Saturday, December 31, 2022

Batas Lingkarannya Selalu Bisa Membawa Suka


Seperti sudah menjadi kebiasaan [halah!], beberapa tahun gregorian dalam goblog ini ada entri pada hari terakhirnya. Tidak selalu memang, namun bolehlah dikata sebagian besar. Terlebih jika menyanding semug 300 ml susu serbat jahe, sedang telinga disumpal bunyi-bunyian yang entah mengapa setelah sepuluh tahun menjadi menjengkelkan. Padahal sepuluh tahun lalu mendengar ini bisa membawa angan-angan cinta. Semenjak 2020-an pula semakin intens aku menggunakan alunan nada-nada tak berbait tak berulang untuk penggambaranku. Entah mengapa...
Lebih mengerikan lagi, jika angan-angan cinta t'lah tak mau kembali, masa yang tersisa tinggal babaduk. Kebutuhanku akan cinta memang sudah lengkap terpenuhi, dan aku menolak percaya jika setua ini masih butuh plerktekuk. Ini adalah waktu bagi kambing-kambing muda untuk kebingungan mengapa pikiran mereka tidak pernah bisa menyimpang dari kekentuan. Itu pula sebabnya kambing-kambing muda ini harus segera diaqiqah biar tidak keburu kawak dan tidak enak dimakan. Aku yang tinggal menunggu waktu ini atau harus 'ku menyongsongnya. 'Ku tak tahu.

Nyaman, hangat, dan sensual. Ah, masih ingat aku rasa-rasa itu dari usia duapuluhan, yang bahkan sudah ditinggalkan bangsanya Togar dan Hari. Efraim mungkin masih punya beberapa tahun untuk menikmatinya. Adit 'Cah Gemolong masih baru saja memulainya, meski tak dapat 'kubayangkan apa yang menurut mereka sensual. Nyaman adalah udara sejuk ber-AC. Hangat adalah selimut tebal namun halus lembut ketika sejuk sudah berubah dingin. Namun, sensual? Bahkan Savit sekalipun punya ide tentang bagaimana membuat dirinya terasa dan terlihat sensual.

Ah, di sini ini tepatnya orang mulai terpikir mengenai selimut hidup, artinya, didekap oleh seorang perempuan yang bukan ibumu. Untuk itu, seperti halnya ibumu, harus ada cinta. Maka ide tentang pengalaman pacar sungguh jahat dan bodohnya. Ide ini sama jahat dan bodohnya dengan persangkaan bahwa hidup hanya di dunia ini saja, bahwa tidak ada hidup sesudahnya di mana kita akan dimintai pertanggungjawaban atas hidup yang ini. Selimut bisa hidup, karena itu, karena cinta. Tanpa cinta, ia sekadar selimut, meski terbuat dari daging dan lemak berbalut kulit. 

Ternyata masih sisa tiga, sedang secangkir plastik wedang serbat uwuh menemani. Aku justru terlempar kembali ke Kraanspoor 25 D8 sekitar setelah pulang dari Molenwijk. Apakah itu membeli stang untuk douchegordijntje, atau bahkan majalah NatGeo mengenai perubahan iklim, sangat bisa jadi. Bahkan bisa jadi kedinginan di Pontsteiger gara-gara ketinggalan feri, sampai harus menunggu setengah jam lagi. Gara-garanya, setelah dari Jumbo bersepeda agak jauh sekadar mencari kibbeling. Alhamdulillah, aku diselamatkanNya dari itu semua lahir batin.

Maka mengapa tidak segera diselesaikan. Insya Allah akan segera diselesaikan. Memang tidak pernah ada rencana yang berjalan mulus, seperti udara malam Magelang entah itu setelah menonton Under Siege atau Navy Seals. Apa benar aku membayangkan diriku seperti itu ketika pura-pura main kelahi-kelahian dalam kolam renang bersama Andri Supratman. Hahaha memang suatu ketololan yang paripurna. Jika saja semua keseriusan disimpan untuk yang sebenarnya, tiada sedikit pun keberatan padaku; karena memang itulah doa Bapakku untukku seorang.

Untuk sementara ini, aku lelaki paruh baya berbobot seratus tujuh kilogram. Terlalu muda untuk tidak segera serius mengumpulkan bekal, terlalu tua untuk berbuat ketololan apapun. Bagaimanapun, aku mencintaimu; meski mungkin mukamu mirip bapakmu, membuatku ngilu. Mukamu jika berkilat-kilat berminyak begitu, seperti ketika berfoto bersama Wisnu Kamulyan. Tidak mengapa. Aku tetap mencintaimu. Seandainya saja cinta sesederhana itu; sesederhana rasa nyaman secuil, sesepele apapun. Itulah cinta bagiku: rasa nyaman. Rasa baik-baik saja.

Friday, December 30, 2022

Dari Hari ke Hari Setanggi Kasturi Membaui


Aku bisa saja menari sepanjang malam, tapi aku mencintai Istriku. Ya, yang cuma satu itu. Apa mungkin memaklumi kelakuan Rodha yang seperti itu, ketika kelakuan Pamela pun 'kumaklumi. Rodha, Pamela, Janice, Natalie, Madeleine adalah nama-nama di seputar yang direndam dalam air asin, ya, air laut begitu. Seperti inikah gambaran mencintai istri yang hanya satu, boleh juga. Sedang aku menatap lurus ke ujung jalan Blok M, kentang-kenting Danau Como menemani Ibuku muda menjemur baju di pavilyun dari 30 tahun lalu. Sudah tentu Ibu menyayangi adikku perempuan yang terkecil seperti Istriku menyayangi kedua-dua anaknya.
Jika kau minta dicintai, menyuruh secara otoritatif begitu untuk melakukannya, memang sebaiknya dilakukan dengan riang. Jika perlu dengan pukulan rampak pada simbal lengkap dengan perkusi sekali. Kepada siapa akan 'kusuruh begitu. Jangankan mencintai, aku bahkan tidak mau menyuruh orang mendengarkanku atau melakukan apapun untukku. Jika pilihannya hanya memberi atau menerima, maka sudah barang tentu aku memilih memberi. Riangnya perintah mencintaiku memang tidak ayal membuat hatiku turut riang. Entah apa kelanjutannya. 

Aku ingin melakukannya denganmu, maksudku, jika aku harus mencinta. Ini adalah ruang bersama Asrama UI Depok medio 1990-an, mungkin sekitar jam tujuh petang begitu. Apakah ketika itu aku masih bisa tidur nyenyak di malam hari, senyenyak tidurku di Magelang. Meskipun tidak, perasaan badan segar sesudah mandi, mungkin dengan rokok sebungkus di saku, korek api entah geretan entah mancisnya sekali, sungguh manis terasa. Badan muda, pikiran muda yang bodohnya minta ampun. Penyesalan nan tentu saja datang kemudian demi tersia-siakannya waktu. 

Ah, tepat di sini waktuku di Manhattan berakhir, karena bagiku kau lebih dari sekadar perempuan. Kau Istriku satu-satunya sampai Insya Allah 'ku mati. Sebagaimana dunia hanya satu, aku pun hanya sanggup mencintai satu perempuan. Bukan mencintai dalam arti berhubungan seksual, melainkan mencintai segenap jiwa raga seperti Leonidas pada Gorgo. Terlebih ketika sekarang 'kubersatu kembali bersama dengan belahan jiwaku yang lucu bau dahinya tepat pada anak-anak rambutnya. Sebagaimana Papa dan Mama semasa hidup menyayanginya, begitu aku.

Uah, Laguna Mengantuk dari masa mudaku sekali. Aku memang selalu suka di sini, dengan dedaunan layu berguguran melayang-layang di udara sebelum mengapung berayun-ayun di permukaan air yang tenang, setenang hatiku. Betapa tiada yang 'kukhawatirkan jika sedang menghabiskan waktu di tepi-tepiannya, entah dengan bermalas-malasan atau berjalan-jalan sekadarnya. Badan yang ringan meski aku tidak pernah dikatai kurus seumur hidupku, yang jelas bukan satu kuintal lima kilo lebih. Seperti telur yang seringnya setengah kilo, minyak tanah lima liter.

Maka ketika begitu saja 'kutarikan waltz terakhir bersamamu, aku jatuh cinta padamu. Ada hal-hal sedemikian yang menyebabkannya, seperti pantai mengantuk dan bayi kecil yang cantik. Percuma disebutkan satu per satu jika intinya adalah kau belahan jiwaku. Keindahan inilah yang akan 'kukenang selamanya, Insya Allah akan 'kuhadapkan pula, 'kupersembahkan kepada Tuhanku. Aku tidak punya apa-apa, Tuhan, kecuali ini: cintaku pada ciptaanMu ini, anak perempuan Papa Mama yang terkecil. Kasihanilah kami seperti Papa Mama mengasihinya sedari kecil.

Mendekati senjakala begini suasana hati sudah berlainan sekali, sampai terpikir progresi atau retroaksi. Hatiku semendung senja yang manis ini, yang mungkin seharusnya 'kumanfaatkan untuk berjalan-jalan agak setengah jam,  melangkahkan kaki-kaki. Mungkin akan 'kulakukan setelah ini, secara cuaca sungguh mirip Uilenstede di musim semi, padahal ini tepian Cikumpa. Ciliwung pagi ini airnya deras sekali, mungkin hujan deras di hulunya sana. Begitulah hidup di tepian Cikumpa ini. Ya, membulatkan tekad memang bukan keahlianku. Entah apa keahlianku ini.

Sunday, December 25, 2022

Jedug Jeder Jemblem Padahal Ada 'Ku Sendiri


Tak pernah 'kusangka 'kan begini jadinya setelah setua ini. Ini tak ubahnya menungging di lantai kamar mandi sambil mencolok lubang pantat sendiri. Entah sakit apa aku ini, yang jelas ia mengacaukan jam biologisku. Ini seperti yang diderita Cantik awal-awal sakitnya, dan kini sudah sebulan sejak terkena. Meski sejuknya udara malam menyelimuti, kantuk tak kunjung tiba. Sedang di siang hari aduhai betapa sulit menjaga 'tuk tetap terjaga. Tiap-tiap kali habis makan maka tak lama kantuk menyerang, betul-betul sampai mengangguk-angguk sambil berseru trilili lilili lilili...
Di tengah rasa tak berdaya dan putus asa melanda, aku memimpikan sepucuk Walther PPK/S atau Makarov untuk 'kutodongkan pada sisi kepalaku sendiri; karena sudah gila apa aku menggunakannya untuk ber-"olahraga". Itu biar Ario Sasongko saja yang begitu. Aku ini atlit lempar cakram dan lembing meski kemudian harus memimpin suporter, yah, semacam Kostrat begitu lah hahaha. Semakin 'kupikirkan mikrofon dan Audacity, semakin jengkel aku. Aku ini penulis, hei, aku belum lagi periksa apakah Kang Yudi Latif punya cenel yutub. Tak'da, karena beliau penulis.

Sewaktu shalat Isya' tadi, tiba-tiba hadir suasana hati pulang malam-malam naik trem Amsterdam. Jika trem maka 2018, maka Kees Broekman, karena Kraanspoor bis dan feri. Kalau masalah hangat, semua sama hangatnya. Kecuali duduk terlalu dekat dengan pintu, maka setiap kali dibuka udara dingin masuk membelai. Amsterdam sepi, bagaimana Maastricht, kamar di lantai dua dengan desauan Veolia jurusan Malberg. Ini pula aku akan mengikuti matahari dibuat sok gruveh fungkeh begini. Bisa juga di Kapadokia meski hanya seutas selembar. Ternyata begini saja.

Malam ini aku kacau-balau seperti masa mudaku. Bedanya tidak ada rokok jangankan seslof, sebungkus, setengah bungkus, sebatang sepuntung pun tak. Alih-alih kopi, secangkir serbat jangkrik emas; apatah lagi bir hitam. Aku ini mahluk rohani, maka rohani nomer satu sedang jasmani untuk ditahankan. Jangan sampai terbalik bisa merana lahir batin. Terpaksa 'kumaki karena cintailah aku tolong ditafsir-ulang keterlaluan. Nah, jauh lebih, lebih baik amboi aduhai begini. Biar jedug jeder jemblem jika diliputi dan mencurahkan tanpa henti terlebih disukai. 

Kata kerja, jangan kata sifat apalagi benda; dan tamatlah serbat jangkrik emas, dilanjut air panas. Nyatanya menahankan rohanilah yang membuat malamku kacau-balau begini. Masa orang naik metro disedot WC iblis, lantas melayang-layang sampai terjatuh di sebuah lapangan berumput, mementungi iblis-iblis. Apakah 'ku merindukan membangun dan menghancurkan peradaban-peradaban. Uah, aku sudah terlalu tua untuk itu. Lebih baik aku menyerahkan seluruh jiwa raga bagi cita-cita perjuangan bangsaku, karena jika tak pernah mencoba sudah pasti gagal.  

Memang tidak ada pilihan lain: tahankan. Otak bisa berkhayal mengenai bau-bauan yang menimbulkan sensasi-sensasi tertentu, namun itu cukup bila sedang mengaso saja. Selebihnya tulislah buku, dan terpenting: selesaikan disertasimu! Ini sudah tidak di Amsterdam yang sepinya mengerikan itu. Ini di tepi Cikumpa sini, di mana kau bisa mengakses mie ayam donoloyo beserta cireng gejrotnya sekali setiap saat. Jika kaukira hidup orang lain sempurna, kau tidak tahu saja duka derita yang tak tertanggungkan; seperti pemburu kota dengan meriam pemburu sancanya

Sekarang ini sudah cukup baik, karena terasa baik. Berpumpunlah pada keuntungan-keuntunganmu, lupakan serangga yang berseliweran dalam benakmu; terlebih jika walang sangit. Jika belum mengantuk jangan baringkan badan di pembaringan. Terbaik memang membaringkan badan entah siapa; namun jika tidak ada, maka jauhilah pembaringan. Itu akan menjaganya tetap sejuk, meski tidak mungkin sesejuk pembaringan-pembaringanmu di Kees Broekman, Uilenstede, atau Kraanspoor. Itu semua tempat mengerikan, yang kaubutuhkan adalah sebutan. Itu sudah.

Tuesday, December 20, 2022

Kecantikan Dedek, Kesenduan Situ Cibeureum


Setelah mulai terasa Jumat malam sepulang mengawas ujian akhir semester mata kuliah hukum administrasi negara bagi program sarjana ekstensi, sampai pagi ini masih belum yes juga. Aku tidak tahu apa-apa mengenai dunia apalagi akhirat; yang jelas, aku pernah mendengar apa yang dahulu tak terbayangkan oleh para sahabat Rasulullah, sekarang dianggap lumrah, biasa-biasa saja. Tepatnya sih sah-sah saja. Akankah kita saling mengenal satu sama lain adalah pertanyaan yang menyelinap begitu saja bersama dengan manisnya alunan terompet, halus diselompret.
Siapapun yang membuat laut terkesan puitis, romantis, tidak peduli pada keadaan pikiranku yang sudah jauh menua. Belum lagi badan tambun melambanku, yang masih terasa nyaman ketika menghabiskan nasi kebuli ayam bakar jatah pengawas Jumat lalu di ruang bidstu berdinding kaca. Terlebih setelah sholat Isya' menyongklang VarioSua pulang pun masih nyaman. Akibatnya, dalam kulkasnya Pak Dian jadi ada sekotak teh buah beri biru. Akibatnya, Sabtu yang direncanakan bertemu dengan teh buah dan koreksian justru mengeluarkan uang seratus lima puluh ribu Rupiah.

Kini suasana sudah jauh berbeda, ketika genduk Keisya menyanyikan lagu yang pernah dinyanyikan Thavita. Ini adalah musim panas Amsterdam dua tahun lalu. Adakah aku ingin kembali ke masa itu. Apa yang ingin 'kuubah jika kembali ke masa itu. Aku TIDAK ingin kembali ke mana pun. Aku mau maju karena Insya Allah aku tahu ke mana aku 'kan menuju. Seperti yang 'kukatakan pada Cantik tadi ketika sarapan bubur ayam Cianjur, dunia ini tidak punya apa-apa untuk ditawarkan. Tidak bagi Bapakku, tidak juga bagiku. Apalagi aneka-rupa kehina-fanaan seperti itu.

Itu pula sebabnya, di siang hari Selasa yang gerah bermendung begini, aku justru menyanding sejebung teh melati panas kesukaan Bapak, dengan sekepret gula sekadarnya... dan mengetiki. Memang masih mengetiki, belum menyelesaikan disertasi. Wasaibmit masih sasaranku, aku alap-alap dengan pandangan stereo terfokus padanya. Pendingin udara bagaimanapun penting, dan kini aku tidak sanggup membelinya. Maka hanya bisa 'kudapatkan di kantor yang Insya Allah menyepi karena sudah liburan. Liburan kuliah memang waktu favoritku selalu, sudah sejak lama.

Jika benar aku tahu kemana 'kan menuju, mengapa masih mengenang badan mudaku yang berpeluh-keringat sedang elang-elang berlatih di depan kamarku. Waktu kejayaan nexianberry yang sesungguhnya enggan sangat 'kuingat-ingat. Waktu-waktu yang mengerikan mengapa hampir dalam hidupku, semoga tidak ada lagi dalam sisa umurku. Aku mengaku alap-alap sedang bentukku seperti kakapo begini. Badan penuh berpeluh-keringat begini memang hanya mandi solusinya, namun apakah bijak mandi dalam kondisi begini. Apapun itu, harus mandi karena harus sholat.

Apa harus 'kuceritakan mengenai lodeh kacang-panjang, labu siam, dan terong yang entah lebih enak mana dengan buatan Mbak Yem. Suatu sahur pada suatu Ramadhan ketika di belakang Pondok Annisa masih ada wartegnya, yakni Warteg Pak Jay yang kemudian pindah agak di depan Cornel. Terkadang terselip tanya mengapa tidak habis-habisan bertualang ketika itu, hanya untuk menyadari betapa itu telah menyelamatkanku dari rasa sakit yang jauh lebih hebat dari yang 'kurasakan sekarang. Atau suatu siang yang sungguh teriknya, demam, berjalan perlahan ke Snar Guitar.

Hidup memang selalu begitu saja, bahkan untuk seorang lelaki perkasa seperti Bapakku. Ini lagi pura-pura jualan es krim, pura-puranya untuk memata-matai. Khayalan yang sungguh payah untuk menemani bersepeda ke Molenwijk. Mengapa tumitku harus sesakit itu, ketika itu. Jika tidak mungkin aku akan terus memacu langkah-langkahku di malam-malam musim dingin yang cepat turun. Adakah dengan demikian aku menjadi lebih tidak peduli pada jendela-jendela yang terpampang di hadapanku. Bukan berarti tidak pernah ada lambaian. Penyelamatannya nan gemilang.

Tolong lihat aku dan jawab pertanyaanku

Sunday, December 18, 2022

Sambal-sambal Sisa Jambal. Roti John Gunadi


Menenangkan, menyembuhkan, aku koq merasa seperti menonton film Cina. Beberapa hari ini aku di dalam rahim melayani para pelayan, yang membuatku serta-merta terkenang John Gunadi. Mengapa kau, seperti halnya Cobain, mati. Mungkin aku tidak benar-benar merindukanmu. Mungkin waktu-waktu bersamamu yang 'kurindukan, yang telah lalu. Mengapa aku merindukan waktu-waktu itu. Merindukan waktu yang telah lalu adalah kebodohan maksimal, mentok tidak bisa lebih bodoh lagi. Ini mengapa seperti ada bunyi gemericik air begini, sungguh menjengkelkan.
Ini terdengar seperti Kitaronya orang miskin yang bibirnya dower dan giginya mrongos. Apa lantas 'kan 'kukenang sarimomo dengan tempura ubi semua dan meki sapi, dan tentu saja pangan kentir. Bahkan burger and king sekali, sandwichnya yang menang tebal doang, yang seringnya dilanjut dengan atau bahkan sebelumnya. Jika begini aku tidak akan ingat mengenai apa ini. Cukuplah mandi asal-asalan tanpa handukan sebelum ke dokter Pahry medischine menjadi mnemonik, meski dipastikan keduanya selembar pun tidak. Ini bahkan lebih kecut asemnya entah apa.

Apa harus 'kukitiki dengan pandangan periferal di sebuah kamar kontrakan di bilangan Statensingel, antara selembar dengan berlembar-lembar. Malam-malam memang sudah seharusnya berakhir, digantikan dengan omong-kosong penuh kebohongan. Tenggorokan yang tidak nyaman beberapa hari terakhir ini biarlah ditingkahi dengan dentingan senar gitar dan piano. Aku bahkan lupa sama-sekali rasanya berjalan berpeluh-keringat dari Blok M ke Radio Dalam. Aku bahkan lebih tidak ingin bicara mengenai berjalan dari Pondok Indah Mall ke Radio Dalam.

Ketika bakmi apapun pasti begitu-begitu saja rasanya, seperti bakmi entah apa yang dijual di kantin sekarang. Saus sok cerdik itu memang sudah pada tempatnya, agar saus Sari Sedap penuh rodamin-b sekadar menjadi kenangan yang harus segera dilupakan. Terlebih bibir ayam Cirebon yang di Taman Puring itu, biarlah bibir ayam Cianjur yang dikenang-kenang; karena yang di McD itu tidak bisa disebut bibir ayam. Terlebih dewi Indonesia yang jelas-jelas bukan dewi kemerdekaan menyakiti seperti sayatan perlahan pada diafragma. Terlebih memulai dengan kata terlebih.

Lebih dari membelai, keinginan untuk dibelai dirasakan seekor anjing buduk yang sekujur badannya penuh borok dan kutu. Lebih dari apapun, dunia tidak akan memedulikanmu yang ingin beristirahat. Dunia ingin terus melonjak-lonjak kegirangan macam anjing peliharaan bertemu majikannya. Bagi sesiapa yang tidak tahu bedanya anjing dengan keharuman yang bisa saja hilang jika lama tidak pakai deodoran, maka sudah patutlah ia diabaikan. Sungguh tak berdaya menghadapi daya tariknya, magnetismenya, kuat membetot seluruh cipta, rasa, dan karsa.

Jika sudah begini, kenangan akan hisap-hisapan dan kepul-kepulan asap kretek, seteguk kopi hitam atau bir hitam sekali sungguh terasa tak berdaya. Bukan tekad yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sebuah entri, melainkan malam yang semakin larut dan ingatan betapa sulit berdoa di depan wastafel sebelum meminum obat jika kawan-kawan terus bercericau bahkan mengomentari. Uah, kalimat yang berlari kencang seperti tidak pernah-pernahnya. Aku memang penakut tapi itulah yang 'kubutuhkan untuk berani: perasaan bahwa aku sedang takut. 'Ku tak sudi!

Terlebih jika menyangkal, enggan mengakui. Bukankah sama saja, meski serabi dan surabi bisa berbeda sekali. Jika diberi titik di situ sungguh menjadi masuk akal, terlebih ketika bersin seperti kurang sehat. Tiada laba yang didapat dari hukum administrasi daerah, sedikit dari hukum administrasi negara. Akankah dalam sisa hidupku ini, seperti ketika 'kutinggalkan rumah di tepi Ciliwung di suatu malam bulan puasa. 'Kurasa naik angkot sampai di depan Depok Mall, mengetahui di belakangnya ada MonggoMas, malah menjadi malam kekuatan. Jika bukan jijik, entah apa. 

Thursday, December 15, 2022

Jula-Juli Grand Artos Merana. Aku yang Merona


Astaga, adik itu mengetik dengan rampaknya di luar, di balik jendela berkotak-kotak kecil itu. Mengetik betulan loh, bukan mengitiki. Aku sudahlah mengitiki, membiarkan otakku dibuat frappe oleh si Wedus Cobain dengan semacam logam alkali. Apa kabar Denny Luqman al-Hamzah, kemungkinan ia sedang menjalani hidupnya seperti kebanyakan orang Jember yang menjadi pegawai negeri. Tidak seperti orang Batak yang jadi aparat, baik sipil maupun militer, orang Jember satu lagi malah sudah mati, pegawai negeri pula. Wedus memang harus dipong kepalanya.
Emang sudah edan ini Wedus. Memang aku pun harus dihardik jika kebanyakan bernostalgia. Memang betul aku berpura-pura seakan sejarah demikian pentingnya, padahal itu cuma kecenderungan mentalku untuk terus bernostalgia saja. Meski Alvin masih menjawab ia tidak pernah pesiar, lebih sering ke rumah pamong. Semua kenangan masa lalu memang tidak pernah berdaya, tidak pernah sanggup menjawab tantangan masa depan. Aku sungguh-sungguh tidak tahu apa yang harus dilakukan. Entahlah apa aku punya suatu gagasan mengenai masa depan.

Ini 'kuteruskan setelah lewat tengah malam, bahkan sudah berganti hari. Mengitiki 'kuhentikan tadi karena aku mengantuk sekali; yang 'kulakukan malah pergi ke kantin, beli teh tarik dan dimsum, 'kunikmati bersama FDR, Harry Hopkins, dan Captain Henry. Ini malah sekarang lagu cinta timur berkumandang di keheningan malam, sedang aku tidak berdaya menahan rasa tidak nyaman karena sedikit sekali kena karbohidrat malam ini. Aku menindaknya drastis dengan sarimi goreng ayam kecap, masih dengan dua potong keecho dan seutas sosis koktil. 'Kurasa tiada jalan lain.

Jika aku tidak bisa memberimu apapun kecuali cintaku dihembus dengan saksofon memang aduhai sedap, meski bait-baitnya agak menjengkelkan. Padahal tadi sempat juga membantu Cantik menghabiskan grameh goreng 600 gram sisa makan malam bersama Wiyono. Aku baru tahu ternyata sebelum Michele aku sendirian saja. Aku tidak pernah suka sendirian yang ini, maka 'kusabari saja sampai Michele sendiri yang menjelang; mana tidak habis-habis ini. 'Kupandangi dan 'kuelus-elus perutku yang menambun mengkhawatirkan. Ah, Michele datang. Selalu saja memesona.

Lelaki tua, botak, tambun ini sudah kelelahan diterjang pesona, ketika rona Grand Artos saja membuatnya merana. Ia tidak butuh lagi pesona yang bertebaran di sekelilingnya setiap hari, risiko pekerjaannya, tempatnya mengais rejeki. Pesona bertebaran sudah tidak terasa sebagai rejeki baginya, hanya mengundang helaan nafas. Terlebih ketika mandi dengan sabun cuci tangan di toilet PDRH, lelaki muda autis melonjak-lonjak di kursinya, entah apa yang ditontonnya. Tempat persembunyian yang horor di atas jam empat sore jelas tak mungkin diandalkan siapapun.

Tiada apa yang dihasilkan kecuali entri, meski bangun sampai jauh malam begini, sudah berganti hari. Betapa tidak. Perut dihantam sarimi isi dua sebelum tengah malam, padahal bisa makan sayur rebus lagi, dengan sedikit nasi kalau takut sakit lagi. Perut yang selalu terasa mengganjal sudah beberapa tahun terakhir semenjak pandemi bahkan sebelumnya. Entah bagaimana aku 'kan melaluinya, ketika Japri muncul tiba-tiba menanyakan sudah submit wasaibmit. Uah, mahogany, bukan mahagoni, dari masa kecilku, senantiasa membelai qolbu, menyejukkan mata-hatiku.

Aku senang gambarannya kambing-kambing berwarna-warni, ada yang hitam pula, sehitam mahagoni. Dengan perut tambun mengganjal begini, mata-mata yang terlalu dekat jaraknya namun bulat memesona menjadi terasa demikian jauhnya. Rambut tipis saja sudah menandakan bukan, karena rambut seharusnya tebal indah mengombak seperti rambut Cantik. Memang tidak ada kurangnya, justru banyak lebihnya. Aku suka yang lebih-lebih, sampai luber-luber begitu, seperti mie ayam donoloyo, sampai susah diaduk. Jika tidak untuk meratakan saus rodamin-b, takkan diaduk.

Saturday, December 10, 2022

Isandhlwana Tidak Lebih Sulit dari Matswapati


Mengitikiku disela oleh mendidihnya air mandi, padahal milo hangat baru habis seperempat cangkir. Maka 'kuputuskan untuk terus mengitiki, dengan risiko air mandi mendingin, dan itu berarti membuang gas. Aku sudah lelah mengikuti perjalanan trio Wildan, Andriawan, dan Arkan mengelilingi Kalimantan. Melihatnya saja sudah lelah apalagi menjalani sendiri. Belum lagi Nugroho bermotor dari Margonda sampai Ujung Genteng. Edan bocah-bocah ini. Lebih edan lagi aku yang menyiapkan paparan tentang Kembali ke UUD 1945 'tuk disampaikan pada Pandusakti.
Mana lebih gila, aku yang sangat terganggu kalau sampai tidak rata kanan-kiri, atau orang yang menatah jenggot Prabu Matswapati pada kulit kambing. Ukurannya adalah secangkir milo. Jika habis ia, maka mandi aku. Jadi ternyata guna entri-entri sekadar membuat Togar tertawa-tawa jika ia sedang bosan selesai giliran bicara. Lagipula goblog harian apa yang diumbar-umbar bagi publik meski tetap saja tidak ada yang baca kecuali Togar. Ini semacam antologi cerita pendek yang tiap-tiapnya sekitar 500-an kata: Cerita mengenai dunia dari sudut kebat-berkebitnya pikiranku.

Di sini milo habis. Aku mandi.

Selesai mandi, sambil mengeringkan badan, aku membatin: Dunia telah mengecewakan Papa dan Bapak. Bapak jelas-jelas berdoa agar dunia tidak mengecewakanku. Namun apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang ribut saja masalah harus pakai baju apa agar tidak canggung karena perbedaan pangkat. Hahaha aku memang badut, tidak pantas mengenakan baju-baju berpangkat itu. Aku, seperti kata Leonard, hanya menunggu satu kecelakaan laboratorium untuk menjadi penjahat super; karena, menurut Nex Carlos, lemak jahat adalah lemak baik yang tersakiti.

Lebih baik 'kubaca-baca lagi surat-surat cinta Forrest Gump yang kembali lagi kepadanya, berlembar-lembar, karena Jennifer Curran memang tidak pernah ada di Greenbow. Ia berkelana meluaskan pikirannya. Sebuah entri yang penuh menyebut nama-nama, kejadian-kejadian di seantero dunia. Lantas apa maunya, memamerkan keluasan pengetahuan umum seperti kelakuan Gunawan Baphomet. Jih, tidak sudi! Nah, ini tadi terpikir ketika masih telanjang, mungkin masih menggosok-gosok badan dengan busa sabun. Seks, sastra, kita. Najis! Manusia, budaya, dan masyarakat. Itu dia.

Kembali kepada pengirim. Alamat tidak diketahui. Tidak ada nomor begitu/orang itu. Tidak ada lagu begitu. Gus Dut merasa lucu dengan baris terakhir itu, dari sekitar dua puluh tahunan lalu. Seperti halnya Gus Dut dan Togar, aku pun merasa bisa menyanyi. Bahkan dulu jika ditanya hobi biasanya akan 'kukatakan menggambar, menyanyi, bermain musik. Aku merasa hanya bisa membaca dan menulis, meski uangku kini terutama terkait dengan dongenganku pada bocil-bocil. Hidupku sungguh mengerikan dan aku tidak punya harga diri. Aku memalukan. Menjijikkan.

Maka biar 'kucatat di sini pertemuanku dengan Dr. Dexter pagi hingga siang tadi, karena ini mengenai harga diri. "Semakin menderita kau, semakin menunjukkan betapa pedulinya kau", begitu katanya. Kau memang koprofil, koprofagis, tiada lain. Ini kata-kataku sendiri, favorit malah. Artinya, Dexter menyelesaikan doktoralnya pada umur 52 tahun. Namun ia telah menorehkan karya-karyanya dengan tinta emas dalam jagad punk rock, selain juga berjualan saos pedas. Jadi tidak ada alasan bagimu, koprofil. Kau memang koprofagis celaka. Tutup mulut baumu itu. 

Tuesday, December 06, 2022

Gitarku Memainkan Melodi Spanyol dan Meksiko


Masakan Senin malam begini malah mengitiki. Senin malam 'kan seharusnya belajar untuk mempersiapkan pelajaran-pelajaran Selasa. Meski aku tidak melakukannya dengan benar, dapat 'kupastikan aku tidak membuang-buangnya dengan cinta remaja. Ketika remaja aku tidak pernah mencinta. Aku selalu yakin akan diperlengkapi jika tiba waktuku. Ternyata setelah setua ini waktuku, 'kurasa, belum tiba juga. Aku malah dikelilingi anak-anak yang menanti-nanti tibanya waktu mereka. Ataukah memang waktu takkan pernah tiba untuk siapapun. Aku rasa demikian.
Tersesat dalam cinta adalah suatu malam dalam sebuah bilik pelacuran. Suatu sore yang mungkin seharusnya indah malah dikejutkan oleh burung menderita pilek. Mengapa aku yang tidak pernah mengalami cinta remaja ini justru bernasib begitu. Malam-malam sepi yang seharusnya mengerikan, yang 'kulalui dengan melangkah di antara tumpukan peti-peti kemas, untuk kemudian menyelinap di dekat Krida Braja. Aku tidak takut hantu. Lantas malam-malam menembus kabut antara asrama dan Kukusan. Uah, betapa banyak malam telah 'kulalui di mana-mana tempat.

Aku kehabisan ragaan. Aku hanya bisa terpesona. Namun apalah guna karena pesona memang selalu memesona. Memang itu gunanya. Ini jelas wujud tidak berdayanya aku, malam Selasa begini malah mendengarkan Themistocles dengan suaranya yang seperti tercekik. Bahkan pada umur sebegini lagu-lagu sudah mulai kehilangan pesona, mengapa tidak sekalian semua saja. Mengapa masih ada saja yang memesona. Seharusnya bisa, karena Warren saja sudah berpangkat letnan angkatan laut. Artinya, Kapten Henry sudah pasti lebih tua dari aku kini, dan tentu bukan kardus.

Ini bahkan sudah bukan malam Selasa. Ini sudah Selasa betul, dan aku masih saja mengitiki. Tidak juga. Aku sudah tidur, dan iklim sudah tidak sama dengan sebelum 2016 atau 2014. 'Kurasa 2014, karena 2015 adalah kemarau terpanjang yang 'kuingat. Betapa bahkan bebambuan meranggas. Mungkin dapat pula diperiksa entri-entri awal 2016, suasananya, tapi jangan sekarang. Jika mengecek entri, pasti tidak selesai entri ini. Lebih baik, mumpung rampak begini, terus memberondong mengitiki begini. Meski sudah berkeliling dunia, belum bertemu juga Lisa dengan bayinya. 

Tidak tiba-tiba juga, meski Whitney merasa begitu. Aku merasa semua ini bertahap, perlahan-lahan. Dimulai dengan omelet dibungkus tortilla kecil diselipi salami tipis. Diselipi, bukan disumpili, karena tidak ada kata itu dalam Bahasa Indonesia. Bahkan masih ditambah roti gandum berisi dua potong sosis, telur mata sapi, dan selembar keju cheddar Amerika. Minumnya tentu saja teh hitam secangkir kertas. Jika sosisnya sepotong saja, tidak akan lebih dari goban. Sudah hampir setengah jam berlalu dan aku masih merasa baik-baik saja, berbeda pun dengan nasi dan lauk-pauk.

Maka begitu saja 'kutuang teh herbal Sabda Rasa, yang 'kuseduh dengan air mendidih banyak-banyak, mungkin lebih dari seliter. 'Kutuang ke dalam cangkir plastik merah kesayanganku yang tak bertelinga, sedangkan segalaku sekadar berharap menjadi bagian darimu. Aku adalah rama bagi anak-anakku, perempuan ada tiga jumlahnya, dan seekor kambing gibas. Teh herbal mengepul-ngepulkan uap, serayaku membatin, semua cinta di dunia tidak akan merenggutku darimu; karena aku hanya punya cinta untukmu, Sayang, jikapun harus berakhir dengan berpidato di tepi sumur. 

Tidak perlu sok seram. Cukup seperti Nick Wallace saja, karena yang biasa, yang sehari-hari, justru yang paling seram. Apalagi kalau sampai dibiasakan. Aku tidak nyaman jika sudah sampai ke sini. Setelah ini bisa saja aku kembali ke depan tivi seperti berbulan-bulan terjadi di Uilenstede 79C, padahal waktuku sudah habis; sudah lewat jauh bahkan. Wiyono semalam menyapaku. Aku sudah jadi pengemis dan ini benar 'kurasa yang menyakiti lambung. Bahkan ibu penjual nasi uduk menangis jika mengenang pengalamannya mengemis. Aku sekadar teriris di lambungku.
 

Saturday, December 03, 2022

Entri Perdana Ruang Bidstu Berdinding Kaca


Selalu dan selamanya! Apanya. Bukan kembungnya yang jelas, meski karedok Sasari aduhai pas bumbunya. Aku selalu suka karedok, bahkan yang di Nging Kemang atau Cipunjur sekalipun, yang mahal itu; tetapi mengapa kalian selalu menyiksaku begini. Begitu juga dengan pecel, boleh beli di Mbak Ira atau merebus sendiri. Mengapa. Apa yang harus 'kulakukan, haruskah 'kujalankan nasihat Alvin makan umbi garut. Tidak, karena pada Pak Insan tidak mempan. Begitu kata Cantik. Ya, sudah. Jika demikian tinggal mengeraskan hati, sedang daun-daun mati berguguran.
Sebenarnya bukan itu. Terakhir aku melihat masih selalu. Mungkin itulah sebelum 'kumatikan karena Cantik sudah me-WA. Sebelumnya bahkan 'kutinggal lama sekali karena Hadi muncul dari balik kaca. Kami lalu minum jus mangga di saung kantin, kali pertama untukku. Saung itu bau tahi kucing, namun bagi perokok mungkin yang seperti itu tidak masalah. Tidak lama bahkan datang Alif membawa cerutu-cerutu. Perutku kembung bukan buatan, meski kantin kaca memang selalu nyaman, terlebih jika seorang diri di situ. Cukup besarkan saja kipas pendingin udara, bereslah.

Mencongklang VarioSua ke arah PNJ, ternyata diportal, maka mengarahlah ke kandang bis kuning, rotunda, balairung, seterusnya sampai berputar di depan menwa, menyusuri Margonda. Tadinya mau ke D'mall malah ke Peseq, meski tujuannya sama: Dapur Kekaisaran. Standar, bubur dua rasa untuk cantik, mie wonton udang untukku. Minumnya yang agak tidak standar. Aku minum liang teh, Cantik teh hangat manis, meski akhirnya memesan teh cina seteko juga karena tidak panas. Ah, sementara flamingo cantik beterbangan di sekelilingku begini.

Sampai di sini yang 'kuingat hanya kembung sekembung-kembungnya, sampai-sampai biji kanan nyut-nyutan. Apa masih mending ketimbang rindu-serindunya, aku tidak tahu, sedang laut memisahkanku dengan cintaku. Jika ini mengenai ruang bidstu berdinding kaca yang bergetar berderak gara-gara gempa Cianjur minggu lalu, Senin, 21 November 2022, maka biarlah. Kala itu, aku dan Hari sedang berbual-bual. Sekitar jam satu siang bergoyang-goyanglah tanah. Hidup dan biarkan mati! Sudah hampir dua minggu ternyata sejak gempa itu terjadi.

Pagi ini, setelah mengantar Cantik sampai di ambang Gedung VIII, aku memarkir VarioSua di depan WC samping SDM seperti biasa. Langsung 'kuminta Pak Roni untuk membuka ruang bidstu sementara berdinding kaca. Setelah melepas jaket, aku melangkah lagi menuju Barel. Sasari tujuanku, bertemu ibu yang tidak berubah sedikitpun dari duapuluh tahunan lalu. Ia masih mengenaliku meski aku jauh menambun. Bahkan ia masih ingat betapa aku sangat suka tahu sayur kuning. Pagi ini, aku memesan karedok, orek tahu, bulet, seutas otak-otak, dan sendok palastik.

Jangankan disertasi, bahkan kembali ke UUD 1945 meski dikaji-ulang tidak juga menarik bagiku pagi ini. Apakah karena perutku mulai mengembung. Aku malah kembali membuntuti Kapten Henry ke London, lalu Berlin. Tidak apa, karena ada kemungkinan setelah Oktober Bossman sudah tidak menjabat lagi. Mungkin Kapten Henry bisa pulang dan mendapatkan tugas laut yang sangat diidam-idamkannya. Teh herbal ini semoga benar berkhasiat. Ada waktu-waktunya aku ingin teh herbal begini: Rasa herbal. Selebihnya aku suka teh melati dengan sekepret gula. 

Akankah 'kudapati ruang bidstu sementara berdinding kaca tetap nyaman di hari-hari kerja, aku tidak terlalu peduli. Aku selalu bisa bersembunyi di tempat profesor mati atau tempat Togar. Kini aku merasa sedikit kembung meski sudah minum teh herbal yang konon mengobati kembung. Kapankah kini, besok bilakah datangnya, kemarin sudahkah berlalu, tidak penting di goblog ini. Apakah suara flut lebih cantik dari terompet, seperti aku tidak bisa membedakan antara cantik dan manis. Jelasnya, aku harus sangat dipaksa untuk menyukai perempuan berbentuk seperti Nanda Gita.

Betul-betul jadi romantis suasana hatiku

Saturday, November 26, 2022

Suatu Waktu Untuk Kita Menyusumo, Susumo!


Daripada merasa kesakitan, lebih baik menjatuhi diri sendiri dengan cinta. Menjelang tengah malam yang dingin di akhir November ini, tumben Amsterdam belum bersalju. Malah hangat ini, mungkin karena mendung berhujan. Tempo hari aku berpapasan dengan Velen. Seperti biasa pertanyaannya kapan, yang 'kujawab dengan dengusan dan dehaman. "Lo sih pulang melulu." Untunglah aku tidak perlu terlalu memedulikannya, karena aku sedang jatuh cinta. Meski aku tidak baru saja ikut mengebom Berlin, dapat 'kurasakan bibir dan wajahku dikecupi.
Ya, dihujani kecupan oleh seorang perempuan muda berusia dua puluh tujuh tahunan. Uah, aku bahkan lupa rasanya berumur segitu, apatah lagi rasa seorang perempuan berumur segitu. Umur segitu memang sudah sangat patut berumah-tangga. Sedih malah jika belum. Seingatku, umur segitu aku sedang tolol-tololnya. Tahun 2003 apakah aku menyongsong kehancuranku. Cahaya dari samping ini sungguh sangat mengganggu, sedang kalau pas di depan terlalu silau. Begini lumayanlah. Toccata ini begitu saja 'nyelonong menemaniku yang tak lagi muda, pun masih dungu.

Jika ada mahluk mengerikan menyapamu di warung modern ber-AC atau di depan warung pulsa, memanggilmu "Om", sudah tentu kau terus berlalu. Jadi tidak usah gaya-gayaan. Seperti lagu kecil ini, tentu ada yang menjijikkan. Begitu menjijikkannya sampai membuat mual. Bagaimana kalau bentuknya saja yang menjijikkan. Tutur-kata, tindak-tanduk, bahkan baunya harum mewangi. Tidak! Tobat bin kapok tidak mau gaya-gayaan lagi. Memang standarku sudah rendah maka jangan direndahkan lagi. Ini lagi kemarin dimainkan dengan piano sedang aku kejijikan begini.

Lantas bagaimana dengan keindahan dunia. Dunia, hidup di atasnya ini memang indah, tinggal bagaimana menikmatinya. Wow, belum lama ternyata Culap-culip mengudara. Baru tahun lalu dan beberapa videonya sudah ditonton jutaan kali. Pasti tidak mudah membuat yang seperti itu, meski mungkin jauh lebih mudah daripada mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, dengan anggota-anggota para pemimpin rakyat sejati yang berhikmat kebijaksanaan. Ada lagi usul membuat lumbung sebagai alat pengisian MPR. Masih ada lagi majelis ketuhanan, majelis kemanusiaan, majelis persatuan, majelis kerakyatan, dan majelis keadilan.

Apa mereka tidak tahu betapa gila terdengarnya usul-usul mereka itu. Jangan-jangan demikian pula terdengarnya segala omonganku. Ini membuatku teringat pada seorang gadis yang menyapu kantor, yang pernah kemasukan orang gila mau pinjam kamus. Bukan hanya satu melainkan beberapa, yang aku tidak mau kenal lagi. Orang gila itu pernah kencing dan wudhu sekali di wastafel Warung Alo. Kenapa jadi membahas orang gila, bukan gadisnya. Karena gadis-gadis tidak akan pernah habis dibahas, sedang orang gila jika dihabisi takkan ada yang meratapi. Aku ini.

Aku senang, meski melanggar jumlah baris, tetap rata kanan-kiri. Jika itu saja tersisa untuk kesenanganku, tidak menjadi apa. Jikapun aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi pada fananya dunia, itupun tidak menjadi apa. Cinta, jika sejati, tidak akan jatuh apalagi menjatuhi. Biarlah keindahan dunia berseliweran di hadapanku, aku selalu bisa tersenyum karenanya. Apakah orang gila itu tidak lupa mencuci kelaminnya, atau bahkan mandi besar sekali sebelum wudhu, aku malas menanyakannya. Biar Penciptanya yang menilai, lantas menerima atau menolak sholatnya.

Keharuman itu akan selalu tinggal dalam benakku, jika tidak lagi pada epitel rongga hidungku. Tidak perlu lagi 'kuhirup dalam-dalam a la Jean-Baptiste Grenouille. Cukup 'kusungging senyum dan keharuman itu kembali padaku, denganku. Apakah ia sekadar menyelimuti atau mendekapku erat, kini terserah padaku. Bahkan harumnya yang gurih itu sampai bisa 'kucecap dengan indera perasa pada lidahku, entah itu berarti bibir saling berpagut, lidah berjalin-berkelindan. Meski pangkal lidah elek-elekan dicincang kecil-kecil pun digoreng garing, aku akan tetap mencinta.

Sunday, November 20, 2022

Wilkataksini Tidak Sama Dengan Wiraksini


Ini adalah suatu ketidakberdayaan. Uah, apa tidak ada ungkapan yang pendek saja dalam Bahasa Indonesia untuk itu. Sedang aku merasa tak berdaya hanya karena teh dalam jebungku tinggal beberapa teguk, Mas Wiek datang membawa rujak serut dengan helm gojeknya. Sebenarnya, ketidakberdayaan 'kurasakan ketika aku mengetiki begini, di sini. Sudah berhenti sampai di sini sebenarnya, karena mengitiki itu jika aku sedang merasa lucu, dan karenanya riang. Kalau sedang merasa tidak berdaya begini, tidak ada yang berlompatan apalagi berkesiuran. Mustahil semua.
Lebih tidak berdaya lagi jika sarapan dengan roti goreng isi totit dari setiap hari, masih ditambah beberapa keping keju garam, sambil menyimak sejarah lama. Apakah ta'liman ibu-ibu ini yang menambah rasa tak berdayaku, sedang mengetiki seharusnya ditemani irama merdu mendayu-dayu. Baik 'kucatat di sini Wiraksini itu nama seorang gadis, sedang Wilkataksini adalah raksasa. Hahaha bagaimana sampai bisa tertukar. Sampai di titik ini, aku merasa tidak sanggup menyelesaikan entri ini, sedang mataku sudah disambung kacamata baca, kini 'kulepas. 

Aha, ingat aku sekarang. Minggu pagi yang tidak ke ndalem Jalan Radio. Jadi ada dua macam minggu pagi. Satu, yang ke ndalem Jalan Radio. Dua, yang tidak ke ndalem Jalan Radio. Sungguh memalukan. Lima ratus ribu bertebaran di mana-mana, terlebih lagi empat juta atau bahkan lebih. Allah Dewa Batara. Ini adalah minggu pagi di tepian Cikumpa, yang kini diselingi Pondok Pesantren Daarul Hidayah Aswaja. Darinya pertama kali 'kudengar lagu Sholawat Hasyim. Apa kaupikir ini 'kan menjadi semacam karya sastra begitu, lelompatan kebat-berkebit ini, meski rata kanan-kiri.

Memang jatuh cinta bisa membuat orang mengabadikan nama dalam judul sebuah lagu bersyair. Itu sangat dapat dipahami. Apakah pada tempatnya jika 'kutulis di sini betapa, setelah sekitar dua puluh lima tahunan, Kapten Angkatan Laut Victor Henry jatuh cinta lagi. Seperti halnya Robert Langdon tidak seperti Tom Hanks, aku yakin Victor Henry juga tidak seperti Robert Mitchum, meski mungkin Herman Wouk sendiri yang memilihnya. Ah, Amerika memang keparat, yang bila nanti di lubang kubur tidak akan berarti apa-apa, seperti ketika 'kupandangi foto-foto itu.

Dari kiri ke kanan, Mbak Eka, Bang Andhika, Prof. Arie. Lagu cinta, itu malah yang diperdengarkan bagiku yang masih berkeliaran di punggung bumi. Sungguh aku tidak sanggup gaya-gayaan berbicara mengenai aji pancasona alias rawa rontek, aku yang tidak berdaya tanpa republikku ini, seharga hampir setengah juta setiap bulan. Mungkin ini lebih baik, karena jika menggunakan sabun batangan Dettol asli sungguh lecetnya. Jika sampai bertemu, mungkin ada baiknya si pembuat tekotok ditempeleng bolak-balik. Dia pikir dia lucu, untung saja diselamatkan suasana syahdu.

Apa arti kesyahduan jika bukan ayam bakar diberi bertusuk sate dengan potongan besar-besar. Masih bersari jika digigit, makannya harus panas-panas. Jika sudah dingin tidak seberapa enak. Tidak ada yang dapat dibanggakan dari pernah tinggal di Belanda, hanya potongan kenang-kenangan. 'Kurasa begitulah adanya bagi semua orang. Namun aku suka keadaanku sekarang, jauh dari republikku. Meski badan tidak segar karena memang tidak pernah bergerak. Bergerak membuat lebih produktif, katanya. Bisa jadi, setidaknya suasana hati jadi lebih baik, tidak seperti ini.

Suara utamanya gitar baja ditingkahi terompet berpengedam. Jenial! Bisa terbayang rasanya jatuh cinta pada Emmanuelle di jalan-jalan Eropa yang muram cuaca. Aku sampai lupa apa rasanya berperut rata. Sudah hampir dua tahun ini perutku buncit menggelembung. Aku tidak tahu bagaimana caranya mencintaimu, seperti halnya bagaimana mencintai diriku sendiri. Jika armada sekarang sudah berubah menjadi mal dan hotel, aku bahkan tidak tahu apa dia sebelumnya. Seperti halnya bocil-bocil ini menjadi perwira Angkatan Darat, Yesus Kristus Superstar! Entah, 'ku tak tahu lagi.

Tuesday, November 15, 2022

Apa Harus Kuganti Menjadi Jabodetabekpunjur


Apa lantas ini akan menjadi entri mengenai Warung Nasi Cipunjur khas Cianjur yang di Jalan Kemakmuran itu. Apa lantas ini mengenai karedok dan ulukutek leunca yang sepisin kecilnya sepuluh ribu Rupiah itu. Apa lantas pepes tahu yang penuh dengan uwuh sehingga sulit memakannya itu. Apa karena aku marah-marah pada bocil-bocil itu, karena mereka terlalu percaya pada pemilu langsung. Eddie Calvert menyompretkan John dan Julie, yang seingatku tidak ada di kaset Ibu. Tidak menjadi apa karena memang sompretannya amat berwarna keemasan, seperti terompetnya. 
Jikapun aku langsung melompat ke mari, itu sekadar memeriksa posisi gambaran. Kapan itu aku makan pilus rasa mie goreng sembari meneguk-neguk Nu teh tarik, sejak itulah perutku terasa aduhai. Seperti London di malam hari ketika Pamela nyaman dalam pelukan Kapten Henry, seperti itulah aku mengetiki di depan jendela memandang ke arah gang Blok M. Adakah London di waktu malam dalam kaset Ibu aku tiada ingat. Ia selalu ada di Kemayoran, pada rak kaset kayu yang terakhir berwarna biru, seperti rak buku kesayangan buatanku sendiri, 'kubawa ke mana-mana.

Meski sebelum ini sempat terpikir mengenai bunga kuning kecil yang menghias indah sudut kanan bawah, di tengah limpahan cumi empang dan irisan cabai hijau dan cabai merah dan bawang putih, nyatanya gawai ini memang cucok untuk mengetik-ngetik seraya mendengarkan musik-musik non-stop yang diputar Youtube. Uah, kalimat apa itu berlari kencang begitu. Apa baiknya ditingkahi dengan gericik air, atau bahkan debur ombak. Masih lebih baik daripada dengingan bor apatah lagi hantaman martil menggempur beton. Khayalku tidak menjadi kenyataan. 

Tidak seperti suami Uncu yang Jawa, atau bahkan Ahmad Wildani si bocah Ngalam, aku tiada pandai mencari uang. Jika dipikir-pikir, apalah pandainya aku ini. Tak ada. Kelentang-kelenting piano dengan lamat-lamat oser-oseran stik sikat pada dram senar, sedang ombak mendesau mendebur seakan tidak di kejauhan, aku duduk di sofa bau meski sudah ditutupi kain pelapis. Seperti sofa di rumah Pak Kaji dulu di Uilenstede. Sofanya Hadi tiada ditutupi, dibiarkan terbuka begitu saja sampai bau Hadi. Lantas apalah arti cinta dan kasih-sayang di sejuknya musim semi.

Di sini kau akan tahu bahwa aku sudah tersesat jauh, meski desauan ombak ini serasa amat dekat. Dapatkah aku melakukannya sambil melaju di tol Trans Jawa. 'Kurasa tidak perlu, karena jikapun itu sampai terjadi, maka aku hanya harus menunggu sampai servis makan, setelah itu tidur hingga sampai di Jombor. Tentu saja di Magelang ombak tidak mendesau, tidak seperti di Sanur, tempat-tempat pelesiran itu, atau tempat-tempat healing kata kids jaman now. November ini banyak orang-orang dalam hidupku berulang-tahun. Jikapun 'kusebut, itu almarhum bapaknya Nira.

Adanya aku bisa sampai di sini, ada entah siapa membuat video lirik bagi Musnah tak Berguna, maka tidak selesailah entri ini sebelum tengah malam. Aku bahkan tidak ingin menceritakan mimpiku sebelum bangun tadi. Kenyataan bahwa aku tidak punya uang, sedang perutku tumpah-ruah ke mana-mana, sedang tadi malam makan malam bubur Madura, masakan  pagi ini makan bubur Cianjur. Apapun yang diinginkan Cantik, sudah barang tentu aku paling suka bersamanya. Jika ia ingin bubur Cianjur, bahkan Unicorn Indorent sekalipun, Insya Allah 'kuusahakan.

Jujur, jez November piano bossa nova ini tiada berapa endeus, apalagi jika tidak ditingkahi desauan ombak yang tiada henti. Suasana apa ini yang ditimbulkannya. Apakah suasana sarapan pagi di sebuah resor pantai, sedang tersedia potongan marlin asap yang diasinkan selain tentu saja ratatouille. Semua kenangan dari delapan tahun lalu. Tentu saja aku tidak mungkin mengenang yang belum pernah terjadi padaku. Semua kenangan kini terasa ekstra menyakitkan, kecuali menjalani apa adaku bersama Cantik kesayanganku satu-satunya. Hanya karenamu 'kutahankan semua.

Monday, October 31, 2022

Siapa Bilang Oktoberfest Tidak Ada Entrinya


Ini adalah suatu kenangan mengenai Atiek CB, meski birnya hitam. Aku lupa Bintang, Anker, atau Guinness. Jadi sudah barang tentu bukan Oktoberfest, namun aku tidak peduli. Aku bisa saja meminum lager, pilsner, atau kolsch, namun malam itu, dingin berangin, aku memilih stout untuk menemani berbatang-batang Djarum Super. Kaukata entri-entri dalam blog ini mengenaiku, 'Gar?! Uah, ini mengenai dunia seisinya, dan apakah salah jika aku memandangnya dari sudutku. Lantas dari sudut mana lagi. Jelas aku tersudut. Di waktuku sendiri pun aku sudah tersudut.
Di pantai yang gelap itu, bisa saja 'kutelanjangi Atiek CB, atau sekadar 'kusingkap agar 'kupilin-pilin, atau apalah. Namun malam itu aku tidak melakukan itu semua. Anganku melayang ke malam-malam ketika Raymond mungkin belajar ditemani balada-balada yang dinyanyikan Gary Moore, atau ke malam-malam ketika aku sendiri belajar di bawah temaram lampu bohlam di kamar praktek dokter Hardi Leman. Wadagku bersama Atiek CB, namun anganku sudah pasti melayang ke kamar berlelangit pendek di pinggir kandang kambing. Apa salahnya itu semua.

Guntur menggelegar mengampar-ampar di kejauhan, terdengar dari puncak bukit sini, agak di luar Siena. Adakah itu cinta pertamaku, baru dua puluhan tahun kemudian 'kusadari memang terlalu tua untuk memerankan perempuan dua puluh tujuh tahun. Tiada sesuatu apa dapat 'kuharapkan dari apapun, ketika bahkan aku berutang lima ratus ribu Rupiah pada Togar. Sungguh sangat menyakiti hati dibanding harga Scoopy Prestige Green yang dua puluh dua juta enam ratuh lima puluh ribu Rupiah dibayar tunai itu. Sebarisan alat tiup kuningan meningkahi.

Dapat 'kurasakan hirupan dalam-dalam asap Djarum Super, benarkah 'kumasukkan ke dalam lambung, 'kutelan. Dapat 'kurasakan tegukan bir hitam pahit dingin membasahi kerongkongan, masuk ke lambung juga. Jika sudah begini tidak butuh apalagi Chigo by Kenangan Brand karena pada saat itu memang belum ada. Dapat 'kurasakan tanganku menggerayangi kantong celana Bapak, mencuri beberapa ribu bahkan bisa sampai sebungkus. Jika bukan sejebung besar kopi hitam pahit, mengepul-ngepul baru mendidih, bergambar mobil balap formula satu.

Balada ini, sayatan senar gitar ini melengking meratap-ratap. Apa benar yang diratapi kepergian anak istri. Malam-malam yang semakin kelam segelap pikiranku. Sepanjang jalan Sawo dari Rumah Makan Padang Siang-Malam sampai seberang Kober, sedang meneguk Cleng Marem Anoman Dasamuka. Masih mengenai diriku, kau kata, 'Gar?! Ini mengenai rasia kelamnya malam, mengenai kepulan asap rokok atau uap kopi, mengenai pelacur yang tidak dijamah namun minta dibayar. Sekadar diajak berbual-bual, sedang mani dibuang percuma di selokan pinggir rel.

Seorang waria merancap sambil menonton filem porno, sedang waria lainnya lari keluar kamar sambil menangis. Maka 'kulantangkan: Santiago! Seorang diri menghadapi gajah perang dengan meriam tangan. 'Kurasa sudah 'kupejamkan mataku seraya mengucap salam Maria, ketika gajah itu begitu saja berhenti tepat di hadapku, belalainya menyentuh hidungku. 'Kupikir aku sudah di Valhalla atau neraka sekali, ternyata di belakangku sebarisan pasukan musabaqoh tilawatil quran membuat gajah itu masuk Islam bersama mahoutnya sekali. Bau selangkangnya sangat memuakkan.

Pada akhirnya, aku mulai menikmati Oktoberfest ini. Jangan sampai lapar di tengah malam begini, nanti pinggangnya dicubit lagi sama Wakakoops keparat. Seperti koala mati saja kelakuannya. Kapan terakhir aku jatuh cinta, sudah tidak ingat. Jangan-jangan tidak pernah. Ya, aku sedang jatuh cinta padamu. Sekarang ini. Selebihnya aku tidak peduli. Jika pun ini di bis malam dalam perjalanan ke timur, 'kuingin ini bersamamu, karena engkaulah cinta dalam hidupku. Hanya satu kamu, meski senar gitar sok menyayat-nyayat begini. Cintaku selalu hanya padamu, selama-lamanya.

Wednesday, September 28, 2022

Anakku Sayang, Anak Perempuan Satu-satunya


Kini matahari telah terbenam di Karibia sini, padahal sebelumnya Michael menarikan tarian terakhirnya dengan senandung masa kecilku. Ini semua karena aku harus menyiapkan pemegang-tempat dan gambaran lebih dulu sebelum mulai mengetiki. Padahal ini mengenai hari ulang tahun anakku sayang, anak perempuan satu-satunya, darah dagingku sendiri. Ini semacam surat kepada orangtua, mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih atas segala kasih-sayang yang tercurah. Hari-hari seperti ini ada saja hampir dalam hidupku, semoga Allah senantiasa berbelas kasihan padaku.

Apakah aku, sebagai bapak, berjalan terlalu cepat. Bisa jadi, semata karena berusaha menghemat uang. Ingin cepat-cepat sampai di rumah juga, karena Lantai 2 Institut Seni, Sains, Teknologi, dan Humaniora aduhai sungguh pembekunya. Aku punya sebuah pertanyaan, begitu saja 'kukatakan pada Ah Hui. Mengapa kau memilih adegan Pandawa Dadu ini untuk ruang kerjamu. Aku tidak tahu ini mengenai apa, tukas Ah Hui. Aku hanya menyukainya karena ia terlihat timbul, seperti tiga dimensi. Memang orang hebat harus sederhana seperti Ah Hui. Tidak seperti aku.

Aku pun, seperti Ah Hui, punya ruang kerja. Parul punyakah. Apa perlu 'kukenang-kenang pada ketika mereka berempat berkeruntelan di tepi Ciliwung, sedang aku di bantaran bertebing yang lebih tinggi. Di kamar mandi ada sebuah pintu ke arah belakang, yang jika dibuka maka terlihatlah halaman belakang yang seingatku tidak pernah 'kujamah. Sepanjang 1998 itu. Orang mengenang tahun itu sebagai awal Reformasi. Aku mengenang TB menertawakan keheroikan Acep yang musnah begitu saja setelah melihat orang Timor Leste, setahun sebelum anakku lahir.

Baru 'kusadari, setelah sekian lama, mandolin dari Nikosia lebih dari satu. Pantaslah seperti ensembel bunyi tremolo pada senar-senarnya. Seperti biasa, mandolin-mandolin ini menjadi penanda akan dimulainya permainan terlarang. Benar-benar aku harus sesering mungkin ke Jalan Radio. Sebuah foto keluarga besar yang terdiri dari Bapak Ibu, anak-anak dan menantu-menantu, lengkap dengan cucu-cucunya memang tinggal kenangan akan suatu khayalan. Yang nyata ada padaku saja khayalan semata. Maka kembalilah aku, seperti biasa, ke desa itu, dari masa kecilku.

Uah, hujan rintik menderas ini memang nyaman membelai jiwa. Semoga badanku yang penat ini pun, atas izin Allah, turut disembuhkannya. Mungin, seperti yang 'kuceritakan pada Dr. Teddy Anggoro tadi, aku harus kembali berjalan kaki. Meski panas di sini, pasti ada waktu-waktu yang tepat untuk melakukannya. Jika tidak sore hari, maka pagi setelah subuh. Tidakkah setiap hari Pak Nyalla mengingatkan untuk sholat dhuha bahkan tahajjud. Membayangkan itu semua saja sudah membuatku merasa mengapung tinggi di angkasa seperti layang-layang si Jampang namanya.

Mungkin bagi Efraim segala mengenaiku menjijikkan, terlebih tulisan-tulisanku di sini. Biarlah. Aku lebih suka begitu. Dari dulu aku memang selalu digilai dan dielu-elukan. Akankah besok aku sanggup mendongengi bocil-bocil mengenai sarana administrasi, entahlah. Aku ingin membawakan anakku uborampe yang dibelikan Bundanya. Anakku memang sudah tidak kecil lagi. Sudah dewasa malah, sudah jauh meninggalkan usia remaja. Anak-anak perempuanku memang sudah gadis-gadis. Tidak ada lagi yang pantas 'kupeluk-peluk dan 'kucium-cium.

Di sini, di sana, di mana-mana, tiap tetes embun, tiap helai daun tahu betapa 'kuingin memeluk, mencium anak-anak perempuanku. 'Kukabarkan saja ini pada angin lalu. Biarlah mereka semua beranjak dewasa dengan doa-doa dan harapan-harapanku. Di usiaku yang masih muda ini, kata sementara orang, aku sudah merasa cukup. Tidak ada lagi yang 'kuinginkan. Jika aku tidak berkesempatan memeluk dan mencium anak-anak perempuanku di hidup yang ini, biarlah itu 'kulakukan di hidup kemudian. Aku tidak ingin bidadari. Aku hanya ingin anak-anakku sayang.

Saturday, September 10, 2022

Adakah Cavatina dalam Cavalleria Rusticana?


Ini sudah jam satu siang, dan aku duduk di pojok selatan Restoran de Margo menunggu Istriku Cantik sholat dhuhur. Padahal tadi pagi, seraya mendengarkan rendisi Pakde Hank mengenai Cavatina, tiba-tiba aku teringat akan kenikmatan kelamin. Padahal pagiku tadi tidak seberapa menyenangkan, namun tidak lama setelahnya aku dibuat senang dengan sepiring besar berisikan tiga batang sosis koktil, 'kurasa merek Kimbo, dua lembar kecil ham halal yang kering dan gosong, hashbrown yang digoreng terlalu kering, seporsi kecil kacang panggang, dan tentu omelet kering.

Apakah tempat seperti ini cocok untuk bekerja. Apa memang aku harus ada stasiun-kerja yang mobil. Nyatanya sampai hari ini aku belum pernah benar-benar mengetik selain di Lenovo PC-AIO 520. Uah, asyik juga menulis-nulis nama stasiun-kerjaku. Yang mobil ini namanya HP 11-Cb. Rasanya seperti alutsista. Entah mengapa beberapa hari terakhir ini aku suka melihat-lihat alutsista, meski aku bersyukur tidak harus bekerja di atau dengan salah satunya. Apalagi kalau aku masih harus menenteng-nenteng SS-1 maupun 2. Aku suka begini saja, bahkan dengan HP 11-Cb.

Satu kelemahan terbesar mengetik di sini adalah aku harus berdamai dengan musik jez umek yang disetel. Bahkan setelah 'kusumpal telingaku dengan BT-008 tetap terdengar keumekan itu, Sudah agak dua jam aku di sini, tadi masih tertahankan. Namun ternyata tidak tahan juga sampai aku memintanya untuk dipelankan sedikit. Nah, sekarang agak lumayan 'lah, meski tetap saja suara geraman entah apa mendominasi. Namun setidaknya rendisi Francis Gayo terhadap lagumu menjadi suara dominan dalam telingaku. Yang jelas, tidak ada itu istilah "kusumpil" di telingamu. 

Uah, sekarang aku mengantuk. Jangankan sampai memikirkan Teluk Jakarta sebagai arena [-arena] sosial, meneruskan mengetiki saja penuh perjuangan. Pegawai restoran sedang beberes membersihkan meja-meja prasmanan, mungkin untuk persiapan brunch besok. Apakah 'kutahu kemana 'ku pergi sejak kecil selalu saja mewarnai kalbu. Di Kemayoran, Kebayoran, Cimone, sebentar kembali ke Kebayoran, Magelang, Surabaya, sebentar lagi di Kebayoran, Depok. Begitulah perjalananku sejauh ini. Kebayoran adalah tempat kelahiranku, oleh itu sering aku pulang ke sana.

Pemandanganku ke arah timur, di balik kaca, adalah taman yang tertata rapi, dengan barisan pucuk merah dan beberapa batang kamboja. Tidak 'kuimpikan rumah seperti ini. Bagasnami QS M14 sudah cukup bagus untukku di dunia fana ini. Jika itu tidak sama dengan bila. Jika adalah mengenai keadaan, sedangkan bila mengenai waktu. Cantik malah mainan tetris yang tidak bisa diputar-putar seperti biasa, seperti anaknya yang pikirannya animasi saja tidak kunjung berkembang. Namun aku seraya teringat tidak lebih baik dari siapapun terlebih dan terutama kambing.

Aku tidak sedang jatuh cinta ditemukan Pak Kaji di dalam VW-nya entah pemberian siapa. Adakah sesuatu embel-embel di dunia ini yang sanggup membuat kepalaku lebih besar dari sekarang ini. Aku berlindung kepada Allah darinya. Justru dengan gembel-gembel di seputar pinggangku ini membuatku kecil hati. Keadaanku kini tidak lebih baik dari ketika aku menghuni kamar sekunder di Uilenstede itu, namun juga tidak lebih buruk. Bahkan sangat boleh dikata keadaanku kini jauh lebih baik dengan Cantik di sisiku. Entah apa yang akan 'kulakukan tanpanya, Istriku Cantik.

Malam dalam satin putih, aduhai. Ini baru masuk sisi B dari Gayo di samping nyala lilin. Ternyata Sofia Elvira punya kisah cinta. Apa 'kuganti saja. Ini pada dasarnya sama saja dengan yang 'kupunya di dalam panjang-panjang, namun mungkin tidak sepanjang itu. Aku curiga yang dalam panjang-panjang itu sudah tercampur sesuatu. Pantaslah terdengar sangat modern, dari 1996, sedang air kolam di luar beriak-riak tanda tak dalam. Sanggupkah setelah ini aku kembali memikirkan, terlebih penting, menulis mengenai Teluk Jakarta sebagai arena-arena sosial. Mari dicoba.

Saturday, September 03, 2022

Cantik, Ini Kekerasan... Biarkan Saja, Sayang


Perutku sudah seperti Bengawan Solo begini, mengalir sampai jauh, sedang aku bertelanjang dada sampai perut, mengetiki sendirian di Ruang Bidang Studi Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Harus ya dirinci seperti itu, sedang kedua lengan telanjangku kedinginan meski tidak dihembus langsung pendingin udara merek Panasonic tepat di atas bekas kubik almarhum Pak Wied Suryandono. Mulutku terasa seperti ingin dibersihkan, sedang perutku, atau lidahku, terasa seperti ingin minuman hangat berbadan tebal. Apakah dalam tasku ada Susu Jahe Sidomuncul bersama dengan Serbat Jangkrik Mas Habatussaudanya sekali. Apa 'kan 'kuperiksa sekarang juga. Entahlah...

Ya, Sayang, tidak usah pagi ini, kapan pun kau selalu cantik sekali. Cinta itu memang adanya di hati nurani. Cinta itu adalah ketika seluruh panca indera diistirahatkan, mata dipejamkan, telinga disumbat, hidung anosmia, lidah ageusia, sekujur kulit digosoki lumatan daun tapak liman; pendek kata, mengheningkan cipta. Sungguh kasihan orang yang merasa mencerap kecantikan namun matanya nyalang, telinganya tegak, hidungnya mengendus-endus, lidahnya mencecap-cecap, kulitnya meraba-raba. Bagiku, kecantikan memang tidak pernah berwajah tak berupa. Kecantikan itu terasa seperti khayalan akan sejuknya angin sepoi basa di tengah siang hari bolong, di puncak musim kemarau yang tidak berangin.

Kedua belah lengan atasku sudah sedemikian kedinginannya, maka 'kumatikan pendingin udara. Ternyata itu yang berhasil memaksaku mengangkat pantat besarku. Apakah keinginan untuk minum minuman berbadan tebal dapat membuatku melakukannya lagi, entahlah. 'Kusuka Chopin sampai di alinea ketiga ini belum juga habis, Hei, Julio Iglesias begitu saja menyapa dari masa kecilku yang cantik. Ibuku memang cantik, itulah sebabnya aku ganteng begini. Aku, Insya Allah, sudah tahu betapa hidup ini memang indah, tinggal bagaimana menikmatinya saja. Aku belum lagi tahu seberapa indah kematian, meski jika memperhatikan contoh-contohnya, Insya Allah, bahkan jauh lebih indah. Semoga saja...

Betapa tidak indah, ketika dapur berdinding batako buah tangan Bapakku sendiri, berjendela kawat ayam, tidak pernah disentuh matahari pagi maupun sore kecuali pada Juli sampai Agustus. Mana 'kutahu ketika itu bahwa di Luxembourg atau Grenoble pada waktu-waktu seperti itu tengah musim panas. Beberapa puluh tahun kemudian akhirnya 'kutahu sendiri bahwa di Maastricht dan Amsterdam memang sedang musim panas pada bulan-bulan itu, maka dapur Ibuku dikecup matahari pagi. 'Kurasa belakangan sudah tidak begitu ketika pohon jeruk, asam, dan jambu semakin besar dan lebat. Pohon jeruk yang tidak pernah berbuah itu, khayalan seorang perempuan muda yang tidak pernah menjadi kenyataan.

Bapak tidak lagi membutuhkan jeruk pecel atau jeruk apapun, seperti halnya Pak Widodo tidak membutuhkan lagi tumpukan kertas-kertasnya. Hei, di sini banyak sekali orang mati. Coba kudaftar, mulai dari Pak Andhika, lalu Bu Eka, lalu Mbak Melania, lalu Pak Widodo, lalu Bu Arie. Maka 'kukorek-korek saja hidungku dari tahi-tahi upil yang menggumpal-gumpal di dalamnya, mengeluarkan bau yang sedap-sedap memuakkan. Aku kehabisan cinta, maka kupelankan suaranya, karena kehabisan cinta paling cantik bila terdengar lamat-lamat. Keinginan untuk menggosok gigi semakin kuat, namun 'kuselesaikan dulu saja mengetiki ini. Tinggal dua alinea pun. Siapa tahu mengitiki sedang gigi berjigong malah lebih kreatif. 

Selalu, selalu saja. Tertidur di lantai hanya berkaus singlet bercelana pesiar. Terbangun sedang di televisi selalu saja Russel Hitchcock, menyeterika sedikit, menggosok-gosok kuningan dan sepatu, mengenakan jas pesiar malam. Baguslah aku punya kenangan ini, karena memang cukup menjadi kenangan saja. Keadaanku kini yang Insya Allah sebentar lagi seorang doktor lulusan Universiteit van Amsterdam tentu lebih menyenangkan. Terlebih jika memikirkan rencana-rencanaku untuk menulis berbagai-bagai buku. Memang ternyata hanya itu cita-citaku dari dulu. Tidak menjadi laksamana, menteri, apalagi persiden, aku hanya ingin menulis buku. Sudah dua buku 'kutulis, tinggal menyusul sisanya.

Terlebih jika mengingat buku-buku agama yang memenuhi rak dan mejaku, menunggu untuk dibaca. Apakah plus mataku akan terus bertambah, entahlah. Masya Allah, betapa menyenangkan hidup yang diisi dengan membaca dan menulis. Jika sesekali terpaksa mengoceh, mendongeng, mau bagaimana lagi. Jika sesekali terpaksa main kiu-kiu bersama Sinta, apa hendak dikata. Jika sampai sekarang aku masih menunda-nunda mengisi BKD, tidak boleh dibiasakan. Biarkan saja! Aduhai, mengapai kau tidak pernah berhenti cantik sejak kecilku. Sampai tua begini, sampai sekuintal lebih beratku, kau masih saja cantik. Aduhai, tidak kendur pula pelukanmu padaku meski sekarang aku tambun begini.

Wednesday, August 31, 2022

Bebas Seperti Burung Tidak Bercelana


Bila burungku tidak bercelana begini, apa benar yang 'kurasakan. Adakah ini kali pertama aku menulis entri dengan Lenovo PC AIO 520, 'kurasa tidak. Hei, Lenovo ini, seperti halnya HP-ku dulu, 520. Uah, menarik, seperti yang sering dikatakan Efraim. Sekarang pun ada HP Chromebook 11 yang ternyata lebih berat dari Infinix X2 punya Cantik. Tidak mengapa, namun betapa borosnya. Aku jadi punya beberapa stasiun-kerja, satu yang statis, satu yang mobil. Sedang burungku tidak bercelana begini, berbicara mengenai alat-alat produksi, mengingatkan waktu-waktu yang telah lalu.

Coba lihat itu burungnya tidak bercelana begitu. Itu, burung yang ada di kiri gambar.
Adanya aku mengetiki di jam terakhir Agustus 2022 ini, ada perasaan meletup-letup seperti ingin mengetik yang benar. Namun apa daya, September 2022 tinggal agak sejam lagi. 'Kukatakan tadi pada Cantik, aku butuh pendinginan setidaknya sejam setelah mengetik, yang mana berarti berpikir keras. Itulah sebabnya aku mengetiki kini, yakni, yang tidak pakai berpikir. Seperti keadaan burungku sekarang, tidak bercelana, padahal ini sekarang sudah Cheyenne. Adakah hubungannya dengan Apache besutan The Shadows, mungkin perlu diperiksa. Begitulah aku selalu memeriksa fakta-fakta yang gunanya sama dengan bola biliar berbulu. Kelewatan...

Jika pun musim hujan, musim hujan kapan, 1995-1996 atau 1996-1997. Awal dua puluhan ketika itu, astaga. Sudah barang tentu aku tidak ingin kembali ke situ. Bapak pun jangan sampai dikembalikan ke situ. Betapa sedihnya Bapak ketika itu. Sampai saat terakhir aku juga tidak berhasil membahagiakan Bapak. Namun kebahagiaan jelas tidak di atas bumi ini tempatnya. Aduhai, menangis untuk sebuah bayangan ini asyik sekali. Bagaimana 'San, 'Gar, perasaan kalian ketika membacanya. 'Rid, apa kabarmu. Aduh betapa kusmasai hidupmu, bagai kusmasainya pikiranmu.

Apakah entri ini mengenai laki-laki muda seperti Farid, Sandoro, Togar, Gugum Ridho, atau yang lebih muda lagi seperti Efraim, Conrado, bahkan Zefanya. Bang Jep semuda itu sudah mengurus kelas-kelas dan materi-materi hukum lingkungan. Apakah memang seharusnya begitu, atau seperti Farid. Aku saja masih belum percaya, jika mengingat caraku hidup jaman muda, masih diberi kesempatan sehingga kini. Jelas apapun keberadaanku kini tidak ada hubungannya dengan apapun yang kuusahakan. Aku bukan orang yang mengusahakan sesuatu dari muda.

Seperti malam ini, aku membiarkan burungku tidak bercelana sampai melata-lata ke dalam tenda seorang syekh dari Arab, tepat di alinea ini. Akan tetapi, orang akan merasakan akibat dari kebiasaannya, dan kebiasaan-kebiasaanku, 'kurasa, banyak buruknya. Seperti ini, seperti yang dilakukan pemimpi adalah KRL ekonomi tak berpintu entah ke mana. Jika pun ke Bogor aku tidak ingat sama sekali apa yang 'kulakukan. Andri Sihasale pun sudah mati tidak mungkin ditanyai. 'Rid, janganlah menjadi setolol aku ketika muda, nanti menyesal di hari tua. Sungguh.

Halo, gadis mungil. Tidak pernah tertarik pula aku pada gadis mungil, meski Hari sampai tahu bahwa Astrid Sihite satu geng dengan Fitriana Gugum Ridho. Sudahlah, cium aku banyak-banyak pada muncungku cha cha boom. Sayangku, jika kau sampai meninggalkanku, maka tiap impian kecil akan terbang dan aku akan mati. Halah, mudah sekali mati seperti kecoak, sedang kecoak saja tidak mati-mati. Kecoak sudah kawin lagi belum? Cintailah aku tolong, sedang aku miskin masai begini. Tidak menjadi masalah. Aku malah sedang semangat berkarya, mencipta-cipta. 

Bagaimana caramu melakukan apa yang kaulakukan terhadapku? Aduhai cantik sekali. Tidak pernah berhenti cantik kau. Tepat pada saat ini, atau sebenarnya sudah lama sekali, mungkin semenjak memasuki umur empat puluhan, engkau tidak pernah berhenti cantik. 'Kurasa sampai kapan pun kau akan selalu cantik. Maka 'ku memohon padamu, tolong senangkanlah aku. Dengan apa aku akan disenangkan. Maka benar belakalah sabda Rasulullah, kedamaian dan keberkahan semoga selalu atas beliau sekeluarga dan para sahabatnya, kesenangan itu adanya lima kali sehari.

Saturday, August 06, 2022

Kalau Begini Saja Terus Kapan Selesainya


Waduh, sudah kelihatan miring begitu. Abunya bakal jatuh di luar mangkuk kayu berisi pasir yang diayak Mang Aisyah, sedang Masjid Jami' Nurul Yaqin sudah bersholawat bersiap-siap adzan Isya'. Nah, benar 'kan maka tadi itu aku berhenti untuk menunaikan ibadah sholat Isya' mumpung masih ada wudhu' [berarti sholat Maghribnya telat dong sampai Isya' masih punya wudhu']. Begitulah selesai sholat Isya' bukannya wiridan malah nonton TBBT sampai Cantik dan Ququq pulang, diteruskan makan malam boleh pesan McD untuk 4 (empat) orang habis hampir Rp 200,000 (dua ratus ribu Rupiah).

Bersama Ma Cherie Amour ini, aku tiba-tiba terpental ke geladak USS Carl Vinson atau John C. Stennis yag sedang memberikan penghormatan lambung kanan kepada USS Arizona. Waktu itu pagi yang segar bahkan sejuk, seingatku aku sudah cukup lama tidak mandi dan ketika itu pun kurang tidur. Itu dari lebih dua puluh tahunan yang lalu. Saat ini pun aku masih belum beranjak jauh, masih memeriksa KRI Makassar lalu Semarang, gaya-gayaan berpikir mengenai landing platform dock sedangkan Sefdin Saefudin memberiku bahan bacaan. Aku memang tidak percaya pada kepakaran. Tidak pernah. 

Aku bersyukur telah mencapai alinea ini, sementara semakin banyak saja abu jatuh keluar dari mangkuk kayu seharga Rp 15,000, sedangkan sebuah kacamata hitam dan wadah cakram-keras eksternal sedang dalam perjalanan menujuku. Sedang Aminudin Albek saja seorang komandan kapal, padahal aku sempat bertemu dengannya ketika ia baru capratar, begitu pula Bang Daru Indrahadi yang kini seorang perwira Marinir. Aku, sementara itu, sekadar mengajarkan antonim yang tidak selesai-selesai. Mana 'kusangka ketika SMP aku dipanggil Berry Prima, ternyata aku mengajar perlawanan kata begini.

Apa sekarang, mau dibawa ke mana lagi, ternyata kembali ke kantin Islamic Village. Hidup sekadar dibagi ke dalam episode-episode. Dalam episode manakah aku akan menamatkan Bonoisme. Menamatkan atau mewujudkan, ketika menerbangkan biplane saja aku tidak pernah, bahkan sekadar ultralight. Semua itu sekadar khayalan yang tidak berdaya, ketika nyatanya dari seluruh Paradua hanya Yulmaizir yang tahu rasanya menerbangkan F-16, bahkan Teguh Rumiyarto pun tidak. Namun bukan itu benar yang diinginkan Bapak, jadi mungkin Bonoisme memang harus mewujud. Entah bagaimana.

Sebelum ini aku hampir saja menulis mengenai malam-malam yang 'kuhabiskan dengan menggambar menggunakan pensil. Gambar-gambar yang jelek, sejelek musik-musikku yang tiada orang sudi mendengarkan. Tulisan-tulisanku adakah yang sudi membaca, tulisan-tulisan menjijikkan ini. Ketika malam sudah cukup larut, aku bersyukur bisa tidur sebelum tengah malam karena dulu itu sangat sulit untuk dilakukan. Sudah cukup lama aku bisa tidur malam, apalagi di kamarku, ruanganku yang rapi dan nyaman, lagi wangi. Tidak ingin pula terkenang malam-malam tak bisa tidur, amit-amit sampai pagi. 

Meski ini belum alinea terakhir, aku kembali berjalan di bawah derek. Jika sudah gelap berarti akhir musim gugur menjelang musim dingin. Aku mungkin mengenakan baju hangat dr. Icang warna coklat itu. Uah, sejuknya udara menerpa wajah ternyata 'kurindukan. Ya, hanya itu. Sepinya jelas tidak, apalagi jika kembali masuk naik lift ke lorong kuning itu. Di Kraanspoor lorong kuning, di Sepurderek kuning juga, opo tumon. Masuk ke 25 D8 tidak ada yang bisa dilakukan kecuali memandang ke seberang yang tak ada pemandangan juga kecuali menyakitkan, maka seperti Tukul kembali ke laptop.

Sekarang sudah di sini, meski tanpa sejuknya udara, maka kerjakan dan selesaikan! 'Kububuhi tanda seru di situ, maka tidak mengapa jika sebentar mampir di yang sekarang menjadi kantor Mas Narno, lantas pojokan Sekretariat Fakultas itu, lantas ruang ICT-Komintern, sampai kubikel pengungsi korban rezim, perjalananku sebagai dosen. Terasa benar suasana ruang praktek dr. Hardi Leman, seperti ini juga remang-remang lampu kuningnya, namun ketika itu sejuk. Adakah aku pernah merasakan kegerahan seperti ini sebelumnya, ataukah ini memang krisis iklim. Ya Allah, ampunilah.

Friday, August 05, 2022

Suatu Hari, Suatu Tempat Kita 'kan Bertemu Lagi


Sore ini bukan sesuatu yang istimewa, udara mendungnya, dadaku yang berkeringat meski perutku ketika itu tidak segendut sekarang. Themistocles mendendangkan syair-syairnya dalam iringan irama Laut Tengah, tidak seperti nyanyian Jenderal Hoegeng yang diiringi irama Lautan Teduh. Namun tempatnya sama di situ-situ juga. Adakah aku sudah lahir ketika itu, entahlah. Di pojokan itu, seperti saat ini, aku menulis-nulis seakan sesuatu yang penting, yang tidak pernah 'kukerjakan apatah lagi diselesaikan sampai hari ini. Entah.

Akan halnya malaikat subuh membelai-belai penciumanku sore ini, aku tidak punya alasan khusus untuk itu; sementara peramal cuaca daring membarui prakiraannya. Alasanku memang tidak pernah jauh-jauh dariku, selalu lekat di hati. Apakah aku sedang menyusuri trotoar di depan Plasentol atau Sensi, alasanku selalu hanya sebetik ingatan. Apapun bisa membuatnya mengalun-alun lembut membelai jiwa, meski dengan vokal Themistocles yang terdengar seperti orang tercekik. Alasanku selalu bersama denganku di mana aku berada.

Meski sedikit tersedak serbat uwuh, aku terus mengetiki mengenaimu yang merupakan satu-satunya kesenanganku, ilham manisku, segala sesuatu yang 'kuharap terjadi. Engkaulah pagi yang menjelang padaku, angin musim panas dari laut. Ah, kawanku Sang Bayu, memang ada beberapa Bayu dalam hidupku, namun bukan itu benar yang ingin 'kukenang. Aku justru teringat pada wangi sabun semerbak di sore hari dari sebuah penatu di bawah jalan layang Arif Rahman Hakim. Kembali pada kehidupan seperti dulu, mustahil.

Dari Jesse menjadi Silai, untunglah Kolonel Laut (E) Yesayas TM Silalahi, seperti 'kukenal sejak dulu, adalah seorang yang baik. Ia masih mengizinkanku memanggilnya Jesse, panggilan kesayanganku padanya. Aku tidak akan memanggil Ery Budiman dengan panggilan kesayangan yang pernah 'kuberikan dulu. Aku hanya ingin mengenang lamat-lamat sejuknya udara malam di sekitar alun-alun Magelang ketika pesiar Sabtu malam. Berhubung kini aku dapat memandang lurus ke sepanjang jalan Blok M, aku jadi tahu Kay baru saja menerombol keluar. 

Harus benarkah aku membeli pengisi-daya cepat yang bisa dipasangi dua kabel, satu untuk henfon, satu untuk tablet. Jika pun sampai 'kubeli, tentu dengan kabelnya sekali, karena kabel abu-abu ini biarlah bersama TP-Link, menggantikan kabel putih Miniso terdahulu yang sudah bengkok colokannya. Perempuan menawan dari Arkadia ini apakah akan menunggu Themistocles untuk kembali kepadanya, aku tidak pernah tahu. Adakah perempuan yang sudi menungguku, aku sudah tidak peduli lagi; Aduhai mengetiki rampak.

Apanya yang sama dengan suatu sore di salah satu kamar rumah dinas wakil direktur Rumah Sakit Jiwa Pusat Magelang. Rokok jelas ada, bahkan sebotol rum di kulkas habis 'kutenggak. Mengapa yang seperti ini terus terkenang, mengapa tidak lebih baik saja kenangan-kenanganku. Di seberang rumah sakit itu seingatku ada pengrajin batu nisan dan kijing, seperti halnya di belakang asrama ada sedikit hutan sebelum mencapai jalan menuju yonzikon. Pagi, siang, sore, malam, bila-bila semua selalu indah di mana pun. Tinggal disyukuri.

Bahagia di sebuah pulau bermandi cahaya matahari. Asal banyak tetumbuhan 'kurasa udaranya akan tetap sejuk, sedang Cantik tidak henti-hentinya mencocok-cocokkan potongan teka-teki. Aku mengantuk padahal di sore yang seindah ini ditingkahi pukulan-pukulan lembut pada marimba. Adakah lebih menyenangkan musim panas di Amsterdam, yang terakhir kali 'kurasakan sekitar dua tahun lalu. Aku tidak mau lagi, terlebih mengenang troli belanja seharga hampir duapuluh Euro. Maka 'kuucapkan selamat tinggal.

Sunday, July 31, 2022

Ketika Kelelawar Melintas di Atas Kepalaku


Kau cintaku, kau bidadariku, begitulah 'kubuka entriku malam ini. Betapa 'kunantikan saat ini, berada di sisimu. Uah, suatu ketololan dengan pakaian dinas lapangan sedang terlihat gemuk dan putih, seorang kopral taruna. Begitu berani-beraninya berkumpul bersama kolonel-kolonel iger sak taek. Aku tidak berada ribuan mil jauhnya, aku tepat di sini, di sisimu. Tak terlintas sedikit pun pikiran erotis, bahkan mungkin tidak terlintas apapun, ketika Iglesias saja tahu bahwa aku berada sekitar seribuan kilometer jauhnya. Harus berapa baris 'kubuat di sini entah 'ku tak tahu. Tujuh atau delapan, entahlah.

Semakin 'kupelankan saja volume Vivoku, jauh lebih mudah melakukannya tinimbang Asatron. Ini tidak seperti rumah petakan di bilangan Palakali, meski remang-remangnya, kesejukannya mirip. Seharusnya sejebung besar kopi, Djarum Coklat, Gudang Garam Merah atau sebangsanya. Betapa banyak waktu 'kusia-siakan. Kini saja itu yang 'kulakukan: Menyia-nyiakan waktu. Tidakkah kita hampir memiliki semuanya terdengar seperti di kantor Flight Data Operation di dasar menara pengawas Cengkareng. Nasi kuning bersambal terasi atau Indomie rebus telur, kenangan seorang bocah cilik.

Baru dua alinea saja sudah terasa sedap-sedapnya. Terkadang menulis entri rasanya seperti menyeret pantat trepes ukuran jumbo, terkadang seperti memberondongkan mitraliur. Malam ini tidak seperti keduanya. Tidak memberondong, namun tidak juga menyeret. Cenderung konstan berkeletak-keletik, sedangkan Kapten dan Tenil masih menyanyi bersama, entah di mana Kaptennya. Apakah ini di tepi kebun durian yang akhirnya menjadi kostan Dugem, dengan 486DX2 yang sudah diapgred jadi Pentium oleh Reza "Cule" Zulkarnaen. Membawa pulang komputer senat untuk main CM3 juga pernah. 

Tiba-tiba terbetot kembali ke bilangan Karawaci ke arah Legok, Angris, dan Bojong Nangka. Uah, kasihan Adjie harus menjalani masa-masa yang membingungkan. Semoga ia melaluinya penuh dengan cinta. Aku pun, namun aku sendiri pula yang merusaknya. Aku tidak pernah tahu benar apa yang terjadi pada saat itu, namun mungkin memang seharusnya tidak pernah ada yang terjadi. Kurangkah usahaku, jelas kurang. Jelas lebih banyak Takwa misalnya. Aku memang, seperti sudah 'kukatakan di atas tadi, suka membuang-buang waktu, meski jalan di depan Apotik Cimone bisa saja nyaman saat itu.

Seperti sekarang 'kutuliskan namanya: Fika Abu Musa Zein. Entah apa kabarnya. Adakah aku dekat dengannya dulu, entah. 'Kurasa justru lebih dekat dengan Toni "Tompel" Riwanto. Betapa malam ini aku merasa seperti seorang pecundang sejati. Suatu perasaan yang harus segera diakhiri dengan semangat juang. Hahaha, semangat juang 'pala lo tiga! Ya, jika anjing neraka diapgred tentu saja jadi anjing neraka berkepala tiga. Entah berapa tahun lamanya aku bertempur bersama mereka, juga segala musuh lubang, dan sebagainya itu. Tiba-tiba saja aku terlempar kembali ke pavilyun, di pojokan itu, Funai...

Sampoerna King, mengapa kau identik sekali dengan pavilyun. Apa tidak ada yang lain. Berapa malam, 'kurasa sebenarnya tidak banyak. Berapa tulisan, 'kurasa sedikit. Ada juga yang setelah 'kucetak, 'kuberikan kepada Bapak untuk dibaca. Apa perasaan Bapak, pulang kantor, disodori anak laki-laki tertuanya "Kebangsaan Indonesia di Abad ke-21", sedangkan anaknya pengangguran baru ditendang keluar dari Akademi Angkatan Laut gara-gara keple. Apa benar yang 'kumakan sehari-hari pada saat itu, pasti masakan Ibu yang enak-enak, dari sekitar seperempatan abad yang lalu. Ini malah mundur ke Cimone.

Babah David dan 20+ Lagu Cinta Raksasa, apa hubungannya. Dari mana dulu kami dapat kaset itu, entah 'lah. Seandainya kau kembali dalam pelukanku lagi, siapa yang mau kembali. Ia selalu ada sejak saat itu, meski tak berbentuk tak berwajah. Adakah memang dari saat itu ia cantik seperti layaknya perempuan Mandailing meski nakalnya amit-amit, adakah belahan jiwa, 'kurasa aku tak akan pernah tahu. Ini entri asal babat tanpa peduli rata kanan-kiri, apakah lebih baik begini pun aku tidak tahu. Serumpun bugenvil di hadapanku cantik. Tiada harum, namun cantik. Uah, seharusnya 'kubakar dupa dari tadi.

Saturday, July 30, 2022

Aku Suka Kamu Suka Bicara Cinta


Apakah goblogku cantik. Bagaimana sih goblog koq cantik. Goblog itu ya untuk dibaca-baca. Perlukah cantik. Ya, tidak perlu cantik, lah, yang penting asal jangan sampai menyakiti pandangan. Goblogku entah dari kapan bentuknya seperti ini terus, mungkin hampir sepanjang umurnya. Aku ingat dulu kali pertama tidak seperti ini, namun itu hanya sebentar. Aku ingat pernah merah putih nuansanya atau semacam itu, dengan muka-ketik yang balok begitu. Aku suka goblogku sekarang. Earthy, sebagaimana aku suka woman bukan lady apalagi baby; atau aku sendiri.

Lantas apa, sosis baso lada hitam dimakan dengan nasi bersimbah kecap asin bekas sushi yei, masih dilanjut nasi rames tumis oncom leunca, acar kuning, tumis buncis udang. Minumnya frestea nusantara masih disambung susu jahe emprit di kubikel yang sebenarnya nyaman. Kalaupun agak tidak nyaman, bukan karena bokser boleh beli di Action, melainkan karena memang sudah mengalir sampai jauh seperti Bengawan Solo. Alangkah lebih nyamannya jika tidak terasa mengganjal di situ. Sebenarnya mudah saja solusinya, namun bukan kebiasaan baik baginya.

Seperti sudah bisa diduga, meski sudah dikepret kapal api, susu jahe emprit tidak berdaya mengusir kantuk. Memang kantuk tidak pernah bisa diusir apalagi diobati dengan apapun. Kantuk hanya bisa dibawa tidur. Namun aku tidak ingin tidur, maka begitu saja 'kuganti irama baru mendayu dengan hentakan Menza dan Ellefson serta derunya Mustaine dan Friedman. Memang baik Hetfield maupun Mustaine tidak seberapa sebagai vokalis. Sammy Hagar bagaimanapun masih yang tergahar. Meski begitu, sebagai band, Megadeth dan Metallica, masih tetap harus disebut.

Akhirnya di malam yang balsamik ini aku menemukan diriku tidak pernah merasa cukup akan dirimu. Apakah jika nanti Lenovo AIO 520 sudah datang aku harus membiasakan diri dengan Samsung Galaxy Tab A ini, bisa jadi. Aku sudah terpikir caranya. Mengapa tidak dicetak saja segala komentar Gerben, lalu kuletakkan di samping sambil menghadapi tablet ini. Siapa tahu begitu malah lancar, seperti halnya dahulu aku lancar sekali mengerjakan kertas delapan bulanku. Tepat delapan bulan! Orang memang suka bodoh mengada-adakan prestasi dari masa lalu, dan orang bodoh itu aku.

Kabar baiknya, tidak ada yang mudah di dunia ini, meski aku mendapat cintamu. Namun belum terlambat untuk merasa kesal. 'Kurasa sudah 'kucatat di sini kejengkelan pada bunyi berkeriut ini, masa 'kulakukan lagi. Masa sejengkel itu. Belum terlambat, maka jangan lari. Aku juga membutuhkanmu, namun sulit untuk menjadi sama, sedangkan secangkir plastik merah serbat uwuh berwarna merah menemani malam balsamikku. Aku hanya bisa minta ampun. Aku harus melakukan sesuatu untuk sahabatku Laurens dan segera. Belum terlambat untuk jatuh cinta. Terima nasibmu, akulah yang kaupikirkan.

Ah, seperti adaku dari masa kecilku. Sekarang aku bersama belahan jiwaku. Adakah kami pernah bercinta-cintaan seperti remaja kencur, tidak pernah. Kalaupun pernah, waktu kami tidak banyak. Namun seperti adaku, cintailah, Sayang, seperti adaku ini sungguh mengilhamkan cinta remaja. Gila apa remaja cinta-cintaan adalah pikiranku dari sejak remaja yang mungkin agak 'kusesali sekarang. Namun buat apa menyesal. Hidupku kini bahagia bersama belahan jiwa di katulistiwa. Bukan kenangan mengenai cinta sepasang sejoli pula, melainkan cinta sepiring nasi dengan sambel goreng tauco.

Menjaga cinta hidup adalah ketika yang kurang gula saja sudah demikian manisnya, seperti sarapan ketupat gulai a la Piaman bersama Cantik dan Awful, minumnya teh panas gula sedikit untukku dan Cantik, es teh manis untuk Awful. Sepinya malam yang 'kudapat meski ini baru jam sepuluh. Apakah ketika itu aku baru beranjak masuk kampus atau bersiap-siap ke Mang Ade adalah dari dua puluhan tahun lalu. Ige, Gani, Shawn, seringnya itu. Ya Allah betapa hamba harus melalui yang seperti itu, ketika sekaleng Bir Bintang dingin, pilsener atau hitam, terasa begitu segarnya. Ampuni hamba.