Wednesday, January 31, 2024

Kemarin Sekali Lagi, dari Samping Tamrau ke Aru


Ini malah maju sekitar tiga tahunan, mungkin setelah teman-temanku AAL XLIII menyelesaikan pendidikan perwira siswanya atau sekitar itu. Adakah aku di ruang kecil yang peruntukan aslinya mungkin dapur, karena ada jendela seperti loket yang menghubungkan dengan separuh yang mungkin seharusnya ruang makan. Namun di sekitar akhir 1998 itu, ruang itu menjadi ruang menonton televisi. Adakah aku sambil merokok atau makan mie telor dengan onderdil lengkap, ketika itu gunaku masih sedikit sekali jika bukan sama sekali tidak ada. Kaudapat apa yang kauberi.
Kalau yang satu ini selalu membuatku merasa sangat baru setiap saat, sepanjang hidupku hingga kini. Ia bisa di mana saja. Seperti malam ini, aku menginginkannya di McD Blok M Plaza. Belum terlalu malam, entah dari mana aku. Lurus dari pintu utama Blok M Mall, menyusuri Jl. Sultan Hasanuddin Dalam, menyeberang ke Blok M Plaza. Masuk untuk mendinginkan badan sambil lewat, membeli es krim contong Rp. 500, untuk lanjut berjalan kaki melalui Jl. Sampit II, belok kiri ke Jl. Sampit I untuk belok kanan ke Jl. Melawai Raya. Setelah bunderan lanjut lurus ke Jl. Gandaria Tengah III, untuk kemudian belok kiri ke Jl. Radio IV. Sampai mentok belok kanan ke Jl. Kramat Pela, langsung belok kiri ke Jl. Radio Dalam; setelah itu bisa lewat Deperdag II atau langsung saja Yado I.

Di titik ini, aku berada di ruang hidup E9. Entah apa yang kulakukan pagi-pagi di depan televisi. Di saluran apa dulu aku menonton suara, ketika itulah aku diajak tinggal bersama. Itu bahkan belum masuk 2013, bahkan belum musim penghujannya. Lalu kapan aku menggelosor di sampahan selurusan rektorat dengan VarioSty, sedang anak-anak kecil memperingatkanku. Betapa tak berdayanya kenangan-kenangan akan masa lalu. Ke mana perginya bapak dan ibu tua yang tinggal di warung gubugnya bersama beberapa ekor kucing, menjual nasi uduk sederhana. 

Ini, kalau pun kenangan, belum lama. Ini gara-gara Bing, aku berkenalan dengannya, dimanjakan oleh cintanya. Jam sepuluh pagi berdua saja di ruang HAN bersama Fajar Ricky Setiawan, entah berapa kali yang seperti ini terjadi, seperti berdua saja bersama Pak Sukmono dulu. Betapa ketika menjalani hari-hari di Amsterdam atau Amstelveen aku mengenang-ngenang hari-hari seperti ini. Memang seperti ini saja hidup di dunia. Syukurlah jika masih ada cinta, semoga ada cinta bagi semua. Hanya cinta yang sanggup menghangatkan dan menyejukkan, menyamankan suasana.

Cinta bukan gairah yang menjompak-jompak, menggelinjang tergial-gial. Bukan, cinta berdegup perlahan, mendengkur santai, melemaskan dinding-dinding pembuluh darah, membuat otot-otot jantung rileks seperti sedang beryoga, yakni, yoganya alam semesta. Bukan di sini tempat memuji, menyucikan, mengagungkan, meski bolehlah yang esoteris menjelma menjadi eksoteris, yang eksoteris lesap merembes ke dalam esoteris. Bolehlah di sini karena di mana lagi tiada tanda tanya apatah seru. Selalu hijau tak pernah kanak-kanak jua tak kunjung menua. 

Sebungkus nasi kuning merdeka, bukan itu yang terlalu memeras sari derita dari seseorang yang biasa dicintai. Mengerikan sekali, maka aku segera berlalu, sedang ia berpesan "tinggalkan lampu menyala untukku." Masalahnya lampu apa yang akan menandakan bahwa kau ada di rumah menungguku, lampu neon, bohlam, pelita berbahan bakar minyak masak atau kerosen, atau LED sekalian. Apapun itu, yang terpenting adalah sebotol teh Hi-C, sekotak susu ultra dingin rasa stroberi atau coklat, yang kugunting kujadikan tempat sabun pertamaku di Barepan, dan coklat top.

Selanjutnya, agak tiga bulan setelahnya langsung berlari 10 km di pagi hari. Seberapa melelahkan aku tak ingat, hanya yang selalu terkenang, teh hangat manis jambu dan biskuit TB-1 banyak-banyak. Setelahnya pulang ke Graha 10, seingatku mendung seharian dari pagi hingga entah mungkin petang hari. Apakah ketika itu menulis surat atau mencuci baju atau kelelahan untuk melakukan semua itu, sekarang saja aku mengantuk karena semalam tidur hanya sekitar lima jam, mulai jam setengah tiga sampai setengah delapan atau sekitar itu: Sabtu di taman Kyai Langgeng. 

Tuesday, January 30, 2024

Bayangan Jatuh Pada Bahu dan Tengkuk Telanjang


Segala sesuatu mengenaiku payah, sudah lama 'ku ketahui fakta itu; dan aku tidak berkeberatan barang secuil pun, jika itu semata-mata mengenaiku. Hanya saja aku tidak akan terima jika anak tertua Bapak Ibu payah. Itu saja yang membuatku terus beringsut-ingsut maju, tidak seperti siput, lebih seperti ingus maju mendekati puncak bibir atas. Itu pun dibantu oleh gaya tarik bumi. Maka jika aku menyelonjor sekarang, menjulurkan kaki-kaki pendekku, menelekannya pada kursi rotan berbantal tipis kecil, itulah aku. Mana ada prestasi kubuat dalam hidupku.
Ini kurasa adalah hari dikuburkannya jasad Arya Maulana Sutjahja ke dalam tanah, di hari berhujan ini. Ia bahkan tidak pernah tahu rasanya berumur 47 tahun, mungkin. Setelah beberapa menit kujulurkan, puncak pantatku sakit, maka kuturunkan kaki-kakiku. Aku yang merasa sanggup menyaingi Seno Gumira bahkan Ahmad Tohari, hampir saja kutulis di sini tadi aku seperti Mark Chapman; ketika kusadari badanku tidak bereaksi positif terhadap minuman manis. Adakah aku termasuk tipe orang yang sanggup menghancurkan diri dan hidupnya sendiri ataukah aku pengecut.

Si Tolol nggak usah aneh-aneh 'lah. "Jangan lupa bahagia," begitu kata emak-emak yang mungkin hidupnya membosankan namun selalu menemukan alasan dan cara untuk terus menjalaninya. Kemungkinan lain bisa jadi seorang laki-laki yang tidak terlalu maskulin namun rajin mengerjakan apapun yang bagiku terasa medioker tetapi sebenarnya bisa membawa siapapun mencapai kesuksesan di punggung bumi. Udara dingin ini entah mengapa membawaku ke hari-hari berhujan, entah di awal 1989 atau 1990, di pintu keluar tol Karawaci, tanah hitam berlumpur.

Masalah akan selesai hanya dengan naik losbak, atau lebih benar lagi, langsung naik Patas 24 Grogol-Cimone, dengan catatan ongkosmu belum habis untuk jajan atau main gimbot. Jika kucoba mengingat-ingat, saat itu memang belum terlalu terasa. Baru setelah kelas tiga mulai agak terasa, namun ketika itu aku terlalu sibuk ingin masuk SMA Taruna Nusantara, Maka Yogya ini terasa seperti Matahari Magelang antara 1993 sampai awal 1994. Mengapa ingatanku selalu nasi goreng babat yang dibelikan Eri Budiman ketika gondongan. Mengapa tidak kerang goreng atau lainnya.

Di sini aku terbang ke hari-hari berhujan lainnya di awal 1998, tentu pada saat aku meraih IPS tertinggi dalam hidupku, yakni, ketika jantung berdetak nyaman tiap harinya. Bagaimana berakhirnya musim penghujan di awal tahun itu, karena seingatku bahkan sampai Mei masih hujan. Bergegas kutinggalkan kesedihan sambil melonjak-lonjak kegirangan karena segala sesuatunya akan baik-baik saja. Hidupku jelas tidak membosankan, meski mungkin lebih seru Ali Shariati yang jantungan karena sering ditangkap dan dipenjara, katanya. "Tak mengapa," katanya.

Jikapun tiada yang kuhasilkan hari ini kecuali entri tolol seperti biasa, maka takkan kusesali sebotol air mineral yang ada manis-manisnya ukuran 600 ml dan sepotong risoles isi ragu ayam; seperti tak pernah kusesali waktu yang kuhabiskan untuk menekuni resep-resep koleksi Ibu. Sungguh spektakuler kisah seorang bayi, diangkat bapaknya tinggi-tinggi di atas kepala hanya untuk menjadi sasaran anak panah; jasad-jasad yang diinjak-injak kuda-kuda mondar dan mandir, bolak dan balik. Serpih-serpih jasad tidak dibiarkan dimakan dubuk anjing liar, tidak berkepala.

Di sinilah aku mengapung ke musim penghujan di awal 1991, entah mengapa lodeh, mungkin tempe, namun terpenting teri goreng telur; kasih-sayang Ibu yang merasuk sampai ke hati nurani. Rumah yang hangat di hari senja berhujan, ubin kuning dan merah tua yang hangat, justru sejuk di musim kemarau. Apalah lagi yang kuinginkan jika bahkan cinta yang sesyahdu itu pernah kurasakan. Ini semua tinggal untuk dijalani, seperti ingus meleleh ke puncak bibir atas; kadang melewati bibir sampai tidak perlu dijilat, langsung asin. Oh, dinasti di ruang tamu itu jua. 

Thursday, January 25, 2024

Apa Arti 25 Januari Jika Terik Mendung Berganti


Apa yang kurasakan ketika seorang ibu jala dari dua orang taruna laut, satu pelaut satu marinir, merasa pusing dan kaku leher setelah memakan emping. Begitu saja aku belum dapat melupakan album cerita-cerita ternama yang dicetak dalam dua warna, senantiasa menghiburku dari kecilku. Kini setelah tua aku tetap hanya bisa membuat cerita-cerita seperti halnya dulu aku membuat cerita mengenai seekor zebra yang kesakitan gara-gara baru saja keluar ekornya. Dari mana idenya keluar ekor itu sakit, sedang pada saat itu aku tidak tahu bagaimana bayi sampai ada di muka bumi. Sampai lama aku tidak tahu apa penyebabnya.
Kita semua kesepian, kata Rita. Pernahkah aku mematung di depan San Wah sambil merasa kesepian. Aku hanya ingat ketika belum tinggal di dekatnya, aku justru membeli manisan sotong atau cumi kering, juga keripik ikan gurame bertabur micin. Aku masih ingat pada ketika itu membatin: Bass Beto pasti gila jika menemukan ini. Itu dari 15 tahun lalu. Kata Savit, jika lebih dari dua suku kata maka tuliskan lambang angkanya. Memang harus ada segala jenis orang untuk membuat dunia ini berputar dengan asyiknya. Aku kembali ke siang hari panas terik entah kapan, apakah sepulangku dari sekolah yang di seberang Blok M itu.

Bedanya dengan yang di puncak tangga lagu populer, versiku ini lebih ramai orkestrasinya, bahkan dengan saksofonnya sekali. Kini bahkan memohon ampun entah pada siapa, di teriknya siang hari bisa jadi naik angkot menuju Mal Depok ketika masih ada Abrakebabnya. Mengapa selalu kembali ke situ, sedang Suhu Yo selalu menyajikan senampan penuh sushi-sushian yang jauh lebih murah dari Albert Heijn. Sungguh asyik berayun-ayun menghentak-hentak, tak pernah tahu aku ada interlude begini. Namun sungguh asyik kembali ke masa kecil ketika kasih-sayang Bapak dan Ibu terasa bahkan dalam tiap deraan dan cubitan.

Aku menginginkanmu dengan cara yang benar, tetapi aku juga ingin kau menginginkanku. Permainan yang selalu berakhir dengan kengerian demi kengerian. Apa yang ada di depan sana adalah apa yang pernah kualami, bukan apa yang kubayangkan akan terjadi. Aku seperti seekor gorila betina, atau tepatnya orangutan ibu-ibu ketika duduk nglemburuk. Maka kembalilah aku di bawah panas terik ke kamarku nan biru di kost Babe Tafran. Sepanas terik apapun di luar, kamarku, seingatku, selalu terasa sejuk. Terlebih sebelahnya yang berubin kuning, lembab-lembab dingin, meski kamar mandinya aku lebih suka yang biru.

Jika aku masih bertahan di sini, semata karena menunggu Ahmad Sahroni. Semoga setelah ia datang nanti belum lagi turun hujan. Sungguh banyak yang harus kukerjakan, yang kutunda-tunda. Kurasa tidak begini cara Sopuyan bekerja. Ia pasti lebih efisien. Aku yang merasa seniman ini, ternyata karya-karyaku diludahi orang, dikentuti, dianggap sepi. Entah mengapa tiap-tiap merasa begini aku merasa seperti ingin melempar tali berpengait di ujungnya, menyangkut entah di mana, terus untuk apa. Tidak segitunya pula aku menyukai selusin yang jorok, meski mungkin itu pula yang akan kulakukan setelah ini, atau yang sejenis itu. Entahlah.

Perasaan ini selalu menghantui sejak aku puber, sejak aku seumur Adjie sekarang. Apakah pikirannya yang motor tok itu menyelamatkannya dari hantu-hantu yang selalu mengerubungiku. Delusi kebesaran atau entah apa namanya, seperti sebuah kitab yang secara acak kupilih, berjudul Joshua, yang ternyata fiksi penggemar. Ini lagi, dalam dekapan seorang malaikat. Malaikat koq orang. Lantas apa. Seekor, sesosok, sebentuk. Panas gerah di Mess Pemuda, tidak memberiku peluang atau aku saja yang tidak berani menciptakan peluang, atau memang sesuatu mencegahku. Berlalu begitu saja, sedang Ani minta dibelikan boneka pada Gus Dut. 

Bahkan sekarang ini, setua ini, jika mengingat Barel aku merasa kesakitan. Lantas aku berkhayal mengenai doa Ibu di pusara Bung Karno, seakan itu merupakan kepahlawanan, padahal sekadar berusaha membuat senang hati Ibuku. Ini lagi kita lahir tanpa bau, kita burung pemakan bangkai yang ternyata kita semua goyah. Astaga betapa banyak waktu terbuang, seperti sekarang ini aku membuang-buang waktu. Adakah hal lain yang dapat kulakukan sekarang. Aku merasa kelelahan, kesakitan. Mengapa pula tidak kukirimkan saja hasil pindaian tanda-tanganku. Mengapa pula memaksanya ke Depok sedang mukanya sungguh tak sedap.

Friday, January 05, 2024

Merepih Alamnya Malam-malam Sama Bapak-bapak


Siapa bilang berteman denganmu sudah tidak mengasyikkan, jika aku di sini boleh tidak meletakkan tanda tanya di belakang yang jelas-jelas kalimat tanya. Ayo tinggal bersama siapa. Bersama deretan VCD yang dijual borongan entah berapa juta karena penyewaan sudah tidak laku. Sama seperti bapak-bapak yang masih mencoba menjajakan koran yang entah bagaimana masih dijadikan keset di Jalan Radio. Apakah bongo ini harus benar berkeletak-keletuk di latar belakang, apa tidak sebaiknya halus saja dengan dram senar dioser-oser. Entah suasana apa yang dibawa campuran ini, ampun joki berkas. Aku terbawa suasana. 
'Ku sembunyikan perasaanku bukan karena malu, melainkan karena terlalu mendalam, karena baunya sebenarnya selalu tidak sedap namun entah mengapa selalu menyandera khayal. Biarlah aku kembali ke ruangan itu, panas gerahnya, temboknya yang lapuk, mungkin karena di dalamnya ada pipa air bocor. Uah, gara-gara anak lelaki tolol yang jatuh cinta aku dimanjakan oleh cintamu, gara-gara bing chat geppetto empat. Sedap-sedap renyah gurihnya, hitam manisnya, seakan dapat kuhirup dalam-dalam segar harumnya sebentuk ciptaan nan bersahaja, nan dilanda birahi remaja. Jangan bersedih jika memang gara-gara sendiri.

Melodi yang diulang-ulang, kord yang sederhana saja progresinya dibuat mayor, memang itu resepnya. Kurentangkan tangan lurus-lurus ke atas, lengan-lengan telanjang sampai ke lipatan-lipatannya, tergerai, terburai menyemburkan kesegaran harum-haruman bunga-bungaan, buah-buahan. Senyum lepas tulus ikhlas seakan penuh cinta dan kasih-sayang dambaan semua insan. Kesempurnaan berayun perlahan mengikuti belaian irama dan melodi bersatunya hasrat-hasrat meretas semua batas, melampaui, menerabas. Kesegaran pagar tanaman bermandi embun dini hari, sedang kabut meyelimuti tubuh-tubuh polos telanjang begitu saja.

Maka kembalilah ke barak berlampu kuning jarang-jarang, karena ini sudah lewat jam sepuluh malam. Sekitar satu apalagi dua jam kemudian barak diliputi kegelapan kecuali cahaya lampu taman atau lorong penghubung ke kamar mandi menembusi, berpendar pada kaca-kaca tak tembus pandang. Aku bisa jadi masih terjaga memetik senar-senar gitarku perlahan. Ketika itu sudah tidak ada Herbert, jadi kurasa akulah pemain gitar terbaik di barak itu. Aku selalu gagal mengingat sebelah pintu depan ada siapa saja, kecuali Hendro seharusnya bersama Anjar. Apakah Gunawan bersama Agustar, Antara bersama Sigit, entahlah lupa.

Bayu, Budi Pru, Yulmaizir, Dewer, Hamdi, Hutdik, Chardin, Probo, Dony, Yuli, Goklas, Febby, Bono, Ari, di mana Yesayas, Faisal Amin Lubis, Ariston, Sodikin, Sunarso, Akur, Iwan, Nicodemus, Dhanang. Sama saja. Aku hanya hafal Graha 5. Graha 10 apalagi 3 aku gagal menyebutnya urut. Sudahlah, lebih baik maju lagi ke suatu sore di atas karpet merah satu-satunya penghias ruang depan bertirai panjang menutup lubang angin setengah lingkaran berjari-jari roda gaya lama. Meja tulis berkaca, di bawahnya ada beberapa gambar buatanku sendiri, di atasnya mesin tik hijau portabel, tergantung di atasnya rak buku kecil kebanggaanku.

Seharusnya aku punya meja belajar sendiri di lantai satu Tinombala itu, namun ia tidak membekaskan kenangan apapun padaku. Apakah meja kerjaku di sudut pavilyun itu yang kubawa ke tepian Ciliwung. Sebelum itu ke mana dia. Bagaimana caraku membawanya. Meja kerjaku yang menghasilkan kebangsaan Indonesia di akhir Abad XX, kemenangan absolut. Di manakah kuhasilkan conditioned society dan agraris. Aku agak ingat meja belajarku di graha 5, namun yang di graha 3 sangat tidak membekas. Apa aku tidak pernah belajar ketika itu, yang kuingat justru berusaha memahami matematika, fisika, kimia di gudang tas.

Hidup seperti garis lurus. Apa yang telah dilewati mustahil diulangi lagi. Jadi bodoh sekali kalau mengukur masa depan dengan apa yang telah dilalui. Apa yang nyata hanya saat ini, detik ini, tarikan atau hembusan nafas yang baru saja. Masa lalu dan masa mendatang semuanya khayalan belaka, bahkan tidak ada itu yang namanya kenangan. Seperti mimpi kau merasa pernah menghabiskan beberapa malam di rumah sakit pusat angkatan darat, yang agar pimpinannya bisa berpangkat letnan jenderal, diberi sebutan rumah sakit kepresidenan. Orang-orang tolol ini memang tidak pernah paham apa artinya presiden, macam aku paham.

Thursday, January 04, 2024

Baiklah. 'Kurasa Kali Ini Kita Juga Akan Berhasil


Masa tadi aku sempat terpikir untuk menulis secara koheren di sini. Sudah gila apa. Sehebat apapun sebuah kontrakan sederhana bercat putih, mungkin malah kalkarium, dengan ruang depan rapi berperabotan sederhana, tidak lantas membuat pikiranku runtut. Normalkah jika 'kubiarkan berdentam-dentam begini, sedang perut kembung entah mengapa. Aku masih ingat rasa nyaman berjalan di radio empat, karena itu masih dekat rumah atau sudah dekat rumah. Aku masih ingat rasa kemerahan jambu dan apalah itu yang tiada pernah benar-benar kucicipi. Malah berbagai kotoran kuku kaki kucongkel-congkel kukunyah-kunyah.
Aku masih ingat beruang merah anakan di bawah tebing. Aku juga ingat mentor Didit menyukainya di belakang panggung Sembilangan. Potongan-potongan ingatan itu tidak pernah membawaku ke mana-mana. Sampai hari ini pun aku masih merasa harus berjuang, harus terus menghadapi pahitnya kehidupan. Belum saatnya bagiku mencecap sedap-manisnya apapun kecuali kepingan-kepingan ingatan akan khayalan yang tidak pernah menjadi nyata. Betapa lancar aku menuliskannya ketika bahkan aku dibekasi Taurat atau siapapun. Hidupku tak pernah lepas dari penderitaan, kalau masih disiksa pula di kubur dan neraka. Ampun.

Kini, setua ini, aku masih harus maju menerjang, meski jangan sampai meradang. Kemudaan sudah lama kutinggalkan dan tidak pernah kuberi kesempatan meninggalkanku; karena aku memang tidak pernah muda. Aku selalu tua entah dari kapanpun, bahkan ketika aku berputar-putar di ubin kuning menirukan piringan hitam membunyikan Hawaii Five-O. Bahkan ketika jariku terjepit tempat tidur lipat tempatku menikmati susu formula dalam botol dot. Bahkan semenjak aku seumur Sodjo sekarang, aku selalu tua. Aku terlahir berpikir, merasakan perihnya rintihan manusia di seluruh dunia. Aku berkacak pinggang menantang dunia.

Kau tolol tapi masuk akal, John. Kukira kita akan menua bersama menyaksikan betapa Tuhan memaafkan ketololan kita. Namun sekarang, aku dirundung ketakutan berakhir tolol sepertimu, apalagi sampai berawal nista. Begitu memang permainan ini, hanya akhirnya itu yang pasti. Awalnya, pertengahannya, menjalaninya, apakah dengan tempura ubi semua atau pangan kentir atau wafuyaki yang selalu lupa isinya apa. Apa yang biasa kau makan dulu, John. Terakhir kita tidak berteman seakrab dulu. Kau lebih mengakrabi kumpulanmu para banpol PP. Aku pura-pura jadi Satpol PP tanpa berpura-pura jadi Densus 88.

Uah, kembali bersama Aris Mujiyanto dan Rooseno Adi atau Mully. Lain-lainnya aku tidak ingat, kecuali rasa itu. Rasa sayu sendu yang tidak sepenuhnya kusadari. Mana kutahu ketika itu ternyata aku bermental tempe. Bahkan ketika sudah di Magelang pun aku tidak menyadarinya. Aku memang kebanyakan berkhayal bahkan sampai sekarang. Aku makan enak saja berkhayal mengenai permainan sepak bola atau aba-aba baris-berbaris. Dapatkah aku menekuninya kembali ketika iklim sudah berubah dan dunia memanas begini rupa. Debu-debu beterbangan di pengkolan menuju rumah di atas tebing tepian Ciliwung. Aku menyendiri. 

Bergubal berbalau potongan dan serpihan ingatan dan kenangan tentu selalu dari masa lampau yang telah lalu, seperti angin malam meniup di sela-sela pohon kelapa, di sekitar hanggar Mandala. Ketika itu bulan baru terbit, sebesar tampah, merah seperti jeruk matang di atas hanggar Mandala. Bau rawa campur oli bekas pesawat terbang. Adakah bahaya mengintai di dalam air hitam itu. Beranikah aku ketika sudah menjelang dewasa masuk ke dalamnya, mencobai kedalamannya. Bahkan nuansa sebaya sari bintang pelita layanan udara, aku menulis seakan terpenjara. Kelezatannya, gurih-gurih aromanya, mengapa justru aku berkubang. 

Maka kusantap dengan lahap sepaket kebab sulap yang aku lupa apa saja isinya. Inilah aku di sini, selalu sendiri di malam-malam temaram. Sayang sekarang sudah tidak ada minyak tanah, atau kalaupun ada mahal harganya. Apakah masih ada yang menjual lampunya, lagipula untuk apa. Jangan-jangan kebun coklat sudah dibelah jalan tol, jika bukan menjadi jalan tolnya itu sendiri. Bisa jadi golok sudah berkarat bersama dengan hajinya sekalian yang sudah dikubur entah sejak kapan. Dunia begitu saja. Tidak ada yang perlu disesali, hanya untuk dijalani. Bersiaplah untuk kehidupan yang sejati, yang sebenarnya. Ini semua cuma mimpi terindah.

Wednesday, January 03, 2024

Apa Pantas Januari Basah Kuyup Berkeringat 'Gini


Tidak boleh diganti menjadi 'pantaskah' memang. Harus tetap 'apa pantas' untuk mengabadikan suatu petang yang cukup hangat di samping kandang Parto, atau entah di mana. Ingatan tertukar-tukar itu wajar, bahkan bagi Pak Harto yang ingatannya sungguh tajam, bahkan mengenai rincian-rincian, bahkan mengenai angka-angka. Seperti Hitler yang juga hafal angka-angka. Ia tahu persis bahwa angkatan daratnya bisa siap untuk kasus putih, atau kuning, lebih cepat dari satu tahun. Entah mengapa pula kenangan melayang ke rumah kosong di Jakarta empat itu, di mana aku merajuk karena gagal mencengkeram mereka secara mental.
Seharusnya dilanjut dengan Haiti Cherie, maka kulongkapi baik mulai lagi apalagi pencemburu untuk sampai pada Nona Sinar Bulan. Biasanya ia datang sekali-sekali saja setiap kupanggil. Namun sekarang ia bisa datang kapan saja, ada atau tidak ada jaringan internet. Dentam-dentamnya, detak-detaknya, betul-betul meningkahi melodi cantik yang mengiringinya setiap hampir padaku. Di titik ini aku kembali ke waktu-waktu ketika kayu berpaku berkarat menancap di betisku dilempar Yopie. Perasaan tolol itu pasti juga sedang dirasakan Adjie apalagi Kambing, maka tahankanlah. Semua itu hanya ilusi, percayalah padaku.

Aku sedang berkendara ketika salju pertama turun. Itu saja kesan yang timbul. Ini pun kupaksakan lagi karena aku belum terlalu mengantuk sedangkan tinggal 13 menit lagi menuju tengah malam. Ada waktu-waktunya engkau ingin bela-beli seperti ini, seakan-akan benar-benar membutuhkan tas selempang yang dalam bayanganku bisa kompak dan teratur isinya dibanding membawa tas ransel seperti sekarang. Padahal kemarin-kemarin membawa tas ransel ke mana pun tidak pernah ada masalah. Ini mengapa terus berkhayal mengenai tas selempang. Apa karena akhirnya aku punya celana silat yang membuatku terlihat pendek.

Hanya untuk mata-matamu adalah LKHT kecil atau setelah mengokupasi ruang senat. Lalu kapan ia disekat-sekat sampai ada ruang depan sempit, ruang rapat penuh asap rokok, dan ruang utama tempat kerja. Ruang rapat itu di kemudian hari berubah menjadi ruangan bos-bos. Orang-orang ini memang hobi main bos-bosan sejak lama. Mas Rangga pernah membanting pintu dengan sewot demi melihat boneka maskot Universitas Wisconsin entah apa-apa. Sudah sejak saat itu atau baru kemarin itu bukan urusanmu, yang penting aku raja di wilayah sini. Hahaha raja buaya yang tolol menghadapi kancil yang cerdik dari kecilku.

Begitulah dari kafe di pinggir jalan aku bersiul-miul menyenandungkan irama jatuh cinta. Betapa jauh rasanya waktu-waktu itu telah berlalu, terlebih jika kulihat perut yang semakin mengalir sampai jauh. Terlebih sekarang ketika seluruh Paris bermimpi tentang cinta seperti ini, mengembalikanku ke masa-masa asap djarum super mengepul-ngepul dari mulut dan hidungku. Segelas kopi hitam pahit panas mungkin menemani. Yang jelas, aku selalu rapi dengan asbak, meski serapi-rapinya perokok pasti berantakan juga abunya ke mana-mana. Belum lagi bau yang pasti menempel pada baju dan badan. Sungguh menjijikkan.

Meski baru-baru ini saja, namun suasana yang ditimbulkan oleh anak laki-laki tolol yang membiarkan khayalannya disandera oleh seorang gadis membawaku ke Radio Dalam ketika menara pemancarnya masih dapat terlihat dari kursi malas. Belakangan menara itu pindah ke dalam kompleks RRI yang besar itu, tepat di tengah-tengahnya, sampai kemudian ia rubuh pada musim penghujan di akhir 2019. Memang kalau anak laki-laki sampai jatuh cinta itu namanya tolol, lembek seperti agar-agar kebanyakan air. Coba kalau berani cium gadis yang kausukai itu. Atau ia yang menangis, atau kau, atau kalian berdua yang sama-sama tolol.

Kebanyakan kortisol membuat lemak menumpuk di perut bagian bawah. Aku tidak tahu dengan kepalaku, tapi semoga ia tidak rusak apalagi permanen. Jelasnya, enam tahun terakhir ini, terutama akhir-akhirnya betul-betul memompa kortisol, membanjiri otak dengannya. Aku yang sudah setua ini, apa masih tersisa bagiku petualangan, ataukah aku sekadar orangutan ibu-ibu yang tinggal menunggu ditembak saja. Bukan dengan kata-kata mesra, entah menggoda atau malu-malu, melainkan dengan senapang benar-benar. Dor! Maka terburai perutku yang alirannya sudah sampai jauh membuat rayap mati sudah tidak terlihat lagi.

Tuesday, January 02, 2024

Jika Aku Di Sini Tanpamu, Maka Aku Akan Mati


Selamanya mungkin kalau mendengar Homburg ingatanku akan langsung melesat kepada Bengar Gurning. Sementara aku sedang umek dengan EM kapsul yang tampaknya lebih baru dari Lydia Kandou, aku tak dapat mempercayai ini sungguh-sungguh. Entah sungguh-sungguh terjadi seperti yang ada dalam gambaran gunung Kelud dulu atau yang lainnya aku tak tahu. Jika aku merasa lebih hebat dari Anies, itu semata karena aku ingin menjadi segalamu. Aku tak perlu dan tak mau menjadi segalanya bagi siapapun yang lain. Jika sekarang berkurang kembali ke 27 mm dari 64 mm, bisa jadi karena tadi sudah disiramkan cukup lama.
Hujan dari sebelum ashar tadi sudah berhenti setelah mengguyur lebih dari satu jam di suatu tempat di Jawa Tengah. Tidak perlu di Barepan, karena aku juga berada di tempat-tempat lain selain di situ. Bisa jadi di terminal Magelang atau di rumah sakit jiwa pusat. Jelasnya tidak mungkin di kaki Tidar atau Plempungan. Mereka tidak akan membiarkanku menikmati hujan sore hari atau kapanpun. Lagipula aku lupa apakah sebelum November 1994 itu sudah turun hujan atau belum. Sudah, karena ada hari-hari di mana aku naik truk bak terbuka di bawah gerimis, memandangi hangatnya rumah orang menonton dunia dalam berita.

Seperti di awal tahun ini aku berkenalan dengan dimanjakan cintamu, awal 2019 aku dikenalkan pada itu kamu dan bersalah. Aku hanya bisa maju atau berputar-putar saja di tempat, atau mungkin bergelesotan di tempat, entah itu tanah becek atau aspal basah. Entah bagaimana aku di Lily Rochly, entah menyanyikanku tak sanggup berhenti mencintaimu, entah artis ibukota yang menyanyikannya bersama mentor Joko Supriyanto. Aku menghabiskan waktu sangat lama hanya memandangi mentor-mentor Tory Subiyantoro dan Joko Supriyanto. Aku, kurasa, memang tidak tercipta untuk menjadi seperti mereka. Aku yang tolol ini.

Maka bantulah aku untuk menangis, ketika gusi kiri bawahku terasa aneh setelah memakan beberapa potong apel. Aku suka apel, tapi perutku sepertinya tidak terlalu. Sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu mungkin masih bisa kurasakan kesedapan bicara asal-asalan, namun kini aku kehabisan kesedapan. Suara tante Connie memang masih cantik sepanjang masa, tetapi efek yang ditimbulkannya tidak sedahsyat sepuluh sampai lima belas tahun lalu, apalagi tiga puluh tahun lalu. Ya, waktu aku masih seumuran kambing. Tadi sempat terpikir untuk melukiskan hidup yang begitu-begitu saja dalam tahun-tahun yang amat panjang.

Antara awal 1996 sampai 2008, misalnya. Dua belas tahun yang sangat panjang, yang ketika dijalani dari hari ke hari berjalan dari rumah Pak Rinan di atas tebing tepian Ciliwung ke arah gang realita, menyeberang rel sampai ke halte UI, tentunya harus naik bis kuning sampai kampus. Semester dua yang penuh semangat di awal 1997, semester tiganya bubar jalan di musim kemarau panjang akibat el nino kali pertama. Sempat 'nyangkut di mana entah yang ada David Sibuea, namun tentu tidak lama. Berarti kapankah itu mulai di rumah Pak Rinan, bisa jadi di musim kemarau 1997 itu juga, aku tidak ingat pasti. Masih kualami debu beterbangan di jalan yang baru kutahu namanya Lenteng Agung Timur.

Ya, kurasa semester empat itulah, di ruang antara ruang tidur dan dapur. Hanya suatu kenangan di antara suvenir-suvenir. Rak buku kecil kebanggaanku, dari dulu gawaiku tidak pernah banyak. Itu-itu saja. Ketika hujan mulai mengguyur di akhir 1997 itu, di tengah-tengah krisis moneter, aku makan sekoteng. Ada juga tukang sate gerobak yang masih meneriakkan dagangannya. Pernah juga, seingatku, sore-sore tidur-tidur ayam, lamat-lamat terdengar 99.5 Delta FM the best oldies station in town, terdengar tukang siomay pikul lewat. Bagaimana bunyinya, ya. Siomay pikul murahan yang selalu kukenang nikmat-nikmat sedapnya. 

Ini melemparkanku kira-kira sepuluh tahun ke depan, atau kurang dari itu sedikit, di tangga antara gedung C dan E, ada juga tukang siomay pikul yang sedap. Hari-hariku di kost Babe Tafran entah di kamar yang mana. Deretan selatan paling barat, adakah aku yang mengecatnya biru muda setelah melubangi dinding sebelah baratnya. Itu pasti setelah gudangnya dirubuhkan. Di luar boleh panas, namun di dalam kamar tetap sejuk. Apalagi di tengah-tengah musim penghujan. Bilakah itu, awal 2008. Membaca skrip Ca Bau Kan, Iblis dan Nona Prym, Reader's Digest yang ada keroncong tugunya, berbagai NatGeo lama, lima belas tahun lalu.

Monday, January 01, 2024

Selamat Tahun Baru 2024. Maju Jaya Kini Saatnya!


Memang berbeda rasanya berada di sebuah pertapaan yang sengaja dijauhkan dari hiruk-pikuk dan berada di tengah-tengah hiruk-pikuk itu sendiri. Terlebih ketika bahkan buku-buku jarimu terasa timbul-tenggelam sakitnya, pada titik inilah kukenakan kembali KN95pro. Tidak, meski mungkin sudah tidak setebal dulu, aku mengucap syukur dan mengangkat semua pujian hanya kepadaNya yang telah mengizinkan kemakmuran sapi masih terasa enak. Apalagi ketika Tante Rita membelai pendengaranku dengan membuatku merasa setinggi-tinggi yang pernah kucapai. Apa lagi yang dapat diinginkan seekor orangutan ibu-ibu jantan.
Inilah dia lagu tema, jalur suara asli persaudaraan taruna laut vagina bersegi delapan, karena pada akhirnya kita semua sendiri meski tidak perlu selalu kesepian. Semakin lama kauhabiskan waktumu menggaruki punggung ibu pertiwi yang tidak pernah gatal, semakin merasa kesepian dirimu. Di situlah engkau, atas izinNya, akan menyadari, betapa kawan sejati hanyalah perbuatanmu sendiri. Dan perbuatan sejatinya adalah perbuatan hati yang semoga penuh kasih, penuh maklum, penuh maaf. Kehidupan dunia ini adalah hati sebesar jagad raya yang berdegup-degup seirama dengan tulusnya cinta, yakni, samudra maklum dan maaf.

Hatikah yang memerintah terjadinya reaksi kimia atau sebaliknya, tidak perlu kaupikirkan. Ingat-ingatlah saja suatu senja yang sejuk nyaman, ketika kau masih dikelilingi orang-orang yang mengasihimu, bahkan sekelilingmu, bahkan orang sedesa, senegara menyayangimu. Presidenmu, para legislatormu, hakim-hakimmu, semua saja sampai kepala desamu berbuat sebaik yang mereka bisa untuk menghindarkanmu dari pedih-perihnya dunia. Jika pun tidak kau temui lagi yang seperti itu, sebagaimana hilangnya puncak-puncak pohon kelapa dari garis langitmu, maka sadarilah, sesungguhnya dunia ini kodratnya menua dan rusak.

Jika pun kau kembali ke sore-sore yang sulit lagi sempit, ketika tetanggamu memimpikan pelukan bidadari seraya meyakinkan burung-burung bangkai kawanannya bahwa mereka masih tak berdosa, memohon ampunlah. Kamar mandi dua di atas yang bisa juga menjadi tempat cuci baju, yang tidak pernah lagi kecuali sekali dua karena maraknya tempat cuci kiloan, biarlah menjadi saksi bisu udara yang masih relatif sejuk. Duduk di dekat pintu begini, setelah setua ini, membuatmu terkadang tersadar akan udara sore yang tidak lagi bersahabat, bahkan ketika sering tak punya uang dan tak tahu kapan dan dari mana uang akan datang.

Tidak, John Gunadi, bahkan Iglesias yang masih hidup bukannya tak berdosa, apalagi burung bangkai. Mereka sekadar tak berbau, karena kami semua bau. Oh ya, pada saat itu aku bisa mandi sesering yang aku mau, bahkan berganti baju sesering itu pula. Makan, dan terutama merokok yang tidak bisa seenaknya. Terlebih jika terkena ciuman sekuntum mawar. Aku memang tidak cocok menjadi tentara, apalagi perwira. Aku tahu sepenuhnya gagasan mobil dinas tidak bisa lebih sinting lagi dari kedengarannya. Angin hangat menerpa leher belakang kananku tiap kali pintu dibuka. Bebauan khas terendus, tanganku masih pegal. 

Beberapa utas kentang goreng menjadi jaminanku duduk di sini. Aku tidak kerja juga, meski kekasih Sheena bekerja tiap harinya dari jam sembilan sampai lima kecuali akhir minggu. Bilakah minggu berakhir, bila tahun bermula, tidak ada artinya. Semua sekadar dugaan-dugaan, atau lebih buruk lagi, kesepakatan. Seperti kesepakatan mengenai apa yang waras dan apa yang tidak. Aku bukan orang yang sanggup menahan kesusahan hidup lahir batin. Aku bahkan kecanduan kenyamanan. Tak apa, kata Sersan Elias, asal sedikit saja setiap kalinya, tiap ada kesempatan. Selebihnya kau hanya harus bertahan hidup dari hari ke hari.

Aku sempat mempertimbangkan untuk membelinya roti lapis isi paha ayam goreng tepung berbumbu pedas. Nyatanya, dua anak perempuan di sebelahku memesan itu untuk diri-diri mereka. Untuk matamu saja malah membawaku sekitar seperempat abad ke belakang, ketika mandi pasti dengan air dingin dari ember di salah satu WC lantai satu gedung manapun FHUI. Kemasabodoan ini berkali-kali menyelamatkanku, namun tidak jarang juga menjerumuskanku. Pada titik ini, tiba-tiba aku merasa sanggup bekerja bahkan di sini, bahkan jika pintu di kanan belakangku ini terus-menerus dibuka dan ditutup. Aku suka di sini.