Sunday, November 17, 2019

Kata Togar Aku Meracau. Kurang Ajar!


Di minggu pagi yang sudah tidak terlalu pagi ini, aku mengetiki ditemani segelas reguler cokelat dingin yang sedap betul. Dingin, karena udara hampir pertengahan November ini begitu panasnya. Aduhai, sedap betul cokelat dingin ini sampai-sampai aku ingin menenggaknya habis dalam sekali teguk. Namun tidak ‘lah. Akan kuseruput ia perlahan-lahan, kusesap, kuicip-icip seperti segelas scotch whisky dengan es, bukan diberakot dan dikeremus seperti kikil babi. Sementara itu, Pak Enok nangkring panas-panasan di atas genteng kami dari agak jam delapan tadi.

Begitulah, 'Gar. Aku sok-sokan berkata padamu, bukan sekadar sintaksis yang merupakan perkakas, semantik pun. Mengapa segala sesuatu harus diabdikan, ya, ditujukan pada suatu makna. Tidakkah makna itu sendiri juga suatu wahana untuk mencapai tujuan. Namun, ya, jangan pula kau pancing aku membahas ini kecuali dalam sesi tolol-tololan di kantin kaca. Menuliskan sesuatu mengenainya, seperti dalam menulis suatu karya begitu, jih! Tidak sudi. Bisa jadi, menulis suatu risalah, apalagi mengenai teori hukum, sudah usang. Itu relik dari masa lalu. Kelak tidak lagi begitu.

Kelak seperti apa. Jangankan kelak. Sekarang ini saja, kurasa, kita sudah berada dalam semacam dunianya Max si Gila. Ya, dunia posapokalips. Benar-benar aku takut menebar pandangku, dan kulihat, bertebaran anak dan anak dan anak, lelaki dan perempuan. Namun, tidak seperti dalam dunia Max si Gila di mana terdapat anak-anak perang, di sini banyak anak-anak... aduh, kata-kata apa yang tepat kugunakan. Baik kupinjam saja satu ungkapan lawas: tunadidik. Anak-anak tunadidik ini mau kau dongengi mengenai teori hukum, sudah gila apa. Mereka ini tunadidik!


Apa benar yang membuatku berhenti pada suatu Minggu siang di pertengahan November ini, aku sudah tidak ingat. Memang jauh lebih baik jika tidak kuingat-ingat, untuk sekarang ini. Hanya saja kuingat aku pernah membatin, aduhai, benar telat datangnya musim penghujan tahun ini, di pertengahan November yang masih begitu menyengat mengerukup panasnya. Semantik sebagai perkakas... hahaha... bagiku yang suka membuang-buang waktu ini. Aku juga sudah tidak peduli apakah bijaksana malah mengetiki begini, sedang harus rapat, rata kanan-kiri.

Hokay, 'Gar. Aku paham maksudmu. Racauan memang tidak enak dibaca, tidak perlu pula, apalagi untuk pekerjaanku sekarang ini, seorang etnografis hahaha. Gaya-gaya'an, lo 'Gar pake mau ke Australia segala hukum industri. Seperti aku saja sekarang menjadi seorang etnografis. Kerjanya? Menulis cerita yang enak dibaca, dan perlu. Cocok betul 'lah buatmu, Insya Allah dapat gelar doktor pula. Ilmu yang lain semua omong kosong. Hanya antropologi inilah yang jujur apa adanya, percayalah padaku. Aku belum pernah seyakin ini akan sesuatu. Baru kali ini saja!

Terlebih lagi, 'Gar, ini ilmu olok-olok. Eit, jangan salah! Bukan ilmunya yang olok-olok, melainkan ini ilmu mengenai mengolok-olok. Di sinilah kita belajar cara mengolok-olok yang... eh... benar. Apa yang diolok-olok, suka-sukamu 'lah. Tidakkah kita tidak pernah kehabisan bahan olok-olokan, bahkan mengenai diri-diri kita sendiri. Bahkan diri kita sendiri itulah bahan olokan yang terutama, begitu pendirian mazhab-mazhab antropologi di Eropa dewasa ini; tidak seperti Amerika, misalnya, yang menjadikan apapun selain diri mereka sendiri sebagai bahan olok-olokan.

Lagipula, tidak mengapa juga 'kan kalau ilmumu olok-olok, jika apapun mengenai dirimu olok-olok semata. Jadi kita tiada beban untuk, misalnya, menyebarluaskan suatu paham atau ajaran apapun, seraya menjadikannya tolok ukur untuk menilai segala sesuatu di luar kita. Jika Sopiwan ingin jadi propesor, misalnya, seperti Propesor Berkah, itu urusan dan deritanya. Jika ia mau menjadikanku pun propesor, itu pun urusannya. Kau pun mau jadi propesor, serius 'Gar? Bilang 'lah sama Bang Sopuyan, manatau ia pun mau mengurus dan menderita menjadikanmu propesor.