Saturday, September 24, 2011

Walau Terikat Rasa Hina


Salinan ini kurasa bukanlah kualitas terbaik, tapi dari semua lagu Sheila on 7, yang terpaksa dikoleksi adalah Kita. Melodi, aransemen dan suara yang dihasilkannya genial dan segar. Setelah itu dilanjutkan oleh Tante Rien Djamain dengan Kucoba Lagi, dari hari-hari yang telah berlalu. Ini betul-betul tidak benar! Alhamdulillah, malam kemarin aku tidur cepat. Jam sembilan sudah tepar. Alhamdulillah, bangun pas waktu sahur. Segera sahur ke belakang, makan qimpul tahu sama teh adem setengah manis. Dua hari ini aku tidur di tempatnya Dedy. Terlepas dari ketidaksempurnaan ini, tidur cepat dan bangun cepat sungguh sesuatu yang harus sangat disyukuri. Akan tetapi, kenapa sekarang malah menulis entri? Seharusnya 'kan segera menyelesaikan laporan Lamongan. Ya Allah, sudah satu bulan lampau!

No excuse, Sir! Hehehe... aku gak pernah nyimak syair Kuingin Kembali-nya Iwa K. Sumpah jijiks hahaha... Kalau kuingat masa-masa SMA, maka tidak perlu benar kusesali segala kekacauan yang telah terjadi dalam hidupku. Masa-masa itu, aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang kuinginkan. Alangkah baiknya jika, setidaknya, aku punya model peran, seseorang yang menjadi panutan, patokan. Semacam... aku ingin menjadi sepertinya... Aku tidak pernah punya yang seperti itu. Sejujurnya, ketika dalam buku tahunan SMA ditanya tokoh idola, ingin kuisi sama saja dengan yang kuisikan pada nama orangtua. Aku juga 'mengidolakan' Pak Harto, Bapak Pembangunan, namun tidak berarti aku ingin menjadi seperti dia. Begitu juga dengan Bapakku, tidak berarti aku ingin menjadi seperti dia. Bapak pun kurasa tidak ingin aku menjadi sepertinya.

Memang pahit, kalau dingat-ingat. Tidak, aku tidak menyesali apapun. Tidak ada juga yang dapat disesali. Menyesal itu apabila seseorang tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan. Apa yang seharusnya kukerjakan? Apa yang tidak kukerjakan? Beginilah perjalananku. Duniaku carut-marut, jauh dari sempurna. Sungguh banyak dosa dan kedurhakaan yang telah kulakukan dan terus kulakukan. Insya Allah, ini jauh lebih mengkhawatirkan bagiku. Jauh lebih mengkhawatirkan daripada, misalnya, sampai setua ini, aku masih belum punya rumah dan mobil. Hahaha... menuliskannya saja terasa lucu. Atau keluarga... Istri dan anak-anak... kepada siapa aku bisa pulang setiap harinya. Sampai setua ini aku tidak 'punya' apa-apa, dan aku tidak tahu apakah aku sedang menuju 'ke mana' atau akan menjadi 'apa'.

Kepahitan. Apapun yang terjadi jangan merasa pahit, karena itu akan membunuhmu. Begitu pesan seorang suami dan bapak pada istri dan anak-anak perempuannya ketika mereka dijebloskan ke dalam kamp tawanan oleh tentara pendudukan Jepang ketika Perang Pasifik melanda Hindia Belanda. Pada kenyataannya, bapak itulah yang meninggal sedangkan istri dan anak-anak perempuannya selamat sampai perang berakhir. Mungkin ia akhirnya sedih juga karena dipisahkan dari orang-orang yang sangat disayanginya. Mungkin, selain kerja berat dan kondisi hidup yang sangat buruk, kesedihan akhirnya menggerus keinginannya untuk terus hidup. Mengerikankah kematian? Jangankan itu. Pagi ini, aku salah menginjak batu dan hampir saja pergelangan kaki kiriku terkilir lagi... Hiiy... Naudzubillahi min dzalik.

Berdandan a la fantastik! Ahaha... what a hilarity! Prof Safri kenapa pikiranmu Beatles tok?! Dua bocah ini lagi ya ampun... Aldo Panjaitan dan Umar Bawahab! Semoga masa muda kalian menyenangkan. Kudoakan agar kalian kelak menjadi laki-laki umur tigapuluhan yang sedikit sekali kenangan pahitnya di masa yang lebih muda. Hahaha... Aldo baru putus dari Marry. Aldo dan Marry... Putus... Beberapa orang bisa menerimanya dengan ringan begitu saja, tetapi beberapa orang lain menerimanya dengan sangat berat hati. Aku termasuk yang kedua. Makanya aku lebih suka sekalian tidak usah berurusan saja, daripada terjadi yang seperti itu. Namun perempuan-perempuan ini sepertinya begitu... Seenaknya saja mereka pergi sambil mendoakan agar kita menemukan bahagia bersama yang lain... Hahaha... ngapain sih koq jadi begini?! Bikin lagu ah... ini inspirasi yang luar biasa heheheh...

Sudah... sudah... menulisi Kemacangondrongan tidak akan membuatku menjadi penulis yang lebih baik. Lihat saja caraku menulis di sini. Sama sekali sesuka hatiku, padahal kesukaan hatiku orang lain tiada peduli! Cukup! Ayo, segera menulis yang benar! Seperti banci pengecut, (karena, kata Mama Dorce, ada banci pemberani) aku mengobral keluhan pada semua orang, "bahkan membaca pun aku sudah tidak sempat." Semua orang, atau setidaknya banyak sekali orang, sulit hidupnya. Jadi tidak perlu mengeluh, apalagi mengumbar keluhan ke mana-mana. Insya Allah, Bismillah, abis ini aku akan kembali menekuni apa-apa yang kubutuhkan untuk menyelesaikan laporan Lamongan. Selain itu, tentu saja aku harus mengontak Mbak Melda, tidak untuk melaporkan apa yang sudah kukerjakan, tetapi untuk mohon arahan selanjutnya. Ya, aku menikmati pekerjaanku, setiap detiknya. Alhamdulillahi Rabbil Alamin.

Dan bila mentari esok 'kan bersinar lagi, kuingin candamu warnai hariku.

Saturday, September 10, 2011

Indahnya Kebersamaan Paradua


Indahnya kebersamaan Paradua? Aku hampir-hampir tidak percaya kalau aku sendiri yang menuliskan kata-kata itu. Lebih tidak percaya lagi jika aku sampai menggunakannya untuk menjadi judul entri. Aku menulis entri ini ditemani album Back to Front-nya Lionel Richie. Album yang sangat berkesan bagiku, karena ia sering sekali kudengarkan dalam tahun-tahun penuh kepongahan yang, tanpa kusadari, ternyata merupakan tahun-tahun 'kumenghancurkan diriku sendiri... dan orang-orang di sekitarku, orang-orang yang kusayangi...

Kata-kata "indahnya kebersamaan" kuambil dari Heri Dian Dwi Harto, seorang hebat. Bahkan sejak dulu ia sudah dipanggil Babe, seingatku. Sungguh, dahulu ia adalah seorang pemuda belasan tahun yang sangat bijaksana. Kini, ia menjadi seseorang yang, Insya Allah, jauh lebih bijaksana lagi. Kata "paradua" kuambil dari Goklas Tunggul Partoho Sirait, seorang yang tak kalah hebatnya. Seseorang dengan integritas dan kejernihan berpikir yang luar biasa. Belum lagi keuletan dan etos kerjanya. Habis nanti kata-kataku mencoba melukiskan kehebatan seorang Goklas.

Aku menulis ini sepulang dari menghadiri acara Halal bi Halal dengan teman-teman alumni angkatan ke-2 Taruna Nusantara, diadakan di Kedai Kopi Phoenam, Kebon Sirih, 9 September 2011. Alhamdulillah, hamba mengucap syukur atas perasaan nyaman yang hamba rasakan setelah menghadiri acara tersebut. Alhamdulillah. Benar kata Sandy Maulana Prakasa, aku merasa senang setelah menghadiri acara itu, dan aku, terlebih lagi, merasa sangat senang dan bersyukur telah menghadiri acara itu. Sandy Maulana Prakasa... aku sudah memberitahumu apa yang kuingat mengenaimu ketika kita masih sama-sama di Graha 3 dahulu. Biar kutambah satu lagi. Seingatku, kamu adalah salah satu penghuni graha yang rajin shalat. Selebihnya, seperti halnya semua saudaraku lulusan Taruna Nusantara (Alhamdulillah)... kalian HEBAT!

Seperti ini jugakah perasaan lulusan AMN mengenai kawan-kawannya sesama lulusan AMN? Begitu jugakah dengan alumni ITB? Begitukah, seperti yang dikatakan Wicahyo Ratomo, semua yang pernah merasakan kebersamaan? Wicahyo Ratomo, aku tidak pernah sekelas denganmu. Namun, siapakah, bahkan di antara kawan-kawan seangkatan, yang meragukan kehebatanmu? Harus kuakui, dengan menundukkan hati dan kepala sedalam-dalamnya, aku memang ekstrim. Entah apa yang ada dalam hatiku, kedengkian, atau sekadar ketidakdewasaan. Aku curiga pada kalian, saudara-saudaraku sendiri. Aku curiga kalian akan menjadi kelompok elitis dan eksklusif, yang dengan kemampuan kalian yang jauh di atas rata-rata saudara sebangsa, berambisi untuk berkuasa, atas seluruh bangsa dan negara ini, yang pada akhirnya hanya akan membawa bencana bagi semua... seperti yang sedang kita saksikan kini!

Buat apa aku berpikir seperti itu? Apa untungnya bagiku? Apa manfaatnya bagi orang lain? Tidak ada! Mengapa tidak kudoakan saja orang-orang hebat ini, saudara-saudaraku sendiri? Mengapa tidak berbaik-sangka saja aku pada mereka, saudara-saudaraku ini? Mereka, seperti kata Sandy, adalah saudara-saudaraku. Kami pernah lebih dekat satu sama lain, mungkin lebih daripada dengan semua orang lainnya. Sangkaan baik ini sungguh menyamankan hati, sampai-sampai aku yakin pada ketulusan doaku malam ini, meski aku belum shalat Isya'. Saudara-saudaraku, kalian berhak atas sangkaan-baikku. Kalian berhak atas doa tulusku.

Allah Illahi Rabbi, hamba mohon ampun atas segala dosa dan kedurhakaan hamba. Sungguh engkau Maha Pengasih dan Penyayang. Maha Pengampun, yang AmpunanNya mendahului MurkaNya. Hamba mohon kepada Engkau Pengayom alam ciptaan, bimbinglah saudara-saudara hamba ini, lulusan Taruna Nusantara, terutama yang pernah berbagi suka-duka bersama hamba. Hamba mohon kepadaMu yang Perkasa namun Pengiba, Sebaik-baiknya Majikan, Sebaik-baiknya Penguasa, Sebaik-baiknya Penolong, Pelindung, tolonglah kami, kasihanilah kami, tuntunlah kami tetap pada jalanMu. Perbesarlah manfaat kami pada persekitaran (galang potensi kekuatan) dan perkecillah kerusakan yang kami akibatkan (redam segala kelemahan). Segala puji hanya padaMu, Rabb. Shalawat dan salam semoga senantiasa atas kekasihMu Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam.

Kawan-kawanku, saudara-saudaraku, tak semua nama kalian kusebut di sini. Maafkan aku. Namun kata-kataku memang tidak akan pernah cukup untuk menggambarkan kehebatan kalian, apalagi masing-masing. Kalian hebat! Aku memohon kepada Allah agar aku bisa menjadi sehebat kalian, sebijaksana kalian, seulet kalian... Maafkan aku. Maafkan kata-kataku yang kurang pantas. Maafkan perbuatan-perbuatanku yang pandir dan tidak panjang-pikir. Maafkan aku telah mengecewakan kalian. Maafkan aku. Aku memohon kepada Allah, malam ini, semoga aku bisa menjadi sehebat kalian, namun sebelumnya... maafkan aku.

Adikku Haryo Budi Rahmadi, semoga Allah menolongmu, membimbingmu, melindungimu. Semua doa dan harapan baikku untukmu, sebanyak harapan Bapak Ibu atasmu dan atas kita anak-anak laki-laki mereka, dan berlipat-lipat lagi. Semua doa dan harapan baik yang tidak kuketahui. Semua kebaikan yang berada dalam Khazanah Pengetahuan Allah Maha Tahu, kumohonkan untukmu dan untuk adik-adik perempuan kita, juga untuk keluarga-keluarga kalian. Maafkan aku telah menjadi teladan buruk. Maafkan kata-kata dan perbuatanku yang menyakiti hati kalian, adik-adikku.

Allah Illahi Rabbi, sayangilah kedua orangtuaku, seperti mereka telah menyayangiku sejak kecil.

Fastabiqul Khairat ...demi jaya Indonesia. Insya Allah.

Tuesday, September 06, 2011

Somalia, Kelaparan Sebagai Senjata


Jarang-jarang aku menulis entri hari gini. Paling tidak, aku sudah shalat Ashar. Jadi tidak apa menulis entri. Diiringi raungan Power Slaves dengan hit mereka sepanjang masa, Impian, aku tiba-tiba jadi teringat Eyik yang sudah dimasukkan rumah sakit jiwa. Memang, kalau menulisi macangondrong enaknya jangan pakai berpikir. Tulis saja apapun yang tiba-tiba melintas di otak. Sandoro sedang makan Ayam Bumbu Rujak-nya Warung Alo, padahal dia sudah makan uli dari Agam tadi. Enak juga, kata Sandoro. Mari kita coba buat paragraf pendek-pendek saja, tapi ada enam. Seperti Kekasihku-nya Padi juga superb melodinya, haunting-like. Masa-masa itu memang kurang enak untuk dikenang, masa-masa ketika lagu ini sedang hit.

Dalam film 'Black Hawk Down', dikatakan bahwa milisi Somalia yang saling berperang menggunakan kelaparan sebagai senjata. Mereka sengaja menahan bantuan bahan makanan dari PBB untuk melaparkan musuh-musuhnya sehingga lebih mudah dikalahkan. Orang Barat menganggap bahwa perbuatan itu biadab, genosida, pelanggaran HAM berat dan sebagainya. Padahal di Jaman Kegelapan mereka, wardlords Eropa biasa melakukan itu. Bahkan, kampung-kampung bisa begitu saja dibakar dan dimusnahkan untuk alasan-alasan yang biadab, untuk ukuran jaman sekarang. Misalnya, sebuah kampung baru saja panen, dan akan dilewati oleh tentara musuh. Jika seorang panglima merasa tidak mampu menahan laju tentara itu, maka setidaknya yang dapat dilakukan adalah membumihanguskan kampung tadi, agar tentara musuh tidak dapat mengambil manfaat darinya. Hey, VOC pun menggunakan taktik ini ketika berperang melawan Sultan Agung!


Tampak dalam gambar, Walikota Bunawan, Cox Elorde, dari Propinsi Agusan del Sur, Filipina Selatan tengah memeluk Buaya. Berikut ini adalah percakapan antara Walikota dengan Buaya.

[Buaya] Apakah kamu benar-benar sayang aku?
[Walikota] Tentu saja 'ku benar sayang kamu.
[Buaya] Buktikanlah, buktikan, coba buktikan padaku...
[Walikota] Hati ini, cinta ini, hanya butuh, hanya ingin dirimu, dirimu selamanya...

Tetap saja menyedihkan. Aku mengurangi makan agar tidak terlalu gendut. Orang-orang Somalia kekurangan makan sampai mati. Tahukah kamu, aku sekarang sudah tidak begitu suka memikirkan goro-goro. Aku lebih suka jika segala sesuatunya berjalan lancar dan aman-aman saja, setidaknya untukku. Aku menjadi sangat egois. Tahukah kenapa? Karena kini aku punya harapan. Kini aku berharap akan masa depan. Entah seperti apa bentuknya, tetapi aku sungguh berharap agar masa depanku itu nyaman dan damai, untukku dan untuk orang-orang yang aku sayangi. Sebenarnya tidak bisa juga lantas dikatakan egois. Aku hanya mencoba serealistis mungkin, seperti yang biasa dilakukan kebanyakan orang. Gila apa?! Buat apa aku membayangkan diriku ambil bagian dalam berubahnya jaman? Jaman, silakan berubah. Allah, hamba mohon, selamatkan hamba dan orang-orang yang hamba kasihi. Amin.

Jalan masih panjang, jangan ucap janji, nikmatilah cintamu hari ini. Begitu kata Andy Liany almarhum. Jalan masih panjang, okay. Namun, kenapa jangan ucap janji? Aku mengucap janji, Insya Allah, untuk bersyukur atas cinta yang kunikmati hari ini, dan yang akan kunikmati sepanjang jalanku menghabiskan umur. Amin. Keadaan dan perasaan dalam mana aku berada kini, sesungguhnya kurang nyaman. Sesungguhnya, aku selalu merasa was-was dan gelisah. Sungguh aku memohon dalam hatiku yang paling dalam, semoga Allah segera mengakhiri penantian ini. Sungguh, aku memohon dan selalu memohon kepadaNya agar dijadikan hambaNya yang selalu mengingatNya, selalu bersyukur atasNya, dan terus diperbaiki mutu penghambaannya. Karena aku sedang dimabuk kepayang, dimabuk asmara. Karena aku tersentuh tepat di hatiku, tersentuh dengan sepenuh jiwa, hahaha...

Aku berjanji untuk beres-beres kantor hari ini, tetapi sudah jam 17.00 dan aku belum melakukan apa-apa untuk itu! Biarlah kutulis ketakutanku kini. Uangku tinggal satu jutaan! Ya Allah! Masih ada sih seharusnya yang dari Bu Myra. Besok aku ketemu dengannya. Semoga beliau menanyakan rekeningku hehehe... berapa yaaa... Semoga jumlahnya lumayan. Karena aku sedang jatuh cinta... eh, salah... Aku sedang mau membuka tabungan baru, yakni Tabungan Haji Bukopin! Subhanallah! Imanku cuma sampai di kulitnya! Hahahaha.... dan aku dengan penuh emosi menukasnya. Sungguh aku sangat menyesali, kenapa harus kutukas? Oh, bodohnya... Bodo ah, Aku memang sedang jatuh cinta, tapi aku tak berdaya...

Sunday, September 04, 2011

The Beauty That Is Mine


Aku terpikir kata-kata ini gara-gara mendengarkan melodi theme song-nya Emmanuelle. Filmnya sendiri tidak akan pernah membuatku ingin menontonnya. Selera artistik dan intelektual orang Perancis memang tidak bersetuju denganku. Akan tetapi, melodinya! Melodi ini seperti mengilhamkan suatu cinta yang sederhana, seperti yang selalu kudambakan, kukhayalkan. Seperti apa cinta yang sederhana itu? Hidup di lingkungan kampung yang bersahaja meski di perkotaan? Bertetangga dengan orang-orang sederhana? Pedagang bubur ayam yang mendorong gerobaknya tiap hari, atau pedagang ayam potongnya itu sendiri? Meski sederhana, cintaku cantik. Cantik seperti melodi ini. Cantik yang sederhana. Ah, sulitlah menggambarkannya dengan kata-kata. Ketika aku berusaha mengungkapkannya dalam kata-kata, yang terpikir hanya itu: "The Beauty That Is Mine." Insya Allah, aku tidak terlahir rakus. Insya Allah, lebih mudah bagiku mengabaikan dunia dibandingkan beberapa orang lainnya. Insya Allah. Akan tetapi, kalau cinta maka harus sepenuhnya milikku. Cinta yang cantik. Cinta yang sederhana, seperti melodi ini.

Berapa usiaku sekarang? Tigapuluh Lima. Anakku perempuan sudah duabelas tahun usianya. Sudah gadis. Apa yang kupunya? Laptop ini, HP 520, memang punyaku sendiri, meski baterainya sudah jelas minta diganti. Lalu ada Honda Vario. Itu juga punyaku. Kulkas Sanyo. Itu punyaku juga. Sudah. Keadaan ini tidak akan lama lagi, Insya Allah. Duh Gusti, lagu ini sungguh mewakili suasana hatiku malam ini. Bukan, Aku bukannya sedang merasa tidak berdaya. Aku juga tidak merasa sedang memperjuangkan sesuatu. Hatiku masih gengsi untuk mengakui bahwa aku menginginkan barang-barang itu. Rumah dan perabotannya. Mobil. Setidaknya, kalaupun diusahakan juga, istilah 'memperjuangkan' janganlah digunakan di sini. Teringatnya, aku tadi lihat-lihat mesin cuci top-loading di Giant. Merek apa tadi itu? Samsung, LG, Polytron? Harganya di bawah dua juta. Namun aku sepertinya gengsi kalau beli yang murah-murah begitu. Tidak! Aku tidak akan beli yang murah. Aku beli yang baik. Kulkas saja Insya Allah bukan yang murah, melainkan yang baik. Setidaknya, begitulah menurut Ibu.

Waduw... Again-nya Francis Goya!!! Paragraf ini mungkin untuk Puyunghai saja. Sebelum makan Puyunghai ronde kedua ini, aku minum Sirup Cap Bangau Rasa Pisang Ambon. Sedap! Namun rasanya agak terlalu canggih... Yang dulu tidak seperti ini... Lebih bersahaja namun tak mudah terlupa. Kini tentang Puyunghai. Aku benar-benar lupa di mana bisa dibeli Puyunghai enak. Seingatku aku sudah coba Berkat punya, dan seingatku rasanya sama sekali tidak istimewa. Kemarin pesan di Solaria. Bentuknya lucu, seperti kerucut, tetapi rasanya juga tidak istimewa. Bagaimana kalau di Margonda ya? Apa aku sudah pernah mencobanya akhir-akhir ini? Seingatku tidak. Nah, malam ini aku beli di pinggir jalan. Tidak istimewa juga. Sepertinya, ia menggunakan kecap inggris untuk membuat sausnya, dan itu membuatnya menjadi agak aneh. Agak tidak pas rasanya, makan puyunghai koq beraroma kecap inggris. Oh ya, dan sebelumnya Bakso A Fung. Kalau tidak salah, aku pertama kali berkenalan dengan bakso ini di food court-nya Pondok Indah Mall yang dulu, dan sejak saat itu, otakku selalu merekam bahwa bakso enak salah satunya Bakso A Fung. Dan memang masih enak. Tapi dengan tigapuluh ribu semangkok, sepertinya cukuplah setahun sekali membelinya.