Saturday, April 25, 2015

Serius Gila-gilaan. Gila Serius-seriusan Ini.


Hidup tanpa kopi, coklat, teh tarik... wedang apa lagi yang bisa kuminum? Aku suka medang, minuman hangat. Kunyit masih bisa, tapi kebanyakan kunyit yang beredar terlalu banyak gulanya. Marut sendiri? Boleh juga sih... meski pasti kuning-kuning semua tanganku. Sudah delapan botol Sari Kunyit Sido Muncul kuhabiskan, sudah dua bulan... Sudahlah. Mengganggu memang, tapi tidak ada lagi yang dapat kulakukan kecuali mencoba berdamai dengannya. Akan halnya kebiasaan medang, yah, pada akhirnya semua juga akan berakhir.



Mendekati tengah malam setelah menonton WBA vs Liverpool yang, kalau katanya Bang Khasan, yen ngene wae angel, ini juga ga bener. Tidak boleh frustrasi. Lebih baik fokus pada shalat. Kenapa aku suka lupa sudah berapa rakaat. Itu tanda yang sangat jelas bahwa shalatku masih ngawur. Lalu ini, malah mengetik-ngetik bukannya segera tidur. Mau shubuh jam berapa? Seingatku memang sudah lama sekali, bertahun-tahun lamanya, shubuhku asal-asalan. Tobatku asal-asalan. Aku tidak tahu apa-apa mengenai tobat.

Tenggorokanku sore ini terasa agak sakit. Bahkan sambil nonton Liverpool tadi hidungku sudah mulai tersumbat. Gara-gara itu aku minum Ester-C dua sekaligus. Langsung kembung, perih dan berdebar-debar. Kamu kenapa tidak sembuh-sembuh sih? Menghadapi kamu saja aku tidak berdaya. Lalu aku mau sok-sokan. Apa ini sebabnya maka aku malas sekali menyelesaikan apa yang sudah kujanjikan. Seakan-akan aku tahu apa yang harus diperbuat. Seperti halnya mengenai tobat, mengenai ini pun aku tidak tahu apa-apa.

Mengenai hidup ini, aku tidak tahu apa-apa. Apalagi hidup sesudah mati. Apalagi Ketuhanan Yang Maha Esa. Jumat lalu aku pidato berapi-api [Pidato?! Udah sinting apa?! Itu cingcong. Mengingau] di depan anak bocah KKI 2015 mengenai apa yang dimaksud Prof. Supomo. Memang paling enak begitu. Cingcong mengenai seseorang, gagasan-gagasannya, yang sudah semare. Lhah, aku suka nekad cingcong mengenai buah karya Pak AB Kusuma padahal beliaunya masih segar bugar. Uah! Apa peduliku!

Lalu memang apa yang kulakukan? Apa benar yang kutuju? Tidakkah aku sekadar menjalani hari demi hari, berharap hari ini lebih sehat dari kemarin. Berharap hari ini bebas dari keluhan kesehatan, hanya untuk menemui keesokan harinya mengeluh lagi kurang sehat. Tak satu pun dari ini semua kuketahui, apalagi pikiran kawan-kawanku. Untuk apa ini semua? Untuk Bapak Ibu? Untuk Bangsa? Untuk Negara? Tidaklah mungkin ini terdengar lebih gila. Dengan temaramnya lampu baca, mentalku memang tidak beranjak sudah dua puluh tahun ini.

Lalu biasanya aku akan mengenang masa-masa yang telah lalu, karena aku monyet. Tepatnya kera. Aku kera, maka masa lalu ada di depanku. Entah mengapa dari cerita sepanjang itu, hanya hal inilah yang lekat dalam benakku. Manusia membohongi dirinya bahwa masa depan itu di depan. Padahal ia tahu persis bahwa yang di hadapannya itu, terpampang selalu di depan mata, adalah masa lalu. Masa depan itu khayal. Tidak ada. Yang nyata adalah masa lalu.

Impian tidak ada. Cita-cita omong kosong belaka. Tujuan? Tujuan berbangsa bernegara? Cita-cita Perjuangan Bangsa? Haruskah aku menghabiskan sisa umurku untuknya? Sedangkan Riane Eisler buat buku sudah banyak, terbaik penjual pula. Dasar orang Amerika, Yahudi pula! Meski harus diakui ia memberiku semangat. Memberanikanku untuk main gila! Tidak, tidak dengan perempuan lain. Waktuku sudah sangat sedikit. Sekarang waktunya main gila dengan impian. Cita-cita. Tujuan. Serius gila-gilaan sudah lampau. Sekarang waktunya gila serius-seriusan.

Wassalam, Ol' Kemosabe!

Saturday, April 11, 2015

Lihat Sekeliling, 'kan Kau Temukan Aku


Sungguh memalukan! Bulan Maret 2015 hanya satu entri? Bukan karena itu juga aku menulis tengah malam begini. Udara sungguh panas, aku bertelanjang dada dan perut. Aku hanya merasa ingin menulis atau harus, namun apa yang harus kutulis aku malas. Ah, sedap berkata-kata tanpa harus dipikir begini. Yang penting satu alinea sekitar tujuh puluhan kata, cukuplah. Pekerjaanku, menulis. Hanya itu yang dapat kulakukan, yang mirip dengan bekerja, seperti dalam pekerjaan begitu.

This is far more annoying than Kermit!
Selain itu cingcong, yang tidak akan pernah kuakui sebagai pekerjaan. Lalu apa benar yang kurasakan malam ini? Apa? Gerahnya udara, dan segelas besar air. Ya, hanya air. Seharian ini aku banyak sekali minum teh atau entah bagaimana. Pokoknya aku ingin minum, tapi tidak teh, tapi kopi dan coklat apalagi jahe sudah tidak boleh. Di kotak itu banyak sekali Indocafe Kopimik sebagaimana sering juga kutulis di sini. Kini, itu semua sudah berakhir. Tak akan kusentuh lagi selamanya, seumur hidupku.

Lalu ini. Lamat-lamat seperti kaset atau Delta FM. Tidak mungkin lah Delta. Ini sudah lewat tengah malam. Sudah tentu ini kaset, meski aku tidak pernah punya kaset berisikan lagu ini. Look Around and You’ll Find Me There. Snow Frolic. Dari Delta-lah aku dengar kali pertama, atau tidak. Namun semua ini adalah Delta. Semua ini adalah paruh kedua tahun sembilan puluhan. Dekade ketika kebanyakan mahasiswaku kini baru saja dilahirkan oleh ibu-ibu mereka.

Lalu aku terus bertambah tua. Rambut depanku sudah tidak mau tumbuh lagi. Biar apa? Lalu aku main apece-apecean lagi. Ajo seperti biasa tidak senang. Banyak, atau setidaknya ada juga, yang senang. Haruskah aku melakukannya atau tidak peduli sama sekali? Dapatkah aku sekali lagi mengandalkan keberuntungan untuk dapat mengenyam hidup di luar negeri? Untuk apa? Biar apa? Pieijdi untuk apa? Untuk diriku sendiri. Apece untuk apa, untuk Bangsa dan Negara. Untuk Rakyat!

Sudahlah. Mengapa lompat-lompatnya sengaja banget biar mirip Delta? Apa maksudmu? Agar mirip Asatron? Agar mirip mesin tik dengan baskom kopi dan rokok satu slof, hal-hal yang tidak akan ada lagi dalam hidupku. Oh, udara malam yang panas. Entah sudah berapa ribu, atau juta, malas pun menghitungnya, aku bertemu denganmu. Berapa? Di mana? Inilah adaku kini. Tak merokok, tak menyeruput kopi, apalagi menenggak alkohol. Inilah adaku. Sementara ini. Dosen. Tukang dongeng.

Nggak lah. Tidak perlu diingat-ingat. Maju saja. Apa yang ada di depan? Entah. Maju ke mana? Entah. Bahkan mie instan pun sudah hampir tidak pernah lagi kumakan. Masih banyak tuh di lemari. Biasa menjadi stok andalan kalau sudah buntu, mentok, gak ada ide mau makan apa. Sekarang di kulkas ada sih sayur monyet, tapi nasi tidak ada dan masaknya malas. Mie instan? Biar apa? Memperbaiki suasana hati, mungkin. Apa iya?

Nah, kalau sudah begini, biar kutanya pada Bang Denny Januar Ali. Kalau begini ini genre apa, Bang? Puisi prosa atau prosa puitik? Tapi kau hebat, Bang. Kau tahu persis apa yang kau mau. Sedangkan aku, apa yang kurindu saja tak tahu, apalagi yang kudamba. Betul-betul terserah kau mau menyebut dirimu sendiri apa. Orang tidak boleh rewel. Aku setuju. Jika aku bau aroma sitrus, aku tidak peduli. Orang lain tidak boleh protes.