Saturday, November 10, 2018

Fenomena Pahalawan-Dosawan: 25+ Tahun Lalu


Salah. Sudah berapa kali kukatakan, kalau hendak menulis entri, bukalah pengolah kata, jangan blognya. Nanti malah tidak jadi menulis. Nanti malah membaca-baca. Terlebih dalam suasana seperti ini. Terlebih ketika di pergelangan kiri melilit gelang tasbih berbiji tiga puluh tiga. [kucopot] Tidak perlu merasa bersalah ngomyang. Apa yang harus kau kerjakan, selesai. Apa yang ingin kaukerjakan, jadi. Selain begini, paling membangun peradaban. Semoga sudah begitu saja. Kalau aku yang membaca sih enak. Tidak tahu orang lain.


Sidang Pembaca, [halahpeño!] enak tidak sih membaca Kemacangondrongan? Aku tidak peduli kalau tulisanku tidak perlu, yang penting dia enak dibaca tidak? Enak ‘kan? Karena berpikir itu melelahkan, maka aku menulis tanpa berpikir. Dapatkah kalian membaca tanpa berpikir? Ini istirahatku. Ini caraku melepas penat. Ya, yang penat pikiranku, tapi terkadang jariku tidak mau berhenti. Tapi terkadang aku merasa ingin dan harus mencipta. Kreativitasku harus disalurkan, semacam nafsu birahi begitu. Harus dilampiaskan. Begini caraku melampiaskannya sekali waktu.

Lalu ada lagi perasaan. Apa lagi ini sebenarnya? Mungkin inilah. Bukan nafsu birahi, melainkan perasaan. Ya, aku sangat perasa. Terkadang aku mendapati perasaanku jauh lebih banyak dari yang kubutuhkan. Kalau sudah berlimpah-limpah begini aku harus bagaimana? Bisaku hanya ini. Kuluapkan. Aku memang tidak tahu malu untuk urusan ini. Mengapa orang harus malu dengan perasaannya? Itulah sebabnya aku tidak suka istilah “lebay” dan konotasi yang disematkan padanya. Orang Indonesia lebay sejak nenek-moyang, dan ini perangai baik!

Lebay dengan perasaan, namun tidak dengan nafsu. Sekarang malah terbalik. Anak-anak perempuan berpose berlebihan, berbaju kekurangan, bergaya sengit. (fierce) Sungguh tidak patut. Anak perempuan itu harus berperasaan halus, lembut. Tidak kepada dirinya sendiri, tetapi kepada orang lain. Penderitaannya, kesusahannya. Bapak pulang tampak lelah dan bersusah hati, anak perempuan yang menyambutnya dengan senyum dan sapa termanis. Mengambil tas Bapak, menyiapkan minuman hangat untuk Bapak. Semua khayalan belaka, gara-gara kebanyakan ‘nonton drama remaja di TVRI dulu. Kenyataannya...

...tidak banyak yang kuharap dari dunia ini. Perasaan senyaman ini, meski perut sedikit kembung, di hari-hari November yang terus berkejaran, di Amsterdam. Keren? Aku membelikan anak perempuanku baju hangat dari Bershka, sedang di Jakarta pun ada. Primark yang belum ada. Sedang soto-sotoan sewadah penuh bisa untuk seminggu ini setidaknya. Sedang roti dan uborampenya pun lengkap. Apa lagi yang kuharapkan. Jika pun malam ini aku tidak bekerja, itu karena malam minggu. Hari Pahlawan pun. Mengapa bekerja?

Itulah maka entri ini mungkin yang pertama dengan tanda operasi matematika. Ketika kamar cilik masih berhadapan dengan gang yang masih tembus ke belakang, belum diacak-acak oleh Adik yang idenya memang selalu tidak-tidak saja. Ketika gudang LKHT di lantai 4 gedung D masih bertikus berantakan di depannya. Ketika KB 218 berubah lagi susunan perabotannya, hampir seperti ketika aku datang kali pertama. Ketika Manipol-Usdek menjadi syair sebuah lagu. Ketika itulah tidak banyak yang dapat diharapkan dari dunia.

Inilah kesenian. Apa karena seniman lalu namanya harus begitu, Manthous. Apa karena semilir angin setelah istirahat makan kudapan kedua, tidakkah semua tahap sama saja selalu begitu. Kudapan, seperti juga kantin Bu Karim, semua tempat, semua suasana yang telah memberiku rasa nyaman. [tapi mengapa lapar lagi, padahal baru sekitar dua jam lalu makan] Dulu ada peyek bayam! Agak aneh memang, tapi aku sering beli. Seperti Minggu pagi dengan Surga Tahu dari tivi di Ruang Bersama belakang.

Selamat Hari Pahlawan. Selamat?