Sunday, July 28, 2019

Entri Kesebelas yang Ditulis di Bagasnami


Mengapa harus malu jika ternyata sebuah entri memang suatu retroaksi. Yang harus malu itu justru kalau celana karung sudah tidak sanggup menampung perut. Padahal seharian ini hanya makan nasi uduk lengkap dengan telur balado, bihun, tahu semur, sambal dua macam beserta kerupuknya sekali, dilanjut sebotol V-Soy multigrain dingin, lantas bakwan malang lengkap dengan dua macam mie. 'Duh, harus diet 'nih. Tidak bisa lain. Dari kemarin cuma rencana saja makan havermut, nyatanya tiap bangun pagi masih juga mencongklang Skupi nyamperin nasi uduk. Mari jadikan kenyataan malam ini! Body goal akhir Agustus!


Demikianlah maka hari ini kami berkendara Gnebkan menuju Bagasnami. Agak kesiangan, karena sampai di Bagasnami sudah hampir dhuhur. Tiada berapa lama memang aku mengayun langkah ke al-Mustaqim yang, di tengah cuaca terik sekitar 36 ˚C, mengemposkan sekitar delapan sampai sepuluh pendingin udara berkekuatan setidaknya dua tenaga kuda masing-masingnya. Sepulang dari situ dengan badan agak meriang disko, aku mampir di warung beli beberapa macam Aice, namun terutama sekali moci durian agak dua biji, satu untuk Mama, satu untuk Tante Lien.

Sesampainya di rumah, Ihza denger 'aja kalau sedang ada bagi-bagi es krim. Jadilah ia dapat yang jagung, Cantik yang semangka, sedang aku cukup Teh Javana Gula Batu saja. Sambil menikmatinya, aku makan sayur asam dengan kerupuk kulit melempem sampai habis tiga perempat kantong. Menunggu jam satu siang, kami tidur-tiduran. Cantik tidur beneran, sampai akhirnya kami berangkat ke Transmart jam setengah dua. Afi sedang belajar bersama di rumah temannya. Ia tanpa membuang tempo segera pulang ketika diberitahu Oma Lien akan belanja bulanan.

Demikianlah maka kami berangkat berempat: aku, Cantik, Oma Lien dan Afi. Sesampai di sana Cantik mengantuk ingin ngopi, maka dipesannya secangkir cappuccino, untukku segelas susu hangat manis beraroma vanila. Aku menemani Afi membeli Chatime. Sudahlah mengantri, begitu sampai di depan kasir katanya kami masih harus menunggu 25 pesanan. "Edan!" Aku segera balik kanan, untunglah Afi mau mengerti. Ketika kutawari beli sesuatu dari kedai tempatku nongkrong, kata Cantik, "engga 'lah. Kalau untuk anak muda ya Chatime itu." Benar juga. Maka tidak jadi.

Seraya mereka bertiga belanja bulanan, aku mengetik komentarku terhadap umpan-balik Laurens. Untuk apa benar aku tidak tahu, namun sungguh lancar sekali mengetik di tempat-tempat sedemikian. Mengetik di kampus, terlalu banyak orang kukenal di situ. Sedikit-sedikit menyapa, mencolek, mengobrol, sehingga mengetiknya pun sedikit-sedikit. Di kedai kopi ini, meski sebentar agak lumayanlah yang kuhasilkan, sambil sekali-sekali mencecap atau menghirup susu manis hangat beraroma vanila. Menariknya, tiada kembung, sedang coklat kali terakhir mengembungkan.

Bagiku antara tidur-tiduran, tidur sungguhan sampai mengobrol dengan Mama dan Tante Lien sekali. Adalah sedikit ditingkahi Damai Indonesiaku, yang akan menjadi kenangan manis ketika harus kembali menjalani hari-hari Amsterdam yang sepi. Akhirnya menunggu sampai maghrib baru berpamitan pulang. Tidak langsung ke rumah, Gnebkan mengarah ke Pesona Square: Afung Phetshop! Badan agak kurang endeus, kuah Afung Phetshop pasti akan terasa sungguh mayestik membasahi kerongkongan, dengan sensasi kenyal-kenyalnya gepeng-gepeng, nikmat.

Aduhai, benar belaka! Belum lagi ditutup dengan Es Nona manis yang berbuah pepaya, kacangnya merah. Daripada nona lebih baik es nona, karena jijik. Takutnya bau, itunya. Najis ngapain juga nyium-nyium itunya. Amit-amit! Aku sampai berdoa-doa dalam hati, aduhai, betapa besar nikmat yang kurasakan ketika itu. Namun bagaimana dengan perut yang sudah tidak tertampung celana karung ini. Memang ada waktu-waktunya begitu. Insya Allah, dicoba tanpa dipaksa bisa sendiri. Setidaknya sebelum harus ditimbang di pos perawat. Malu 'dong, 'yekan.

Friday, July 26, 2019

Untuk Sebuah Togar. Sepucuk Surat Ini


'Gar,

Karena ini sebuah surat, aku harus berusaha membuatnya koheren. Meski kuat sekali dorongan untuk mengomentari kata pembuka surat ini, aku harus menahannya. Demikian pula kenyataan bahwa aku baru minum fanta stroberi campur seprit tapi ada nata de kokok sama telor kodoknya, bagaimana aku bisa tahan menghadapi segala inkoherensi ini. Sedang aku sendiri harus koheren, aduhai! Ini adalah sebuah surat untukmu. Meski kuat sekali dorongan untuk menjelaskan kau itu apa, aku harus menahannya. Ini adalah sebuah surat, dan surat harus koheren.


Meski kuat sekali dorongan untuk memastikan estetika, apa itu berarti aku peduli kosmetika, terlebih komika. Tentu tidak. Langsung saja. Apa kau sudah gila membiarkan Nesya melahirkan anakmu. Aduhai ingin sekali aku menambahkan tanda-tanda baca sekadar penegas, namun kau tahu 'kan sikapku pada tanda baca. Mereka mengganggu estetika! Atau logika. Atau kesehatan jiwa. Lalu kau membiarkannya tinggal di rumah membesarkan anakmu, untukmu. Dan jika ia suatu hari nanti ingin meninggalkanmu, kau katakan padanya, tinggalkan anakku padaku.

Hahaha... kau bisa menukas aku lupa minum obat. Aku tidak pernah minum obat. Parasetamol pun tak. Namun aku memang menggugatmu. Kau apakan anak perempuan... aduh, siapa pula nama Bapak Nesya itu, yang pernah kau sebutkan. Kau suruh ia melahirkan, merawat dan membesarkan anakmu. Apa ia mau. Nah, kini mengenai anak-anak perempuan, tentu saja terlahir dengan naluri merawat dan membesarkan anak. Jangankan manusia. Simpanse pun, ketika kepadanya diberikan anak kucing, didekap dan didekatkan pada dadanya, seakan menyusuinya.

Tiba-tiba saja aku kehilangan selera menggugatmu. Aku sudah tidak peduli, sebagaimana aku tidak pernah peduli apapun, mengapa manusia, sebagaimana seluruh alam ciptaan yang senantiasa genap, berkembang-biak. Biarlah mereka mau apa saja. Titit sendiri saja sudah cukup menyusahkan, mengapa harus memusingkan titit-titit yang lain. Kau pasti tahu ini tidak semata mengenaimu, karena aku memang tidak pernah memberikan kehormatan semacam itu pada siapapun. Aku menekuri seluruh alam ciptaan, dan penghormatanku hanya pada Sang Pencipta.

Tahukah kau, 'Gar, aku menulis surat ini seraya mendengarkan lagu-lagu dari masa kutika testosteronku masih baru diproduksi, masih segar-segarnya, kental-kentalnya. Mungkin karena itu aku jadi goblok. Namun, seperti diingatkan Hari pagi ini, aku memang pongah karena belagak bego. "Gua ga pernah belagak bego. Gua emang bego." Begitu kata Hari. Ini lagi! Mengapa kau biarkan Dita melahirkan anakmu! Kalau Kusmasai tidak usah dibahas lagi. Kalian semua membuatku berduka. Buat apa kalian berkembang-biak. Biar apa. Ini berlaku juga untuk Sandoro. Kau dengar?!

Lalu apa, aku harus berharap pada Ega atau Liked begitu. Tidak. Sebenarnya aku meratapi kegagalanku sendiri. Aku gagal mencegah diriku sendiri berkembang-biak. Terlebih horor, aku gagal mencegah diriku sombong. Kalian mendomestikasi perempuan-perempuan. Anak-anak kalian pun perempuan! Relakah, ya, ikhlaskah kalian anak-anak kalian didomestikasi oleh titit-titit macam kalian! Ini sudah memalukan. Seharusnya kita keluar sana memapas leher-leher celaka tempat bertengger kepala-kepala durjana. Namun disini aku mencaci-maki titit.

Sekejap tadi aku hampir bercerita padamu mengenai Fawaz yang mungkin berbakat menulis. Ia menulis mengenai Dery Tadarus si Tupai yang menemukan seekor landak beku lantas mencairkannya. Dery menghadapi dilema, haruskah ia mencairkan dan membiarkan landak itu hidup, atau membiarkannya beku dan menyerahkannya ke museum untuk meningkatkan nilai sejarah. Betapa surealis! Betapa impresionis! Ia belum lagi pernah membaca Kemacangondrongan sudah begitu. Semoga titit Fawaz dijauhkan dari kemesuman yang pernah melumuri titit-titit kalian.

Bono

NB. Fawaz pun bukan anak biologisku. Aku pernah dimarahi Prof. Anna Erliyana karena mengatakan "anak kandung." "Kandung?!" kata Prof. Anna, "emang kamu pernah mengandung?!"

Thursday, July 25, 2019

Latihan Dasar Kepemimpinan Jamur [Biawak!]


Bagaimanapun, terlalu banyak hubungan percintaan bisa bikin pusing, 'yekan. Bahkan kata Predi Airkeras kebanyakan cinta bisa membunuhmu. Ah, doi sih emang parahnya tingkat dewa[sa]. Sukurlah aku tidak sempat menonton pelemnya. Bahkan, sebelum pelem itu diputar di salah satu kanal pelem yang disediakan Nekmedia, eh, promonya abis. Jadilah belum ada kesempatan padaku untuk menontonnya. Ahai. Tadinya aku menulisnya dengan “y” koq terlihat seperti itu ya. Langsung kuganti dengan “i”. Lagipula ahainya nanti saja di paragraf berikut.


Nah, baru ahai! Ini adalah kali pertama aku menggunakan kibor BT Minisok. Semoga langgeng ya hubungan kelen, Minisok sama HP Strim 8, sampai kaken ninen. Astaghfirullah. Apa yang salah dengan diriku pagi ini. Ini bukan pagi bodoh. Ini sahur dan kamu malah mainan beginian. Bagaimana mau dapat Ismul A’zhom begini caranya. Terbangun sekira jam empat gara-gara kentut terasa ada ampasnya. Daripada kasus maka terhuyung-huyung ke WC. Aduhsai terrnyata memang ampas melulu. Mengapa sampai begini Stipwong.

Ngomse-ngomse, aku suka entri ini. Banyak sandinya. Apa perlu kusandi yang berikut ini. Sekali lagi biarlah yang kuingat adalah Ismul A’zhom. Ini gara-gara kemarin malam mendengarkan pengajian al-Habib Muhammad al-Habsyi. Yang kayak apa sih orangnya. Entah. Jadi kemarin beliau bercerita mengenai seorang santri yang ingin mendapatkan Ismul A’zhom untuk dirinya sendiri. Kata kyainya, lebih baik kau ke pasar sekarang dan amat-amatilah keadaan. Maka pergilah si Santri. Di pasar ia tidak melihat apa-apa. Semua biasa saja.

Tukang soto masih jualan soto. Tukang tahu masih jualan tahu. Ia sendiri masih tidak punya uang. Duh, kenapa Kyai menyuruhku ke sini, tidak dibekali uang pula. Pendek kata, tidak ada yang istimewa di pasar hari ini, kecuali… ya, kecuali, ada seorang gagah berbelanja di pasar menyewa jasa seorang kuli yang sudah renta kurus pula. Ia yang gagah itu berjalan melenggang sementara semua belanjaannya dibebankan pada punggung si Kuli Renta. Si Kuli jangankan memanggulnya, jangankan melenggang…

…tiap kali menaikkan tambahan belanjaan Tuan Gagah ke punggungnya, napasnya tambah tersengal-sengal. Sampai pada suatu kutika, si Kuli sudah benar-benar tidak berkutik. Kakinya gemetar menahan beban di punggungnya. Ia tidak sanggup lagi beranjak barang selangkahpun! [tanda seru sekadar dramatisasi] Demi melihat ini sang Tuan Gagah, bukannya menolong si Kuli, malah menghardik seraya menendangnya sehingga barang-barang belanjaan beserta pemanggulnya sekali centang-perenang di lantai pasar becek-bertanah. Si Kuli renta gopoh-gapah berusaha mengumpulkan belanjaan, menaikkannya lagi ke punggung.

Beringsut-ingsut kaki tuanya gemetar mencoba mengikuti langkah panjang sang Tuan Gagah. [entah bagaimana di titik ini aku teringat almarhum Abangnda Hidayanto Budi Prasetyo. Semoga Allah melapangkan kuburnya] Sekembalinya di pesantren si Santri ditanya oleh Kyai. “Jadi apa yang kaulihat di pasar?” Tidak ada, ‘Yai. Semua biasa-biasa saja kecuali ada seorang kuli tua… maka berceritalah si Santri mengenainya. [di titik ini entah bagaimana napasku yang terengah-engah. Masya Allah, adzan shubuh baru selesai berkumandang. Aku harus beranjak]

Nah!” sergah Kyai, “jika orang itu punya Ismul A’zhom, apa kira-kira yang diminta olehnya pada Gusti Alloh?” Woo… tak dungakno sikile cuklek, dengkule ambleg, matane njeblug, sirahe njepat… dan masih banyak lagi, tukas si Santri. “Itulah sebabnya sampai hari ini kau tidak punya Ismul A’zhom.” Lho, mengapa begitu, Kyai? Kuli tua yang kau lihat di pasar tadi, itulah guru yang mengajariku Ismul A’zhom. Segala puji hanya bagi Allah. Keselamatan, kesejahteraan semoga senantiasa tercurah pada RasulNya.

Saturday, July 06, 2019

Nasi Kongtol! Ini Semacam Penolol yang Menolol


Sanggupkah aku tanpa menyumpal kuping. Pengeras suara sudah memperdengarkan suara-suara yang seharusnya akrab dan kondusif, namun selebihnya adalah geremang dan hiruk-pikuk pasar. Aduhai perut engkau begini amat. Betapa sulit melaksanakan apa yang diwejangkan oleh khatib Jumat kemarin. Terlepas dari apapun ini sudah jam empatbelas dan Cantik sedang sopang-soping, dan mataku sempat terpejam. Sudah dapat diduga bahwa hasilnya akan sebuah entri, jikapun berhasil, karena rasa ini sudah cukup lama. Ada 'lah beberapa hari.


Rasa seperti ini sudah masuk Juli. Apa tidak malu memulai hari bersama Santo Fransiskus dari Asisi, sedang menikmati pemandangan begini. Tidak sampai menikmati, karena memang selalu ada dalam benak. Sebenarnya tadi yang terlintas adalah "di hati." Aduhsay mengerikan betul. Tentu saja mengerikan seperti perutmu. Bagaimana mau menghentikan jika baru saja kaujejalkan donat berlapis gula. "Gula 'kan makanan [sel] kanker," demikian tukas Mbak Yuli FHUI '87, maka sepiring penuh kulit berlemak ayam goreng?! Apa yang terasakan ini. Oh.

"Hei, Dayang, apakah kau mau kunikmati madumu," atau semacam itu. Di kamar berhantu yang bisa besar hantunya, dengan irama bossas begini. Masih sama saja dengan waktu itu, sekira 30 tahun yang lalu. Apakah itu konser Rainbow, entah VHS atau Betamax itu. Sedang tepat di setentangku pasti orang baik dia, apalagi kalau sampai sekadar bawa motor. Aku tidak lihat tanda-tanda kunci mobil. Sedang menyisir rambutnya yang lembab itu, terjatuh jepit rambutnya itu. Tidak akan ada selesainya dunia ini, begitu saja terus. Sungguh enggan membicarakannya.

Tidak, untukku sudah cukup. Betapa nikmatnya berdua-duaan dengan Quran. Qurannya sendiri mudah, istiqomahnya itu yang sulit. Jika tidak sanggup satu halaman setiap habis shalat fardhu maka setidaknya setiap hari. Entah hitungan mana yang menghasilkan khatam dalam empat tahun, lengkap dengan arti dan tafsirnya lagi. Hei, ini apa nasihat mulia begini kaurekam dalam comberan! Sungguh baik, sungguh sangat baik. Dapat kulihat, kau dan aku akan menjadi sangat baik. Tak satu saksofon pun 'kan membahagiakanku, karena aku tidak bugar seperti Kolonel Sigit.

Selain itu, mereka berdua anak yang baik. Semoga mereka bersikap baik juga kepada kedua orangtua mereka, dan kepada siapapun orang tua, bahkan yang gendut, botak dan mesum seperti aku ini. Aku tidak yakin dapat menyelesaikannya tanpa harus terbirit-birit. Boro-boro sehalaman. Perut ini dahulu dibereskan. Ini sudah sangat mengganggu. Bagaimana caranya. Ya Allah, hamba mohon pertolongan. Benarkah hamba masih mengandalkan bahkan diri sendiri. Di comberan sekalipun, dalam kubangan dosa ini hamba memohon hanya kepadaMu, kepada siapa lagi?

***
Masih saja adalah kata-kata yang begitu saja terlintas, meski Matt seakan mengeluh, seandainya aku tidak akan lagi menyanyikan lagu lainnya, dan ber-lalala. Ini menarik, tanpa sengaja dimulai dari Skylark yang sangat sulit untuk diikuti. Musim semi sekarang, di sini? Tidak, ini sudah musim panas, dan aku tidak peduli musim yang empat itu. Tidak ada yang benar-benar menarik dari mereka, atau apapun bagi laki-laki umur awal empatpuluhan ini, terlebih ketika mengantar bapaknya kateterisasi jantung, meski tidak jadi. Kuakhiri di situ kalimatnya, agar tidak berlari.

Tinggal lagi duit yang masih menarik, sambil menunggu menyidang skripsi. Apakah kelak menjadi tesis atau disertasi sekali, tidak banyak berbeda. [Duit, duit, duit] Duit bukan sembarang duit. 'Tuh 'kan, aku tidak bohong. Memang ada lagu semacam itu, ya, tidak perlu merasa jijik juga. Hanya memang lucu-lucuan belaka bagi seorang pangeran yang sudah tidak punya keraton. Yang hanya bisa menunggu datangnya Pak Patrick Fatruan, tanpa daya, di Pintu Keluar RSPAD. Yang memang hanya satu itu, bukan tiga. Daripada berlari, baik "yang" memulai kalimat tak apa.