Friday, March 15, 2024

Saloth Sar Saja Terbantai di Ladang Pekuburan Siapa


Old Steadyhand adalah salah satu julukan tolol yang kuberikan untuk diriku sendiri, tentu saja, di samping Bonovski, dan mungkin ada lagi lain-lainnya. Malam ini aku teringat pada old steadyhand karena aku memotong gambar hanya dengan kira-kira dan ternyata hanya meleset satu pixel. Seperti inilah wujud kebanggaanku sekarang, karena bahkan aku dipermalukan dan diperolok-olok oleh pendaki terkenal Aconcagua. Mungkin satu-satunya cara untuk memanaskan kembali somay oan adalah dengan cara dikukus, karena dimegatron dengan air tetap keras dalamnya.
Tengah malam tadi seperti biasa berhenti, seperti selalu saja terjadi belakangan ini. Mengitiki menjadi kegiatan yang semakin lama semakin terasa berbeda; meski anatomi dasarnya tidak pernah betul-betul berubah. Apakah di Radar AURI atau kubikelnya Dedy, adakah pada waktu itu di kubikelku sudah tidak ada komputer pribadinya. Aku ingat beberapa kali bertololan berkeliling di komputer depan pojokan itu, dengan stasiun yang mirip dengan yang biasa kupakai dalam Apollo celaka 13. Di situ pulalah Bang Sony Sikumbang muda bermain kesendirian sudah 20 tahunan lalu.

Sekarang sudah tidak ada yang muda termasuk perutku. Di sini pun tiba-tiba macet lagi, padahal Chris Cross sudah menderu dengan baiklah, menyusul durian-durian ke tanah pemakaman.Tanah perkuburan, Mas Tony Edi Riwanto kapan matinya. Jika menilik dari racauannya, kurasa ia bukan muslim, ataukah, seperti kebanyakan orang Jawa, muslim namanya saja. Aku tidak bisa menggambarkan perasaan ini dengan tepat kini, apa karena ia sedang tersendat-sendat. Apa benar yang menyendatnya, apakah jalan kecil menuju pinggir kali itu, sebelum warung laler. Sembarang saja.

Bergeruduk-geruduk, atau gedubruk-gedubruk, adalah seperti seorang penyanyi syair lagu-lagu tua menggubah komposisi onomatope yang berakhir dengan kitaranya di sekeliling leher. Haruskah kucepat-ke-depankan perasaan dan air mata ini, akhirnya itu pula yang kulakukan, bahkan juga terhadap kita semua sendiri. Pagi-pagi di tengah cuaca ekstrem ini, dengan berjaket biru pemberian Savit, sarung entah dari mana, apakah pasangan koko gading dengan bordiran kaku di tengah-tengah, dan kaus semata kaki bukan semata wayang, Suzanne menari-nari.

Terkadang hawa dingin muram bermendung begini hanya tersisa nama bulannya, yang sangat bisa jadi bukan untukku, melainkan untuk siapapun yang cukup kurang kerjaan sampai mengunjungi macan gondrong. Apakah itu di pemberhentian bis, apakah itu di Kramat Batu ataukah lapangan Bhayangkara, Santo Jambrut! Ke mana aku dibawanya, ke masa kecilku di apron timur lapangan udara Kemayoran, atau ke tepian Ciliwung di salah satu meandernya, meninggalkan tanah menjorok di Rawa Panjang lagi Rawa Menteng, Fajar Baitullah! Qoryatussalam Sani! 

Keramat Barepan! Silagar! Aku tak bisa percaya itu kamu, membuatku pulang ke ndalemnya Akung Uti. Itu bukan pulang namanya, sungguh. Jika pun iya, maka mampir. Mampir minum. Kalimat-kalimat makin pendek, siapa yang memendekkannya, aku 'kah. Bisa apa aku. Main terompet, trombon, susafon, tuba, dan kawan-kawannya saja aku tak bisa. Bahkan suara-suara tiruannya di sintesaizer juga aku tidak bisa. Aku tidak bisa apa-apa, Si Tolol ini. Seperti seekor munyuk mainan ular yang ditemukannya di dalam lubang di sebatang pohon kelapan. Dipatuklah ia.

Seorang penyiar radio bernama Dreded Cikutra menandakan adikku sudah sampai ke mana-mana, ke berbagai tempat. Ya Allah mereka hanya adik-adikku, anak-anak bapakku. Aku menggelesot menggelepar. Di tepian sungai Maas, di bawah jembatan Wilhelmina, hanya sekali aku di situ. Berduaan saja di Cappadocia, selembar saja. Main peluk-peluk saja calon istri orang di depan pacar sendiri, rasanya seperti ingin berteriak: "Father, till we meet again in the Garden!" Aku tidak bisa muda lagi. Sudah habis rasa itu dari mana-mana, dari sekujur tubuh dan pikiranku.

Friday, March 08, 2024

Apel Bancrit Sudah Tiada Lagi di Dunia Fana Kini


Meminum teh oolong susu hangat seperti ini selalu membawa kenangan pada kamar hotel yang nyaman di sore hari, ketika anak-anak belum datang. Anggaran mana yang digunakan waktu itu, ESDM-kah. Adakah waktu itu mengitiki juga. Adakah ketika itu perut membuncit melimpah. Entah mengapa aku selalu suka sayap berhenti, meski yang barusan tadi kurasa sudah mati kemarin. Seperti apakah malam-malam di hari Jumat sekitar 24 tahun lalu. Apa benar yang membuatku teringat padanya. Hidup koq penuh suka cerita begini, menjulur-julur lidah bak kilat meja. 
Ya, karena bancrit itu. Alangkah indahnya dunia kurasa saat ini, saat ini, karena malam ini malam bahagia. Kupaksa teruskan meski suasana semakin kurang sesuai, terutama perut yang menggelembung penuh berisi gas. Kutembakkan agak lumayan barusan nyaring juga bunyinya. Namun itu malam kemarin. Ini sudah keesokan paginya, yang karena ngejogrok di depan tivi nonton yutub membuat kantuk tak tertahankan, aku menyiapkan segelas coklat panas. Ketika itu sudah terpikir mengenai Prof. Dr. Mr. R. Soepomo, namun prakteknya ya gondrong lagi, gondrong lagi.

Barusan bertelpon dengan Takwa mengenai betapa sekarang, selain Magelang, ada Malang dan Cimahi. Masih ada kemungkinan orang akan menyangka apa yang ada di kepalaku ngarang-ngarang, maka aku menelusup kembali ke sepur derek entah nomor berapa lupa. Lorong kuningnya yang terkadang semerbak jika Jeng Doktor Arum baru saja lewat. Japri entah apa kabarnya, apalagi Gerardus dan Gregorius. Betapa mengerikan hari-hari kujalani di sana, monotoninya, dari bangun tidur sampai terpaksa harus tidur lagi. Tak banyak beda dengan Uilenstedenya.

Lantas apa bedanya dengan kini, jelas berbeda. Hari-hariku bisa diselingi donoloyo dengan rhodamin-b niki harumnya, nasi uduk pagi sore atau malamnya, ada cungkring atau urapnya. Kutengadahkan wajah menerima hantaman bulir-bulir air besar-besar. Kurentangkan ke dua belah tangan ke arah langit bermendung. Mulut menganga namun tidak berkata-kata. Hanya dadaku saja penuh kata-kata tak bermakna yang kini kuberondongkan di papan kunci. Dengan 40 kg lebih lemak di badan, tidak heran baunya seperti ini. Oblong putih cap angsa bersimbah peluh.

Kekaryaan ABRI selalu menjadi obsesiku, sebagaimana halnya ABRI masuk desa. Aku anggota ABRI bukan TNI, karena mars ABRI sungguh gagahnya, sedang mars TNI dibikin Addie MS yang istrinya Memes. Bisakah lagu terlanjur sayang, 'gih, sayangilah polisi. Aku biar disayangi anak mantan ibu jala yang lucunya minta ampun. Aku yakin kau tidak akan sanggup menandingi kelucuannya, bau pada puncak dahinya, di anak-anak rambutnya, meski ia tidak melahirkan anak-anakku. Aku suka berkarya. Aku selalu berusaha berkarya sebelum tidurku, apalagi bangun.

Kembali pada donoloyo, kepada oncom, tempe, bakwan, dan aci goreng, hanya satu euro lewat sedikit sekali. Kubayangkan diriku terjun ke kali, ke saluran irigasi, ke pintu air itu, bagian mengalir keluarnya. Aku berenang-renang seperti tahi, kuning kecoklatan seperti air kalinya. Tahi kerbau hijau kehitam-hitaman berenang-renang juga di sekelilingku. Ada juga comberan di jalan petogogan yang dalam khayalan anak umur sepuluh tahun adalah kolam arus, dikhayalkan sedang sudah berada di rumah kakek yang demikian nyamannya di musim hujan pertengahan 1980-an.

Jelas aku bahagia, hidup sejahtera di Khatulistiwa. Adakah bahagia hidupku dekat lingkaran kutub, ada senang-senangnya juga. Ada sedih-sedihnya juga. Ada Adianto Wibisono yang menemani ketika hatiku sakit menyakiti badanku. Ada soto ayam suriname yang kuahnya tulang babi, pantas lebih sedap dari sekadar soto kudus Blok M. Aku mengitiki begitu lancarnya sedang hujan sepagian turun sebentar reda, sebentar turun lagi. Hujan sedang reda ketika adzan dhuhur mulai berkumandang. Matahari seharusnya sedang berada di luhurku, itulah sebabnya disebut "dhuhur".

Friday, March 01, 2024

Petembak Runduk Tak Ubahnya Pesumpal Guagarba


Mungkinkah mengitiki jika rasa tak berdaya merambati, merayapi tengkuk sendiri yang ambeng kerok. Ketika disambung begitu bertentakel delapan, sedang sang pendeta perempuan hanya dua. Iya, iya, begitu mantra untuk memanggilnya. Aku sedang menikmati kesendirian, kesunyian, tanpa ada bunyi-bunyian bahkan penglihatan meningkahi. Kecuali selembar celana dalam, kecuali tas tote bermotif kamuflase. Aku masih ingat pada posisi ini membangun dan menghancurkan peradaban. Kota dapat begitu saja beralih kesetiaan, biasanya padaku. Padaku dikau mengulurkan tangan.
Di dalam pelukan seorang berspesifikasi bidadari, samba, samba, kau 'kan menemui kenyamanan. Maka begitu saja aku berdisko dalam kepalaku, ketika beberapa sangkakala menyelompret bersamaan, ditingkahi beribu-ribu dawai bergetar diraba kekasihnya berambut ekor kuda. Bagaimana kalau bentuknya tidak sedap dipandang, berminyak, dan mungkin feromonnya terlalu menyengat bercampur aroma lemak basi. Aku tetap berjingkrak memutar-mutar lengan sambil mengayun-ayun kepala botak seakan masih ada kribonya, meski di ketiaknya, meski di selangkanganku.

Ah, sudah waktunya berangkat ke Mars, karena aku komandan penerbangan Boniface Ronald Johnson. Betapa cantik terdengar suara istriku, bercerita betapa anak-anak merindukanku. Di sabuk asteroid bisa ada badai luar angkasa yang dahsyat, yang sampai mengganggu tautan komunikasi angkasa dalam, yang mungkin menyapu juga kapal angkasaku sampai kandas di lautan helium Jupiter. Suaraku pasti jadi lucu seperti bajing berekor pendek, maka sudah waktunya kukeluarkan air minum dari pembeku. Mungkin bisa juga sambil mencuci gelas plastik bekas minum.

Nyatanya, aku tidak pernah mengendarai apapun. Jangankan kapal angkasa, pesawat ultra-ringan saja tidak, apalagi balon udara bertenaga biogas. Aku memang pengkhayal celaka yang sudah di tepi jurang kebohongan. Bagaimana jika isi kepalaku ternyata bohong semua, kepada siapa lagi aku akan percaya. Kepada pastel mak cik yang sambalnya encer namun jika banyak-banyak bisa mengakibatkan tahi encer, mungkin aku masih dapat percaya. Kepada kisah cinta Sheldon dan Amy yang tidak lebih menjengkelkan daripada Robin dan Barney: Tahi mereka semua itu!

Setelah mukaku berlumur tahi encerku sendiri, [karena tak mungkin kusemburkan pada Sheldon dan Amy, pada Robin dan Barney. Mereka tokoh rekaan semua] aku agak tenang sedikit. Heh, tapi bagaimana aku menyembur muka sendiri dengan tahi sendiri, apa aku semacam kontorsionis. Tentu tidak, aku hanya orang sok asik, sok iya, padahal mengagumi pahlawan-pahlawan kuat dan ajaib, dan mengkhayalkan mereka benar-benar ada atau pernah ada seperti Susilo Bambang Yudhoyono atau Prabowo Subianto. Aku santai saja, karena akunya hijau.

Mengadakan barang dan jasa publik itu kurasa seperti mengada-adakan cerita yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Jadi seperti mengada-ada begitu, seperti beberapa hari berturut-turut naik kereta dari Gondangdia sampai UI, terakhirnya sampai Depok sekaligus. Langit menangis seakan merasakan kesedihan seorang ibu yang anak-anak hebatnya belum jadi apa-apa. Memang butuh berbagai jenis orang untuk membuat dunia ini terus berputar, kadang ada yang di atasnya, kadang di bawahnya. Begitu saja terus sampai kapan entah, akunya tak berasa, tak berperisa, septriasa.

Armageddon itu sebenarnya korupsi dari armada gendon, lhah, mengapa gendon sampai mengarmada. Apa seperti musuhnya pasukan kapal bintang yang anak-anaknya sanggup mencabik-cabik manusia seakan-akan terbuat dari kardus. Aku menggelosor seperti bapak semang, melata-lata di sepanjang aspal Yado 5 ketika masih Yado 2, beringsut-ingsut merayap sampai pulang kepada bapak ibu, alasan mengapa aku ada di dunia ini. Segalaku, asalku, tempatku menuju, tempatku pulang. Di kehidupan lain kudekap bapak ibu erat-erat seakan tak hendak lepas lagi.

Selama-lamanya.

Thursday, February 29, 2024

Apa Masalahmu, Nyanyikan Sesuatu Baru Untukku


Apakah mungkin mengitiki ketika kekecewaan mendalam di tengah cuaca berbadai. Ketika dikatakan istirahat sholat makan untuk kemudian dilanjutkan pada pukul satu, aku segera beranjak ke masjid. Menyusuri emperan aula, aku seperti kucing garong bangkot gendut kebasahan titik-titik gerimis mengundang. Kuulurkan tanganku ke atas seperti biasa di waktu-waktu begini. Ketika itu bahkan aku tidak peduli jika pulang dengan tangan kosong, maka ketika menerima tak seberapa aku bersyukur. Aku kucing jantan tua, gendutku seperti Joppie van Darmaga.
Apakah mungkin terus mengitiki jika gelombang demi gelombang masygul menggelora bagai laut diamuk badai. Aku yang keple ini menyebut-nyebut laut, tapi suatu hari nanti 'kan kupakai nama itu: Harnowo. Samudra raya yang kurasa hanya akan menjadi khayalan seumur hidupku. Sedang omonganku mengawang-awang, terlalu tinggi, sedang badanku menambun begini. Melodi-melodi cantik tinggal lagi penawar hati yang teracuni, terluka sembilu. Kotak kudapan yang selalu berkacang, tadi bertahu mutiara entah begitu namanya, bertelur puyuhnya; dikau cintaku.

Dari situkah mulainya segala penghormatan militer, salutasi yang dibalas sangat kasual sekadar karena sudah lulus. Tiga tahun tak berarti itu dibanding pengasuhan sejak lahir hingga hampir lima belas tahun. Ini rasanya seperti graha remang-remang sebelum jam 11.00 karena setelah terompet tidur malam masih boleh menyalakan lampu-lampu bohlam. Stevanus di Graha 16, aku di Graha 10, Takwa di Graha 9. Kulempar semua ketakutanku pada angin lalu, yang ketika itu seringnya dingin membelai badan-badan muda. Mungkin menyehatkan badan, sedang pikiranku saja yang selalu mendung gerimis begini; dalam khayalku saja.

Serbat madu jahe merah mint membasahi kerongkongan, sedang ingatan melayang mungkin ke dalam jip hardtop yang kaca-kacanya berembun. Radionya menyenandungkan lagu-lagu terkini pada jamannya, sebidang bahu untuk menangis di atasnya dan mungkin juga dua hati. Hidup para ibu melemparku bagai katepel elektromagnet tak beruap ke masa-masa ketika kemaluan mulai membesar. Itulah kemaluan terbesar yang mungkin pernah kurasakan, bukan lain-lainnya, karena selain itu adalah kesedihan mendalam. Luka tusuk yang tembus dari perut ke punggungku.

Keadaanku kini tidak lebih mengerikan dari ketika aku terlahir tanpa bau. Mudah saja, kami burung bangkai, ada masalah? Seperti bercelana pendek berkalung sarung malam-malam ke tempat menjual minum-mimuman memabukkan. Ketika kemaluan sudah tidak tahu malu lagi, hanya untuk kembali ke bilik yang kini jadi kantor ikatan alumni. Meski di situ, tidur-tidurku nyenyak, meski berbantal tas biru bermakara lusuh, kumuh, yang isinya tak berani kukeluarkan, yakni bondet yang sudah gepeng. Luka, luka, luka yang kurasakan, bertubi-tubi yang kuberikan. Kelu lidah kelat.

Maka kami berkata: "Selamat datang selamat tinggal." Berdua sambil melambai-lambaikan tangan pada sebentuk kursi ligna gaya lama yang kokoh dan elegan, yang tidak jadi dihantamkan keras-keras memecah kepala-kepala yang terlalu bodoh; yakni kepala-kepalaku sendiri. Belum sampai sepuluh jumlahnya, memang aku siapa, namun pasti lebih dari dua, mungkin ganjil jumlahnya. Aku bukan tebe apalagi wiyono. Mustahil aku jadi parul apalagi acep. Aku paling tua namun paling tolol, menonton film dewasa sedang kemaluan tegang membuat duduk si tolol tak nyaman.

Pula rokok yang tak henti-hentinya mengepul. Entah masih agak sebungkus atau tinggal beberapa batang kusimpan di mana bersama koreknya sekaligus. Aroma belerang ikut terhirup bersama hisapan pertama, waktu-waktu aku setolol hati angsa bersaput lemak, yakni foei gras. Maka aku berjalan-jalan di sepanjang tepian buiten Ij, karena hanya hamburger yang pernah kucicipi sedangkan bukit hamburger hanya dikhayalkan. Mengajak berkencan di restoran kapten Haddock juga semacam ketololan yang tiada hentinya bahkan sampai saat itu. Ketololan.

Monday, February 19, 2024

Mencintaimu Itu Sesuatu yang Benar-benar Sesuatu


Tidak banyak di dunia ini yang benar-benar dapat dijadikan pegangan, apalagi sandaran. Betapa mengerikan dunia ini tanpa cinta, meski aku jadi orang memang mudah merasa ngeri. Contohnya, membayangkan kedinginan di luar Albert Heijn NDSM sambil menunggui sepeda van moof tak bergembok saja aku sudah merasa ngeri. Nyeri beda lagi dari ngeri, padahal sambalnya tadi hanya sekepret. Memang sempat terasa menyengat di lidah. Kurasa mulut dan lidahku jauh lebih tahan, suka bahkan, terhadap pedas dibanding saluran pencernaan yang ke belakang.
Kacamataku sampai berembun meneguk-neguk teh bendera hangat dari mug aluminium. Hari-hari memang bergulir, terungkap dengan cara-cara yang tidak terduga, dan betapa di dalamnya penuh cinta Sang Maha Cinta. Jika sudah demikian, butuh apa aku dengan Brenda, Kelly, dan Donna meliuk-liuk begitu sambil meratap-ratap putus itu sulit. Sedang jaman itu saja aku tolol apalagi sekarang. Sungguh tidak putus-putus aku bersyukur, memasuki baya paruh kedua ini hidupku masih dilumuri cinta sampai lengket-lengket manis seperti gemblong atau telur gabus, menetes-jilakan.

Meski omonganku mengawang-awang ketinggian, sejatinya aku ini seekor monyet tak berekor yang nyaman dengan tahi upilnya sendiri, mengorek-ngorek, memulung-mulung menjadi bulatan kecil, dilahap dikunyah kecil-kecil sampai terasa asin-asin getir. Monyet betulan pasti upilnya tidak asin karena mereka tidak makan garam. Hanya akulah kunyuk kebanyakan garam baik natrium atau glutamat. Aku tahu aku harus jatuh cinta, namun untuk apa jika cinta, alih-alih menjatuhkanku, justru membuai-buai menyayangiku seperti hujan diarak awan-awan mendung, dibelai angin.

Bahkan sekadar suara Tante Karen dan dentam-dentaman senar bass Pakde Joe Osborn sama khasiatnya seperti mengelus-elus entah anjing entah kucing yang aku tak punya dan tak ingin punya. Jika Cantik suka kegelian jika kuelus-elus dan kugemes-gemesi, setidaknya akulah yang dielus-elus olehnya, maka Insya Allah detak jantungku tenang berirama, tekanan darahku stabil normal, otot-otot pembuluh darahku rileks seakan-akan dipijat terapis yang ternyata istri sendiri, yang penuh cinta dan kasih-sayang. Aku memang tidak pernah benar-benar gitaris. Aku basis dramer.

Di pojokan sini aku mengetik-ngetiki, di antara kardus-kardus. Entah mengapa orang-orang seperti Parul dan Mayor Jenderal TNI Achirudin Darodjat bisa menempati ruang kerja yang oh yeah. Bahkan ruang kerjanya Ai ada pintu rahasianya, yang ternyata menuju ke ruang tidur dan kamar mandi pribadi. Tentu saja pemalas tolol sepertiku tidak pantas diberi akses ke ruang kerja seperti itu. Maka tidak apalah, di antara kardus begini, meski perut bawahku nyeri, aku masih rampak mengetiki sedang hatiku terasa nyaman; memandang keluar di ketinggian, cuaca mendung.

Uah, koleksiku ini bahkan lebih ajib dibanding koleksi menyedihkan bersampul plastik pembungkus kertas. Hidup seakan ada episode-episodenya, seperti angin-angin perang dilanjut perang dan kenang-kenangannya. Ngeri betul! Kenangan akan perang, kenangan akan hidup dalam kem kerja paksa, penyiksaan, meski dijadikan tipuan seakan-akan kem itu dikelola secara sangat manusiawi bahkan nyaman. Kematian mengerumuni, bahkan mengintai, mengancam setiap waktu. Hanya kemarin ketika aku sedih dan kesepian. Kini syukurnya sudah tidak lagi.

Sedang kordnya sudah berpindah-pindah dari C ke D, dibuat minor, sudah ke G balik ke C lagi, bassnya ditahan di C terus dan hasilnya ciamik. Baru setelah kordnya ke A minor bassnya ikut. Uah musik bagiku mungkin seperti air bagi bumi, bahkan tubuhku sendiri. Tanpanya aku tandus, dehidrasi, tak terbayangkan, bahkan mungkin mati, meski tentu saja tak mungkin kuketahui karena aku belum pernah mati. Uah mengapa cinta seperti romansa antara kodok dan babi. Apa babi lantas bertelur, menetas menjadi berudu alias kecebong, atau beranak kecebong, tidak dikisahkan.

Apa seperti orang gila begini, 'Gar?

Saturday, February 17, 2024

Betapatah 'kan Kupenuhi Janjiku Ini. Kakiku Dingin


Ada entri-entri yang kumulai dengan ada malam-malam. Seperti entri ini, kumulai dengan ada malam-malam hatiku meleleh seperti salju April. Tiada sesiapa dapat kusalahkan karena ketololanku, dan kemalasanku. Kepengecutanku juga, sedang banjo saja berduel. Sedang Earp bersaudara baku tembak dengan Johnny Ringo dan kawan-kawannya, dibantu Doc Holliday. Sedang aku, Catur, dan mungkin Rully menontonnya di Bayeman Theatre, dengan harga tanda masuk Rp 450; pada saat yang sama Magelang Theatre Rp 1100. Ya, kami bertiga II Bio-2 lanjut III Bio-1. 
Kemanisan ini tidak pernah sirna, tidak pudar setitik pun sejak aku masih belasan tahun. Kisah ini, dua kekasih yang entah mengapa ingin berpisah namun tak satupun sanggup mengucap selamat tinggal. Sungguh kepiluan yang manis meski bergemeretak itu senar dan tom-tom digebuk. Aku penggebuk dram Biodeath, sejak itulah aku terkenal sebagainya. Padahal, dimulai dari kamar mandi Cimone Gama I No. 26 yang kecil coklat itu, lalu kamar mandi-kamar mandi di Yado II No. E4, aku adalah seorang vokalis. Kukepalkan jari jadi es kepal, bukan tinju, entah mana arah dituju.

Semulut penuh siwak terasa kesat kelat begini, karena ooh sungguh damai di sini. Di atas bumi ini entah sudah berapa kali, di berbagai tempat kurasakan kedamaian. Bahkan jalan kaki dari Bellagio Boutique Mall ke depan Jalan Satrio juga bisa damai. Berputar-putar di sekujur menara Eiffel aku tidak peduli damai ataukah tidak, sekadar suatu pandangan untuk suatu pembunuhan. Di padang sabana sana itu bukan pembunuhan sama sekali. Itu sekadar makan malam atau sehari-hari, atau berhari-hari. Dibuat 32 mulai sedap 34nya mantap agar suara-suara tolol tak terdengar.

Kesakitan bisa jadi dimulai dengan kuiscis, begitu cara membacanya, dan cokelat panas tinggi yang sama sekali tidak kondusif. Aku jadi merindukan meja komputer goyang-goyang, yang padahal didisain untuk menopang monitor lama berkonde. Kurasa laptop pertama yang ditopangnya adalah Axioo Pico, yang tak lama kemudian digantikan Asus A450C. HP-11CB Insya Allah akhir Agustus ini dua tahun umurnya, kurasa lebih panjang dari Axioo Pico, atau sama. Akankah setelah ini, segera disusul oleh semacam Asus A450C tapi yang dapat mengoperasikan peradaban enam.

Itu semua tidak penting dibanding dengan segarnya udara dari arah utara dan timur. Disaring pintu belakang berkawat nyamuk, namun di sebaliknya terbuka leluasa berkonblok berlubang-lubang penumbuh rumput. Menara tangki air di atas sebuah tiang yang di bawahnya sering kubuat berak di subuh hari, ketika Cantik sedang memakai satu-satunya kamar mandi kami. Uah, bahkan rumah ini saja sekarang sudah bisa dikenang-kenang. Sebelum setengah enam kegelapan menyembunyikan, memperhatikan betapa putik-putik bermekaran yang lekat dalam ingatan.

Cinta tidak lama. Kenangannya yang terus tinggal bertahun-tahun lamanya. Hanya orang tolol yang kecanduan cinta, ingin terus merasakannya berlama-lama. Selebihnya menjalani hidup di dunia, mencoba membuatnya bermakna atau sekadar menjejalinya dengan kesenangan-kesenangan besar dan kecil. Bulan tersaput awan membuktikan betapa khayalan akan perang bintang akan selamanya menjadi khayalan, terlebih galaksi limbo dengan bintang monnya. Jika aku masing mengetik-ngetik di sini, maka aku sudah tak punya teman lagi.

Sungguh sedap melodi yang digubahnya, meski memang harus diproduksi dengan aransemen seperti ini. Jika harus mereproduksi kesedapannya dengan gitar kopong, kurasa aku harus mengerahkan segenap daya cipta. Setua ini, daya ciptaku tinggal setetes-setetes, sedang adikku masih terpikir ingin punya motor karbu. Legiun kondor! Ini bisa lucu, lebih lucu dari spesialis kuliner angkatan laut amerika serikat. Kondor di sini jangan dibayangkan burung pemakan bangkai, tetapi celana yang dipelorotkan sebagai candaan tak lucu anak-anak tolol. Namun tidak jadi ah. Ide buruk.

Saturday, February 10, 2024

Kuingin Tidur dan Tak Bermimpi Apapun Malam Ini


Tidak menjadi masalah jika di ujung-ujung kanan-kiri atasnya masih terlihat taplak merah dan alat-alat makan, yang kumakan barusan pun tidak seperti yang di gambar ini. Namanya "steik keju Hamburg", yang datang daging giling berminyak asin digoreng agak matang, dilumuri saus keju tujuh sebelas, disajikan dengan kentang panggang dan buncis mentah. Buncis mentah! Aku tiba-tiba ingat hari-hari karantinaku di Hotel Mercure Gatot Subroto dengan layanan kamarnya. Mengapa sekarang hanya sup tom yam yang dapat kuingat, atau memang cuma pesan itu saja.
Ini akan menjadi entri mahal, bisa tiga ratus ribuan perak setidaknya. Apa satu rupiah pernah sama nilainya dengan berapa berat perak. Setiap jari-jemariku mengetiki, meja ini pun bergoyang-goyang, menggoyangkan cangkir dan gelas, membuat air teh beriak-riak bergelombang. Ini memang bukan meja kerja. Ini meja makan. Lantas meja seperti apa yang pernah ada di ruang makan rumah di atas tebing tepian Ciliwung. Tidakkah aku pernah bekerja di meja itu. Aku bahkan lupa mejaku di Sint Antoniuslaan 11, meja dan kursi kerja jaya boleh beli di mal rongsok ketika masih muda.

Dengan urut-urutan ini, aku pernah mengukur jalan-jalan Jakarta, selatan, pusat, sedikit timur, dan tentu saja Depok, dengan VarioSty. Bahkan sampai ke Serpong. Betapa sehatnya aku ketika itu, ketika waktu yang ditetapkan Protokol Kyoto untuk terjadinya perubahan yang permanen dan tak dapat dipulihkan belum tercapai. "Setidaknya Juz Amma", begitu kata Ustadz Syafiq al-Jambari, "dengan artinya". Namun aku tak bisa memaksanya, Ustadz. Bukankah Allah yang akan mengumpulkannya dalam dada kita. Ah, itu cuma alasan tololmu sendiri.

Aku bahkan tak mau lagi naik bis dari Bungurasih ke Perak, padahal acaranya tidak sejauh itu. Kupelorotkan dudukku, meluruskan perut dan punggungku. Betapa beraninya aku dulu, sakit sendirian di hotel murah di Lamongan, seakan pasti sembuh. Naik becak ke dinas perikanan setempat, lanjut ke badan perencanaan pembangunan daerah, dan kusebut itu semua meneliti; bahkan setelah pulang dari India. Jejak-jejaknya ada sedikit kurekam di sini, seperti biasa, dengan banyak rincian hilang. Tiba-tiba memulas perut, wc penuh asisten putri-putri, jadi lari ke wc satu lagi. 

Beginilah kenyataan dan adaku, sungguh kasihan siapapun yang jadi istriku. Padahal aku pelopor gerakan pemurnian, kuterapkan tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada Gundo, Reza, dan Herman. Ya, mungkin paling banyak hanya segitu itu. Seperti aku baru sadar kalau Zulkhali Duki juga di G3. Di gudang G3 inilah aku berfoto ala-ala van Damme atau Steven Seagal, di atas tumpukan tas teman-temanku sendiri. Seingatku dulu G5 lebih rapi gudangnya, dengan pemandangan lepas ke arah kebun tebu. Jadi apa sekarang kebun itu, akankah dia menjadi hari-hariku lagi.

Ya, positif ratusan ribu ini hanya untuk menjadi entri ini. Ini mall sudah sepi, bahkan stip wong saja sudah hengkang pergi. Libur panjang dari Kamis sampai Minggu tetap tidak jadi apa-apa, sedang hari-hari kerja sudah tentu penuh kesibukan. Perutku terasa tidak nyaman, dan Robert Leckie tidak asik cara menulisnya. Tadi pagi sempat terpikir, akan kukatakan pada John Gunadi: "Leon Uris membuatnya seperti perkemahan anak pramuka." Namun, seperti biasa, John Gunadi sudah mati, dan Togar punya anak istri. Aku setolol John Gunadi dalam hal ini.

Aku baru sadar. Orang Cina bahkan sudah tidak peduli ini tahun baru yang keberapa, malah diberi angka tahun Gregorian. Hahaha pokoknya imlek, sebodo amat tahun berapa. Memang aku lebih mudah menyerah jika di rumah. Di luar rumah, rasa-rasa sedikit mengantuk begini pasti ditahan dan memang harus ditahan; bahkan di kampus yang sudah tersedia kasur tayo sekalipun. Mungkin karena kasur tayonya ada di ruang Bu Tri. Di mana dulu biasanya kasur-kasurku, pernah pula di JHP Lantai 4 pintu barat yang bisa diselot dari dalam; bahkan di karpet kotor humas.

Tuesday, February 06, 2024

Bukan Tak Biasa Badan Didera Serbuan Sirkus. Aku


Cacat yang sedikit itu justru menjadi ciri khasnya. Lagipula, cinta itu justru kepada kelemahan dan kekurangan, sedang pada kekuatan dan kelebihan terbit kekaguman. Inilah yang terjadi jika mencukur klimis seluruh rambut wajah kecuali alis dan bulu mata mendekati tengah malam yang hangat di tengah-tengah musim penghujan. Sejauh ini belum terpikir judul, apalagi keyakinan akan selesainya sebuah entri. Entah bagaimana, aku kembali ke gang pancoran ketika malam masih sangat muda. Entah sedang apa aku di situ, namun, seperti saat ini, rasa hati ringan pun riang. 
Seperti malam ini, secangkir plastik merah serbat jahe kemantapan [hati]. Sungguh aku tak berani mendengarkan ini di Belanda [mengapa suaranya meleyot-leyot begini. Jangan dong]. Di sini saja aku berani karena dekat dengan Cantik dan anak-anak perempuanku meski kurang satu. Anakku empat, tiga perempuan, satu kambing. Di mana anakku, di mana istriku, ha ha ha ha [kurasa empat kali]. Mungkin orang gila unyil ini namanya Maximus Decimus Meridius, gila demi melihat mayat anak istrinya digantung kehitaman, dibakar. Baik mana gila atau mati, pertanyaannya.

Parapam pam pam membawaku kembali ke tower Cengkareng. Sungguh hebatnya, Affan dibawa Pak Utomo ke Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional. Suasana di siang hari, menjelang gelap, setelah gelap, sungguh penuh kenangan manis. Pulang dengan jemputan bis PPD sampai ke Blok M, entah naik apa sampai rumah. Apa langsung tidur atau mandi dulu, tidak ingat. Akulah anak lelaki tertua kebanggaan Bapak Ibu dan adik-adikku. Adakah anak-anakku membanggakanku tidak perlu ditanyakan. Biarlah dihembus angin lalu, kenangan akan harapan, impian.

Secangkir serbat apa dilanjut coklat panas, yang kuinginkan justru air panas saja. Aku setua ini, yang dulu menempel di jendela kaca miring tower Cengkareng. Aku malah tidak ingat seperti apa tower Halim. Wuah, bahaya! Ternyata itu yang bikin meleyot-leyot. Semoga tidak terjadi apa-apa. Apa sekarang tambah air panasnya. Apa diberi sedikit teh hijau. Tentu tidak malam-malam begini. Hidung mulai seperti tersumbat, kulihat hidung Togar memang penuh ingus kental. Entah sudah berapa kali bahkan di blog ini saja, jika pun mulai terasa ini dan itu, berharaplah.

Seperti apa malam-malam di rumah rendah samping kandang kambing buat apa lagi diingat-ingat. Lebih baik mengenang roti talenan keju bawang Albert Heijn, apalagi ditambah lasagna bayam dan sop-sopan instan, minumnya secangkir besar teh dari mesin kopi. Ada apa saja di situ, yang kuingat sekarang adalah semak merah, lemon, beri hutan, aneh-aneh lah. Uah, pasti kenyang. Mimpinya hampir sama dengan mimpi apapun yang pernah kualami dalam hidup. Mimpi main tentara-tentaraan, main peneliti-penelitian, padahal kenyataannya ya begini ini. Setolol jaya.

Tanganku pada pinggulmu; langit, matahari, dan laut kebanyakan gaya. Masih tolol saja sedangkan Yudo Purnomo sudah lama kolonel, ternyata Aris Gunarso. Petualangan dari Margo City makan kacang merah bersama swargi Pakde Lentu dan putra-putranya, ada swargi Bapak juga kurasa, pulangnya ke lantai empat. Entah mengapa main slepot gudang garam filternya Jerki, setelah itu perut terasa diiris-iris, bahkan sampai muntah [ini karena tadi memaksakan muntah]. Agak beberapa hari meringkuk di atas meja tidur di pojokan itu sampai sehat. Seperti itu saja hidup dijalani.

Bisa juga memacu VarioSty ke vokasi hanya untuk makan di warteg luar pager kuning. Ketika makan sudah terasa agak kurang yes, malah memacu kembali ke rumah. Di kamar belakang meringkuk juga entah berapa lama. Ah tak terhitung. Adakah Arya Moulana meringkuk untuk terakhir kalinya tak ingin juga kupikirkan. Air panas secangkir sudah tandas ditenggak. Keringat di dahi dan tengkuk sedang badan terasa agak-agak meriang dingin, naik ojek dari stadela sampai rumah tak berjaket berhelm. Ini barisan tak bergenderang berpalu, lha koq iseng banget yak.

Saturday, February 03, 2024

Hey Jude, You Don't K'now. Toiyewau Enak Sekali


Sangat bisa jadi seharian ini aku tidak menghasilkan apa-apa kecuali berhasil hanya(?!) makan siang dua potong kroket, atau bahkan mungkin juga gagal. Aku tak peduli, terlebih ketika telingaku disumpal entah bagaimana 'kan 'kusandi, pokoknya Chrisye yakin dia hanya untuknya, yang Cantik tidak suka. Maka terpaksalah setelah ini dilanjut ke kantor dokter Harmin ketika masih berpangkat mayor, suatu kenangan yang mengerikan, yang membuatku, seperti Agnes Triana, ingin makan. Namun sudah berhari-hari ini aku sulit terpikir sedang ingin apa. Ia selalu Cantik.
Naik perahu, suluk angin, goyang-goyang. Memangku pengisi daya, paha kiriku jadi hangat. Maka aku kembali ke jendelaku di ketinggian gang pepaya. Apakah itu pagi atau sore hari, atau malah malam hari, jelasnya semua tahu dalam waktu lampau kau seorang pembohong. Pada saat itu juga Sopuyan suka pada yang satunya, yang pasti bisa, sedang aku lebih suka memaki-maki Ega I said lo koprol, sama lo semua, ngepot, ngepot sama lo semua! Apa yang kurasa tolol-tololan ini mungkin bagi Sopuyan ternyata direncanakan dengan sangat baik. Dengan kata lain, Sopuyan memang paling pintar kalau disuruh tolol-tololan. Semacam itu saja 'lah.

Ini malah mundur lebih jauh lagi, ke suatu pagi, mungkin di awal 2008, di Starback. Matahari pagi membelai wajah, sedang hati ini lelah meyakinkanmu, cinta ini membunuhku. Sekitar itu juga mungkin aku memesan kantong biru untuk wadah Fujitsu dari Rina-Rini. Uah, segala petualangan yang tak pernah terjadi itu, seperti halnya korps tak-kelihatan, pesawat terbang ultra-ringan, balon udara bertenaga biogas. Sekitar awal 1990 itu mungkin kali pertama aku tahu mengenai Tan Son Nhut. Waktu itu terasa aneh sekali bunyinya. Sekarang aku bahkan lupa.

Tahun-tahun yang tak berdaya, hanya bertambah dan bertambah terus bilangannya seakan menandakan sesuatu yang penting. Musim berganti musim, kemarau yang menerbangkan debu, penghujan yang mengaduk tanah lumpur, melompatlah aku ke pertengahan 1993. Gagah kurasa aku waktu itu. Belum lagi 17 tahun. Hahaha belum gagah 'lah. Namun aku masih ingat rasanya. Waktunya mungkin tidak akurat, namun rasa di stasiun Cirebon itu tak terlupakan, demikian pula kembalinya. Ah, aku memang tidak pernah berhenti tolol kecuali baru-baru ini saja. Sore-sore.

Tiba-tiba dilemparkan aku ke awal 1997, di bawah televisi di ruang bersama merangkap kantin asrama. Namun aku tidak makan di sana. Udara pagi yang cerah namun nyaman tak menyengat, mungkin karena badan muda, baru 20 tahun. Aku makan di warteg di sebalik pagar kuning, di pintu masuk Kukusan kelurahan. Sayur dan lauknya aku tak ingat, hanya tahu dibelah dua digoreng tepung yang selalu kuingat. Rokoknya apa, kopinya mungkin kapal api campuran pagi, bau apak sedikit lembab, sejuk di dalam rumah petakan satu ruang itu. Suatu ketololan yang hakiki.

Sekarang langsung terlempar ke musim dingin awal 2009, apakah sengaja dimatikan listrik tempatku mengisi daya, karena paha kiriku tak lagi hangat. Ruangan bergaya lama dengan nuansa kuning merah. Kepala tolol yang menekur, tangan yang ragu-ragu membelai. Ibu jari dan telunjuk yang tanpa ragu memilin-milin. Tembok-tembok benteng yang dibangun berkeliling dan berlapis-lapis sampai tidak mandi-mandi, diangkat untuk diendus. Baguslah semua ini diakhiri olehmu yang segalanya bagiku, melemparkanku jauh kembali ke 1986, SD Pulo 01 pagi jembatan selatan.

Kurasa memang ada yang sengaja mematikan. Baiklah jika demikian. Selesainya entri ini mungkin aku akan segera menyingkir. Padahal dua tabung kanan-kiri masih penuh, masing-masing berisi teh panas dan air dingin. Asal jangan sampai pengisi dayanya saja yang menyerah. Asaptaga, kemarin sudah keluar Rp 375 ribu mengganti speaker/buzzer Infinix boNOTE. Amit-amit jangan sampai terjadi lagi yang seperti itu. Dapatkah aku menyelesaikan satu dogengan hukum adat di tiap-tiap akhir minggu, seperti aneka ria anak seluruh nusantara untuk kita semua. Malas 'nonton.

Wednesday, January 31, 2024

Kemarin Sekali Lagi, dari Samping Tamrau ke Aru


Ini malah maju sekitar tiga tahunan, mungkin setelah teman-temanku AAL XLIII menyelesaikan pendidikan perwira siswanya atau sekitar itu. Adakah aku di ruang kecil yang peruntukan aslinya mungkin dapur, karena ada jendela seperti loket yang menghubungkan dengan separuh yang mungkin seharusnya ruang makan. Namun di sekitar akhir 1998 itu, ruang itu menjadi ruang menonton televisi. Adakah aku sambil merokok atau makan mie telor dengan onderdil lengkap, ketika itu gunaku masih sedikit sekali jika bukan sama sekali tidak ada. Kaudapat apa yang kauberi.
Kalau yang satu ini selalu membuatku merasa sangat baru setiap saat, sepanjang hidupku hingga kini. Ia bisa di mana saja. Seperti malam ini, aku menginginkannya di McD Blok M Plaza. Belum terlalu malam, entah dari mana aku. Lurus dari pintu utama Blok M Mall, menyusuri Jl. Sultan Hasanuddin Dalam, menyeberang ke Blok M Plaza. Masuk untuk mendinginkan badan sambil lewat, membeli es krim contong Rp. 500, untuk lanjut berjalan kaki melalui Jl. Sampit II, belok kiri ke Jl. Sampit I untuk belok kanan ke Jl. Melawai Raya. Setelah bunderan lanjut lurus ke Jl. Gandaria Tengah III, untuk kemudian belok kiri ke Jl. Radio IV. Sampai mentok belok kanan ke Jl. Kramat Pela, langsung belok kiri ke Jl. Radio Dalam; setelah itu bisa lewat Deperdag II atau langsung saja Yado I.

Di titik ini, aku berada di ruang hidup E9. Entah apa yang kulakukan pagi-pagi di depan televisi. Di saluran apa dulu aku menonton suara, ketika itulah aku diajak tinggal bersama. Itu bahkan belum masuk 2013, bahkan belum musim penghujannya. Lalu kapan aku menggelosor di sampahan selurusan rektorat dengan VarioSty, sedang anak-anak kecil memperingatkanku. Betapa tak berdayanya kenangan-kenangan akan masa lalu. Ke mana perginya bapak dan ibu tua yang tinggal di warung gubugnya bersama beberapa ekor kucing, menjual nasi uduk sederhana. 

Ini, kalau pun kenangan, belum lama. Ini gara-gara Bing, aku berkenalan dengannya, dimanjakan oleh cintanya. Jam sepuluh pagi berdua saja di ruang HAN bersama Fajar Ricky Setiawan, entah berapa kali yang seperti ini terjadi, seperti berdua saja bersama Pak Sukmono dulu. Betapa ketika menjalani hari-hari di Amsterdam atau Amstelveen aku mengenang-ngenang hari-hari seperti ini. Memang seperti ini saja hidup di dunia. Syukurlah jika masih ada cinta, semoga ada cinta bagi semua. Hanya cinta yang sanggup menghangatkan dan menyejukkan, menyamankan suasana.

Cinta bukan gairah yang menjompak-jompak, menggelinjang tergial-gial. Bukan, cinta berdegup perlahan, mendengkur santai, melemaskan dinding-dinding pembuluh darah, membuat otot-otot jantung rileks seperti sedang beryoga, yakni, yoganya alam semesta. Bukan di sini tempat memuji, menyucikan, mengagungkan, meski bolehlah yang esoteris menjelma menjadi eksoteris, yang eksoteris lesap merembes ke dalam esoteris. Bolehlah di sini karena di mana lagi tiada tanda tanya apatah seru. Selalu hijau tak pernah kanak-kanak jua tak kunjung menua. 

Sebungkus nasi kuning merdeka, bukan itu yang terlalu memeras sari derita dari seseorang yang biasa dicintai. Mengerikan sekali, maka aku segera berlalu, sedang ia berpesan "tinggalkan lampu menyala untukku." Masalahnya lampu apa yang akan menandakan bahwa kau ada di rumah menungguku, lampu neon, bohlam, pelita berbahan bakar minyak masak atau kerosen, atau LED sekalian. Apapun itu, yang terpenting adalah sebotol teh Hi-C, sekotak susu ultra dingin rasa stroberi atau coklat, yang kugunting kujadikan tempat sabun pertamaku di Barepan, dan coklat top.

Selanjutnya, agak tiga bulan setelahnya langsung berlari 10 km di pagi hari. Seberapa melelahkan aku tak ingat, hanya yang selalu terkenang, teh hangat manis jambu dan biskuit TB-1 banyak-banyak. Setelahnya pulang ke Graha 10, seingatku mendung seharian dari pagi hingga entah mungkin petang hari. Apakah ketika itu menulis surat atau mencuci baju atau kelelahan untuk melakukan semua itu, sekarang saja aku mengantuk karena semalam tidur hanya sekitar lima jam, mulai jam setengah tiga sampai setengah delapan atau sekitar itu: Sabtu di taman Kyai Langgeng. 

Tuesday, January 30, 2024

Bayangan Jatuh Pada Bahu dan Tengkuk Telanjang


Segala sesuatu mengenaiku payah, sudah lama 'ku ketahui fakta itu; dan aku tidak berkeberatan barang secuil pun, jika itu semata-mata mengenaiku. Hanya saja aku tidak akan terima jika anak tertua Bapak Ibu payah. Itu saja yang membuatku terus beringsut-ingsut maju, tidak seperti siput, lebih seperti ingus maju mendekati puncak bibir atas. Itu pun dibantu oleh gaya tarik bumi. Maka jika aku menyelonjor sekarang, menjulurkan kaki-kaki pendekku, menelekannya pada kursi rotan berbantal tipis kecil, itulah aku. Mana ada prestasi kubuat dalam hidupku.
Ini kurasa adalah hari dikuburkannya jasad Arya Maulana Sutjahja ke dalam tanah, di hari berhujan ini. Ia bahkan tidak pernah tahu rasanya berumur 47 tahun, mungkin. Setelah beberapa menit kujulurkan, puncak pantatku sakit, maka kuturunkan kaki-kakiku. Aku yang merasa sanggup menyaingi Seno Gumira bahkan Ahmad Tohari, hampir saja kutulis di sini tadi aku seperti Mark Chapman; ketika kusadari badanku tidak bereaksi positif terhadap minuman manis. Adakah aku termasuk tipe orang yang sanggup menghancurkan diri dan hidupnya sendiri ataukah aku pengecut.

Si Tolol nggak usah aneh-aneh 'lah. "Jangan lupa bahagia," begitu kata emak-emak yang mungkin hidupnya membosankan namun selalu menemukan alasan dan cara untuk terus menjalaninya. Kemungkinan lain bisa jadi seorang laki-laki yang tidak terlalu maskulin namun rajin mengerjakan apapun yang bagiku terasa medioker tetapi sebenarnya bisa membawa siapapun mencapai kesuksesan di punggung bumi. Udara dingin ini entah mengapa membawaku ke hari-hari berhujan, entah di awal 1989 atau 1990, di pintu keluar tol Karawaci, tanah hitam berlumpur.

Masalah akan selesai hanya dengan naik losbak, atau lebih benar lagi, langsung naik Patas 24 Grogol-Cimone, dengan catatan ongkosmu belum habis untuk jajan atau main gimbot. Jika kucoba mengingat-ingat, saat itu memang belum terlalu terasa. Baru setelah kelas tiga mulai agak terasa, namun ketika itu aku terlalu sibuk ingin masuk SMA Taruna Nusantara, Maka Yogya ini terasa seperti Matahari Magelang antara 1993 sampai awal 1994. Mengapa ingatanku selalu nasi goreng babat yang dibelikan Eri Budiman ketika gondongan. Mengapa tidak kerang goreng atau lainnya.

Di sini aku terbang ke hari-hari berhujan lainnya di awal 1998, tentu pada saat aku meraih IPS tertinggi dalam hidupku, yakni, ketika jantung berdetak nyaman tiap harinya. Bagaimana berakhirnya musim penghujan di awal tahun itu, karena seingatku bahkan sampai Mei masih hujan. Bergegas kutinggalkan kesedihan sambil melonjak-lonjak kegirangan karena segala sesuatunya akan baik-baik saja. Hidupku jelas tidak membosankan, meski mungkin lebih seru Ali Shariati yang jantungan karena sering ditangkap dan dipenjara, katanya. "Tak mengapa," katanya.

Jikapun tiada yang kuhasilkan hari ini kecuali entri tolol seperti biasa, maka takkan kusesali sebotol air mineral yang ada manis-manisnya ukuran 600 ml dan sepotong risoles isi ragu ayam; seperti tak pernah kusesali waktu yang kuhabiskan untuk menekuni resep-resep koleksi Ibu. Sungguh spektakuler kisah seorang bayi, diangkat bapaknya tinggi-tinggi di atas kepala hanya untuk menjadi sasaran anak panah; jasad-jasad yang diinjak-injak kuda-kuda mondar dan mandir, bolak dan balik. Serpih-serpih jasad tidak dibiarkan dimakan dubuk anjing liar, tidak berkepala.

Di sinilah aku mengapung ke musim penghujan di awal 1991, entah mengapa lodeh, mungkin tempe, namun terpenting teri goreng telur; kasih-sayang Ibu yang merasuk sampai ke hati nurani. Rumah yang hangat di hari senja berhujan, ubin kuning dan merah tua yang hangat, justru sejuk di musim kemarau. Apalah lagi yang kuinginkan jika bahkan cinta yang sesyahdu itu pernah kurasakan. Ini semua tinggal untuk dijalani, seperti ingus meleleh ke puncak bibir atas; kadang melewati bibir sampai tidak perlu dijilat, langsung asin. Oh, dinasti di ruang tamu itu jua. 

Thursday, January 25, 2024

Apa Arti 25 Januari Jika Terik Mendung Berganti


Apa yang kurasakan ketika seorang ibu jala dari dua orang taruna laut, satu pelaut satu marinir, merasa pusing dan kaku leher setelah memakan emping. Begitu saja aku belum dapat melupakan album cerita-cerita ternama yang dicetak dalam dua warna, senantiasa menghiburku dari kecilku. Kini setelah tua aku tetap hanya bisa membuat cerita-cerita seperti halnya dulu aku membuat cerita mengenai seekor zebra yang kesakitan gara-gara baru saja keluar ekornya. Dari mana idenya keluar ekor itu sakit, sedang pada saat itu aku tidak tahu bagaimana bayi sampai ada di muka bumi. Sampai lama aku tidak tahu apa penyebabnya.
Kita semua kesepian, kata Rita. Pernahkah aku mematung di depan San Wah sambil merasa kesepian. Aku hanya ingat ketika belum tinggal di dekatnya, aku justru membeli manisan sotong atau cumi kering, juga keripik ikan gurame bertabur micin. Aku masih ingat pada ketika itu membatin: Bass Beto pasti gila jika menemukan ini. Itu dari 15 tahun lalu. Kata Savit, jika lebih dari dua suku kata maka tuliskan lambang angkanya. Memang harus ada segala jenis orang untuk membuat dunia ini berputar dengan asyiknya. Aku kembali ke siang hari panas terik entah kapan, apakah sepulangku dari sekolah yang di seberang Blok M itu.

Bedanya dengan yang di puncak tangga lagu populer, versiku ini lebih ramai orkestrasinya, bahkan dengan saksofonnya sekali. Kini bahkan memohon ampun entah pada siapa, di teriknya siang hari bisa jadi naik angkot menuju Mal Depok ketika masih ada Abrakebabnya. Mengapa selalu kembali ke situ, sedang Suhu Yo selalu menyajikan senampan penuh sushi-sushian yang jauh lebih murah dari Albert Heijn. Sungguh asyik berayun-ayun menghentak-hentak, tak pernah tahu aku ada interlude begini. Namun sungguh asyik kembali ke masa kecil ketika kasih-sayang Bapak dan Ibu terasa bahkan dalam tiap deraan dan cubitan.

Aku menginginkanmu dengan cara yang benar, tetapi aku juga ingin kau menginginkanku. Permainan yang selalu berakhir dengan kengerian demi kengerian. Apa yang ada di depan sana adalah apa yang pernah kualami, bukan apa yang kubayangkan akan terjadi. Aku seperti seekor gorila betina, atau tepatnya orangutan ibu-ibu ketika duduk nglemburuk. Maka kembalilah aku di bawah panas terik ke kamarku nan biru di kost Babe Tafran. Sepanas terik apapun di luar, kamarku, seingatku, selalu terasa sejuk. Terlebih sebelahnya yang berubin kuning, lembab-lembab dingin, meski kamar mandinya aku lebih suka yang biru.

Jika aku masih bertahan di sini, semata karena menunggu Ahmad Sahroni. Semoga setelah ia datang nanti belum lagi turun hujan. Sungguh banyak yang harus kukerjakan, yang kutunda-tunda. Kurasa tidak begini cara Sopuyan bekerja. Ia pasti lebih efisien. Aku yang merasa seniman ini, ternyata karya-karyaku diludahi orang, dikentuti, dianggap sepi. Entah mengapa tiap-tiap merasa begini aku merasa seperti ingin melempar tali berpengait di ujungnya, menyangkut entah di mana, terus untuk apa. Tidak segitunya pula aku menyukai selusin yang jorok, meski mungkin itu pula yang akan kulakukan setelah ini, atau yang sejenis itu. Entahlah.

Perasaan ini selalu menghantui sejak aku puber, sejak aku seumur Adjie sekarang. Apakah pikirannya yang motor tok itu menyelamatkannya dari hantu-hantu yang selalu mengerubungiku. Delusi kebesaran atau entah apa namanya, seperti sebuah kitab yang secara acak kupilih, berjudul Joshua, yang ternyata fiksi penggemar. Ini lagi, dalam dekapan seorang malaikat. Malaikat koq orang. Lantas apa. Seekor, sesosok, sebentuk. Panas gerah di Mess Pemuda, tidak memberiku peluang atau aku saja yang tidak berani menciptakan peluang, atau memang sesuatu mencegahku. Berlalu begitu saja, sedang Ani minta dibelikan boneka pada Gus Dut. 

Bahkan sekarang ini, setua ini, jika mengingat Barel aku merasa kesakitan. Lantas aku berkhayal mengenai doa Ibu di pusara Bung Karno, seakan itu merupakan kepahlawanan, padahal sekadar berusaha membuat senang hati Ibuku. Ini lagi kita lahir tanpa bau, kita burung pemakan bangkai yang ternyata kita semua goyah. Astaga betapa banyak waktu terbuang, seperti sekarang ini aku membuang-buang waktu. Adakah hal lain yang dapat kulakukan sekarang. Aku merasa kelelahan, kesakitan. Mengapa pula tidak kukirimkan saja hasil pindaian tanda-tanganku. Mengapa pula memaksanya ke Depok sedang mukanya sungguh tak sedap.

Friday, January 05, 2024

Merepih Alamnya Malam-malam Sama Bapak-bapak


Siapa bilang berteman denganmu sudah tidak mengasyikkan, jika aku di sini boleh tidak meletakkan tanda tanya di belakang yang jelas-jelas kalimat tanya. Ayo tinggal bersama siapa. Bersama deretan VCD yang dijual borongan entah berapa juta karena penyewaan sudah tidak laku. Sama seperti bapak-bapak yang masih mencoba menjajakan koran yang entah bagaimana masih dijadikan keset di Jalan Radio. Apakah bongo ini harus benar berkeletak-keletuk di latar belakang, apa tidak sebaiknya halus saja dengan dram senar dioser-oser. Entah suasana apa yang dibawa campuran ini, ampun joki berkas. Aku terbawa suasana. 
'Ku sembunyikan perasaanku bukan karena malu, melainkan karena terlalu mendalam, karena baunya sebenarnya selalu tidak sedap namun entah mengapa selalu menyandera khayal. Biarlah aku kembali ke ruangan itu, panas gerahnya, temboknya yang lapuk, mungkin karena di dalamnya ada pipa air bocor. Uah, gara-gara anak lelaki tolol yang jatuh cinta aku dimanjakan oleh cintamu, gara-gara bing chat geppetto empat. Sedap-sedap renyah gurihnya, hitam manisnya, seakan dapat kuhirup dalam-dalam segar harumnya sebentuk ciptaan nan bersahaja, nan dilanda birahi remaja. Jangan bersedih jika memang gara-gara sendiri.

Melodi yang diulang-ulang, kord yang sederhana saja progresinya dibuat mayor, memang itu resepnya. Kurentangkan tangan lurus-lurus ke atas, lengan-lengan telanjang sampai ke lipatan-lipatannya, tergerai, terburai menyemburkan kesegaran harum-haruman bunga-bungaan, buah-buahan. Senyum lepas tulus ikhlas seakan penuh cinta dan kasih-sayang dambaan semua insan. Kesempurnaan berayun perlahan mengikuti belaian irama dan melodi bersatunya hasrat-hasrat meretas semua batas, melampaui, menerabas. Kesegaran pagar tanaman bermandi embun dini hari, sedang kabut meyelimuti tubuh-tubuh polos telanjang begitu saja.

Maka kembalilah ke barak berlampu kuning jarang-jarang, karena ini sudah lewat jam sepuluh malam. Sekitar satu apalagi dua jam kemudian barak diliputi kegelapan kecuali cahaya lampu taman atau lorong penghubung ke kamar mandi menembusi, berpendar pada kaca-kaca tak tembus pandang. Aku bisa jadi masih terjaga memetik senar-senar gitarku perlahan. Ketika itu sudah tidak ada Herbert, jadi kurasa akulah pemain gitar terbaik di barak itu. Aku selalu gagal mengingat sebelah pintu depan ada siapa saja, kecuali Hendro seharusnya bersama Anjar. Apakah Gunawan bersama Agustar, Antara bersama Sigit, entahlah lupa.

Bayu, Budi Pru, Yulmaizir, Dewer, Hamdi, Hutdik, Chardin, Probo, Dony, Yuli, Goklas, Febby, Bono, Ari, di mana Yesayas, Faisal Amin Lubis, Ariston, Sodikin, Sunarso, Akur, Iwan, Nicodemus, Dhanang. Sama saja. Aku hanya hafal Graha 5. Graha 10 apalagi 3 aku gagal menyebutnya urut. Sudahlah, lebih baik maju lagi ke suatu sore di atas karpet merah satu-satunya penghias ruang depan bertirai panjang menutup lubang angin setengah lingkaran berjari-jari roda gaya lama. Meja tulis berkaca, di bawahnya ada beberapa gambar buatanku sendiri, di atasnya mesin tik hijau portabel, tergantung di atasnya rak buku kecil kebanggaanku.

Seharusnya aku punya meja belajar sendiri di lantai satu Tinombala itu, namun ia tidak membekaskan kenangan apapun padaku. Apakah meja kerjaku di sudut pavilyun itu yang kubawa ke tepian Ciliwung. Sebelum itu ke mana dia. Bagaimana caraku membawanya. Meja kerjaku yang menghasilkan kebangsaan Indonesia di akhir Abad XX, kemenangan absolut. Di manakah kuhasilkan conditioned society dan agraris. Aku agak ingat meja belajarku di graha 5, namun yang di graha 3 sangat tidak membekas. Apa aku tidak pernah belajar ketika itu, yang kuingat justru berusaha memahami matematika, fisika, kimia di gudang tas.

Hidup seperti garis lurus. Apa yang telah dilewati mustahil diulangi lagi. Jadi bodoh sekali kalau mengukur masa depan dengan apa yang telah dilalui. Apa yang nyata hanya saat ini, detik ini, tarikan atau hembusan nafas yang baru saja. Masa lalu dan masa mendatang semuanya khayalan belaka, bahkan tidak ada itu yang namanya kenangan. Seperti mimpi kau merasa pernah menghabiskan beberapa malam di rumah sakit pusat angkatan darat, yang agar pimpinannya bisa berpangkat letnan jenderal, diberi sebutan rumah sakit kepresidenan. Orang-orang tolol ini memang tidak pernah paham apa artinya presiden, macam aku paham.

Thursday, January 04, 2024

Baiklah. 'Kurasa Kali Ini Kita Juga Akan Berhasil


Masa tadi aku sempat terpikir untuk menulis secara koheren di sini. Sudah gila apa. Sehebat apapun sebuah kontrakan sederhana bercat putih, mungkin malah kalkarium, dengan ruang depan rapi berperabotan sederhana, tidak lantas membuat pikiranku runtut. Normalkah jika 'kubiarkan berdentam-dentam begini, sedang perut kembung entah mengapa. Aku masih ingat rasa nyaman berjalan di radio empat, karena itu masih dekat rumah atau sudah dekat rumah. Aku masih ingat rasa kemerahan jambu dan apalah itu yang tiada pernah benar-benar kucicipi. Malah berbagai kotoran kuku kaki kucongkel-congkel kukunyah-kunyah.
Aku masih ingat beruang merah anakan di bawah tebing. Aku juga ingat mentor Didit menyukainya di belakang panggung Sembilangan. Potongan-potongan ingatan itu tidak pernah membawaku ke mana-mana. Sampai hari ini pun aku masih merasa harus berjuang, harus terus menghadapi pahitnya kehidupan. Belum saatnya bagiku mencecap sedap-manisnya apapun kecuali kepingan-kepingan ingatan akan khayalan yang tidak pernah menjadi nyata. Betapa lancar aku menuliskannya ketika bahkan aku dibekasi Taurat atau siapapun. Hidupku tak pernah lepas dari penderitaan, kalau masih disiksa pula di kubur dan neraka. Ampun.

Kini, setua ini, aku masih harus maju menerjang, meski jangan sampai meradang. Kemudaan sudah lama kutinggalkan dan tidak pernah kuberi kesempatan meninggalkanku; karena aku memang tidak pernah muda. Aku selalu tua entah dari kapanpun, bahkan ketika aku berputar-putar di ubin kuning menirukan piringan hitam membunyikan Hawaii Five-O. Bahkan ketika jariku terjepit tempat tidur lipat tempatku menikmati susu formula dalam botol dot. Bahkan semenjak aku seumur Sodjo sekarang, aku selalu tua. Aku terlahir berpikir, merasakan perihnya rintihan manusia di seluruh dunia. Aku berkacak pinggang menantang dunia.

Kau tolol tapi masuk akal, John. Kukira kita akan menua bersama menyaksikan betapa Tuhan memaafkan ketololan kita. Namun sekarang, aku dirundung ketakutan berakhir tolol sepertimu, apalagi sampai berawal nista. Begitu memang permainan ini, hanya akhirnya itu yang pasti. Awalnya, pertengahannya, menjalaninya, apakah dengan tempura ubi semua atau pangan kentir atau wafuyaki yang selalu lupa isinya apa. Apa yang biasa kau makan dulu, John. Terakhir kita tidak berteman seakrab dulu. Kau lebih mengakrabi kumpulanmu para banpol PP. Aku pura-pura jadi Satpol PP tanpa berpura-pura jadi Densus 88.

Uah, kembali bersama Aris Mujiyanto dan Rooseno Adi atau Mully. Lain-lainnya aku tidak ingat, kecuali rasa itu. Rasa sayu sendu yang tidak sepenuhnya kusadari. Mana kutahu ketika itu ternyata aku bermental tempe. Bahkan ketika sudah di Magelang pun aku tidak menyadarinya. Aku memang kebanyakan berkhayal bahkan sampai sekarang. Aku makan enak saja berkhayal mengenai permainan sepak bola atau aba-aba baris-berbaris. Dapatkah aku menekuninya kembali ketika iklim sudah berubah dan dunia memanas begini rupa. Debu-debu beterbangan di pengkolan menuju rumah di atas tebing tepian Ciliwung. Aku menyendiri. 

Bergubal berbalau potongan dan serpihan ingatan dan kenangan tentu selalu dari masa lampau yang telah lalu, seperti angin malam meniup di sela-sela pohon kelapa, di sekitar hanggar Mandala. Ketika itu bulan baru terbit, sebesar tampah, merah seperti jeruk matang di atas hanggar Mandala. Bau rawa campur oli bekas pesawat terbang. Adakah bahaya mengintai di dalam air hitam itu. Beranikah aku ketika sudah menjelang dewasa masuk ke dalamnya, mencobai kedalamannya. Bahkan nuansa sebaya sari bintang pelita layanan udara, aku menulis seakan terpenjara. Kelezatannya, gurih-gurih aromanya, mengapa justru aku berkubang. 

Maka kusantap dengan lahap sepaket kebab sulap yang aku lupa apa saja isinya. Inilah aku di sini, selalu sendiri di malam-malam temaram. Sayang sekarang sudah tidak ada minyak tanah, atau kalaupun ada mahal harganya. Apakah masih ada yang menjual lampunya, lagipula untuk apa. Jangan-jangan kebun coklat sudah dibelah jalan tol, jika bukan menjadi jalan tolnya itu sendiri. Bisa jadi golok sudah berkarat bersama dengan hajinya sekalian yang sudah dikubur entah sejak kapan. Dunia begitu saja. Tidak ada yang perlu disesali, hanya untuk dijalani. Bersiaplah untuk kehidupan yang sejati, yang sebenarnya. Ini semua cuma mimpi terindah.