Thursday, February 24, 2022

Sudah Dua Alinea Belum Ada Judulnya


Membuka pengolah kata bukan untuk berjuang juga tiada mengapa, terlebih ketika engkau habis menyeruput habis susu manis dingin rasa beribiru. Terlebih ketika seulas awan menyaput bulan dari tiga puluh tujuh tahun yang lalu. Sudah lewat sebelas menit dari pukul sepuluh malam. Bisa saja aku baru melangkah menuju kampus, entah dengan sebungkus Djarum Super atau Star Mild Menthol. Pada saat itu aku lebih langsing sepuluh kilo dari sekarang. Dalam waktu-waktu setelahnya aku bahkan masih bisa lebih langsing dua puluhan kilo dari itu, waktu-waktu.

Aku tidak mau mengingat-ingat, namun aku suka kerampakannya. Kalaupun harus kuingat, maka biarlah mesin ketik itu, yang menyanding sebaskom kopi dan seslof Bentoel biru. Habis dalam semalam. Kubiarkan diriku melakukan semua ketololan itu, ketika kawan-kawan sebayaku merintis hidup mereka sebagai orang dewasa yang bertanggung-jawab. Aku mengetik rampak begini, untuk kufotokopi besok di tempat Santiago ketika masih Santo. Rangkap dua sekali, satu untuk arsip, satu kukirim ke Kompas. Dibalas selalu memang, selalu begitu balasannya. Maafkan aku.

Kesukaanku gula-gula Jawa. Justru karena itu terasa harumnya, kayu manis, meski tak mungkin kusebut. Semua ada di ujung lidahku, di tengah-tengahnya kukulum-kulum. Aduhai masih terasa semuanya. Justru itu yang kusuka. Maka aku pulang saja. Ke mana. Ke Mess Pemuda bekas kamar Joyada yang tidak lama kutinggalkan. Aku masih ingat kengeriannya. Aku pulang lagi ke Jalan Radio. Naik taksi, aduhai betapa menyiksa. Dilepas begitu saja oleh Jamal Gani. Aku mampir ke Klinik 24 Jam, pulang ke kamar belakang garasi menunggu reda. Aku masih muda.

Akan halnya pagi-pagi begini aku menghadapi masa lalu, sepulangnya dari warung nasi entah apa namanya, depan PLN dekat kecamatan. Suami istri ribut saja bertanya mengenai asal, sampai kutahu pernah lama di Palembang karena ikut mantan. Sungguh menjengkelkan. Jambi, pempek, gabus, Bumiayu, Brebes adalah beberapa yang sempat disebut. Lantas Bert dan Ernie, buat apa kubahas mereka. Aku bahkan mendapati diriku bersemangat ingin bercerita mengenai keberlanjutan kepada bocah-bocah. Apa Bert dan Ernie berminat mendengarkannya. Kurasa tidak mungkin.

Setelah cinta hilang memang tidak pernah menghilang dariku, karena aku memang terlahir pecinta. Dapat saja kucintai apapun, termasuk kucing betina bungkik yang salah satu kaki belakangnya putus. Tertatih-tatih menyeberang Kemakmuran, sementara seorang bapak menghentikan mobilnya cukup lama untuk membiarkannya sampai di seberang. Menyeberang Meuse, sementara itu, jauh lebih mudah dibanding Ij, tinggal pilih lewat jembatan Wilhelmina atau Santo Servatius. Menyeberang Ij harus naik feri, meski gratis; semua gara-gara Jeng Arum.

Ini teh hitam jahe kunyit apa, tidak terasa jahe, kunyit, bahkan tehnya. Aku jadi rindu pada teh-teh berempahku, meski terakhir yang kubeli itu-itu saja. Bahkan Stella rasa lemon pun kuhisap-hisap saking gabutnya. Pedes-pedes gimana gitu. Sempat terlintas lapangan badminton di samping hanggar Mandala, di depan rumahnya Oom Bowo, Pak Kartono, Pak Sujud, siapa lagi. Pak Tono, Pak Barjo, Pak Kanto, Oom Pendi, rumah manis rumah. Betapa nyamannya tempat tidur tingkat yang sudah entah di mana sekarang. Kasurnya kapuk. Bahkan ada sarung-sarung dinginnya.

Tidak ada lagi yang ada di situ, bahkan Dek Ipuk yang terakhir lahir di situ saja sudah tidak di situ. Memang sudah tidak ada. Tinggal kenyamanannya saja yang dapat kuhadirkan kapanpun aku membutuhkannya. Apakah itu di pagi hari, siang, sore, maupun malam menjelang tidur. Selalu saja nyaman. Bahkan Adjie saja tidak di situ lagi. Terakhir kali aku di situ umur delapan hampir sembilan. Apanya yang nyaman dari kulkas yang sampingnya belepotan catnya, karena entah Bapak terpeleset terpegang ketika masih basah. Entah tidak ingat isinya.

Monday, February 14, 2022

Selamat Hari Memang Tidak Ada yang Sayang


Setahun lalu aku termangu memandang adegan interrasial di hadapanku. Meski bertemu di tempat cuci, tiada pula yang terjadi, seperti jika bertemu di mana pun. Hei, aku sedang berusaha menyelesaikan. Akankah mengitiki begini berdampak buruk, meski diiringi waltz kaisar. 'Tuh belum-belum sudah kusut hubungan sebab-akibat atau apapun. Ini semata karena sudah terlalu malam aku belum bisa tidur. Agak lama tidurku tadi siang, sekitar dua jam. Habis makan siang 'kupikir akan segar, malah tertunduk tertidur. Beginilah di sisa malam kasih-sayang ini...

Aku belum bisa tidur, padahal ini sudah tengah malam. Sudah semingguan ini aku menghuni kandang kambing. Sebelum ini aku makan fuyunghai berteman capcay, seperti malam kemarin begitu saja memesan spaghetti gara-gara Cantik. Untuknya fetuccini, untuk anak perempuan choco puff. Perut sudah gendut begini, berat sudah lebih sekwintal. 'Kubiarkan angan menyusuri kandang sepeda di bawah Sepurderek, di mana berhari-hari aku melaluinya sambil menyeret kaki. Ketika itu masih ada Van Moof putih, sebelum dibeli Zulfaqor, tepat sekitar setahunan lalu.

Begitu saja aku mengelus-elus leher penuh berkutil. Semoga ini tahun macan Cisewu, yakni yang ramah, meski tetap macan. Setua ini sudah tidak sanggup aku, jadi seperti Jabba the Hut aku menyeret-nyeret perut kian kemari. Tidak pula seperti Don Masseria si Babi Gendut, aku tidak suka kucing kecil. Maka Onti 'kuusir-usir agar jangan sampai mengeluarkan kucing-kucing kecil dekat-dekat sini. Aku tetap seperti diriku ketika memilih Joshua dulu, memurnikan. Aku juga tetap seperti diriku ketika tidak tahan melihat ranumnya buah-buahan menggantung.

Mau Danube, Amstel, atau Meuse, semua mengalun mengalir. Di suatu hari yang dingin sampai ke tepinya Meuse, sama seperti tepi Cikumpa. Keberlaluannya. Keterlaluannya. Samakah ini dengan malam-malam di kontrakannya Pak Musa, ketika durian bergedebug. Sewaktu-waktu, jadi bersabarlah. Akankah suatu hari nanti aku merasa rugi membayar republikku tiap bulan. Akankah suatu hari nanti aku merasa rugi membayar apapun, termasuk biaya kontrol ke dokter Kamto tiap bulan. Tiada 'kan lama lagi, seperti gang sempit di belakang rumah Tommy.

Aku yakin ke depannya akan ada petualangan lagi. Hidupku akan bergairah lagi. Suatu gairah yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Suatu petualangan yang mungkin menjadi tiketku untuk pulang. Tidak mungkin begini-begini saja dan begini-begini terus. Tentu saja tidak seperti yang dibayangkan Sopuyan. Seperti yang dibayangkan Takwa, entahlah. Gairah berpetualang itu benar-benar terasa seperti memanggil-manggil, meski aku bukan petualang. Aku mahluk khayal yang tidak bisa main sulapan. Aku lebih suka mengurung diri di gua, meski terkadang aku keluar juga.

Akankah ada gerobak goyang atau semacamnya dalam petualangan itu, aku tidak tahu. Aku bukan penetap. Aku datang, melayang dari angkasa, menyembur-nyemburkan api, pulang. Aku seperti leak yang sering menempel di dinding teras orang jaman dulu kala, menakut-nakuti anak kecil. Swargi Bapak membelikanku Anggada, sedang Adik Anoman. Apapun itu, akan 'kuporak-porandakan Alengka, keangkara-murkaannya. Aku bersenjata gada. Biarlah orang menertawai, aku tertawa nanti. "Kutunggangi gerobak goyang 'nuju matahari terbenam sambil bernyanyi.

Hanya pulang dambaku kini. Masih banyak yang harus 'kulakukan sebelum pulang, yang berkisar pada mercu suar. Akan 'kukatakan: "Semua yang telah 'kulakukan adalah untuk Bapak dan Ibu." Semoga Sang Hyang Wenang berkenan. Akankah, sebelum pulang, seperti swargi Bapak dan Mama, aku dikaruniai malam-malam penuh tahajud, subuh yang selalu tepat waktu. Kedamaian seorang lelaki usia senja, berkoko bersarung berpeci, melangkah takzim menuju mesjid bahkan sebelum dipanggil. Sehari lima kali. Badan ringan tidak berat lagi. Malu. Budak masa gemuk.

Monday, February 07, 2022

Jangan Sampai Salah Langkah Memulai Hari


Dua jam setiap hari kata Gerben. Terdengar mudah, terutama jika mengingat sehari ada 24 jam lamanya. Ataupun jika dikurangi waktu tidur malam, masih ada 16 jam. Namun bagaimana jika bangun tidur terasa kurang segar dan agak sakit di tengkuk kanan menjalar ke samping kepala sebelah kanan. Bagaimana kalau kemudian badan terasa meriang dingin, padahal sudah makan nasi kuning lengkap dengan sejumput mie goreng, orek tempe, masih dengan tahu pedas dan telur semur. Terlebih sudah minum sekira 300 ml teh Prenjak bersimbah jahe merah campur putih.

Alinea di atas sudah berumur lebih dari 24 jam, setelah makan siang seporsi nasi gudeg telor lengkap dengan soto ayam beserta cemilan dakak-dakak dan snek micin bogalaut Korea; lantas makan malam mie goreng ayam; makan pagi nasi warteg Syifa dengan teri kacang, tahu jamur tiram, dan telur ceplok; sampai makan siang lagi dengan Sarimi goreng ayam kecap berteman tiga butir bakso diiris tipis-tipis. Kebanyakan makan itu relatif, yang jelas aku tidak ada gerak badannya. Perut selalu kembung kurasa lebih karena itu. Gerak badan ketika rasa badan begini aduhai...

Aku bahkan tidak mau membahas, apalagi sampai mengabadikan. Sekadar menyindir pun tak. Biarlah harum gaharu membawanya pergi jauh melayang entah ke mana, mengharumkan yang busuk. Abu gaharu luruh membuat bara lebih benderang sejenak. Tidak bisa lain inilah caraNya menyelamatkanku. Aku si pengecut atau apapun yang jauh lebih buruk lagi dari itu. Jelasnya, aku pecundang. Biarlah aku begini di kehidupanku yang ini, asal jangan di kehidupan abadi. Jez halus dari sebuah kamar sewaan yang nyaman di New York, di sudut mata kananku banjir cahaya.

Jika gaharu ini habis terbakar, sudah menunggu Sang Maharaja. Ia akan bertahta menguarkan keharuman ke seantero pedalaman hati. Jelas ia tidak di hati, betul-betul di permukaan kulit belaka. Seperti ketika aku masih kuat menyongklang Parioh Sty di sepanjang Pejaten Utara lanjut Kemang Selatan, ketika di pengkolan itu masih ada Lawson; bahkan lebih muda lagi dari itu. Ini semua sekadar masalah kemudaan. Jelas bukan masalahku, karena aku tidak muda lagi; dan bukan itu yang kuinginkan. Apokalipso adalah keniscayaan 57 tahun lagi menurut peredaran bulan.

Keindahan itu menjalar-jalar pada lantai hutan, pada sampah ranting dedaunan, pada akar-akar. Dapat kubayangkan betapa harumnya keindahan itu, kusesap, kucecap perlahan-lahan. Memabukkan. Memuakkan, namun memabukkan. Kesederhanaan itu justru yang membuatnya tertahankan. Khayalan mengenai segala dewi dan bidadari justru membuat jengah, apatah lagi sekadar ratu dunia. Aku merayapi melata-lata, sedang garengpung semakin cepat menggosokkan kedua sayapnya, mengeluarkan bunyi berdenging yang kadang mendengking.

Teringatnya, jam 11.00 tadi aku membuka Semester Genap 2022 dengan dongengan standar mengenai Pasal 33.3 UUD 1945. Masya Allah sudah berapa tahun aku melakukannya, aku kakak pendongeng. Kalau tidak mau lama-lama, segera selesaikan disertasimu, maka kau akan menjadi... bukan, bukan peneliti, melainkan penjawab Adzan. Eh, biarkan orang-orang yang merasa keren itu bicara sesuka mereka. Pertama, dalam hati mereka siapa tahu. Kedua, aku hanya ingin menemuinya kelak dalam hidup sejati, dan itu sungguh-sungguh teramat sangat layak diinginkan.

Oyentina tertidur nyenyak di kursi jati. Aku mencoba untuk tidak sampai membangunkannya, namun tak ayal ia bangun juga. Mungkin aku tidak akan betah juga jika tinggal di toko tembikar, namun di kuil kurasa aku bisa betah, atau tidak. Selama kuil itu ada orangnya, mungkin rasanya sebelas duabelas dengan Mushala HAN. Ini semua tidak akan lama. Kau hanya harus menunggu. Semoga dalam penantianmu, dan ketika datang waktunya kelak, Allah berbelas-kasihan padamu. Jika sudah begini, apalagi yang akan kutuliskan dalam goblog ini. Kegoblogan tanpa batas.