Sunday, December 09, 2012

Lahir Manggala, Mati Manggala


Jika sekadar agar setiap hari ada entri, inilah aku, mengetik lagi di ruang pengser Jalan Radio, di Minggu pagi yang mendung-mendung gerah ini. Hari ini aku mengganti isi Blackberry-ku dari Selekta Pop menjadi Dino Martino. Aku mendengarkan Dean Martin cukup intens setidaknya sejak menjadi pendengar setia 99.5 Delta FM the Best Oldies Station in Town. Akan tetapi, Dean Martin tak ayal selalu membawa ingatanku pada Abdul Aziz "Gus Dut" Wahid. Jika kau sempat menelusur namamu sendiri di Gugel, mungkin kau akan sampai di entri ini, Djis. [...atau mungkinkah ini gara-gara Adik? Dia yang selalu bilang begitu] Banyak hal-hal tolol yang kukenang bersama Gus Dut, sekadar karena kami suka tolol-tololan kalau sudah berkumpul. Baiklah mari diabadikan semua yang masih teringat, meski tidak kronologis. 

Pertama, Adi Kerep, temannya PYMM Bagus Surjahutama, datang ke Mess Pemuda membawa nasi besekan. Sori ya ga bagi-bagi cuma satu, katanya; sedangkan di situ ada aku, Adik dan Gus Dut. Aku, seperti biasa, lebay dengan aksi teatrikal, memandanginya makan sambil pura-pura menjilat-jilat bibir. Aduh jangan gitu dong jadi gak enak nih, kata Adi Kerep; dan sejurus kemudian, tiba-tiba saja nasi besek itu jatuh dari sanggaan tangannya, tumpah-ruah di lantai isinya. Kami bertiga segera memunguti sambil bersuka-ria. Kontan saja Adi Kerep berteriak-teriak. Aaduuhhh.... Jangan gitu dong! Yaahh... Jadi gak enak BANGET nih gua....

Kedua, Gus Dut sore-sore datang ke Mess Pemuda. Udah pada makan belum? Makan yuk, tapi gua lagi gak punya duit nih, di warteg aja yuk, kata Gus Dut. Ah, kayak orang susah aja makan di warteg, minimal di Peach lah, sahutku. Emang pada punya duit? tanyanya lagi. Ini lagi nanya-nanya duit, kayak orang susah, sahutku lagi. Oh, ya udah. Ayo. Begitulah maka aku, Adik, John Gunadi dan Gus Dut berangkat ke Peach. Di Peach, Gus Dut pesan yang murah, yakni nasi goreng biasa banget; sedangkan aku dan John Gunadi langsung Burger Steak dan Carlsberg masing-masing sebotol. Aku lupa Adik pesan apa, pokoknya kami waktu itu makan besar. Begitu kami selesai makan dan sudah mengobrol kesana-kemari, Gus Dut berkata, ayo bayar, ayo keluarkan uang masing-masing. Ia mengeluarkan duapuluh ribuan, aku dan Adik seribuan, sedangkan John Gunadi gopekan. Hah! Yang beennneeeerrr lo pada! teriak Gus Dut. Ketika Adik berkata padanya, 'kan elo yang ngajak ke sini, maka paniklah ia; sedangkan aku dan John Gunadi memesan masing-masing sebotol Carlsberg lagi. Gus Dut tambah panik! Singkat cerita, di meja sebelah ada Ika Meuthiah, dan ngutanglah Gus Dut padanya untuk membayar makan besar kami sore itu.

Ketiga, ...aku lupa. Tadi seingatku lebih dari tiga. Gara-gara menulis yang dua itu sambil tertawa-tawa, aku jadi lupa. Ya sudahlah. Pokoknya Gus Dut itu memang begitu. Kini yang terdengar adalah Sleepy Shores-nya Johnny Pearson; suatu komposisi yang telah mengubah arah hidupku. Mengubah benar sih tidak, lebih tepat menentukan. Jadi, narator With the Marines in Tarawa berkomentar mengenai tentara Jepang, yang katanya tidak mempedulikan nyawa sendiri, seakan hidup tidak ada harganya. Itulah cara berpikir Barat, yang materialistis; yang, sialnya, kini telah dalam merasuki lubuk hati sanubari anak-anak Indonesia. Buat apa hidup lama-lama, lebih baik segera mati dalam bakti pada Kaisar, lalu menikmati kedamaian di Kuil Yasukuni. Kaisar Jepang tidak membungkuk pada siapapun kecuali ke arah Kuil itu. Bukan pada Kuil itu ia membungkuk, menyembah. Bukan. Ia sekadar menunjukkan rasa terima kasihnya pada mereka yang tengah menikmati kedamaian di sana. Tenno Heika Banzai!

Aku juga pernah mendengar cerita yang senada. Konon, Senapati Persia kagum melihat semangat tempur prajurit Arab di bawah pimpinan Khalid bin Walid. Prajurit-prajurit Arab ini, mungkin sama dengan tentara Jepang di Perang Dunia Kedua, tidak merasa sayang dengan nyawanya. Allahu Akbar! Mereka mungkin tidak memperlihatkan rasa gentar sama sekali, justru menyongsong musuh, dan maut, dengan wajah berseri-seri penuh riang gembira, namun tidak menyiratkan amarah apalagi dendam. [bagian ini, kuakui, adalah kelebayanku] Maka bertanyalah Sang Senapati Persia pada Khalid bin Walid, mengapa benar prajurit-prajurit Arab ini begitu kelakuannya, sedangkan prajurit-prajuritnya sendiri bertempur setengah hati. Khalid menjawab, itu karena prajurit-prajuritmu ingin hidup, sedangkan rata-rata kami justru ingin mati. Persia, saat itu, adalah sebuah peradaban besar yang tengah membusuk. Salah satu tandanya, mereka cinta sekali pada kehidupan dunia. Bahkan, yang terburuk di antara mereka ingin hidup selama-lamanya.

Masalahnya adalah bukan seberapa lama engkau hidup, tapi seberapa berguna hidupmu, yang cuma beberapa tahun itu. Khairunnas anfa’uhum linnas. Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Dengan begini, secara kasat mata, seseorang mungkin hanya hidup beberapa tahun saja; namun ketika perbuatan-perbuatannya ditimbang dan dinilai, seakan-akan ia hidup jauh lebih lama dari kenyataannya hidup di dunia. Ini sangat masuk akal bagiku. Ini... sangat menarik hatiku, menggugahku. Aku ini, seperti kata Iwan Gayo, ekstrim dan suka membesar-besarkan persoalan; dan ini sulit betul kubantah. Itulah aku. Jika demikian, maka hanya satu kesempatanku: berusaha berbuat sebaik mungkin, sambil memohon pertolongan dan belas-kasihan Allah untuk sisanya. Aku tidak bisa di tengah-tengah, [sungguh sedih hatiku] sedangkan junjunganku menasihati, sebaik-baiknya perkara adalah yang di tengah-tengah. Semoga Allah mengampuni semua kepongahan dan kepandiranku. Kasihanilah hamba Ya Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Dahil sa iyo, ako'y lumigaya
Pagmamahal, ay alayan ka
Kung tunay man ako, ay alipinin mo
Ang lahat ng ito, dahil sa iyo

No comments: