Wednesday, September 30, 2020

Suatu Entri Mengenai Lagu untuk Keisya


Tahun lalu aku menulis mengenai Gestapu (halahmadrid!). Sekarang apa aku harus melakukannya juga, meski sekadar agar September tahun ini ada entrinya. Masakan aku terus menulis entri seperti ini, sedangkan sepanjang bulan ini rasanya tidak sepatah kata pun kutulis untuk disertasiku. Jelasnya, aku sedang berada di ketinggian REC.B, Lantai 5 tepatnya, setelah berbulan-bulan lamanya. Tidak ada salahnya aku membiasakan diri dengan suasana ini, dengan cara menulis entri (halahmadrid lagi!) Semoga benar-benar tidak salah, menulis-nulis entri begini.


Sebelum Karim muncul tadi, sambil mengunyah focaccia mozzarella, aku membatin pada diri sendiri, akan ‘kutulis dulu syair lagu untuk Keisya. Ya sudah, biar ‘kulakukan sekarang.

Di sore hari, matahari terbenam
Suara jangkrik mulai terdengar, merdu
Angan melayang mengenangkan kampung halaman
yang telah lama ‘kutinggalkan

Bapak bersantai sepulang dari ladang
bersama Ibu menunggu turun senja
Kawan-kawanku berlarian menuju surau
riang menyambut panggilanNya

Meskipun kini ‘ku sebatang-kara
merantau jauh di negeri orang
Doa Ibu ‘kan selalu menemaniku

Meskipun berjuta aral melintang
menimpakan segala duka lara
Doa Bapak ‘kan selalu menjagaku

Di sore ini, sungguh damai hatiku
Terucap doa bersyukur kepadaNya
Semoga berkah semua jerih-payahku
demi hidup di masa depan


Udah gila apa. Masa Keisya disuruh nyanyi beginian. Yah siapa tahu. Anak-anak butuh masa depan yang lebih cerah dan lebih baik, dan itu harus dimulai, dirintis dari sekarang. Memang agak sedih dengan segala keterbatasan ini. Haruskah ‘kutanyakan pada Arum apakah ia memiliki kamera DLSR yang dapat kupinjam untuk membuat rekaman yang lebih baik. Yang jelas, aku belum cukup gila, jangankan untuk membeli alat-alat perekam kualitas studio, membeli irfon blutut semurah apapun saja belum cukup gila.

Karim tampak senang bertemu denganku. Aku pun senang bertemu dengannya. Mungkin memang harus begitu. Mungkin aku memang benar-benar harus main ke Jacques Veltmanstraat. Bukan untuk kesenangan inderawi semata, melainkan untuk saling menguatkan dengan Karim dan Mas Budi. Jika untuk kesenangan inderawi, cukuplah pendengaran dibelai-belai Marion Jola, Brisia Jodie, dan Ayu Putrisundari, karena aku tidak kuat lagi mendengarkan alunan ensembel biolanya Paul Mauriat, terlebih ketika seorang diri di Sepurderek. Itulah tadi aku bicara mengenai kesenjangan generasi.

Dengan syair lagu di tengah-tengah begitu, sulit bagiku mengontrol ketujuhlimaan. Tapi biarlah, toh ini bukan entri mengenai Gestapu, apalagi Gestok. Ini koq orang-orang yang dulu ketika kanak-kanak ketakutan menonton film Pengkhianatan G-30-S/PKI malah meributkannya sekarang, masih harus diputar atau tidak. Selamanya aku tidak akan lupa PC Sutisno yang memasang gambar mengerikan di buku ketika aku bahkan belum setua Adjie sekarang. Nama yang sama ‘kutemukan sebagai penulis naskah baik “Kancil yang Cerdik” maupun “Si Kuda Kayu.”

[Masih tiga lagi, jadi mari lanjutkan.] Apakah masih mengenai Gestapu. Beberapa puluh tahun lalu, film sudah main agak sejam di Indonesia bagian barat. Aku dan Adik bahkan pernah sengaja malam-malam ke tengah-tengah lapangan voli di seberang TK Citra Kasih agar tidak mendengar suara-suaranya. Lantas mengapa pula A Hun dan keluarganya yang Hoakiau dari Bagan harus menyetelnya keras-keras. Apakah dengan begitu mereka ingin membuktikan [kepada siapa] nasionalisme dan patriotisme mereka. Memang jaman segitu hidup betapa absurdnya.

Jaman itu berlalu sudah demikian lamanya terasa. Kenyataanku adalah ketinggian REC.B5.01 sekarang. Menghadapi laptop yang kusangka biru ternyata ungu, dengan perut yang agak kembung, mungkin gara-gara lasagna salmon. Apa jadinya kalau kutambahi teh Ceylon murni, ya. Yang jelas sekarang Ari Lasso meratap-ratap Hampa di telingaku, dari awal 2000an, waktu yang lain lagi. Hanya ke depan sekarang aku bisa menatap. Bukan meratap, ya. Lantas ini ada rumah tropis dari anaknya Titi DJ, aku hanya menunggu telpon.

[Tinggal satu. Semangat!] Apa susahnya ngomong asal-asalan begini. Susah juga tauk. Terkadang dipaksakan seperti apa juga tidak maju. Entah apa benar yang mendorongku siang ini, di ketinggian REC.B5.01 begini. Yang jelas bukan gara-gara Gestapu apalagi Gestok. Kesaktian Pancasila, mungkin juga. Aku bukan orang yang sok-sokan kesian sama korban-korban gegeran 1965, meski aku kasihan juga. Aku juga tentu saja bukan orang yang teriak-teriak “Aku Pancasila,” karena aku Bono, meski aku menyunting buku yang kuberi judul Bersetia Bela Pancasila, Demi Jaya Indonesia.