kesah seorang kekasih yang lelah menggapai hati kekasihnya, dari sekitar empat puluh tahunan yang lalu. Namun hatiku dibebani gerah-panasnya hari, sehingga tak beranjak ia dari suatu petang selepas ashar di tepian Cikumpa. Awful di belakangku mainan henfon, sedang manusia terus saja menderita kerugian, melainkan yang beriman dan beramal sholeh. Baik Yohanes Gunadi maupun Tarsisius Legiman sudah menyatu dengan tanah di sana-sini jasadnya, sedang perutku membuncit.

Ini bisa jadi siang yang lebih tertahankan dari sekira lima belas tahun yang lalu di sebuah Metro Mini S.72, ketika begitu saja Bu Sudjiah menyapa: "Bono, ya." Seandainya pun Bu Sudjiah ini ibunya Vicky atau Ramona sekalipun tidak akan banyak mengubah apapun. Agak berbeda halnya dengan Agnes, yang dari jendelanya di bilangan Cipinang Jaya melambai padaku. Seorang pengamen bersumpah, sebagaimana Tuhannya, demi masa. Cukup bagus, seingatku, suaranya. Mungkin tidak sampai habis perjalanan S.72 itu, mungkin sampai PIM yang baru satu, belum dua.

Dagon, sementara itu, bukan film horor, melainkan sadis. Masa ada orang dikuliti kepalanya dari dada. Selebihnya, ia adalah film berkarakter, berkwalitet, sebagaimana disukai Wong Edan. Entah apa yang habis kulakukan, begitu saja sekitar jam babi aku melangkah ke Sarang Beto. Jika aku sampai meminta seorang gadis untuk membuka kacamata hitamnya, itu pasti di bilangan Graha Bintaro. Bagaimana caranya kesehatanku masih jauh lebih baik saat itu, dan begitu memburuk kini. Aku sering mengamati derum tambur senar artifisial pada peralihan bait. 

Ini lain lagi, meski sama-sama petang. Akung sudah kondur, kurasa, seperti halnya Bapak sekarang. Petang seperti ini terkadang membuatku heran. Berbaring-baring pada ubin kuning sejuk, mengapa aku tidak bermain keluar. Apakah ini sebelum jam empat. Begitu lama jam empat petang sangat berarti bagiku, sebagaimana setengah enam, setelah Berita Nusantara. Ya, aku berasal dari generasi itu, seperti jutaan lainnya, seperti Fina Pitono yang sekarang seorang perekayasa, yakni, semacam peneliti BRIN. Abi Nisaka, sementara itu, bekerja untuk Kalbe Farma, Suryo polisi.

'Tuh 'kan, dari Maret 1996 aku sudah saling setia. Mungkin sekitar waktu-waktu ini juga aku menghadapi kenyataan hidup. Kurasa itu memang pengalaman pertamaku. Namun aku lebih suka mengenang kemudaanku ketika itu, berganti-ganti merek rokok sesuka hati. Pada saat ini mungkin aku sudah tidak terlalu Bentoel biru, meski belum juga Minak Djinggo Nojorono. Kemungkinan besar aku masih A King, apakah itu merah atau hijau. Seingatku jaman segitu aku bahkan belum kenal Djarum Super, jika Filter terasa terlalu arus-utama. Kemudaanku seperkasa itu, ketololanku.

Astaga, aku, karena telah terbiasa, malah terlempar ke Laut Jawa, Selat Karimata, bahkan mungkin Laut Cina Selatan sebagai seorang kelasi kadet dalam perut Teluk Sampit 515. Tidak ada yang kusesali dari dermaga Kolinlamil itu, kecuali membayangkan betapa adik-adikku menempuh perjalanan ke sana dari Radio Dalam. Mereka pulang lagi, sedang aku masuk lagi ke dalam perut pengangkut tank itu. Di dalamnya, kurasa ada Mentor Basuki Tri Usodo dan mentor-mentor Octopussy lainnya. Terserah apa mau dikata, memang cucomeong aku di situ. My name is Bon. Bono.

Saturday, January 15, 2022

Berteman Temaram Lampu, Tertunduk Malu


Baru saja kuteguk habis teh oolong dalam cangkir plastik merah kesayanganku. Tadi sempat menyusuri lorong-lorong Hypermart BBM yang dahulunya Giant, tidak ada satu pun gelas atau mug yang cocok seperti keinginanku. Apa harus kucari di TipTop. Gelas Leoku yang pernah berpose berisikan seduhan madu hangat, sepulang dari mengajar di Salemba. Entah di mana kau sekarang, seperti halnya yang sepertimu namun polos bening, kupecahkan karena terlalu lama dimagnetron. Sebentar ini akan kuisi-ulang gelas plastikku dengan air panas pengser.

Aku terhenti cukup lama gara-gara mainan Tokped. Tidak perlu kuceritakan di sini mengapa sampai bisa begitu; yang jelas, menjelang tengah malam ini, aku tidak perlu hujan buatan dari Yutub, karena memang sudah hujan sungguhan. Sementara aku akan menunggumu, yang sempat membuatku tercekat di dapur ndalem Yado, hujan rintik menderas di luar sana. Tepat di sini terhenti sepanjang malam sampai pagi menjelang, sedang pengisi-daya irfon blutut kubiarkan menganga begitu. Kaum pecinta bunga San Fransisco telah dilupakan Mamanya Afi.

Musim panas tahu bila menanggalkan gaunnya. Hanya itu yang kuingat sebelum kusuruh gadis kecil itu pergi. Siang bermendung begini aku berusaha menajamkan pendengaranku untuk menangkap ketak-ketik paling awal dari gerimis. Ada terlintas tadi untuk makan siang kemakmuran sapi, namun sudah berhari-hari ini sebenarnya aku kurang nafsu makan. Jika sampai terhidang makanan di hadapanku selalu kulahap habis, 'sih. Aku tidak tahu kalau yang tidak enak, karena beberapa hari terakhir ini hampir selalu makan enak. Kecuali sarapan, selalu warteg.

Gelas permata bau amis telur karena memang tidak benar-benar kucuci, hanya dibilas-bilas saja, sedang ia digunakan untuk menyeduh madu mentol jahe merah. Adanya bau amis itu, adalah aku sarapan nasi warteg Syifa dengan telur ceplok kuah pedas, tahu hancur--begitu namanya kata penjualnya, buncis udang yang tidak disiangi sungut-sungutnya. Selalu saja begitu menuku, empat belas ribu Rupiah, tidak pernah ganti. Dulu terkadang aku memesan capcay, tahu jamur tiram, atau teri kacang. Memang jangan cari gara-gara mengeluarkan jemuran jika cuaca begini.

Satu-satunya kelebihan irfon blutut Macson adalah ketiadaan kabel yang terkadang memang menuntut perhatian lebih, selain tentu saja harganya yang lebih dari sepuluh kali lipat. Dibanding irfon Miniso tiga puluh ribuan ini, Macson sama sekali tidak ada tendangan bassnya. Jangan-jangan gincing dan keces trebelnya pun tak ada. Ya sutra lah, let's do it again bersama seorang perempuan muda yang membangkitkan birahi namun tolol. Lagipula, buat apa cerdas barus, bijak bestari, jika sekadar untuk membangkitkan birahi. Apapun, inilah aku menari melonjak-lonjak.

Leher belakangku yang beruam belum sembuh sepenuhnya, sedang Karnaval Brasilia sudah sepenuhnya melaju menggebu. Aku tidak mengenakan kostum apapun, kecuali sepotong celana pendek bermotif kotak-kotak a la Skotlandia ini. Seperti selebihnya, aku menari melonjak-lonjak tertawa-tawa, sedang dada telanjangku bersimbah peluh keringat. Perut buncitku pun ikut melonjak-lonjak seirama lagu, yang semuanya semata ada dalam khayalku. Memang seingatku aku lebih sering memutar ingatan daripada koleksi keemasan, membawaku ke musim panas India.

Seketel air mendidih jauh lebih baik daripada mondar-mandir keluar-keluar tidak bisa diapa-apakan juga. Begitulah aku kembali pada kenyataan hidupku setelah hingar-bingar karnaval berlalu. Apa yang kuharapkan, bolehkah berharap jika tidak melakukan apa-apa. Hidupku bergelimang harta, tidak ada yang kuinginkan dan kubutuhkan yang aku tidak punya. Meski kadang entah bagaimana tersumbat, kembali lancar seperti biasa, ketika aku menjalani hari-hariku di Sepurderek. Tidak seperti di Uilenstede, aku tidak perlu keluar kamar untuk ke kamar mandi.

Thursday, January 13, 2022

Patil Patah-patah Tetiba 'Nunda


Ini judul yang epik, meski penggambarannya tidak terlalu. Aku bisa gila lama-lama kalau begini terus (bukannya sudah). Banyak yang harus kubeli. Mobil misalnya, jika atas-meja semua-jadi-satu belum perlu. Mau dekat-dekat Mbak Puas belum tunai janji. Beginilah tiba-tiba di malam Jumat yang mulia ini isi kepalaku. Bukannya membaca sepuluh ayat pertama dan terakhir Al-Kahfi malah begini. Bukannya Yasinan Fadhilah malah mengitiki yang tidak-tidak. Sudah tahu aku tidak keren (penggeli), terus saja mengitiki. Jangan lupa, ini Asus Vivobook. Enam baris saja.

Asal tahu saja, aku selalu suka keindahan. Segala yang halus, bagus, aku suka. Maka jangan kauharap merusaknya, Ketonggeng. Tidak mungkin ia kujadikan antagonis, karena Ketonggeng adalah jagoan almarhum Bapak untuk membunuh jangkrik genggong jagoan Paklik Gupuh. Uah, lucu sekali suasana malam Jumat yang sudah tidak muda ini. Rasanya justru seperti Minggu malam yang ada Spenser untuk disewanya. Tentu saja, semua hari sekarang terasa seperti hari libur, sudah dua tahun terakhir ini. Suara tanpa tremolo, tanpa vibrato inilah yang ditiru, antara lain, oleh Rafika Duri dan Iin Parlina.

Ketika aku mengamangkan tongkatku, sedang mantra ridikulus sudah ada di ujung lidahku, Juwita dan Si Sirik saling memantrai abrakadabra dan alakazam. Ini tidak pernah terjadi di dunia nyata, karena alakazam biasanya digunakan Si Sirik untuk menjahili orang tak berdosa, dan abrakadabra digunakan Juwita untuk memperbaikinya. Betapa indahnya dari Setia Kawan di pinggir kali bau Bendungan Jago. Sudah, tidak perlu diingat-ingat lagi. Di depan sana ada yang tak terhingga kali lipat cantiknya. Kau hanya harus menunaikan semua janjimu tanpa kecuali.

Nah, kalau aku berdansa tango dengan Rempah Bayi begini, siapa yang bisa melarang. Aduhai, Cantik! Bukan daging yang merasakannya, melainkan hati. Hatimu yang dibuai-buai perasaan bergairah namun nyaman. Perasaan cantik. Ya, seorang lelaki bisa saja merasa cantik, meski tentu saja tidak seperti perempuan setelah memoles dan memulas wajahnya. Lelaki merasa cantik jika hatinya dibuai gairah yang menyamankan, seperti belaian. Hampir seperti belaian ibu yang bahkan kau tidak pernah ingat, seperti itulah rasanya ketika lelaki merasa cantik.

Jam Casio Databank-ku menunjukkan lewat lima dari pukul sepuluh malam, ketika semua sudah berangkat tidur seharusnya. Aku tidak terlalu suka mengingat-ingat ketika justru pada saat seperti inilah aku mulai merokok. Jika tidak ada rokok, tidak ada uang pula, maka mungkin aku akan mengobok-obok saku baju dan celana almarhum Bapak. Terkadang terkumpul hanya cukup pembeli beberapa batang, terkadang satu bungkus sekali. Mungkin kuseduh juga kopi agak secangkir atau semug besar, tergantung suasana hati, lantas bisa jadi Jalur Bintang Generasi Berikut.

Uah, akhirnya ketemu juga yang baru, yakni Aruanda, semacam Nirwananya orang-orang Brazil keturunan Afrika. Iya lah, masa hidupku membosankan saja begini. Sekalinya aksi tolol-tololan semacam APC atau IC, selebihnya khayal belaka. Entah bagaimana, sesungguhnya aku tidak berani mengaminkan doa almarhum Bapak untukku. Buat apa segala kepahlawanan itu, aku terlalu malas untuk menjadi pahlawan. Namun Bapak menginginkanku begitu, menjadi pahlawan. Tidak tepat seperti pahlawan, tetapi menegakkan kebenaran dan keadilan. Semacam itu saja.

Malam ini, tidak seperti dua malam kemarin, udara kembali panas. Perut kanan bawahku terasa kembung tidak nyaman. Sumbatan ini, Insya Allah, akan segera jebol, membuka jalan bagi air deras. Tidak perlu air bah, cukup deras saja mengalir sampai muara di sebuah teluk yang indah permai. Melewati hutan-hutan bakau yang makmur lagi sentosa. Aku tidak mau berkhayal seperti Sindhunata mengenai buaya yang berenang-renang bersama anak monyet, sedang macan main petak umpet dengan kerbau. Biasa saja, sampai selesai dengan sebaik-baiknya, selamat dan berkah.

Aamiin Yaa Robbal'aalamiin

Tuesday, January 04, 2022

Monokel, Monokromasi, dan Varikokel


Haruskah alat secantik ini terbatas kegunaannya hanya untuk mengitiki. Tentu saja tidak. Suatu hari nanti, yang Insya Allah tidak lama lagi, ia akan berguna untuk menuangkan berbagai buah pikiran yang runtut dan teratur. 'Tuh 'kan, untung saja aku memeriksa KBBI dulu. Hampir saja kugunakan "runut" alih-alih "runtut". Runut itu artinya jejak, sedang sifat sesuai urutan dan alur logika itu runtut. Itulah yang tidak ada dalam goblog ini. Bukannya runtut, adanya mbuntut, seperti halnya dulu Ibunya Sodjo waktu masih seumuran Aryo sekarang kalau sedang menempel di pagar.
 
Akan halnya menunaikan janji, sepertinya harus kulakukan dengan Asus Vivobook. Aku tidak memberi nama panggilan pada gawai-gawai ini, karena mereka bukan pesawat pembom apalagi kapal selam atau permukaan. Mereka sekadar gawai, meski secantik apapun, sekeren apapun. Biarlah Gomer Pyle memberi nama senapan serbunya, kalian semua tahu bagaimana ia berakhir, bukan. Aku tentu tidak ingin menjadi Gomer Pyle. Bahkan ketika aku masih tergabung dengan Peleton 3 Kotakta A Batalyon I Resimen Chandradimuka 1994 saja, bukan aku Gomer Pyle-nya, melainkan Dedi Kurnia atau Mulia Putra.

Meski begitu, jelas aku tidak setanding dengan mereka. Aku, dibanding mereka, kelas tahi kambing. Mereka prajurit-prajurit sejati. Aku bahkan tidak pantas disamakan dengan Bertram Bryce sekalipun, apalagi Desmond Doss. Aku, seperti kata Rumi, hanya bisa menghasilkan kekonyolan-kekonyolan. Aku hanya bisa berolok-olok. Kurasa, semua orang, Pak Harto sekalipun, pernah merasa rendah diri, tidak punya martabat, atau yang sejenisnya. Akan halnya aku, memang sudah lama tidak pernah memesan martabak, Maestro sekalipun, karena makan martabak dengan nasi dikecapi menyakiti perut; mungkin karena adonan kulitnya. 

Terkadang aku kasihan pada Paolo Mantovani. Rendisinya yang sempurna tanpa cela terhadap nomor-nomor latin klasik kugunakan untuk berolok-olok, mengitiki ketiakku sendiri, pura-pura merasa geli sendiri padahal tidak. Di waktu-waktu yang lain, pernah juga aku menggunakannya untuk menemaniku menghasilkan hal-hal yang berguna di mata orang lain. Tepat di sini aku sungguh ingin berdoa, memohon pada Sang Hyang Maha Kuasa, untuk menunjukiku apa yang berguna bagi sebanyak mungkin orang, terlepas aku sendiri tahu atau tidak--mungkin lebih baik tidak tahu. Namun, seperti berulang kali kukatakan, ini bukan tembok ratapan.

Memang aku ini sungguh tidak tahu diri lagi tidak tahu malu. Apapun dalihku mengenai berbagai reaksi kimia dalam tubuhku, seperti ketika Rick Harrison menjelaskan mengenai sistem peredaran limfa, bukan alasan untuk membiarkan diri merugi terus-terusan begini. Oskar Schindler merugi terus-terusan karena menolong banyak-banyak orang Yahudi, lebih dari seribu katanya. Aku, merugi terus-terusan, siapa yang kutolong, berapa banyak, sampai Paolo Mantovani mengakhiri konsernya bertajuk Suasana Hati Latin, sambil mengucap "Pergilah bersama Tuhan."

Terpujilah Tuhan, Maha Suci Ia, sedang hamba yang tak tahu diri ini terus durhaka bergimang dosa. Meski begitu, Tuhan Maha Baik masih mengirimkan bagi hamba celaka ini burung-burung flamingo, dengan warnanya yang semu kemerah-merahan, ada pula yang cenderung jingga, karena banyak memakan binatang-binatang bercangkang yang kaya akan beta karoten. Flamingo-flamingo ini mengucap selamat malam padaku, koboi cengeng lagi tolol, berkepala botak dan kelebihan (banyak) berat badan, sebagaimana cercaan Chum Lee pada bossnya sendiri.

Suasana hati yang romantis ini datangnya dari mana, apakah dari seorang latina Venezuela blasteran Kandahar. Oh, aku tidak bisa berhenti konyol, berolok-olok, meski di sekelilingku penuh bertabur kecantikan hanya bagiku sendiri. Memang seperti itulah kecantikan seharusnya. Sangat pribadi, sangat intim. Sempat terbagi bahkan sekadar dua, maka tidak pantas menyandang gelar itu. Cantik hanya bagiku, apapun itu, kuhadapkan pada Penciptanya dengan tangan terangkat terentang penuh, sedang kepala tertunduk mohon belas kasihan, sedang hati dipenuhi rasa terima kasih.

Sunday, January 02, 2022

Gatholoco Mengocok Bandot Berjubah, Bersorban


Memang enak ngegoblog, begitu kata Togar. Enak? Harus berapa kali kuulangi kalau mengitiki itu sungguh tidak enak, menyakitkan bahkan. Coba bayangkan, mengitiki ketiak sendiri. Masih mending kalau mengitiki Ramya Rachel seperti pernah dilakukan Sugiharto Nasrun, yang membuatku sangat ingin menghentikannya. Namun, sekarang maupun dulu, keputusanku tetap. Bukan urusanku! Apapun itu, beginilah nyatanya, seperti setahun lalu ketika aku memandangi dinding pemisah dengan Kristina Kefala, aku mengitiki. Bedanya, ketika itu mungkin aku ditemani secangkir macchiato vegan, sekarang segelas permata teh tarik.

Setiap hari aku berusaha menambah pengetahuanku, meski itu mengenai hal-hal yang tidak jelas manfaat, faedah, maupun kegunaannya. Hanya dengan itu aku merasa agak berguna, padahal sudah jelas pengetahuan-pengetahuan yang kutambahkan pada gulai benakku tidak berguna. Semoga teh tarik ini tidak menyakiti perutku. Cukuplah jika ia mengeluarkan kodok bangkong raksasa dari dalamnya. Tiba-tiba aku teringat Sarpakenaka, yang kukunya tajam dan panjang-panjang, saudara perempuan satu-satunya dari Rahwana, Kumbakarna, dan Wibisana. Uah, mustahil itu semua sekadar khayalan Resi Walmiki.

Aku berbicara mengenai kakak beradik ini seakan-akan kenal dekat, anak-anak Begawan Wisrawa dari istri keduanya, Dewi Sukesi. Habis sekitar seratus mililiter, teh tarik ini kelihatannya mulai beraksi. Tidak benar-benar menyakiti perut, namun perasaan tidak nyaman di wajah dan kepala ini jelas pertanda aksinya. Bagaimana aku bisa tahu jika kepalaku sudah beberapa hari ini terasa lucu. Aku mengatakannya lucu seakan-akan seorang marinir perkasa, seperti Kolonel Oni Junianto. Aku jelas bukan dia atau marinir manapun, yang paling gak setil sekalipun. Seperti John Gunadi, aku hanya menggemari marinir, entah mengapa.

Tepat di sini aku rasanya seperti ingin meminta bantuan, atau menenggak habis saja teh tarik di gelas permata. Haruskah mengheningkan cipta berbau gulai begini, atau memang salah satu efek gulai adalah memudahkan orang mengheningkan cipta. Mau dibawa ke mana ini, entah bagaimana, mengingatkanku pada Intan, anak perempuan berambut keriting seperti anakku. Apa kabarnya. Sudah sebesar apa sekarang. Semoga nasibnya baik. Aku saja sudah setua ini dan, Alhamdulillah, Allah masih terus berbelas kasihan kepadaku. Semoga demikian pula adanya ia, begitu juga semua anak Babe Tafran.

Dari putih diganti menjadi sepoi-sepoi masih lebih baik daripada orang lain menghantam-hantam selangkangan busuknya Jodie; apalagi jika orang itu sampai anaknya Yovie Widianto. Bahasa Inggrisku meniru seorang bintara peleton komunikasi elektronik Batalyon Dua Resimen Infanteri Marinir Keenam pada masa Perang Dunia Kedua, sedangkan caraku mengitiki meniru cara berpikir Mas Toni Edi Riwanto, begini koq mau jadi akademisi, menulis disertasi. Ini sama saja mengolok-olok semacam Profesor Andri G. Wibisana atau bahkan Aristyo Rizka Darmawan, yang meski lebih junior dari Ahmad Madison bahkan Rizki Banyu Alam, sudah jadi cepe euy gegara produktif menulis.

Nama bagus-bagus Ayu Putri Sundari dibuat jadi Ayuenstar itu biar apa coba. Aku yang djadoel ini mungkin tidak akan pernah bisa mengerti. Aku yang cuma pura-pura punya anak ini juga pasti tidak akan pernah paham bagaimana sebenarnya punya anak, apalagi perempuan. Asaptaga, jika tidak gara-gara Mbah Gugel aku tidak akan pernah tahu apa maksud "korban MiChat" yang tertulis pada bak sebuah truk. Mengerikan! Sementara gulai mengheningkan cipta ini terus terbakar, seperti merokok Minak Djinggo tanpa benar-benar menghirup asap jelaganya dalam-dalam memenuhi paru-paru dan lambung.

Demikian pula, masker bila sudah berbau gulai, meski Orlee sekalipun mereknya, harus dibuang. Sebenarnya bukan karena itu benar. Sebenarnya sudah beberapa hari ini dia sudah berbau gulai, bahkan mungkin kena air liur. Hanya saja, sekarang sudah mulai bersabut-serabut maka kubuang. Dunia ini, Jagad Dewa Batara, sungguh mengerikan. Sanggupkah aku terbang tinggi menuju nirwana, lembut menembus rahasia, kukuh menahan putaran waktu, bersatu dalam damai. Seperti masker, mungkin begitu saja kumit tipitku suatu hari nanti. Sekarang saja tiada yang peduli, apatah lagi nanti.  

Saturday, January 01, 2022

Selamat Tahun Baru 2022, Yang Terpelajar


Ini harus segera disusul dengan Insya Allah, karena kaus oblong cina tua yang kukenakan ini sudah tidak karuan baunya. Berkeringat, dijemur, berkeringat lagi, dijemur lagi, entah berapa kali. Hahaha aku mengitiki beralas tempat tisu wajah dari kayu jati masih diganjal wadah plakat boleh main juri-jurian NACE Competition. Dahulu, wadah begini cukup keras untuk digunakan sebagai makura. Sekarang ini, jika kugunakan begitu, pasti akan langsung ringsek. Jadi untuk alas mengitiki saja. Aku ditemani oleh sebotol 450 ml Teh Botol Sosro kurang gula, yang warna putih abu-abu itu. 

Mungkin lebih dari sebelum-sebelumnya, 2022 ini benar-benar harus diselamati, atau diselamatkan. Dalam suasana begini, aku benar-benar tidak habis pikir mengapa membiarkan Fadly Arifuddin meratap-ratap sok sufistik begitu dibuat si Dul Jaelani. Ini benar-benar gara-gara terbawa suasana terharu-biru gimik Berhala Indonesia 2020. Asaptaga, dari dua tahun yang lalu. Entah mengapa, aku jadi teringat pada bengkel gitar di dekat stasiun metro Vijzelgracht. Aku, ketika itu, masih sanggup melangkah gagah dan cepat, sekitar akhir September 2020. Belum ada Gregorius maupun Gerardus kala itu.

Dengan mata kepala sendiri kusaksikan Plasa Qoryatussalam Sani pada sekitar pukul setengah sepuluh malam, lengang. Biasanya di situ setidaknya ada gerobak batagor, bahkan gerobak pempek, dan, yang paling kurindukan, susu jahe merah (sujamer). Maka biarlah aku terlempar ke Sint Antoniuslaan, Maastricht, yang sudah dekat Paralelweg, dengan meja dan kursi kantor boleh beli di Kringloop. Di Amsterdam ini aku malah tiada mainan kringloop sama sekali, meski kemarin di dekat Uilenstede itu sebenarnya ada. Pernah sih aku lihat-lihat yang di Insulindeweg ke sana lagi, tapi tak ada yang menarik. 

Sementara kupandang dupa lingkar yang semakin panjang, lama-kelamaan ia tidak akan melingkar lagi, tetapi memanjang. Di sini aku tidak akan mengabadikan sei sapi apalagi sekadar jagung bakar-bakaran, meski, seperti dahulu pada 2019, aku memulai api juga dengan celana dalam bekasku. Aku bukan lagi remaja yang sedang dimabuk asmara. Kalaupun dimabuk, kumis tipisku yang impresif ini, yang menghias muka dan kepala bulat ini, jelas bukan milik seorang remaja. Aku, karena itu, hanya dapat menelannya, melewati kerongkonganku, membiarkannya dihancurkan asam lambung bergolak-golak.

Dupa lingkar semakin memanjang mendekati lantai, akankah kupindahkan ke bagian atas daun jendela. Itu lebih baik jika aku harus mengembalikan kasur biru ke tempat biasanya, dari kamar anak perempuan kesayangan. Kamu bilang aku tak sama, tak seperti saat pertama. Memangnya kapan. Tidak pernah. Aku yang bercita-cita menjadi nelayan yang menulis buku, atau apalah entah yang semacam itu, jelas gagal total. Semua ini pada akhirnya sekadar gaya-gayaan jika untukku sendiri. Takkan kulanjutkan pula dari titik ini, maka tugas Bali pun pernah terjadi di Jang Gobay. Apa hendak dikata.

Terlebih ketika masih dua begini, ketika sungguh aku enggan berbicara mengenai 2022 yang baru berumur beberapa jam ini. Tidak lama lagi dupa lingkar akan menyentuh lantai. Akankah salah satu dari ketiga tempat obat nyamuk kaleng dapat mengatasi masalah itu, atau haruskah kupindah ke atas. Dalam benakku timbul tanya, halah mana ada. Benakmu isinya mesum menjijikkan, bau pula. Bagaimana malaikat rahmat mau mampir, sedang malaikat pencatat amal terus saja mencatat. Aku sudah tidak siap untuk jatuh cinta lagi, setua ini. Celakanya, omonganku mengenai cinta sedangkal Sindhunata.

Ketika Ajla dan adik-adiknya dibuat Pak Insan berteriak-teriak mendukung yang merah-merah, itu sama saja dengan Kambing gila-gilaan mengenakan kaus bertuliskan Kau Tidak Akan Pernah Berjalan Sekarang! Horor, 'kan? Itu adalah bagian dari kenyataan hidup, sesuai dengan berbagai reaksi kimia yang terjadi dalam tubuh manusia. Gaya sih terdengarnya seorang dokter berbicara mengenai ribuan reaksi kimia dan hasilnya dalam tubuh manusia. Ujung-ujungnya kita semua sudah tahu, tinggal lagi masalahnya berapa kali kita akan mati. Demikianlah aku memulai 2022, aduhai banyak betul bilangannya.