Saturday, March 23, 2019

Kawa'iba Atraba ...'mBledus! [Terkesingkap]


Biasanya, sebelum menghadapi papan-kunci, lintasan pikiran berkebat-kebit berkesiuran. Beberapa lucu, selebihnya muram, terlebih badan linu-linu begini. Seperti tadi, begitu saja terpikir musikku menye, kopiku ginseng, rokok kretek ‘ku sudah lama tidak. Dari tahun-tahun yang lebih muda. Uah, begitu benar, sedang Salim Said saja sudah menuliskan kisah hidupnya sendiri. Ada yang beli, Pak? Bagaimana penjualannya? Maafkan saya membaca versi digitalnya, atau Bapak memang sudah menyerah? Memang begitu itulah, saya rasa, nasib barang yang sama kita cintai.


Buku. Dua orang muda, bahkan mungkin masih remaja. Keturunan Cina. Duduk berhadap-hadapan menunggu pesanan datang. Tidak saling bercakap-cakap. Mata-mata menatap lekat-lekat gawai masing-masing. Media sosial! Instakeparat! Astaga, yang terpampang menari-nari di hadapanku adalah hancurnya peradaban, kebudayaan, sedang belum pernah tegak berdiri apalagi menguasai. Sekali lagi, yang terasa adalah badan linu-linu. Jangankan menegakkan benang basah, menegakkan rayap sendiri saja sudah tidak sanggup. Setelah ini, yang akan kulakukan paling berbaring bergolek-golek sambil berharap badan enak dengan sendirinya.

Kebiasaan asal goblek begini, [istilah seseorang, yang kemungkinan besar dipinjamnya juga dari seseorang, semacam Bibi dan Cil yang gogoyangan. Anjing!] ternyata tidak berpengaruh banyak ketika tiba waktunya harus pura-pura bener kayak orang-orang. Nyatanya, tulisanku dimuat oleh The Conversation, dwibahasa pula! Dalam proses penyuntingan aku dipandu oleh Mbak Ika Krismantari yang sangat profesional dan menyenangkan. Mungkin aku harus berterima kasih juga kepada Arizha Tiara Mutia, yang entah dapat ide dari mana memintaku menulis mengenai Dwifungsi ABRI.

Wartawan. Seniman. Profesi-profesi yang kukagumi, mungkin sejak lama sekali. Adalah sekolahku keparat di Magelang itu yang menyesatkanku. Jika tidak mungkin sudah dari awal aku mengarahkan diriku menjadi wartawan atau seniman. Untung aku tidak mengarahkan diri ke situ, karena kedua profesi ini sudah kehilangan relevansinya di Abad ke-21 ini. [Mbak Ika bagaimana, Tiara bagaimana?] Itu hanya pendapatku pribadi saja. Mana tahu kenyataannya tidak begitu. Nyatanya Tiara magang di situ, mungkin di bawah bimbingan langsung Mbak Ika.

Wartawan. Songong. Sotoy. Ini saja bukan wartawan begitu. Selain itu aku tidak bisa. Sulit kubayangkan. Lebih mudah bagiku membandingkan antara Deni dan Nawi. Lantas yang model apa, yang canggih begitu, yang penuh dengan pernak-pernik. Tidak. Aku suka yang telanjang apa adanya. Itu berarti aku suka pada diriku sendiri. Untunglah istilah metroseksual sudah tidak terkenal. Jika sampai bertemu pencetusnya, kutempeleng bolak-balik maju-mundur pakai karet pentil! Menjual, jih! [a la Hamid Arif. Di sini kesombongan aristokratikku muncul]

Satu lagi, kebiasaan asal ngomyang [kalau ini lebih elit, dari Umar Kayam] sempat membuatku terkesiap melihat soal-soal sok logik sok analitik dari Tes Kemampuan Dasar Akademik, meski hasilnya ternyata aku tambah cerdas tujuh poin dari lima tahun lalu. Dan apakah harus kutampar Pak Ndul yang menghina Mas Toni dan sebangsanya, kurasa tidak juga. Aku saja yang kurang periksa. Dengan ini, kunyatakan seterbukanya kemaluan dan penyesalanku. [Bapak-tuhan ini entah mengapa terdengar menjengkelkan pagi ini. Salah sendiri]

Ini kembali menjadi eksibisionisme, dan tinggal satu paragraf lagi ini. Lelaki yang Kucintai. Terserah perempuan mana saja mencintai lelakinya yang mana saja, sekadar suka atau kagum juga boleh-boleh saja. Apakah ada yang kagum, suka bahkan cinta kepada Nawi, ya tidak apa-apa. Namun ini tidak akan menghalangiku untuk mengumpat, “Tolol!” dan mendiamkan semua yang patut diumpat begitu. Memang tolol. Mau apa. Biar saja. Memang dunia lebih baik diisi tolol-tolol ini, biar cepat bubar aku tidak peduli!

Saturday, March 16, 2019

Salmonella Semir. Bukan Selai Cokelat Kemir[i]


Kepada siapa harus kubertutur? Yang jelas tidak kepada papan-kunci ini. Tidak juga kepada layar cairan ini. Aku tidak bersama siapa-siapa. Aku sekadar duduk di meja makan ini mengetiki. Kalaupun pernah kulakukan yang seperti ini, pasti sudah lama sekali. Dan susu cokelat Ultra hangat ini, uah, sedapnya, sedang kakiku berselonjor ke kursi di seberangnya, sedang telingaku disumbat serenada cahaya bulan. Lhah bagaimana, ini serenada mengapa ada cahaya bulan. Tidakkah ini seharusnya nokturna jika demikian; atau kalau mau tetap serenada, cahaya matahari 'lah.


Biarlah kita tetap di sini sampai pagi menjelang. Uah, ini semua Amerika, dan betul, Prof. Mungkin aku bisa, namun aku tidak menginginkannya, maka aku tidak jadi! Aku tengah bersedih, kalau-kalau ada yang mau tahu. Rasanya seperti cinta bertepuk sebelah pantat. Tak hendak pula aku meragakannya. Bisa jadi ia sekadar kesepian. Adakah Bapak Ibu kesepian. Uah, aku masih harus menguji kemampuan dasar akademik dan penguasaan Bahasa Inggrisku, sementara koda ini, dengan terompet berpengedam ini, aduhai manisnya. Aku banyak mengeluh pagi ini.

Anak seorang pejuang kemerdekaan yang dibodoh-bodohkan, dan satunya lagi juga semacam itu. Ini lagi mengenai cahaya bulan, yang memang seringnya cantik. Jika demikian banyak kecantikan di sekeliling, mengapa harus mencaci, mengapa menyakiti. Mengapa tidak mencinta saja. [Eh, mengapa di tengah-tengah berubah begini, jadi kersen jambon dan bunga apel putih?!] Ketika cahaya bulan yang manis terlelap di puncak bukit, aduhasyik! Khayalan akan cinta. Seperti apa cinta Sarinah pada Kusno, apakah berbalas, apakah seperti gadis berpantat bahenol.

...dan lagi, dan lagi aku terjebak pada tiap saat memeriksa pratinjau. Ini pasti karena kurang cinta, kering kasih-sayang; bukan kering tempe. Uah, memang manis ini jerman-jerman. Mengingatnya aku berjengit. Haruskah kucoba, sedang Hadi nekat mencoba. Hei, kalian di sana semoga baik-baik saja semua, seperti Insya Allah aku pun akan baik-baik saja sekembalinya ke sana. Aku berani pelan bersenandung begini, bersonata emosional begini, karena aku di sini. Seabai-abainya, masih dekat. Masih tersentuh. Jika aku ketakutan. Jika aku kesepian.

Membayangkan ini di Kees Broekmanstraat atau sebangsanya, kengerian! Apalagi Uilenstede 79C. Tidak. Tidak ada yang sanggup, apapun. Bahkan aku curiga mau jerman-jerman mau hitam-hitam mau apapun tidak ada yang sanggup. Hanya Allah! Kurang ajar benar aku begitu padaNya. Ini Sabtu pagi yang aduhai anehnya. Pagi-pagi malah begini. Sabtu-sabtu malah sendiri. Syukur masih di sini, bayangkan di dinginnya Amsterdam atau bahkan hangatnya sekali. Ini masih mending. Aduhai Dalamnya Malam Ini! Apanya yang dalam?!

Jika empat puluh, empat belas, lantas digebuki, ya memang jijik. Sungguh malang nasibku. Kepada siapa aku harus meminta tolong, meminta belas-kasih. Tiada yang peduli. Tentu saja, selain yang Tidak Pantas Disebut di Sini, hanya ingatan-ingatan, kenangan-kenanganku sendiri yang sanggup menolongku. Itulah sebabnya aku menulisi. Kelak ketika terasa seperti ini, akan kubaca-baca lagi dan kukenangkan semua ini. Ini cinta meski tipis-tipis, walau lamat-lamat. Bagaikan selembar sarung tipis yang sudah rantas dari masa kecilmu, yang kembali lagi, menyamankanmu.

Astaga, ini entri tentang apa. Semoga suasana hatiku jauh, jauh lebih baik menjelang siang sampai malam nanti. Demikian juga badanku segar bugar. Apa yang hendak kuabadikan, sertifikasi dosen?! Aduhnehi! Sok nyeni, menertawakan diri sendiri, tidak ada yang lebih menyedihkan dari ini. Bagiku sendiri. Orang lain akan melihatnya memalukan. Aku sih tidak tahu malu. Daripada menelanjangi, lebih baik aku telanjang sendiri, mempertontonkan rayap mati dirongrong bisoprolol. Jika ini benar sanggup memperpanjang hidupku, biarlah rayap mati aku tidak peduli.

Monday, March 11, 2019

Entri Ketujuh yang Ditulis di Bagasnami


Hiya, akhirnya menulis entri. Dari semua prasyarat, yang terpenuhi hanya sejuk-mendayunya gesekan biolin, biola dan biolonselo; sedang udara panas di tepian badai, perut kembung setelah menyantap ketropak setengah bungkus, semua membuat suasana tidak mendukung untuk bercerdas-cerdas. Sopiwan baru memberitakan ia sudah bertemu Prof. Sri-Edi dan beliau menyambut gembira rancangan bab-bab disertasinya, sedang tadi malam aku menyemangati adikku untuk menulis disertasi saja di Universitas Islam Nusantara. Permalaikat dengan nama besar, ini masalah mutu diri!


Lantas ada Mochtar Lubis, juga Rosihan Anwar. Jangankan mereka berdua, sedangkan Salim Said saja setua bapakku. Prof. Sri-Edi mengingatkan betapa hukum adat dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakat. Di sinilah semakin aku ragu. Betapa hijau penyumbat telinga dan dinding kamar begitu serasi berpadu, sedangkan penyumbat telinga terkadang mendesah acapkali bersenandung. Ini lagi John Fox menyenandungkan cintanya kepada istri. Ini seperti biasa entri yang tidak menceritakan apa-apa kecuali Herlyn yang menurut Mba' Itch mengidap skizofrenia. Kasihan.

Akan halnya aku menulis entri, itu karena memimpin apapun aku tidak becus. [mengguguk] Jangankan sepasukan tentara dari terangnya cahaya, mahluk-mahluk mengerikan dari dalamnya kegelapan, (atau gelapnya kedalaman?) pun aku tidak sanggup. Apa aku pernah berhasil memimpin mayat-mayat hidup, atau hanya perasaanku saja. Jelasnya, aku tidak akan berhasil bila tanpamu. Tanpa siapa? Mayat-mayat hidup yang berjalan sempoyongan, seperti jari-jemari durjana hidung belang merayapi tubuh perawan kencur. Jika kau seorang paraplegik, pastikan lidahmu menari.

Astaga, masa kau bercericau begini rupa di Bagasnami, rumah masa kecil istrimu. Adakah ruang-ruang ini pernah digemangi Hari-hari Anggur dan Mawar, sedang digenangi air banjir tentu pernah, bahkan sampai seleher orang dewasa. Mama adalah seorang mantan anggota Korps Wanita Angkatan Laut berpangkat sersan, sedangkan Tante Lien dahulu menata rambut bertemankan banci-banci, begitu katanya sendiri. Lalu ada Ihza yang masih penuh dengan impian dan harapan. Start up, katanya. Kesehatan mental, katanya. Ia dan Afi adalah anak-anak Kak Nova Rosana Allah yarham...

...yang menurut istriku telah mengisi ruang-ruang di Bagasnami dengan lagu-lagu dan nyanyian dari suaranya sendiri. Ketika ia sudah punya uang sendiri, maka dibelilah karaoke. "Bernyanyilah ia lagu-lagu Panbers, karena itu yang ada di Senen." Hei, ini sudah semacam etnografi. Uah, aku etnografis gadungan. Mengaku-ngaku saja. Uah, ini mengapa cantik sekali, John. Kemana perginya kalian para penggubah kecantikan. Aku suka kecantikan, namun aku lebih seperti A.H. Nasution tinimbang Soekarno. [mengapa pula Salim Said orang Bugis itu suka menggunakan kata tinimbang?]

Etnografi bertumpu dan berkisar pada rincian yang medok, sampai-sampai segala hal yang tidak "penting" diceritakan. Akan tibakah waktunya ketika aku menguliahkan hal ini kepada bocah-bocah yang bulat berbinar-binar matanya, sedang yang kupandang dan terpampang hanya WajahNya. Uah, ngomong apa kau, tolol! Bersihkan dulu dirimu, jiwamu. Kemana perginya semua ratapan dan keluh-kesah, satu-satunya cancang penambatmu. Kau ingin menyembelih anak gendut, kau sendiri apa, hah, Bapak-bapak gendut menjijikkan?! Kau merasa lebih baik dari anak gendut anak serangga itu?!

Ya, sehebat-hebatnya, aku bisa menyamai Salim Said. Terasa benar koq kecerdasannya, meski menurut pengakuannya, kecerdasan itu tidak sanggup mengantarkannya menjadi seniman. Ia, katanya, lantas mengandalkan daya kritisnya saja, karena daya kreasinya kurang. Jadi ternyata Kak Nova adalah wujud cinta Papa Allah yarham kepada baik ibu dan istrinya. Rondan, Syahrul, Aminah. Rosana. Kak Nova telah tiada, meninggalkan Ihza dan Afi tiada beribu, dan karena Kang Sarip harus mencari rezeki jauh-jauh, seakan tiada berbapa juga. [...sedangkan menyeberang sungai berpesiaran.]

Danau Komo, sambil Ibu menjemur pakaian...

Saturday, March 02, 2019

Bijzondere Kaulika, Mama Jambula!


Hnah! Ini adalah suatu judul yang epik sangat! Meski seperti lirik salah dengar, siapa peduli. Ini begitu saja terlintas ketika aku menggelosor keluar dari pelataran berkonblok depan Indomaret. Lantas ada sedikit kedutan, kurasa di kemaluan, seraya otak ngeresku menyenandungkan. Ini lagu bajak-bajakku, entah dari Maria Dolorosa atau Arabella. Aku bukan bajak betul-betul. Aku bukan perompak lanun. Aku bangsawan, meski membusuk. Meski kini jez alus yang membelai indera pendengaran, tetap saja aku menikmati nyanyian bajak-bajakku, lelaki dan perempuan. Arrr!


Dan adakah aku Don Masseria yang menikmati hidangan-hidangan semeja penuh sambil bercerita mengenai kesukaannya akan kucing mungil kepada Charlie Si Beruntung. Apabila karena itu perut gendutnya lantas terburai disembur gotri panas oleh Frank dan Bugsy, mungkin memang setimpal. Dan siapakah FX Adjie Samekto yang menggeser MR Andri G. Wibisana, uah, permainan banci macam mana pulak ini?! Aku tidak akan memainkannya. Aku akan memainkan permainan Habibana Rizieq Shihab, meski beliau, kata Bang Andri, tergantung bohir. (Belanda: bouwheer)

Masih mending daripada Bokir! Engga juga ding. Haji Bokir ini seniman. Besar atau tidak itu relatif. Tetap saja beliau seniman. Apa setanding Haji Bokir dengan Habibana Rizieq, aku tidak hendak membandingkan kedua beliau itu; sama tidak pedulinya dengan perbandinganku antara Imam Khomeini dan Habibana Rizieq Shihab. [Apa aku harus gabung FPI seperti Munarman?] Aku tidak harus gabung apa-apa atas keinginanku sendiri. Aku hanya tidak ingin terlibat permainan banci, bohir atau tidak bohir, mau banci Thailand betul-betul atau wer-ewer kluwer wik-iwik ambyar.

Ngerti ora, Son?! Ini entri menjijikkan mengapa sampai menyebut nama-nama mulia. Cukupkah bagiku pengelola bunyi atau itu sudah keliwatan jauh dari cukup. Ini entri menggila seakan tiada peduli dunia yang tidak memedulikannya. Apa benar yang kauharap dari menulis entri begini. Mengering ia? Tidakkah justru engkau membasah membeceki begini. Kemarahan atau ketidakberdayaan, seperti Borisrawa kehilangan pekerjaannya memahat batu, mungkin dengan nyawanya sekali. Yang biasa saja. Tidak perlu yang mewah. Yang benar-benar biasa saja.

Kalau sedikit menjijikkan bagaimana. Ah, keparat kau. Kuhentak, bukan kuremas, picu senapang lantak, menghambur gotri-gotri panas, memburai otak. Jangan! Jangan kaucium tanganku, jangan kaubuang sikap menghormatmu untukku. Aku ini... bahkan tidak pantas mendaku. Biarkan aku menikmatimu meski sepintas kilas, membelai meski hanya dengan pandang sedang sisanya kuselesaikan di tempat lain, di mana kecoa dan kecoa berhumbalang, kadang cuka-cuka. Ini semua dari hari-hariku yang telah lalu, dari masa mudaku, ketika pohon cempedak masih berbuah nangka.

Ini, Sayang, adalah entri Sabtu pagi, ketika kepalaku tadi sempat pusing bahkan setelah dikopi Kapal Api masih ditambah susu kental manis. Setelah aku marah-marah begini, melampiaskan kekesalan, entah bagaimana pusing itu hilang. Padahal hanya jariku saja yang rampak mengetuk. Padahal perutku berlipat, kata bagaimana pula aku harus menyandinya. Apa yang akan terjadi pada kami tentu tidak akan terjadi apa-apa. Sama mustahilnya dengan Kaulika menamai anaknya Jambula. Dunia ini mau sampai mana. Apa pagi ini aku menyapa Sopiwan yang aduhai sungguh warasnya.

Aku apa? Apa aku akan mengatupkan bibir besar dengan kecilnya sekali, bahkan menukarnya, agar tanaman cabai tumbuh dengan suburnya, atau bahkan mencangkok pisang sekali. Ya, mungkin menyapa Sopuyan bisa meredakanku sedikit. Sopuyan jelas bukan rokok kretek. Ia bukan apa-apa yang kubutuhkan karena aku begitu sombongnya, namun ia pasti akan baik-baik saja. Bisa-bisanya ia bicara mengenai 2025, begitulah caranya memahami dunia dan persekitarannya. Aku bisa apa. Aku yang dilipatgandakan bisoprololnya, aku tidak kuasa apa-apa. Aduhai, segalanya sedap belaka!