Monday, November 30, 2015

Siapa Bilang November Tidak Ada Entrinya?


Meski ditayangkan secara surut, tetap saja November 2015 memiliki entri, meski hanya sebuah. Seperti biasa kalau sedang menulis entri, maka kelebat-kelebat pikiran aneh menguasai jagad inderawi. Seperti sekarang ini, Suara Surga. Meski suaranya terdengar modern begini, seperti dengan sintesaizer, bisa jadi memang demikianlah Suara Surga itu. Tak pelak maka yang terpampang dalam mata batin adalah jalan berbatu di tepian Sungai Maas. Lebih baik bersepeda karena tidak akan terlalu lelah jadinya.

Musik-musikan a la ngak-ngik-ngek gila-gila'an
Seperti yang sudah kuduga, musim hujan baru benar-benar datang di akhir November ini. Terlambat? Bisa jadi. Bergeser? Kemungkinan besar. Perubahan iklim? Ya ya... toh semester depan ini aku akan mengajarkannya bersama Bang Andri. Hukum Perubahan Iklim. Terdengar keren sebagai sebuah mata kuliah. Terdengar mutakhir. [kata ini yang seharusnya digunakan ketika kunyuk-kunyuk itu malah menyebutnya sebagai “kekinian.” Tolol!] Ternyata yang sedang kususuri ini bukan Sungai Maas melainkan Sungai Gypsi, yang kini mengilhamkan Suatu Cerita yang Menyenangkan.

Betapa suatu melankoli dapat menyenangkan? Bisa saja, jika yang terbentang di hadapanmu adalah langit mendung yang dihiasi oleh hanya satu gedung pencakar langit. Selebihnya sampai ke ufuk barat sana adalah langit mendung yang terkadang ditingkahi geraman bis transportasi umum, sekali-sekali saja. Dan Ratu Saba, dan Ratu Sima, dan Borobudur dan Kuil Nabi Sulaiman... ahaha... tidak lebih gila dari Revolusi Pancasila atau revolusi apapun. Semua sekadar melankoli yang mengilhamkan suasana sentimentil.

Mengapa aku mendendangkan lagu cintaku, kautanya? Karena, Ma Jolie Fille, karena... sentimen yang diciptakan melankoliku sendiri, Mam’selle. Aku tidak butuh apapun selain diriku sendiri dan melankoliku sendiri untuk merasa seperti ini, sampai-sampai mendendangkan lagu cinta begini. Uah, apa peduliku?! Entah geligi atasmu saja yang ber-beugel atau dua-duanya, itu sepenuhnya urusanmu, dan aku tidak berminat untuk memahaminya. Aku bahkan tidak akan meminta maaf untuk itu. Engkau tidak mau tanganmu kupegang agar mengerti apa maksudku? Tidak masalah.

Ini sekadar masalah lanun yang berpikir bisa seenaknya merompak di perairan Tanjung Kacrut. Bukankah kita punya satu resimen pemanah di dekat situ? Suruh mereka stelling di puncak tebing dan tetap merunduk. Jika kapal-kapal perompak itu masuk jarak tembak, hujani tiba-tiba dengan panah api. Beberapa hari kemudian seorang caraka mengabarkan bahwa perintah itu sudah terlaksana dan begitu saja perairan Tanjung Kacrut telah bersih dari perompak lanun, bahkan tanpa selembar layar pun terkembang, tanpa lunas menyentuh air!

Aku kembali lagi ke dalam bilikku yang meski rapi tetapi bau. Sudah berapa lama tidak main cinta? Puh, bahkan ingin pun tidak. Aku sedang ingin menyucikan jiwaku, membersihkannya dari kotoran sebisaku. Sedangkan badanku terus saja dikotori dan dirusak oleh karbohidrat dan—ini lagi—kopi jahe, dan kurang gerak, masa jiwaku juga kotor dan rusak? Duduk bersila, terpekur, meski perut gendut membuatku tidak bisa membungkuk lebih jauh lagi. Terkadang aku malah menengadahkan kepala, meski mataku terpejam.

Penghambaan kepada apapun kecuali Allah Illahi Rabbi adalah... mengerikan! Aku hanya bisa membayangkan kengeriannya, namun menghamba hanya kepadaNya pun masih sebatas gagasan yang mengapung-apung dalam alam sadarku—artinya, belum tenggelam ke dalam bawah sadar, belum menjadi kebiasaan. Ngeri! Semua saja selainNya punya potensi untuk menjadi sesembahan. Padahal, ketika sudah lengah dan cukup dekat, apapun yang disembah selain Allah itu akan menerkam dan menyeret ke dalam jurang azab sekaligus dengan dirinya.

Naudzubillahi, tsumma naudzubillahi min dzalik!

Thursday, October 29, 2015

Malam Ketika Musang Menangis [Lagi?!]


Tepat ketika Tante Connie mengucap selamat tinggal kepada Barcelona, hujan turun dengan derasnya di telingaku. Tiba-tiba terdengar kembali suara menyayat hati itu, tangisan musang. Kenapa kau menangis, Kawan? Apakah kau lapar? Tidak ada lagikah yang dapat dimakan? Maafkan aku telah memetik pepaya matang, yang mungkin seharusnya menjadi makananmu. Toh, aku tidak memakannya juga. Guruh di kejauhan sekali-sekali terdengar, dan Cinta adalah Sesuatu yang Sangat Agung. Bahkan jari-jari pecinta ulung takkan mampu menandingi cantiknya bekas cakar-cakar musang pada buah pepaya matang.


Jari-jari yang membelai tentu akan terasa seperti Taman Surga, jika bukan surganya itu sekali. Jari-jari cinta saling menyentuh menelusuri lekuk liku tubuh, terkadang terbelit rambut-rambut di sana-sini. Jari-jari maut merenggut jiwa siapapun, baik yang hatinya dipenuhi cinta sepanjang hidup maupun yang tidak pernah merasakan cinta. Burung kedasih sudah mulai memperdengarkan nyanyiannya yang memilukan. Mungkin sebentar lagi memang benar-benar akan masuk musim penghujan. Hujan yang mengilhamkan cinta pada sepasang kedasih, membawa barokah pada telur-telur mereka yang kelak menetas.

Sejuknya udara terasa di hati mengilhamkan kesejukan pula pada sekujur tubuh di setiap pori. Seakan bibir kekasih menyapu lembut tengkuk sampai menggelinjang dihembus-hembus hangatnya cinta, begitulah hati yang sejuk. Suasana hati apakah ini yang sedang kurasakan, yang sangat jarang ini? Rasanya hampir seperti jatuh cinta, yang jatuhnya bertubi-tubi seperti butir-butir hujan deras menghantam genting tua berlumut. Irama yang dihasilkannya membuat jantungku berdetak nyaman, tidak berdentam-dentam. Waktu seakan paham dan berhenti, menghapus masa lalu, terlebih masa depan.

Kudekapkan kedua telapak tanganku pada dada kiriku, sedangkan kepalaku sedikit tengadah. Mataku terpejam membiarkan air hujan mengalir deras melalui kelopak-kelopaknya, alis dan bulu matanya. Dahiku bagaikan air terjun yang bersolek dengan pelangi kembar, bahkan tiga, bahkan lebih dari itu. Kepalaku yang botak ini seakan ditumbuhi lebat-lebatnya hutan hujan tropis lengkap dengan para penghuni kanopinya yang riuh rendah, namun damai. Aku tidak takut sendirian di sini. Aku tidak butuh dokter, klinik rawat jalan, apalagi rumah sakit dengan unit gawat daruratnya.

Aku biar di sini saja. Dunia ini memang tempatnya sakit dan kesakitan. Namun jika begini sekelilingku dan suasana hatiku, biar saja. Akan kuikuti ke mana saja, karena dalam hatiku aku tahu, suatu hari nanti entah di mana di sepanjang jalan ini, akan kutemui cinta sejatiku, benar-benar milikku sendiri. Suatu hari nanti kelak di kemudian hari, ketika waktu sudah berjalan kembali. Tidak ada tempat yang terlalu jauh, tidak ada lautan yang terlalu luas, ke manapun ia pergi akan kuikuti. Timpani bergemuruh menandai akan tercapainya klimaks di antara kami semua... Aaahhh!

Cinta. Cinta. Cinta... adalah khayalanku mengenai hidupan liar. Cinta adalah seekor kadal dan bunyi-bunyian binatang malam. Cinta ada di mana-mana di persekitaran. Cinta adalah debu yang ikut terhirup melalui hidung, terperangkap rambut-rambut dan lapisan lendir, menjadi upil. Cinta adalah rasa yang kaudapatkan saat otot-otot bola matamu rileks, dahimu datar tanpa kerutan, dan jarimu sibuk mengorek-ngorek lubang hidungmu. Memilin-milin seberapapun yang kau dapatkan, mencium lagi baunya sampai berkali-kali, terkadang malah mencicipi asin getirnya, itulah cinta. Siapa lagi yang kauharapkan sanggup memberikannya kecuali dirimu sendiri?

Jangan kau rusak cinta dengan apapun. Kita ada karena cinta, kita tiada karena cinta. Dengarkanlah bisikan daun-daun randu alas yang sedang memadu kasih dengan burung hantu. Dengarkanlah bisik-bisik duri-duri pada batangnya, membumbungkan puji-pujian bagi cinta. Lalu hembusan angin dan desahannya yang aku, kau dan kita semua tahu. Desaunya di atas rawa gambut yang penuh dengan cahaya-cahaya berpendar mengambang di udara, membuat Tante Connie meratap-ratap minta tolong, sedangkan tangisan musang kembali terdengar.

Wednesday, October 28, 2015

Bass Bukan Baso yang Bisa Menjeletot


Ini adalah suatu kutika aku bebenah pavilyun di malam hari. Pavilyun pada waktu itu terasa lapang sekali, dan aku masih lebih muda dari ini. Ditambah ayunan orkestrasi Billy Vaughn yang mendayu-dayu memainkan Time Was, aku seperti jauh lebih muda lagi. Bisa jadi aku seorang komunis yang pandai memainkan saksofon, atau saksofonis yang pandai menjelaskan apa itu komunisme—tidak banyak bedanya. Ini bisa juga siang hari di atas ubin kuning kuno yang sejuk, dengan sedikit debu.


Kiniku adalah mug suvenir Dies Natalis ke-91 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang berarti juga Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, yang bertemakan “Refleksi Sejarah untuk Hukum Indonesia yang Berkeadilan.” [Asaptaga siapa pula yang terpikir tema seperti ini?] Tetap saja, di sebaliknya adalah lambang Universitas Indonesia dengan veritas probitasnya yang terkutuk! Aku dapat minum kopi jahe dengannya tanpa merasa bersalah, tanpa merasa seperti pencuri, karena aku sudah tanda-tangan—meski aku juga menyanding setengah liter air panas dalam gelas plastik Teh Poci, milikku sendiri.

Itulah sebabnya aku lebih suka menjadi seekor burung layang-layang ketimbang elang rajawali, terutama sejak ia dijadikan lambang Metrotivi—aduhai alangkah bodoh tampaknya, meski Bang One juga tidak lebih keren. Aku seekor burung layang-layang mungil. Leherku hanya selingkaran cincin kawin. Aku tidak peduli orang ramai berkarnaval seantero Brazil di bawahku, meski zabumba berdentam-dentam dan pinggul-pinggul telanjang berayun bergoyang-goyang. Aku hanya tahu, sebelum matahari terbenam aku harus sudah di sarangku. Biar terayun terkantuk-kantuk kepala mungilku sedangkan Bintang Kecil tersenyum padaku di kejauhan.

Air panas telah kutuang ke dalam mug. Kutaksir volumenya sekitar 400 ml. Adapun tujuannya adalah untuk membasuh bekas-bekas kopi jahe, tidak saja dalam mug tetapi juga di sekujur saluran cernaku. Inilah yang menyadarkanku betapa aku bukan seekor burung layang-layang mungil. Aku bapak-bapak gendut yang sakit-sakitan. Aku bahkan bukan perwira angkatan laut negara manapun yang melantai bersama perempuan Yahudi yang aduhai sungguh menawan. Aku bahkan tidak pantas menjadi apapun, sedangkan Istriku saja menolak menyebutku cerpenis apalagi sastrawan.

Terkadang ingin sekali aku bertanya pada Opa Ibrahim Ferrer, mengapa ia murtad—meski ia tidak mungkin lebih murtad dari Rahim Sterling. Mengapa engkau malah memeluk Santeria, Opa? Apa kau takut voodoo? Apa kau takut sihir-sihir hitam dari tanah asalmu, yang diilhami oleh jin-jin kafir itu? Hanya yang kutahu, Opa, tidak mungkin kuhidup berpisah dari Si Penjaja Kacang Tanah. Bersamanya aku merasa selalu berada di Alam Musim Panas, di mana kami selalu memadu kasih, di mana tiada kekuatiran, tiada harapan. Hidup hanya untuk saat itu, dan selalu saat itu setiap waktu.

Tidakkah memang sudah begitu hidupmu, tukas Opa Ibrahim. Tidakkah Berlayar di Sepanjang Bulan Keperakan bagimu hanya dapat dilakukan sambil memancangkan pantat di kursi sedangkan jarimu mengetuk-ngetuk papan kunci? Tidakkah sudah lama sekali bahkan kau tidak membaca lagi? Aloha Oe, mengapa memberondongku dengan pertanyaan begitu, Opa? [Mengapa pula ini Opa Billy dengan ensembel saksofon yang meletot-meletot begini?] Kalian Opa-opa seperti memojokkanku! "...karena kami sudah mencapai apa yang harus kami capai, yaitu mencekam benakmu!"

Jika sudah begini, aku tidak tahu lagi apakah lebih baik cengeng seperti Fawaz ketika masih berusia sembilan tahun, atau memendam melankoli sementara muka selalu dipasang sok eager bahkan setelah setua ini? Kupalingkan wajahku hanya untuk tertumbuk pada Opa Bram Titaley yang sedang mengharu-biru Hawaii. Senyumnya seakan mengejekku yang baru-baru ini saja menyadari bahwa paloma itu merpati sedangkan matahari itu sol. Opa-opa hebat ini, akankah aku menjadi seperti mereka? Akankah aku kelak menyaksikan betapa aku mencekam benak lelaki culun umur empat puluhan?

Tuesday, October 27, 2015

"Aku Punya Sebuah Pertanyaan..."


Mendengarkan kaset itu kedua-dua sisinya. Ini mendengarkan dua kaset masing-masing hanya di satu sisi, yaitu Side A. Bagaimana pula?! Kaset-kaset memang sudah lama tiada, begitu juga pemutarnya. Hanya lagu-lagunya abadi terngiang terus dalam ingatan. Tidak seharusnya aku begini, terbawa suasana. Seharusnya suasanalah yang terbawa olehku. Namun tidak malam ini. Tarian Terakhir ini, dengan senandung gitar bajanya, seakan menggamitku, pada lenganku. Ia menempelkan kepalanya, memandang padaku dengan tatapan gemas seakan haus akan cintaku.

Cinta? Sedangkan burungku masup mendelep jika perutku kembung. Tinggal Tarian Terakhir ini saja, dan kenangan yang dibawanya, yang masih tersisa. Kenangan akan seekor tikus got yang meski kepalanya membotak namun masih membuncah dengan tenaga muda. Tikus got yang merayap-rayap di sepanjang gang tak berselokan, ketika Matahari Terbenam Karibia mengalun di telinganya. Ia terus saja melahap butir-butir nasi yang menghujan dari wajan penggoreng nasi di atasnya, tidak peduli pada derap-derap kaki di sekelilingnya.


Atau seorang lelaki gemuk di pertengahan umur duapuluhan, berjaket kulit potong-potongan kulit domba Garut. Sama dengan Tikus Got, ia pun tengah menikmati matahari terbenam—meski terbenamnya sudah agak enam jam yang lalu—bersama Atiek CB. Inderanya terpusat pada bintil-bintil lidah dan dinding kerongkongan yang dibiarkan telentang, telanjang dialiri derasnya bir hitam kesukaannya. Bahkan ketelanjangan Atiek CB tidak dipedulikannya. Hanya bir hitam khas Irlandia dan rokok kretek Kudus yang diijinkannya menyita terpusatnya indera.

“Aku Punya Sebuah Pertanyaan.” Kini ia telanjang dada, memamerkan kulit yang kemerah-merahan dibakar anggur putih, yang dibelinya empat atau enam botol sekaligus. Bukan keringat, bukan peluh yang mengucur deras dari benaknya, melainkan air mani kental yang amis baunya. Air mani pemuda tanggung yang dipeper-peperkan di tembok rumah kosong, yang berdebu tebal, yang membuat gatal. Bahkan nanah, tidak berhenti mengalir dari paruh burung yang sudah berubah menjadi raja singa. “Untuk apa itu semua?”

Untuk seorang pelacur kribo bergigi tonggos! Kribo bulu keteknya! Uah, aku jadi merasa seperti Jane dalam dekapan Tarzan, tapi kali ini dia Tarzannya. Ia seperti memukul-mukul dadanya sambil melolong-lolong, padahal itu aku yang menyentil-nyentilnya. Ya, dia melolong. Astaga, apa yang kulakukan di sini? Aku hanya tersesat dalam cinta, yang dulu kukira ramah dan bersahabat. Ternyata cinta adalah lampu temaram dan seprai yang entah kumal entah baru dicuci. Memang bau sabun colek dia.

Lalu kami melakukannya, Tarian Terlarang itu. Tarzan ternyata adalah seorang gadis kecil yang sekilas seperti cantik namun bila diamati sejatinya seperti Smeagol. Aku adalah Jane, dan Jane hanya ingin pulang ke Kampungnya, di mana bohlam temaram terlihat di kejauhan seperti pelita sedangkan persekitarannya gelap belaka. Sedangkan sekitarnya rumpun bambu yang basah oleh hujan sepanjang hari, dan jalan tanah ini becek dan licin seperti... [Pada titik ini Jane meraung seperti gorila tersentuh peniti]

Pulang. Itulah yang paling benar. Hentikanlah pengembaraanmu. Berbaliklah, dan susuri jalanmu sampai di sini. Mana tahu akan kautemukan jalan pulang, yaitu ketika kanan kirimu mulai berumput. Rumput yang benar-benar hijau dan tercukur rapi, sungguh mengundang selera. Nyaman bagi mata, nyaman bagi hidung karena bau ozon. Pada saat itulah kau akan berada Tinggi di Angkasa. Kau akan merasa seperti mengepak-ngepakkan sayap padahal sejatinya kau melayang, ya, sekadar mengapung. Saat itulah, kau di rumah.

Monday, October 26, 2015

Malam Ketika Musang Menangis


Dengan apa aku harus membuka entri ini? Apa itu entri? Sayangkah aku pada Istriku? Satu hal yang kutahu cukup pasti, jika terhidang di hadapanku Prof. Jimly Asshiddiqie—yang namanya aku tidak pernah tahu pasti bagaimana menulisnya—dan Seno Gumira Ajidarma, aku akan segera melahap dan menelan yang terakhir, seperti Musa cilik melahap bara api. Apa jika begini? Tidakkah ini terbaca seperti sebuah cerpen? Tidakkah ini terbaca seperti kisah hidup Sukab?

...tadinya mau gambar Rahayu Effendi, tapi tidak ada yang bagus.
Belum lagi Prof. Yusril Ihza Mahendra. Mereka berdua ini orang-orang yang... mengerikan. Prof. Satya Arinanto, lalu RM Ananda B Kusuma tidak mengerikan, tapi yang dua pertama itu mengerikan. Aku yang menggemari Sukab ini lantas saja lebih condong ke kiri timbang ke kanan. Mau ke mana lagi? Tidak bisa lain, aku harus segera pura-pura tertarik pada Māori jika aku benar-benar sayang pada Istriku. Bukan karena aku ingin mengerikan. Bukan karena itu.

Semata-mata, aku hanya harus melanjutkan hidupku. Aku harus mencapai hal-hal tertentu jika menempuhi jalan ini. Masalah nanti menyematkannya di depan namaku atau tidak seperti Seno Gumira, itu masalah nanti. Aku tidak malu untuk mengakui bahwa aku mengagumi beliau; meski terkadang aku tidak yakin, adakah Seno Gumira atau Sukab yang kukagumi. Jih, anak De Britto gondrong ini. Aku tidak iri padamu. Aku benar-benar kagum, Pak, meski Istriku kini yang mengikuti kuliah-kuliahmu.

Engkau tidak sehebat John Lennon sehingga harus kutembak, sedang John Lennon pun tidak hebat. Aku pun tidak pengecut seperti Mark Chapman, sehingga jika kau kutembak pasti dari depan. Tidaklah, Pak Seno. Kau hebat. Aku pecundang. Bagaimana caranya agar sehebat engkau? Jangankan sehebat engkau, bagaimana caranya menyaingi Fidel saja aku tidak tahu. Apalagi Pak Harto. Apa yang dapat dihasilkan dari rumah di Kramat Batu itu, sedangkan perutku terus saja kembung begini?

Malam terus merayap mendekati tengah-tengahnya. Tidak mungkin lagi aku memikirkan Māori dengan cukup produktif. Namun mungkin aku masih punya sedikit tenaga untuk mengurainya, membaca di antara baris-barisnya. Siapa tahu ada noda Bayclin jika jeruk terlalu arusutama. Biarlah, siapa tahu aku bisa jadi Dr. Soumokil atau Dr. Azahari yang berhasil, sedangkan besar kemungkinannya Dr. Azhari berada di pihak kami. Jika sampai waktunya, biarlah aku bersantai di Laguna Mengantuk, atau Pantai Mengantuk.

Sementara itu, biarlah aku dikira meniru Mas Toni. Biarlah orang mengira entri-entri ini ada artinya. Biarlah orang menyangka entri ini racauan orang gila sampai mereka berhenti membaca. Aku biar saja, masalah aku sendiri mengerti atau tidak. Demi tujuh ratus ribu Rupiah aku akan duduk beberapa jam di dekat orang-orang mengerikan, mengucap sepatah dua kata dan menyeringai seperti orang tolol. Permainan yang semakin sulit dimainkan, dan aku mengelak tugas membaca doa.

Sampailah kita pada akhir perjumpaan kita malam ini, Sahabat. Biarlah feri ini merapat, membenturkan dampranya pada tepi dermaga. Biarlah kaki-kaki kita berlompatan ke darat meski goyah. Inilah rumah kita, dan tidak ada kurasa orang di dunia ini yang lebih menyukai rumah daripada aku. Maka Cintailah Aku! Siapa mau mencintai aku? Ada? Tidak? Baiklah. Kumasukkan saja kedua tangan ke dalam saku celana, berjalan menjauh. Kalau tidak ada yang cinta, mau bagaimana?

Kerang Saus Padang
Kerang Goreng Tepung
Nasi Uduk
Jeruk Panas

Sunday, October 04, 2015

Aku Tidak Suka Tidur Bersama Pancasila


Aku terperangkap [atau terkepung? Tersandera? Tertawan?] oleh ironi hidupku sendiri. Sepertinya oye kalau aku membuka entri dengan kalimat ini, meski terus terang aku tidak bisa memutuskan kata kerja mana yang harus kugunakan. Apapun itu masih jauh lebih baik daripada Nikmatnya Mereguk Perawan Kencur—meski aku sedang melakukannya kini, sampai bersimbah peluh sekujur tubuhku. Sudah dua “meski” kugunakan sejauh ini, sedangkan [‘duh, “sedangkan.” Hei, setidaknya ‘duh-ku ada apostrofnya, yang artinya ada bagian kata itu yang kuhilangkan, vide Ivonne Ruth] Johnny sudah setengah gila.

Una Guantanamera sin la paloma blanca
Betapatah tidak setengah gila jika ingin ke Havana tidak kesampaian juga; sekalinya sampai diantarkan Zoë Brân, bikin marah saja. Aku masih ingat waktu itu kami bertemu dengan seorang perawat homoseksual. Lamat-lamat aku juga ingat suasana rumah di mana Zoë belajar bahasa Spanyol—gila, ke Cuba dan tidak mengerti sepatah kata pun bahasa Spanyol. Lalu, Guantanamera, seperti halnya Habanera. Uah, aku berani bertaruh Cantik memang benar-benar seperti cewek latin, sebagaimana halnya aku seorang vaquero yang dibaca seperti bagero hahaha. [Ini Havana kenapa meletot-meletot begini?!]

Teringatnya, Jumat kemarin sebelum mengajar Pancasila aku menghabiskan siang bersama Taishō Yamamoto Isoroku. Ia menertawakan lemahnya mentalku. Untunglah aku bukan seorang perwira junior di angkatan lautnya, kalau tidak mungkin katananya sudah mendarat tepat di puncak kepalaku—meski mungkin masih disarungkan. Dudukku—baik dalam suatu pertemuan resmi, terlebih jika seorang diri—selalu saja menggelesot menekuk bungkuk tulang punggungku; tidak seperti beliau yang—meskipun Taishō—selalu duduk syaappp grak! Pantaslah dulu almarhum Pak Karim suka meluruskan punggungku ketika apel atau upacara. Posturku memang bungkuk.

No excuse, Sir! Aku mungkin memang tidak berhak atas pelukan, gelinjang dan ciuman Habanera maupun Guantanamera. Aku tidak akan mungkin menjadi salah satu pilot Tahi Ular apalagi prajurit Kavaleri ke-7 yang diangkutnya ke Lembah Kematian. Aku bahkan tidak yakin apakah aku cukup baik untuk menjadi anak buah Margonda atau Guevara. [Tito, apakah sudi menerimaku?] Namun aku sudah kadung pasrah bongkokan bersetia pada... Pancasila? Demi jaya Indonesia? Sedangkan Mas Widodo dan Mbak Rita sudah sulit hidupnya berjualan kelontong, karena untung dari berjualan gas elpiji 3 kg hanya Rp 2000?

Apa lagi yang dapat kukatakan? Tidak ada. Kata-kata, jika itu dariku, sudah tidak ada gunanya. Lebih baik kugunakan suaraku ini untuk menghafal al-Adiyat dan al-Zilzalah, baru kemudian al-Bayyinah. Tiffany Angelica Temajaya kemarin Jumat memintaku untuk mendongeng, karena—menurutnya—diskusi di antara teman-teman tidak menambah pengetahuannya. Paklik memang pandai mendongeng, ‘Nak, tapi yang akan berminat mendengar dongeng Paklik paling kamu dan beberapa gelintir lain. Sisanya... aduhai, ini mengenai Pancasila, ‘Nak. Ini mengenai Pancasila sedangkan sekarang sudah tujuh puluh tahun berlalu bahkan lebih.

Kenapa jadi Pancasila melulu? Oh, sedangkan Ki Macan sudah tidak pernah mengunjungiku lagi, sudah lama sekali. [huhuhu tersedu-sedu] Jika begini aku teringat tulisanku mengenai mahasiswa yang saling berpamitan ingin berangkat demo lalu melapisinya dengan plot mengenai seorang centurion gila yang sudah tidak percaya pada kejayaan Roma—dua tahun sebelum film Gladiator rilis! [seakan keterangan terakhir ini penting] Sepertinya memang aela iacta est! Aku tidak tahu apakah dalam hidupku ini aku akan pernah menyetir Rubicon. Aku tidak akan menyetir kecuali aku memilikinya. Tidak akan pernah!

Cinquecento. Perfetto!

Friday, October 02, 2015

Entri Pertama pada Oktober 2015 ini


Insya Allah, 2015 yang ber-el-Niño Osilasi Selatan ini akan menjadi tahun pertama di Kemacangondrongan dengan entri di setiap bulannya. [Wuih, aku sampai kagum sendiri dengan kalimatku ini. Strukturnya begitu rapi dan bersih. Neat and clean] Oleh itu, biarlah aku dituduh sudah kekeringan kreativitas jika judul entri ini seperti di atas itu. Biar saja. Terlebih jika engkau baru makan tahu halo boleh dimagnetron lagi. Yassalam rasa boraxnya makin kentara, meski tidak sampai merusak kenangan akan nikmatnya separuh roti moka Italia boleh dimagnetron lagi juga.

Bahkan malam-malam akan menjadi lebih baik horor dengan zitje yang rapi dan bersih ini
Neat and clean itu tidak pernah terjadi baik dahulu maupun sekarang apalagi di masa depan, karena masa depan TIDAK ADA! [ga usah pake kepslok keleus] Biar saja begitu karena beberapa kali Maghrib kemarin aku mendengarkan Mesjid Gema Pesona menyambutnya dengan al-Waqiah yang ada mata hurhurnya. Sehingga neat and clean di dunia ini sudah tidak perlu lagi. Di masa remaja tidak pernah ada, apalagi di masa-masa menjelang ajal begini—sedangkan Santiago sudah menghadap Penciptanya, mungkin tanpa pernah meneriakkan SANTIAGO!

Engga! Meski di jendela sebelah aku sedang membuka-buka leptop 10 inci, tetap saja Transformer tidak enak dipakai dengan cara apapun. Dibawa kibornya bikin berat bikin tengkuk kaku, tidak dibawa kibornya bikin ribet. Layar sentuh buat apa?! Sedikit sekali gunanya. Memang sebaiknya dikembalikan saja. Sebaliknya, ini X450C eh mantabp betul diketuk-ketuk meski di atas meja goyang meski Bing Crosby meratap-ratap soal anak Danny. Masalahnya... dikau berat kali pun. [Harusnya di sini ada emotikon meweknya]

Memang masalah, masalah tidak akan pernah ada henti dan habisnya. Apa gardu belajar akan menyelesaikan masalah? Uhu, namun aku membayangkannya begitu saja, baru terbayang begini saja, sudah nyaman. Apa ini bukan melarikan diri dari kenyataan bahwa aku sudah tidak di Jang Gobay lagi atau di Babeh Tafran atau di Pintu Merah Sint Antoniuslaan atau bahkan di lantai dua Laathofpad Zes? Nyatanya, aku di tepian Cikumpa. Nyatanya, cuma ini yang kupunya, adaku. [mengapa pula lengan atas kiriku terasa pegal?]

Apa aku tahu ke mana aku akan menuju? Terlebih ditambah ramai-ramai tolol kemarin masalah siapa minta maaf kepada siapa, aku semakin tidak tahu ke mana menuju. Apa yang akan terjadi pada Guswandi, setidaknya ia sudah ada Gustejo. Aku, sementara itu, masih saja berhati-hati untuk tidak terlalu banyak menggunakan "meski" dan "sedangkan." Mengapa aku suka sekali membuat kalimat majemuk? Terkadang yang seperti ini menggangguku seperti... keinginan untuk... yang diselesaikan dengan patut di... apalagi ini kalimat-kalimat tidak selesai begini?!

Jangan tanya apa alasannya. Seandainya cinta dapat mengalir sebegitu selesa di antara bebatuan licin, seperti es serut atau es cukur yang meluncur melalui gigi-geligi gadis yang tidak nyaman dipandang wajahnya, yang tidak berhenti bicara ini. Bisa jadi ia yang membayari makan semua pemuda yang mengelilinginya, membayar untuk mendengarnya bicara dan bicara dan bicara. Untuk menyembunyikan sepinya hidup, hampanya hati? Memang hanya es cukur itu saja yang tampak di meja mereka, bahkan satu piring berdua. Ya tidak apa-apa juga ‘kan?

Jangan salahkan aku. Nah, ini sulit karena aku sudah terlalu terbiasa menyalahkan diri sendiri, terlebih untuk segala ketololan yang kulakukan sendiri. Tidak ada itu kemalangan, yang ada selalu saja ketololan diri sendiri. Jangan kau tatap dalam-dalam danau itu, permukaan airnya, jika tidak ada keinginan padamu untuk menyelami kedalamannya. Permukaan danau selalu saja menarik nyamuk-nyamuk dan ikan cucut. Kakap tentu tahu diri untuk tidak cibang-cibung di permukaan danau. Itu Kakap, apalagi Paus.

Monday, September 28, 2015

Entri Pertama yang Ditulis di Kota Margo


Setelah sekian lama Kota Margo menggantikan kebun Wijaya Tani di Kampung Gedong, bilangan Margonda ini—sudah hampir sepuluh tahun, yakni waktu yang kurang lebih sama dengan Kemacangondrongan mewarnai Jagad Jelantara—baru kali ini sebuah entri ditulis di sini. Setelah hampir sepuluh tahun! Jagad Dewa Batara, sudah begitu lama. Aku nangkring di atas sebuah bangku putar cantik seperti yang ada di Seven Eleven, di sudut timur laut Lantai Tiga ini, di suatu tempat yang dinamakan “Charging Area.”


Meski entri ini mustahil kuselesaikan di sini, biarlah terlebih dulu kucatat bahwa pada hari ini akhirnya tunai apa yang kuniatkan hampir sebulan lalu, yakni membeli al-Wasim, mushaf Quran yang tidak saja dilengkapi dengan terjemah bahasa Indonesia tetapi juga dipotong kata per kata dan diberi transliterasi pula. Sesungguhnya, karena yang terakhir ini pula aku memutuskan membeli al-Wasim di antara begitu banyak mushaf sejenis—di samping harganya yang relatif lebih murah dari lainnya. Semoga Allah berbelas-kasihan pada hamba dengannya, Aamiin.

Adanya aku tidak bisa menyelesaikan entri ini di sini, ada Cantik. Cantik hari ini berpuasa sedangkan sekarang, pada saat aku mengetik ini, jam menunjukkan pukul 17.18. Sebentar lagi Cantik mungkin sudah selesai dengan faisalnya dan kami akan berbuka di Dapur Kekaisaran. Segala puji hanya bagi Gusti hamba, pelindung seluruh alam. Di tengah-tengah keadaan yang sulit bagi banyak sekali orang ini, tidak henti-hentinya hamba makan enak—sampai-sampai lupa sudah berapa lama terus makan enak begini. Semoga ini bukan istidraj, naudzubillah!

Berapa lama waktu menyiapkan teh susu dan sup kepiting asparagus? Maghrib masih tepat 30 menit lagi dari sekarang, dan kedua hidangan itu baru enak jika disajikan panas-panas. Baterai X450C masih 50 persen, jadi mungkin aku merapat ke Dapur sekitar sepuluh menit sebelum Maghrib, kecuali Cantik sudah menghubungiku terlebih dulu sebelum itu. Uah, tetap saja situasi seperti ini tidak ideal untuk menulis-nulis. Aku seorang seniman, jangan aku diburu-buru. Michelangelo saja melarikan diri ke bukit-bukit ketika il Papa Teribile memburu-burunya.

Selain membeli al-Wasim yang artinya tampan dan berbudi bahasa, sebenarnya ada juga aku melihat-lihat buku-buku lain di Toko Gunung Agung. Melihat-lihat, karena sudah lama sekali aku tidak tertarik membeli buku kecuali untuk alasan yang salah, misalnya, karena harganya terlihat murah. Demikianlah maka aku tertarik pada tumpukan buku diskon dan menemukan Rangkuman Pengetahuan Alam Lengkap (RPAL) di situ. Ada sedikit haru terselip. Satu sisi karena buku ini bernilai sentimentil bagi generasiku, lain sisi karena ia harus bersaing dengan Mbah Gugel!

Kurasa, aku pun sudah kehilangan sebagian terbesar kemampuan membacaku. Sambil membolak-balik halaman RPAL tadi terpikir olehku mengapa aku sangat terobsesi dengan tata-letak. Tata-letak yang baik membantuku mengingat. Aku biasa mengingat suatu informasi dalam sebuah buku dengan cara mengingat DI MANA letak informasi itu, apakah di kanan atau kiri, di atas, tengah atau bawah halaman. Perkembangan teknologi digital membuat kebiasaanku itu menjadi kurang berguna. Kini aku harus berusaha mengingat-ingat kata kunci dan mengandalkan alat-alat penelusur.

—tepat di sinilah aku bergeser ke Dapur Kekaisaran dan berhenti mengetik-ngetik sejenak—

Sesampainya di Dapur Kekaisaran, aku segera memesan Teh Susu Hangat dan Sup Kepiting Asparagus untuk Cantik, sedangkan untukku sendiri aku memesan—seperti biasa—tim pangsit jamur, namun kali ini supnya tahu sifud—minumnya teh Cina aroma melati . Benar saja, ketika masuk waktu Maghrib, pesanan-pesanan itu pun tiba. Akan tetapi, Cantik belum datang-datang juga bahkan setelah waktu Maghrib sudah berlalu hampir 20 menit. Aku bahkan sudah sempat pindah meja karena duduk di dekat railing itu AC-nya dingin sekali, paha kananku sampai sakit.

Wednesday, September 23, 2015

Entri Kedua yang Ditulis di Bagasnami


Ada baiknya kita senantiasa mencoba teknik-teknik baru, meski beberapa tidak terlalu baru karena sebenarnya sudah biasa dipraktekkan di masa lalu—hanya saja setelah sekian lama tidak pernah digunakan lagi. Baru saja ini aku mencoba menulis langsung di editornya Blogger, akan tetapi segera kembali ke teknik yang telah kulazimkan cukup lama belakangan ini, iaitu menulis dulu di Word, pindahkan dulu ke Notepad untuk membersihkan skripnya, baru akhirnya dirapikan di editornya Blogger.

Mengapa begitu? Karena sedekat pengetahuanku hanya Word yang mampu membuat tanda baca “—” atau double dash dengan praktisnya. Adakah kode HTML untuknya? Aku belum periksa, malas pulak. Kesukaanku menggunakan strip ganda atau panjang itu ada kaitannya dengan kebiasaanku membuat kalimat panjang-panjang, majemuk bertingkat-tingkat. Mengapa pulak aku menganalisis gaya menulisku sendiri? Tentu saja untuk kepuasanku sendiri. Swakelola.

Hari ini, jam 10.15 Adnan Bahrum a.k.a. Buyung Nasution berpulang ke rahmatullah. Beliau adalah abang dari sahabatku beda paham beda ideologi, Abdul Qodir bin Agil. Semoga Allah menerima semua amal ibadah almarhum, melipatgandakan pahalanya, mengampuni dan memaafkan semua dosa dan khilafnya. Aamiin. Semoga karomah dan barokah almarhum diwarisi sahabatku itu. Aamiin.

Berarti sudah berhari-hari ini aku berasyiq wal masyuq dengan diriku sendiri, satu-satunya di dunia ini yang mengerti benar bagaimana mencintaiku. Jika pun benar aku psikopat, setidaknya aku memang pernah diresepkan haloferidol oleh dokter—dan aku tidak bangga dengan fakta ini. Catat itu! Hanya saja, hanya ini yang aku punya. Inilah adanya diriku. Seandainya saja aku dapat mencari kesenangan dengan cara lain, seandainya saja aku punya hobi, seandainya saja aku mentala mengomentari “keren” foto perempuan entah siapa-siapa di pesbuk, pasti sudah kulakukan. Masalahnya, beginilah caraku satu-satunya menyenangkan hati. Hanya ini yang kutahu.

Terlebih di ruang tamu Jl. Tangguh IV No. 17 Perumahan TNI-AL Kelapa Gading, Jakarta ini, satu-satunya ruangan di rumah ini yang berpendingin udara, di mana Istriku dan anak-anaknya tidur—sedangkan aku menghibur diri. Terlebih dengan iringan orkestra asuhan Paolo Mantovani, aku benar-benar merasa terhibur. Terlebih dengan jurus Dawai-dawai Sempoyongan yang khas beliaunya itu, aku serasa menikmatinya sendiri, benar-benar seorang diri saja, di tengah sebuah auditorium besar.  Ini seperti termangu menyaksikan dedaunan musim gugur berjatuhan.

Tentu saja termangu itu seorang diri. Boleh-boleh saja seseorang berkhayal mengenai dua orang berbeda jenis kelamin saling berhadap-hadapan. Namun itu bukan termangu namanya. Itu lebih seperti saling pandang, saling tatap, saling menyungging senyum, di mana otot-otot wajah berkontraksi. Termangu itu rileks, lepas. Memandang tiada yang dipandang. Menatap tiada yang ditatap. Menyungging senyum tiada yang tersenyum. Dalam pada itu, orkestra sudah tidak perlu, yang penting ada orkestrasinya. Auditorium sudah tidak perlu, yang penting ada gemanya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa ilaaha illallaahu. Allahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahi al-hamd. Inilah sesungguhnya yang harus bergema malam ini, karena besok ‘Idul Adha. Pagi tadi aku sarapan bersama Cantik di Pizza Hut. Aku tidak biasa-biasanya memesan fettuccini yang pasti bersaus krim, semata untuk menghindari telur karena rasa-rasanya kemarin aku terlalu banyak makan telur. Dengan demikian, ini juga merupakan pengakuan bahwa aku tidak berpuasa Tarwiyah dan Arafah.

Alasannya, seperti biasa, kemarau. Takut dehidrasi. Padahal masalah sebenarnya adalah sudah bertahun-tahun aku tidak pernah bangun subuh. Inilah yang membuat mutu kesehatan dan kebugaranku menurun. Farid dan Togar sudah berhasil mengamalkannya. Aku belum. Mulai besok? Setelah Shubuh tidak tidur lagi karena harus langsung shalat ‘Id? Mengapa tidak? Toh kemana-mana naik taksi ini. Insya Allah. Bismillah. Malam ini, jika pun ada, yang agak kuharapkan adalah tidur malam yang nyenyak, yang nyaman penuh berkah di ruang tamu Bagasnami ini. Aamiin.

Tuesday, September 22, 2015

Seonggok Sirih, Sekuntum Pepaya Merah


Sudah lama sekali aku tidak membuat entri dengan teknik ini, iaitu, membuat judul terlebih dahulu baru menulis agar sedapat mungkin sesuai dengan judulnya itu. Uah, jet tempur ini menggangguku saja, memutus iring-iringan gagasanku, meski aku tidak benar-benar Menyukai Chopin kecuali jika ia sedang duduk-duduk di Gazebo di sore hari ketika hujan turun. Uah, sialnya segala sesuatu terasa demikian romantis, melankolis, sentimentil gara-gara mimik muka yang menjentrik seakan-akan terlatih itu. Habis sudah segala omong-kosongku.


Pepaya bisa dipetik kapanpun. Tinggalkan ia toh matang juga dengan sendirinya. Kuning di luar, merah menyala di dalam, manis sempurna. Begitulah pepaya di musim kemarau panjang ini, yang selalu saja menerbitkan dahaga, menerbitkan selera. Biar saja sampai gila, tetap saja aku tidak akan segitunya Menyukai Chopin. Hanya bayangan tentang Gazebo di remang cuaca, ditingkahi gemericik tetes-tetes air hujan saja yang membuatku bertahan. Bayangan ini membangkitkan rasa sakit yang—entah mengapa—selalu kunikmati. [Tuhan, aku masokis]

Tidaaakkk!!! Hentikan!!! Aah, yah, hmm... sekeras apapun kuberusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa rasa sakit itu tidak untuk dinikmati, akhirnya gagal juga. Rasa sakit itu... nikmat. Senikmat pepaya kalifornia yang ada kalinya dan ada fornikasinya juga, itulah rasa sakit yang kurasa sekarang. Hampir aku tak peduli pada seonggok sirih merah, karena rasanya pahit getir sungguh tidak menyelerakan, membuat mencret pula. Apa peduliku jika kata orang ia membawa kesehatan, menyembuhkan luka dalam. Sirih merah tidak enak dan membuat mencret!

Aku tersiksa oleh paradoksku sendiri. Aku merasa terlahir untuk melindungi mereka yang lemah, namun sikap pribadiku sendiri pada yang lemah adalah... memusnahkannya! Semua yang lemah, semua yang buruk rupa, semua yang tidak laku harus dimusnahkan, dienyahkan agar tidak lama-lama menderita. Aku, kurasa, Pangeran Arthas yang membantai rakyatnya sendiri karena terkena wabah. Untuk apa menunggu mereka mati menderita karena wabah jika bisa kutumpas sekarang juga dengan pedangku, musnah dengan rumah-rumah dan dusun-dusun mereka sekali!

Jangan kau kira aku akan luluh karena penderitaanmu! Aku benci kucing betina yang menggelesot-gelesot. Pasti kutendang! Jika itu kucing jantan, kumaki-maki meski kubiarkan saja. Aku menggendong-gendong kucing jantan, anakan maupun bagongan. Hanya Schmong kucing betina yang kugendong-gendong itu pun karena ia sudah lupa pada kebetinaannya. Schmong adalah kucing. Titik. Aku suka... pepaya... yang kuning di luar, merah di dalam, manis menyegarkan—meski aku hampir yakin kalau pepaya, sirih, kucing bahkan aku sendiri sama gilanya!

Satu hal yang jelas, itu semua tidak ada! Ini bukan upaya swahipnotis. Ini adalah kebenaran dari Kebenaran. Semua itu, pepaya, sirih, kucing DAN terutama aku sendiri tidak ada. Ini hanya salah satu hari dari sekian banyak hari-hari yang kausangka banyak dan beriring-iring dan berturut-turut, yang sejatinya TIDAK ADA! Dengan begini saja aku merasa sedikit lega, tidak lagi mencari-cari kenikmatan dari rasa sakit yang kubuat-buat sendiri, untukku sendiri. Pepaya dimakan manis, Alhamdulillah. Sirih merah pahit getir membuat mencret, Alhamdulillah.

Dunia yang gila ini bagaimana? Penghuni-penghuninya yang gila bagaimana? Pepaya yang merah dan manis bagaimana? Sirih yang merah dan pahit dan getir dan membuat mencret bagaimana? Bukan urusanku! Urusanku adalah apa yang tepat di hadapanku, yang selalu merupakan batas tipis antara “sekarang” dan “masa lalu”—meski bagiku sekarang selalu berlalu terlalu cepat, meninggalkan lapisan-lapisan tebal masa lalu yang berminyak-minyak berlemak-lemak bagi yang menyukainya. Urusanku adalah sekarang, sekarang, sekarang... (till fade)

Monday, September 21, 2015

Nuansa Perdana Musim Penghujan 2015


Hari Senin adalah hari menulis entri, sebagaimana telah terjadi beberapa minggu terakhir ini. Akankah kegilaan ini segera berakhir? Mengingat mendesaknya jadwal-jadwal, mau tidak mau kegilaan ini akan berakhir dengan sendirinya, dalam waktu dekat. Namun, seperti biasa, jika aku sedang menghadapi X450C di jam-jam mendekati tengah malam begini, itu berarti aku tidak peduli jadwal-jadwal. Lagipula, kupedulikan pun percuma karena aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk melakukan apapun terhadapnya dan mengenainya.


Sore ini aku mengunjungi Dapur Kekaisaran di Kota Margo. Kurasa aku memang semacam kerabat kaisar kalau bukan kaisarnya itu sendiri. Sepanjang siang aku berusaha memikirkan makanan yang membangkitkan selera di kantin, dan nihil. Ayam yang digoreng seperti gandasturi, menurut Dik Savit, tentu saja gagal total dengan gilang-gemilang menerbitkan seleraku. Sekotak pastel Mak Cik dari Bu Daly agak lebih berhasil darinya, meski dengan semar mendem yang diminta Mbak Eka. Tetap saja, seleraku baru benar-benar terbit setelah berada di Dapur Kekaisaran

Begitulah sekonyong-konyong Cantik punya ide ke Kota Margo, meski maksud sebenarnya adalah mainan blackhead. Namun kami berakhir di Dapur Kekaisaran yang dihias dengan alat-alat kukus dari bambu, sehingga agak kurang ngaisar. Seperti biasa, aku memesan hakau jamur dan sup, kali ini sup kepiting asparagus, teh hangat gula pisah. (gulpis) Cantik—seperti biasa juga—memesan tahu lada garam, meski kali ini dengan jamur enoki goreng, teh susu hangat, nasi goreng ikan asin, masih ditambah dengan es serut buah-buahan yang harganya menjadi Rp 8,000 saja.

Seandainya saja aku foodie benar-benar, seharusnya kuulas makanan-makanan itu—kebetulan memang kucicipi semua kecuali teh susu. Namun sebagaimana telah menjadi maklum, aku tidak sepenuhnya foodie meski saluran teve favoritku tetap Asian Food Channel—sedangkan Barclay’s Premier League terus saja merosot dalam klasemenku. Oleh sebab itu, sebaiknya kucatat saja di sini bahwa malam ini aku membeli Super Killer, iaitu raket nyamuk yang bisa dicas. Sepuluh tahun lebih aku telah mengenal benda ini dan inilah lompatan inovasinya.

Patut juga dicatat di sini bahwa sore ini—sambil menyongklang Vario dari Kota Margo ke rumah—langit mendung. Bahkan aku sempat kejatuhan titik air ketika sampai di kampung turunan dekat Bukit Novo. Bahkan, ketika aku menutup pintu pagar sesampainya di rumah, terdengar guruh di kejauhan. Benar saja, gerimis menemani shalat Maghribku. Padahal UI baru akan mengadakan Shalat Istisqa’ besok di Rotunda. Apakah dengan demikian entri ini harus kunamakan “Nuansa Perdana Musim Penghujan 2015”?

Bagaimana jika ternyata hujan yang sebenarnya, sebagaimana terjadi pada 2006, baru terjadi pada akhir Oktober? Bagaimana kalau gerimis tadi ternyata sekadar gerimis dan sudah begitu saja? Uah, ternyata entri ini masih mengenai Kemarau! Mumpung masih di dunia, Kawan-kawan. Insya Allah selama masih di dunia siapapun yang mampu bersabar akan dapat mengandalkannya untuk menahankan apapun yang digelontorkan kehidupan dunia kepadanya. Nanti di neraka, Kawan-kawan, tidak ada apapun yang dapat engkau andalkan untuk menahankan siksaNya naudzubillah tsumma naudzubillah!

Berbicara mengenainya, aku jadi teringat posting Bang Junaidi Madri mengenai Manhaj Daulah Khilafah Islamiyyah. Aku tadi sempat tergoda untuk mengopas posting itu di sini sepenuhnya, sempat juga terpikir untuk tidak mencatat mengenai hal ini—karena enggan berkomentar. Namun ludah baik punya sendiri apalagi orang lain tidak enak rasanya, apalagi kalau sudah bercampur debu tanah atau jalanan, maka biarlah ini tetap di sini, sebagai pengingat bagi diriku sendiri—dan orang-orang yang membaca entri ini salah sendiri kenapa membaca hahaha. Intinya, Manhaj Daulah Khilafah Islamiyyah adalah...

Sunday, September 20, 2015

Judi Judi Judi Aku Cinta Padamu


Sebagaimana telah diperkirakan, hasilnya adalah... entri hahaha. Namun bukan sembarang entri. Insya Allah selain entri-entri mutakhir, Kemacangondrongan mulai sekarang akan juga melakukan retroaksi, yaitu, menulis bahkan pada ketika blog ini belum tayang! Dalam kesempatan perdana ini maka ditayangkanlah serial “2000-an Dekade Kita Melihat Semuanya.” Sebagaimana maklum, Kemacangondrongan mulai tayang pada 2006, yaitu paruh kedua dekade 2000-an. Oleh itu, paruh pertamanya akan disajikan secara retroaksi, sehingga dari 2005 terus mundur sampai 2000 akan ada satu entri setiap tahunnya.


Sebelum terlampau jauh, haruslah buru-buru disusulkan di sini bahwa judul serial itu memang sama sekali tidak orisinil, karena merupakan terjemahan semata dari program televisi National Geographic “The 2000s: The Decade We Saw It All.” Programnya sendiri ngeselin, terutama karena sangat Amerika-sentris. [Lhah kenapa sewot, Kemacangondrongan juga Bono-sentris?] Tentu saja, National Geographic Society juga didirikan di Amerika Serikat. Namun agak lumayanlah pertunjukan itu karena membantu mengingat-ingat peristiwa apa saja yang terjadi padaku sepanjang tahun-tahun yang dikenang itu.

Sebenarnya—gara-gara acara itu—ada juga sedikit godaan untuk berkomentar mengenai perubahan dan pergeseran fundamental yang terjadi pada bentang sosial budaya dalam dekade 2000-an. Namun karena ternyata akhir minggu ini hanya entri yang kuhasilkan, kurasa tidak pada tempatnya aku menyiksa hatiku sendiri seraya membuang-buang energi mental yang sangat berharga. Lebih penting kucatat di sini, hari ini aku agak brutal karena menyikat mie instan banyak-banyak. Kini ketika kutimpa bandrek, langsung lambungku berontak membuatku bersendawa.

Masih mau bicara mengenai kemarau? Pagi ini aku mengumpulkan daun-daun bambu kering, kutumpuk jadi satu dan kubakar. Cepat sekali mereka menjadi arang saking keringnya. Tidak hanya itu, tumpukan di seberang jalan pun kusulut, mengakibatkan pemandangan menghitam yang menyedihkan dan terkesan misterius. Sambil aku menulis ini, Sopuyan sibuk aja mainan BBM mencoba mengajakku mengobrol mengenai proposal disertasi. Sebenarnya kasihan juga dia. Siapa tahu kalau aku berbuat baik dengan menanggapinya, aku akan mendapat balasan yang baik pula.

Sebaliknya, aku sedang merasa seperti ingin bertekad untuk mainan Kemacangondrongan hahaha. Jadi ini semua mainan? Apalagi kalau bukan? Ada yang berkata anak laki-laki tidak pernah beranjak dewasa, mereka hanya beranjak tua. Aku yang selalu sok serius ini sebenarnya agak tersinggung pada kata-kata ini, meski—berbicara mengenai serius—kurasa Herbert jauh lebih mengerikan. Uah, mengingatnya saja sudah seperti sakit kepalaku, sedangkan ia sudah gondrong di samping-samping dan belakangnya, berkeringat begini. Atasnya sudah tidak ada, yang mana sebenarnya alasan yang cukup kuat untuk serius berdoktor.

Malam ini aku tidak mau sok serius atau yang semacamnya. Malam ini aku ingin bermain, bersenang-senang, meski itu harus kulakukan seorang diri. Aku sudah cukup terlatih melakukannya. Bermain, bersenang-senang seorang diri—biasanya berdua saja dengan diriku sendiri, terkadang bertiga dengan masa laluku, atau berempat dengan masa lalu kami. Masa depan sangat jarang kami ajak, karena ia sebenarnya TIDAK ADA! Itu seperti memutar kepala! Itu seperti menghadapkan kepala searah dengan menghadapnya bongkah-bongkah pantat—dan itu menyeramkan!

Malam ini, aku tidak mau ada apapun yang menyeramkan, bahkan selintas pikiran sekalipun. Sungguh remeh dan patut dilecehkan siapapun yang terpikir mengenai limbo dan menerapkan pada situasinya sendiri. Daripada limbo lebih baik Limbong—semacam David Limbong begitu dengan barel-barelnya, nongkrong-nongkrongnya, seperti yang biasa kulakukan dahulu. Aku memang berada dalam bisnis yang sepi. Sepi bagiku ibarat air akuarium bagi ikan mas koki. Aku hidup di dalamnya sampai aku tidak tahu bahwa ia ada, sampai kusangka yang ada hanya aku dan diriku sendiri.

Friday, September 18, 2015

Monogami itu Nama Sejenis Kayu, 'kan?


Dengan berakhirnya minggu ini, maka genaplah sepanjang minggu aku tidak ke mana-mana kecuali ke kampus. Itulah jarak dan tujuan bepergian—demikian pula rutinitas—yang masih sanggup dipikul oleh badanku, terutama di tengah-tengah musim kemarau yang rasa-rasanya seperti takkan berakhir. Alhamdulillah sepanjang minggu ini tidak ada keluhan fisik yang cukup berarti, kecuali tadi malam tiba-tiba kepalaku pusing dan—ketika kubaringkan tubuhku—jantungku berdebar-debar. Tidak bisa lain, itu karena aku mengonsumsi CDR dua hari berturut-turut.


Meski harus kuakui dua mangkuk soto ayam Hermina terakhir terasa jauh lebih enak dibandingkan kali pertama aku merasakannya, dan lumpia isi labu siamnya juga bolehlah disebut, Insya Allah, tidak ingin lagi aku mencicipinya untuk alasan apapun. Biarlah seperti ratusan mungkin ribuan hari sebelumnya aku melewatinya begitu saja tanpa pernah melirik. Biarlah pula hari-hari berlalu tanpa terasa, dengan penuh keselamatan dan keberkahan, hingga kemarau nan perkasa menyerahkannya pada hari-hari penuh titik-titik air, awan gelap menggantung yang menghembuskan udara hujan nan menyegarkan.

Namun untuk sementara ini, marilah jalani hari-hari kemarau perkasa ini dengan rendah hati, senantiasa mengakui kelemahan diri, badan dan jiwa. Biarlah kelak—yang mungkin tidak akan lebih dari beberapa minggu saja, cukup jari-jari dari satu tangan saja bahkan kurang dari itu—akan kubaca-baca lagi entri-entri ini sambil berusaha mengingat-ingat seperti apa rasanya menjalani hari-hari ini, sedangkan badan terasa sejuk belaka dan mata terpejam-pejam menahan kantuk. Semua ada waktunya, sekehendakNya—dan memang waktu terasa perkasa sekali sampai sementara orang merasa perlu untuk memberikan perumpamaan ilahiah terhadapnya.

Bahkan Allah sering sekali bersumpah dengan waktu! Sementara itu, Andre Novan al-Fatih seakan takjub demi menyadari betapa hamba masuk surga semata karena kasih-sayangNya dan sekali-kali tidak karena amalnya. Mungkin karena penghambaanku compang-camping maka aku bergantung sekali pada kata-kata ini. Apa lagi yang dapat hamba harapkan selain belas kasihanNya? Tidak juga karena aku menipu diri sendiri dengan khayalan bahwa Allah akan memaklumi “kenakalan-kenakalan”-ku. Tidak! Naudzubillah! Sudah pada tempatnya jika hamba sahaya hina-dina berlumur dosa dan kedurhakaan merasa malu akan dirinya sendiri. Sudah seharusnya!

Diri? Diri-rendah, ada juga. Diri-rendah menjadi nirdiri pun semata-mata karena kasih-sayangNya. Itulah sebabnya, tidak ada lain yang lebih ingin kulakukan saat ini daripada mandi air dingin, semoga membawa kesegaran dan kesehatan lahir batin. Besok—mungkin setelah bertemu dengan Bang Hendry Drajat Muslim—aku akan beres-beres rumah. Bersih-bersih rumah, bersih-bersih badan, bersih-bersih pikiran. Nyaman. Nikmat. Aamiin. Bang Hendry kenapa ya ingin bertemu denganku? Ia selalu mengatakan ingin membicarakan tentang klandestin, oleh itu pembicaraannya pun mesti klandestin.

Mungkin benar juga kata Sopuyan. Jika aku berkumpul dengan orang-orang ini terus, bisa-bisa semakin menjauh aku dari rencanaku melanjutkan studi doktoral—sedangkan jika dengan Sopuyan, itu tok pikirannya. Ia mendesakku untuk menemaninya ke Wellington, karena tidak mungkin Sessy ikut dengannya. Ini pun ada benarnya. Setua ini, membayangkan diriku sendiri di negeri orang cukup membuat berjengit juga. Terlebih jika Adik bisa berangkat bersama. Mungkin dengan begitu hatiku akan jauh lebih besar.

Ya, aku sudah kelelahan—untuk tidak mengatakan muak—berurusan dengan Pancasila dan orang-orang alfa ini. Aku memang tidak pernah terlalu suka pada mereka, dan mengerjakan sesuatu yang tidak disukai bisa sangat melelahkan. Mungkin aku memang butuh menyingkir barang sejenak. [berapa jenak?] Ini sudah seminggu penuh. Mari kita lihat saja bagaimana kugunakan Sabtu dan Mingguku besok ini. Akankah menghasilkan sesuatu yang mungkin dapat menjadi alasan untuk menyingkir barang beberapa jenak, ataukah entri Kemacangondrongan lagi saja hasilnya?

Thursday, September 17, 2015

Kenangan Mematung di Bawah Lampu Jalan


Dengan mengemut Teman Nelayan rasa Mandarin dan Jahe, jarang-jarang aku menulis entri di malam Jumat Kliwon begini—terlebih jika ditemani Penelope. Bukan, bukan Penelope Cruz. Tahu tidak apa yang paling tidak kusukai dari Penelope Cruz? Ya, memang tidak ada satupun yang kusukai mengenainya—namun ada yang sangat tidak kusukai, yaitu bentuk cuping telinganya! Akhirnya aku tidak suka siapapun, laki-laki maupun perempuan, yang cuping telinganya seperti itu. It’s a big-big turn off.


Penelope pun telah berlalu, digantikan oleh Burung Mekanik Kecil. Aku tidak akan pernah ingin melupakanmu, terutama karena—entah mengapa—Ibu sangat menyukaimu. Aku mengetik di malam Jumat Kliwon yang udaranya terasa menggantung berat. Pernahkah aku mengalami yang seperti ini, atau lebih buruk dari ini? Apapun itu, Melodi Kecil ini cukuplah untuk membuat rasa hatiku mengapung, setidaknya melayang. Melodi Kecil dari masa kecil, di mana hidup seperti keran air berwarna merah marun cenderung kecoklatan. Seperti itulah.

Mengapa berkejar-kejaran? Mengapa terasa cepat sekali berlalu, kalian? Mengapa seperti ada yang bersiul di kejauhan? Ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang umum diajukan orang di malam Jumat Kliwon seperti ini. Mungkin sebaiknya aku menyeduh secangkir bandrek lebih dulu. Konon jahe baik untuk menjaga daya tahan tubuh, namun aku yakin yang terbaik—dan yang paling kubutuhkan kini—adalah berolahraga! Denganmu, Hidupku—meski engkau sedang tidur gelisah—aku merasa aman, tenang dan nyaman seperti ilalang kering dihembus angin kemarau di sepanjang landasan pacu.

Demikianlah maka secangkir bandrek disambut pergantian titinada dari Lagu Pujian untuk Cinta, sebelum memudar pergi. Cinta-cinta yang sanggup memeras air mata, seperti seorang pencuci piring memeras busa sabun dari sabut pencuci piring—iaitu, cinta ibu pada anak-anaknya, cinta Rasulullah SAW pada umatnya, Cinta Sang Pencipta pada ciptaanNya. Seandainya Ada Musim Semi Bernyanyi mengiringi cinta yang kautahu pasti palsu, itu pun takkan sanggup memeras sabut cuci sampai habis air dan busa sabunnya.

Sampai digeletakkan saja itu di wadah plastik, sampai dibiarkan saja itu kering oleh beratnya hawa musim panas, kautahu pasti cintamu palsu. Pada ketika itulah Nelayan-nelayan Mutiara mengayuh sampan-sampan mereka lambat-lambat, seakan menyesali, seakan dirundung malunya kepalsuan cinta—meski kemaluan dan kemaluan belum saling bertemu. [atau karena itukah kemaluan-kemaluan tidak bertemu?] Inilah elusan ragu-ragu pada kepala durjana, sedang elusan itu ragu karena memendam cinta—cinta yang masih terbagi antara kehendak alam dan kehendak diri!

Uah, meski hapsicord digantikan piano, takkan hilang kecap-kecap rasa spaghetti haluoleo menemani Janji Seorang Pedagang Telur. Dari semua narasi, mengapa yang kuingat hanya perbuatan baik berupa membantu melepaskan beban anjing jantan yang tengah birahi, dengan mengonani penisnya? Lalu apa bedanya dengan perbuatan Dedy Nurhidayat, S.H., ketika itu belum M.Kn. terhadap Bule, sedangkan bujang di gudang Babe Faishal pun diusir gara-gara tertangkap basah sedang onani?! Aku dapat merasakannya, kemaluan itu, seperti kemaluanku sendiri.

Inilah cara melukis termurah! Tempo hari sempat juga kupandang-pandangi manikin dan berbagai perabotan lukis lainnya di Toko Gunung Agung Margo City—Ya as-Salaam mahalnya. Aku bukan Dr. Belinda Rosalina yang punya hotel-hotel Amaroosa, yang bisa mendisain suite-suite—bahkan mendisain brosur atau sampul buklet saja aku tak mau lagi melakukannya. Begitulah adanya, Dik Fabian Rahim. Jika saja aku secantik mawar, mungkin aku lebih suka melukis dengan teknik-teknik terkini. Namun karena aku sekantung semar, maka aku menulis entri.

Wassalam ini hitam begini

Saturday, September 12, 2015

Persembahan Jariah Pincang, Buntung


Entah bagaimana caranya, ["entah bagaimana caranya" sering sekali kugunakan ketika aku harus mengungkapkan perasaan hatiku, mungkin karena aku seorang fatalis eksibisionistik] ketika aku tengah menyiapkan suasana hati untuk mengetik entri ini, terpikir olehku, jangan-jangan aku sudah tidak sanggup menghasilkan apapun yang lebih serius dari entri-entri konyol ini. Suatu pikiran yang mengerikan, meski entah mengapa, seperti biasa, ada terbersit perasaan tidak peduli—perasaan pura-pura panik padahal biasa saja. Entah bagaimana caranya, entah sejak kapan aku menjadi fatalis seperti ini.


Entri ini terutama adalah mengenai musim kemarau raya, kemarau yang gagah perkasa. Setelah Bapak menunjukkan, baru kuperhatikan bahwa daun-daun bambu di depan rumah tertunduk kering begitu. Cantik juga menambahi bahwa yang entah di mana itu malahan lebih parah daripada yang di depan rumah. Aku pasti sibuk sekali beberapa waktu terakhir ini, sampai hal sedemikian penting luput dari pengamatanku. Ini adalah El Niño yang hampir sama, atau bahkan lebih kuat dari El Niño pada 1997.

Apa yang kuingat darinya? Memasuki semester ketigaku di FHUI, sayup-sayup memang teringat olehku hari-hari panjang yang panas, malam-malam yang berpeluh keringat, angin yang menerbangkan debu, dan tentu saja bencana kebakaran hutan hebat yang kali pertama kuamati dalam hidupku. Musim kemarau, siapa yang menyukainya, tetapi siapa yang berani terang-terangan mengatakan tidak suka padanya. Aku hanya bisa menghela nafas sambil membumbungkan harapan-harapan, namun terang-terangan mencacinya, memang aku ini siapa? El Niño yang perkasa, konon kabarnya seorang diri meruntuhkan peradaban Maya.

Jika pun ada yang kulakukan, mungkin ia kujadikan alasan mengapa kesehatanku memburuk. Alhamdulillah, periksa darah lengkap menunjukkan hasil yang baik. Melegakan namun tidak menjelaskan, sehingga Mas Aru Ariadno menyuruhku USG abdomen. Di sini saja kuluapkan betapa aku tidak suka dokter, rumah sakit dan obat. Siapa juga yang suka? Satu-satunya hal yang memberatiku untuk melakukan USG abdomen ini adalah biayanya, meski 80 persen sudah ditalangi oleh asuransi Bintang Medika dari Ikatan Alumni Teknik Informatika ITB.

Terlepas dari apapun, aku lebih suka membicarakan mengenai Sang Kemarau nan Perkasa. Aku lebih suka menghabiskan waktuku mengaguminya, mengagumi Penciptanya. Jika Kemarau saja dapat seperkasa ini, betapatah Penciptanya! Aku tidak bisa memastikan apakah kemarau pada 2002 itu sama perkasanya dengan 2015 ini. Hanya saja, sungguh membekas olehku harap-harap cemas menunggu adzan Ashar, di bekas kamar kami, di pavilyun. Selain shalatnya itu sendiri, lingsirnya matahari ke ufuk barat seakan-akan mengangkat sedikit beban, menghapus peluh.

Pada saat seperti itulah, aku biasa mendekat-dekat pada Ibu yang sedang memberi makan beberapa belas kucing dengan isper, terkadang knalpot. Cuaca yang sudah ramah, keteduhan yang diberikan Ibu hanya dengan berdekat-dekat dengannya. Ah, itu sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sekarang Ibu sudah jauh lebih sepuh dari ketika itu. Pada saat itu, Ibu baru saja beranjak sepuh, meninggalkan kemudaperkasaannya. Sepuluh tahun lebih kemudian, apa yang sudah dapat kulakukan bagi Ibu yang sudah sepenuhnya memasuki usia sepuh?

Medoakan Ibu setiap habis shalat fardhu saja kulakukan seadanya, seringkali tanpa hati yang hadir, tanpa sedikitpun usaha untuk menghadirkan wajah Ibu dalam doa itu. Shalatku pun kurasa belum beranjak jauh, atau justru lebih buruk dari sepuluh tahunan yang lalu. Naudzubillah. Sepuluh tahunan yang lalu, kini pun aku bertemu kembali dengan Ibnul Qayyim dengan perumpamaan beliau mengenai shalat yang tidak khusyuk, bagaikan mempersembahkan jariah atau hamba sahaya perempuan yang buruk rupa, pincang lagi buntung kepada Sang Raja.

Monday, September 07, 2015

Engran Sarapan Ketiga [Ya Salam Kunonya]


Seperti minggu lalu, Senin pagi ini pun aku mengawaki battlestation-ku. [battle ‘pala lu adem] Bedanya, hari ini tidak berpuasa, maka pagi ini aku sarapan di ndalemnya Bude Ning. Sarapannya terdiri dari sedikit nasi, dua potong kentang semur, sesendok tumis buncis dan tumis sardencis. Adanya saya bisa sarapan di ndalemnya Bude Ning itu, ada tape Bondowoso. Tape itu kagem Bapak, sedangkan Bapak sepertinya sedang enggan tindak-tindak. Jadilah aku menjemput tape sebesek itu dan mengantarkannya ke Jalan Radio, Insya Allah, agak sebentar ini.

Sepanjang perjalanan mencongklang Pario terjadi perdebatan batin. Apakah aku langsung ke Jalan Radio atau mampir dulu ke STR. Akhirnya kuputuskan untuk mampir dengan tujuan sekadar mendapatkan cerita-cerita baru dari Takwa, siapa tahu menjadi tambahan amunisi. Sudah jam sepuluh lewat dan Pak Dirut belum kelihatan. Kalaupun ternyata hari ini dia tidak muncul, aku bersyukur sudah memutuskan untuk mampir di STR, karena battlestation-ku di sini betapa permainya. Dengan lantai yang tertutup karpet, rasanya hampir seperti loteng belajar MGSoG.

Entah bagaimana caranya, tadi waktu sarapan di ndalemnya Bude Ning sampai lupa minum. Akhirnya ketika melalui pintu perlintasan rel Pondok Cina aku mampir di gerobak rokok beli Aqua. Mampir lagi di depan kantin RIK pasang penyumbat telinga, berhenti lagi di depan parkiran mesjid untuk makan sebutir Teman Nelayan, sampai akhirnya mengantri bensin sebelum Deptan. Apapun itu, sekarang aku di battlestation-ku sedangkan di sisi X450C sebentuk mug porselin bertuliskan “Gazz” berisi teh Tong Tji hangat—sedangkan di telingaku mengalun Jejak-jejak Cinta.

Tadi ketika melalui Plaza Eleos [awas, bukan “eloes” ya...] sempat terlintas sedikit mengenainya. Uah, lagu ini siakle betul! Lirik dan melodinya seakan sepakat bekerja sama untuk melembekkan hati. Ehsikampret Winamp shuffle ini ternyata juga ikut-ikutan berkonspirasi dengan menyusulkan Sebuah Rumah bukan Sebuah Rumah—karena orang Indonesia tidak membedakan antara house dengan home. House ya harus home. Hanya itu guna satu-satunya. [Bagaimana dengan rumah pemotongan hewan, rumah sakit, rumah makan?] Uah, bisa jadi entri gak makna nih kalau diterus-teruskan begini.

Seselesainya entri ini, kalau belum ada sahutan dari Takwa, ada baiknya aku mulai mencari Engran. Astaga, ternyata sekarang sudah sangat sulit mencari Engran. Iya lah. Kurasa jaman keemasannya adalah akhir ’70-an, hampir sama dengan jaman keemasan lagu-lagu yang mengalun-alun di telingaku ini. Pada saat itu, Pak Harto tengah berada pada usia 50-an, seperti Pak Jokowi sekarang. Ya, jaman memang sudah berubah jauh. Aku generasi ’90-an. Togar generasi ’00-an. Mahasiswa-mahasiswaku kini generasi ’10-an. Khairaditta dan Faw generasi ’20-an, Insya Allah.

Ya sudahlah, daripada Arjan Brass terus meratap memanggil-manggil Leony, baik dilanjutkan saja dengan... Quiereme Mucho oleh Tante Connie! Namun sebelum itu ada baiknya jika tehku ditambahi air panas lagi. Ketika aku ke pantri tadi ada bungkus Goodday Chococino yang tidak masuk ke dalam keranjang sampah, salah satu hal yang Insya Allah sudah berhenti menjadi bagian dari hidupku, Insya Allah sampai ia berakhir. Semoga semakin banyak kebiasaan buruk yang berhenti menjadi bagian dari hidupku sampai akhirnya.

Bagaimana kalau sampai lohor Takwa tidak muncul juga. Ya tidak apa-apa, Insya Allah aku langsung saja lanjut ke Jalan Radio. Semoga matahari sudi menyembunyikan diri agak sebentar siang ini. Setua apapun aku, meski sudah seperti bapak-bapak seperti kata Mas Andik tadi, tetap saja aku Boni jika bertemu dengan Bude Ning, bersama Bapak dan Ibu. Begitu itulah hidup. Begitu jugalah mungkin dahulu Pakde Binto almarhum dan Pakde Lentu dengan Akung Uti.

Sunday, September 06, 2015

Suatu Entri [Nyaris] Tanpa Masa Lalu


Pertama-tama, baiklah aku memuji Tuhanku dan berterima-kasih kepadaNya atas rasa nyaman yang tengah kurasakan kini. Demikianlah aku, duduk menghadap ke timur, menghadapi Asus X450C di atas meja komputer yang mini lagi bergoyang-goyang ini. [betapalah ia akan menahan beban monitor CRT tempo doeloe] Apapun itu, tidak akan kubiarkan merusak perasaan nyamanku malam ini, meski koleksi Richard Clayderman ini tidak seberapa endeus, meski namanya Romantic Melodies. Tetap saja aku mengetik-ngetik untuk menyenangkan hatiku sendiri.


Bahkan Bandrek Xtragin plus Jahe Merah saja terasa nyaman malam ini, sedangkan makan malamku adalah Nasi Karinya Loteriwa masih ditambah burger ikan. Tadi sebenarnya sudah minum es teh manis yang ngakunya Loteriwa Tea. Mungkin karena itulah, seharian ini aku terlalu banyak minum teh kurasa. Maka bandrek dengan jahe merah ini tidak ada salahnya. Maha Suci Allah. Jika perasaan hati dan badanku seperti ini, rasanya aku bisa melakukan apapun. Rasa-rasanya, Negeri Awan Putihnya orang-orang Maori pun sanggup kusambangi.

Malam ini jangankan masa lalu, bercerita mengenai diriku sendiri saja terasa malas. Apa ini berarti aku harus bercerita mengenai masa depan, angan-angan, cita-cita? Masih adakah cita-cita bagi seseorang yang sudah hidup selama empat puluh tahun penanggalan bulan? Masih adakah yang sanggup menarik minatnya? Sementara ada saja orang yang cukup longgar waktu, tenaga dan perhatiannya untuk mengamati jam tangan Bapak Setya Novanto, yang ternyata sama dengan jam tangan Jenderal Moeldoko. Aku pun baru tahu bahwa Pak Moeldoko konon pernah membanting jam tangannya itu.

Jadi, kata Bapak yang menulis mengenai jam tangan kedua bapak-bapak itu, moge (motor gede) pun sudah tidak memadai sebagai lambang gengsi, karena yang bisa punya banyak. Nah, ini ada jam tangan yang sengaja diproduksi sedikit agar pemiliknya merasa eksklusif. Sedangkan aku hanya ingin meningkat rumah. Ini saja mungkin tidak akan terjadi karena rumah yang akan kutingkat bukan rumahku. Lalu, apakah aku harus punya rumah? Atas namaku sendiri? Atau untuk anakku Fathia Rizqy Khairani, kubuatkan rumah begitu, dengan SHM atas namanya?

Aku malu pada kelomang kalau begitu. Kelomang saja, kurasa, tidak pernah membuatkan rumah untuk anak-anaknya. Ia percaya begitu saja kepada Allah Sang Pemurah yang akan begitu saja memberikan rumah untuk anak-anaknya. Apalagi kepada Cipto Junaedy. Ah, ia sekadar mencari uang, sama sepertiku. Pancasila? Masyarakat Pancasila? Aku harus mempancasilakan oom-oom yang masih suka main formasi-formasian membentuk angka di bawah terik matahari? Tuhan beri hamba kekuatan. Mungkin tinggal Negeri Awan Putih itu yang bisa menjadi cita-citaku.

Tidak juga. Ternyata masih ada beberapa buku [tentang agama. Kalau tentang segala macam lebih banyak lagi] yang belum kubaca secara patut. Buku-buku ini seharusnya istimewa, seperti kotbahku pada Togar agak seminggu lalu. Buku-buku ini seharusnya seperti teman yang saleh, yang Insya Allah akan membuat kita terpengaruh kesalehannya. Daripada telfon cerdik berinternet, kurasa buku-buku ini jauh lebih banyak manfaatnya, meski dalam telfon itu ada juga audio Quran beserta terjemahan Bahasa Indonesianya sekali.

Aha, ini dia! Jadi kapan kubeli Quran yang besar dan dipotong-potong kata per kata itu? Membaca di telfon membuat mata pedas, demikian juga membaca Quran saku yang sebenarnya ringkas itu. Kekurangan terbesar dari Quran besar itu tentu saja ukurannya yang besar, tidak praktis dibawa ke mana-mana. [halah, macam ke mana-mana baca Quran saja. Macam mau ke mana-mana] Hei, dengan perasaan hati dan badan seperti sekarang ini, kurasa aku berani ke mana-mana.

Saturday, September 05, 2015

Pertunjukan Harus Tetap Berlangsung!


Aduhai, entri terakhir adalah dari Senin sedangkan sekarang adalah hari terakhir minggu ini. [Bilakah suatu minggu diawali, pada Minggu atau Senin?] Bila Senin itu aku menulis di lantai 2 STR, pagi ini aku menulis di lantai 4 Gedung D FHUI. Jika kutolehkan kepalaku ke arah kiri dan memandang lurus ke selatan, bukan lagi puncak-puncak pepohonan—dan kaki langit yang tak-tampak karenanya—yang kelihatan, melainkan bangunan-bangunan tinggi! Awal 2006 di arah yang sama hanya terlihat ujung Depok Town Square yang sok cerdik itu.


Kini di belakangnya, ke arah barat sudah berdiri apartemen entah berapa lantai. Lebih ke barat lagi, di dalam lingkungan Universitas Indonesia ada bangunan the Development of the World Class University. (sic!) Latar depan pemandangan ini, yaitu di sebelah selatan Masjid Ukhuwah Islamiyah terdapat bangunan mangkrak yang kalau tidak salah adalah sekolah seni yang tidak jadi. Dari arah selatan, jika pandangan diputar ke arah kiri atau timur, maka akan tampak Hotel Margo yang berdiri di bekas lapangan futsal Margo City—yang tampaknya tidak laku.

Hei, bahkan Gunadarma Pondok Cina pun kini punya bangunan tinggi! Tidak usah jauh-jauh. Aku masih ingat dari jendela selatan JHP ini dahulu aku masih bisa memandangi rumpun bambu di belakang mesjid yang lumayan rimbunnya. Lalu ada hutan Jati Super Monfori yang ditanam di tanah kosong tempatku dulu mencetak beberapa gol. Dulu. Selalu saja dulu, sedang yang kubicarakan ini adalah dari sepuluh tahun lalu ketika dampak perubahan iklim belum seterasa ini. [atau ini sekadar aku yang sudah bertambah tua sepuluh tahun?]

Bukan aku tidak percaya perubahan iklim, Bang Andri. Bukan begitu. Aku percaya perubahan iklim sedang terjadi. Aku termasuk golongan orang-orang yang bersikap, “tentu saja begitu,” bukan yang “ah, mustahil—secara aku jadi orang fatalistik-eskatologik. Nah, sesuai dengannya pula, yang aku tidak percaya adalah jika perubahan iklim ini terjadi semata karena sebab-sebab antropogenik. Iklim bertambah panas karena manusia terlalu banyak membakar bahan bakar fosil? Berikan padaku patah! Sampai kapan kalian manusia masih akan berpikir bahwa kalian bisa mengendalikan apapun?

Mengapa aku jadi bicara mengenai bangunan-bangunan tinggi dan perubahan iklim, padahal niat awalku adalah merekam apa-apa yang terjadi sepanjang minggu pertama Semester Gasal 2015/2016 ini? Minggu pertama dari 16 (enam belas) minggu, begitu kata Cantik tadi malam. Baiklah kucatat di sini, Rabu dan Kamis kemarin aku demam meriang panas, mirip dengan minggu lalu ketika subuh-subuh aku mengantar Cantik ke Tapsiun Depok Lama gara-gara ia pengen maen ke Pulau Pari, (lagi?!) kali itu bersama Riza Lestari.

Namun jika dirasa-rasa memang untuk apa itu semua dicatat. Cukuplah segala sesuatu yang telah berlalu disyukuri kepadaNya dan dimohonkan ampunanNya. Seperti sekarang ini, aku mengetik telanjang dada meskipun hanya kedua ketiakku yang terasa basah. [sebenarnya aku berharap agak sekujur dada dan punggung bagian atas, setidaknya, basah. Namun bagaimana bisa jika kerjaku sepagian ini hanya duduk?] Entah ilham dari mana, pagi ini aku mengetik-ngetik sambil mendengarkan lagu-lagu Queen dari Pukulan Terbesar Pertama dan Keduanya.

Jauh lebih patut dicatat, jangan sampai kita tertipu, terlena mencari kesenangan, mencoba menyenang-nyenangkan diri sendiri karena merasa perlu jeda dari penatnya hidup. Ini saja sudah senang, mengetik-ngetik begini, maka cukup dan cukupkanlah! Puji Tuhan, sungguh mengagumkan Cantik yang bisa bersetia dengan shalat dhuhanya. Aku setia dengan apaku? Wiridku sehabis shalat saja asal-asalan, apalagi shalat sunat rawatibnya. Hidup memang penat dan umur memang sudah cukup banyak untuk lebih sering dan lama merasa penat. Terima saja semua itu dengan Syukrulillah. Aamiin.

Tepat Betul Lima Ratus Lima Puluh!

Monday, August 31, 2015

Ini tentang Mesjid atau Workstation, sih?


Daripada kelamaan ya sudah aku mulai ketak-ketik saja. Daripada kelamaan pengkondisian malah tidak kunjung terkondisi. Akhirnya aku mendapatkan sebuah kursi untuk mejaku yang berada di emperan ruang Dirut Imani Prima. Ini tempat kerja yang Alhamdulillah sangat enak. Senin pagi ini aku langsung menempati posku dan langsung enak, terlebih dengan kursi yang sepertinya sudah cukup kukenal ini. Nyaman. Kuliah pembuka Hukum Administrasi Daerah seperti biasa mari kita serahkan pada ahli-ahlinya saja, baik pagi maupun sore.


Entri ini—sudah kuniatkan sejak berjalan pulang dari shalat lohor tadi—akan mengenai dua masjid, yakni al-Barkah dan Baitul Makmur. Barusan Gobang tiba-tiba menyela dan mengajak ngobrol mengenai perijinan perikanan, jadi aku lupa apa yang ingin kutulis mengenai kedua mesjid itu. Hei, nanti dulu, ini kurasa entri pertama yang kutulis di STR sini. Padahal sudah agak beberapa tahun [tiga tahun?!] aku mondar-mandir ke sini, dimulai dengan persiapan reuni 20 tahun Paradua di 2013, dilanjutkan dengan urusan pengadaan sepanjang 2014, sampai akhirnya berkantor di sini 2015 ini.

Al-Barkah dan Baitul Makmur, keduanya mesjid betawi NU. Nyaman. Ketika masih di Jeruk Purut, sungguh nyaman rasanya berjalan yang tidak seberapa jauh itu ke al-Barkah tiap kali adzan berkumandang. Bahkan kata Mentor Riauwan tinggal jungkir. Sekarang di STR ini untuk menuju Baitul Makmur perjuangannya jauh lebih berat, terutama di hari-hari puncak musim kemarau, terutama ketika sedang berpuasa begini. Hamba berdoa kepada Allah semoga sekiranya ada kebaikan di dalamnya, dicatatlah kiranya sebagai kebaikan sesempurna mungkin. Hamba berlindung kepadaMu dari perbuatan yang sia-sia.

Dari al-Barkah ke Baitul Makmur, yang penting berkah dulu baru makmur datang kemudian. Aamiin Yaa Rabbal’alamin. Ashar masih kira-kira dua jam lagi. Semoga Allah mengaruniakan kepada hamba badan yang sehat, iman yang teguh dan pikiran yang khusyu’ sehingga lurus niat hamba, mantap langkah hamba menuju Baitul Makmur untuk menunaikan shalat Ashar nanti. Dua jam ini, Insya Allah, aku dapat menghasilkan hal-hal yang jauh lebih berguna dari entri ini. [...bukan berarti entri-entri sedikit gunanya, ya. Emang iya sih]

Sungguh lucu rasanya siang hari terik begini mendengarkan The Only Love-nya Bee Gees, terlebih di sebuah workstation yang Alhamdulillah sungguh nyamannya. Dudukku memunggungi lalu-lalangnya orang, jadi Insya Allah kecillah godaan untuk melakukan hal-hal yang tidak berguna pada laptopku—seperti lihat-lihat pesbuk. Mengetak-ngetik entri begini ‘kan kelihatannya seperti mengetik betulan. Demikian juga kalau aku baca-baca bahkan Wikipedia. Lha wong Takwa saja kagum lihat aku baca-baca mengenai J. Edgar Hoover, meski pada waktu itu pun aku tidak tahu apa gunanya.

Ohiya, Pak Kimin tadi pas adzan Dhuhur menelepon minta dua kelas lagi untuk Pancasila. Kalau aku rakus bisa saja kuambil semua, tapi untuk apa? Bisa jadi tambahan hampir lima juta Rupiah sih untuk beberapa bulan ke depan, tetapi berarti capek sangat. Tidak! Ini bukan prioritasku. Prioritasku tetap sesegera mungkin membuat proposal. Bulan ini juga Insya Allah proposal itu sudah terkirim pada Jacinta Ruru. Sanggup? Bismillah, dengan workstation seasyik ini, siapa yang tidak sanggup. Aamiin.

Mungkin aku bisa mengetik-ngetik di sini sampai malam. Aku belum tahu. Sekarang saja aku belum ketemu Pak Hardi, agar aku tidak saben-saben ngerepotin Mbak Vivi. Namun prospek mengetik-ngetik atau membaca-baca di sini sampai jauh malam kurasa sangat menggoda. Bahkan I Came to Love You-nya Booker T Jones pun siang ini terasa cucok sekali. Dengan karpet di bawah kaki telanjangku, dengan sejuknya pendingin udara sentral, aku bahkan merasa ini hampir-hampir seperti ruang belajar di loteng Sekolah Tinggi Kepemerintahan Maastricht.

Wallahua'lam bishawab

Saturday, August 29, 2015

Aku Tidak Mungkin Terus Bila Tanpamu


Winamp boleh tetap klasik dengan skin klasik OceanGant pula, namun yang lainnya harus berubah. Mungkin karena sekarang aku punya teman, lagi. Malam ini sungguh gerahnya, kurasa setelah ini aku akan mandi air dingin. Semalam aku bahkan tidak bisa tidur sampai jam tiga pagi. Ketika kuputuskan untuk tidur di kamar belakang, aku terbangun sekitar dua jam kemudian dengan kaus oblong bersimbah keringat. Untunglah, dengan begitu aku tidak ketinggalan shalat Shubuh. Begitu.


Aku di sini saja. Ya, aku tidak beranjak. Aku diam di sini saja. Biarlah di masa laluku aku mengembara ke mana-mana, membiarkan keliaranku menjamah putri-putri malu, merebahkan mereka tidur. Namun sekarang aku di sini saja. Ya, karena aku mau di sini saja. Diam di sini saja, bersamamu. Tidak ada lagi yang kucari. Semua sudah kutemukan. Aku dan kau adalah sepasang bayi yang mencoba saling merawat. Adanya seperti ini, seperti inilah adanya.

Ketika terasa seperti nyastra, aku bisa apa? Aku hanya meluapkan apa yang memang sudah meluap-luap. Ketika dikelilingi, aku bisa apa? Apa karena gagasan-gagasan yang di luar kotak maka aku berhak dikelilingi? Apa aku mau? Mauku, aku dikelilingi oleh udara sore berangin sepoi di tengah padang rumput luas, memandang ke arah barat. Angin meniup rerumputan kering bersama bunga-bunganya sekali. Sepertinya musim kemarau, entah awal atau akhirnya. Jika bukan itu pun, tiada masalah bagiku.

Jika hujan pun, bisa tengah malam atau sore hari. Bisa di bawah hujan, dilindungi gelapnya bayang-bayang pepohonan. Basah dan basah sampai tidak bisa membedakan apanya yang basah, atau bisa juga sisa-sisa gerimis di sore hari menjimpit seutas cacing sedangkan mesjid terdekat mulai menyenandungkan shalawat. Dalam pada-pada seperti itu, aku kehabisan cinta karena aku tidak menggunakan dengan semestinya. Meski sekarang semua kembali ketika aku di sini saja, menghadap ke timur begini. Fajar belum menjelang.

Sisanya, adalah kelamnya rasia malam. Jahatnya malam yang menggelap merayap-rayap, bagai jari-jari dilhami birahi merayapi tubuh muda yang belum lagi dapat membedakan nafsu dan cinta. Hei, bahkan seorang begawan pun akan lungkrah jiwanya menghadapi ini! Lalu siapa kau? Lalu apa jadinya? Angkara-murka yang salah satu wajahnya hantu hitam? Syahwat kelamin yang geloranya lebih mengerikan dari gelegaknya angkara-murka? Keheningan hati yang tidak berani berpihak dalam menghadapi kenyataan hidup? Keberanian memihak kebenaran meski ada pada musuh?

Itulah sebabnya aku di sini saja. Setelah ini aku akan mandi air dingin, semoga tidak membuatku sakit. Telah kujelajahi dengan keingintahuan seekor anak anjing. Telah kukencingi meski seringnya aku mengencingi diriku sendiri. Telah kukalahkan meski seringnya aku sendiri yang kalah, sementara semua yang lainnya menang. Telah kutebah dada sendiri meski seringnya buah dada dengan puting-putingnya kuremas-remas, kupilin-pilin. Aku mau di sini saja. Aku mau terbaring seperti kecoa pada punggungnya. Kaki-kakiku kurentang-rentangkan, padahal sedang meregang nyawa.

Ini bukan sastra, Sayang. Ini sekadar karena aku seorang penampil, untuk tidak mengatakan mencari perhatian orang (MPO) —mengutip Pak Cecep Panpersi di suatu siang pada 2006. Sungguh aku tidak mengerti mengapa aku tidak begitu sistematis, padahal aku sekadar kecanduan cintamu. Aku ingin berjengit, aku ingin jijik, tapi aku lupa kuletakkan di mana otot penjengit itu, urat jijik itu. Kau memang... ah, sudahlah. Ini sekadar memulai dengan tujuh puluh sehingga mengakhirinya pun harus dengan tujuh enam. Begitu.

Wednesday, August 26, 2015

Anak Bocah Jungkir-balik Aneh-aneh


Meski Sekarang dan Selamanya lamat-lamat terdengar, tetap saja aku harus memulainya dengan sebuah entri ini. Tadi setelah menyapu, membersihkan debu-debu dan mengepel sedikit, aku terilhami menyeduh secangkir bandrek Xtragin sebagai persiapan membangun suasana hati. Eh, Cantik minta dipijetin pake minyak frangipani pula. Ya sudahlah, meski tetap saja mungkin tadi kumulai dengan sebuah entri juga. Namun ini adalah suatu peristiwa juga, setelah hampir setengah tahun lamanya, aku menyeduh lagi sesuatu dengan cangkir merah kecil Nescafé itu.


Satu Kesempatan Lagi adalah yang berikutnya, selalu membawa kenangan akhir-akhir kelas satu atau awal kelas dua esempe di Cimone, Tangerang. Akan tetapi, siang ini bukan waktunya mengenang apapun, meski Satu Langkah Lebih Dekat seakan menyeretku ke siang hari lainnya di musim kemarau lainnya pula, di pavilyun Yado II E4 akhir tahun delapan puluhan. Ada orang sampai membuat buku mengenainya. Lebih gila lagi, ada yang nekat menerbitkannya. Bagaimana hasil penjualannya? Buku memang semakin menyedihkan nasibnya akhir-akhir ini.

Sebelum memulai paragraf ini aku mules dulu tadi sambil menelusuri lagi jejak petualangan Supermarine Dan Forrester bersama Elaine Yarborough, salah satu bagian yang paling aku tidak suka dari kisah ini—sama seperti adegan ketika Taka memakaikan zirah Hirotaro kepada Nathan Algren. Sementara itu, Russell Hitchcock memberikan porsi cukup besar pada Graham Russell dalam Angin Keras, Keras, yang selalu mengingatkanku pada Januar Jean Merel Bruinier. Kenyataannya, memang dialah yang mengenalkanku pada Angin Keras, Keras ini.

Nah, kembali mengenai buku, ada dua nama disebut pagi ini, yakni Dani Miftahul Akhyar dan Nurkholisoh Ibnu Aman. Pada dasarnya, apapun yang dikatakan Takwa aku percaya. Entah mengapa bisa begitu, mungkin karena aku males repot saja. Tentu saja aku suka jika sampai ada buku-buku, dan entah mengapa aku yakin dua orang ini mampu melakukannya. Aku sendirian? Amboi... aku perlu membuat proposal baru. [Tidakkah sebaiknya kukontak dulu lagi Pak Adriaan? Atau kulakukan itu setelah proposalku siap?]

Uah, semuanya tidak ada artinya jika tidak segera punya ruang kerja yang kondusif. Terserah orang mau bilang apa, aku memang seniman gadungan. Dapatkah ruang ex-ICT itu masih kupakai, sampai kapan? Kubikel STR saja kurasa masih kurang kondusif, apalagi JHP. Teringatnya, jangan-jangan kubikel Keperdataan akan sekecil kubikel-kubikel di HAN. Uah, kemarin aku mengamatinya saja langsung tidak berselera. Itu terlalu sempit! Mejaku waktu di Babeh Feishol, atau yang kubeli sendiri di Jang Gobay, itu minimal.

Masiiih saja mengenai ruang kerja. Kurasa aku terobsesi dengannya. Namun sebenarnya ada lagi yang lebih menggairahkan. Dalam beberapa hari ini akan dimulailah Tahun Akademik baru 2015/2016, pada Semester Gasalnya. Amboi, semoga Allah mengaruniakan kesehatan lahir dan batin yang sempurna untuk menjalani semua kegiatan. Aamiin. Di situlah Kekuatan Cinta. Kurasa di dunia ini tidak ada lagi yang lebih kuat darinya. Harry Potter adalah buktinya. Jika bukan karena ibunya Lily Potter, mungkin dia tidak akan pernah menjadi horcrux.

Begitulah maka marah sebaiknya disimpan hanya bagi kemunkaran, kedurhakaan yang nyata kepada Allah. Selain itu, maka paduan atau berganti-ganti antara tidak peduli dan kasih sayang lebih baik. Lebih baik bagi diri sendiri, dan Insya Allah bagi dunia seisinya pula. Aamiin. Penjajahan jelas merupakan suatu kemunkaran, maka bolehlah kita murka kepadanya. Kenyataannya, cukup kepada hal ini sajalah kemarahan kuarahkan. Anak bocah mau jungkir-balik aneh-aneh terserah selama tidak bikin repot diriku sendiri.

Sunday, August 23, 2015

Mencium Matamu, Mendengarmu Mendesah


Omigod aku malas sekali menulis, padahal setidaknya ada satu, dua bahkan tiga tulisan yang harus kuselesaikan segera. Ini parah, maka kupaksakan di Minggu siang yang terik ini, menjelang tengah hari, keberondongkan saja kata-kata. Pokoknya menulis dulu meski hanya ketak-ketik, mana tahu dengan begini semangat menulis timbul sendiri. Cantik dan Anak Perempuannya sedang menjenguk tetangga di Bunda Margonda dan aku bersama Anak Gendut di kamar sebelah. Ditemani But Beautiful oleh Nat King Cole, aku mencoba membangun suasana hati.

Sudah kukatakan pada Takwa bahwa aku membutuhkan ruang kerja yang tenang dan damai di mana aku sampai dapat mendengar pikiran-pikiranku sendiri. Sekarang ini saja aku sudah mengkhayalkan, bahwa aku akan segera mendapatkannya. Jika aku benar-benar mendapatkannya, wow, dapat kubayangkan betapa produktifnya aku. Begini saja aku sudah cukup lancar memberondongkan kata-kata, terlebih bila kondisi itu sampai benar-benar terpenuhi. Entah rumah, entah apapun. Ruko misalnya, tidak masalah bagiku. Apapun itu sepanjang tersedia pojok sunyi, tenang dan damai, hanya untukku.

Memang bisaku hanya ini. Seberapa besar gunanya kebisaanku ini, dapatkah ia mengantarku untuk mewujudkan obsesiku, jika diingat-ingat memang memasygulkan. Maka lebih baik tidak usah diingat-ingat. Dikerjakan saja, dijalani. Nanti kalau aku tahu persis jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu, bisa jadi aku malah sombong, malah berbangga diri. Lebih baik begini, selalu merasa kecil tidak berarti. Terlebih bagiku yang memang terlahir sombong, begini lebih baik untuk kesehatan jiwa dan ragaku—meski masih bisa dibuat lebih baik lagi.

Minggu siang yang terik berangin ini, menjelang tengah hari, dihiasi oleh pengkhianatan Nat King Cole pada musik rasnya, dan selintas bau syringa putih dibawa angin lalu. Maha Suci Allah! Perasaan ini saja seharusnya sudah cukup untuk menciptakan suasana hati. Namun sepertinya aku salah. Ini bukan bau syringa putih. Ini bau parfum pelembut Downy karena aku mengetik pas di depan jendela, sedangkan di sebaliknya langsung adalah jemuran. Bau apa ini, ya?

Baru selesai satu kalimat dari paragraf sebelum ini, adzan Dhuhur berkumandang. Maka kusuruh Anak Gendut menghentikan permainan komputernya untuk segera mengambil wudhu. Lalu kami shalat berjamaah. Anak gendut ini, menurutku, sudah terlalu tua untuk terus-terusan main-main dalam shalatnya—tapi sudahlah. Aha, barusan aku mendengar penyemprot otomatis pengharum ruangan masih bekerja. Dari bunyinya, seharusnya masih berisi. Ah, aku memang suka harum-haruman. Ruang kerja yang sunyi, nyaman, tenang dan damai, harum pula... Uah, tidak ada lagi yang masih diinginkan seorang lelaki.

Kini perutku sudah terasa lapar. Beginilah jadinya jika sarapan bubur. Cepat lapar lagi. Setelah ini mungkin aku akan mengajak Anak Gendut pergi cari makan. [atau tidakkah sebaiknya kutelpon Bundanya dulu, mana tahu mereka sudah dalam perjalanan pulang] Makan pun mana enak kalau sendirian. Makan harus ada temannya, terlebih baik jika bisa makan sekeluarga. Makan apa ya enaknya? Masa Loteriwa lagi? Tadi malam aku baru coba menu baru di sana, namanya semacam Nasi Kari begitu.

Paragraf ini kutulis setelah matahari jauh tergelincir ke arah barat. Tak lama setelah kutulis paragraf sebelum ini, Cantik pulang. Maka pergilah kami berempat ke Es Tujuh Teler-teler di Ruko Waterpark GDC. Di sinilah kusadari betapa memang aku sedang sangat malas menulis—meskipun Tante Connie dari suaranya saja terdengar cantik, meski ia seperti Bunda Dorce, kata Cantik. Lucu sekali mengapa ada waktu-waktu seperti ini, mungkin karena aku tidak memiliki ruang kerja itu. Ah, tidak juga...

All the Best Connie Francis CD 2