Sunday, August 13, 2017

Sekujur Bangkai Terbujur di Lantai. Mau Santai?


Apa lagi yang dapat diharap dari pagi hari yang berselimut awan menyeluruh, sedang bulatan matahari mengintip sendu dari baliknya, kecuali sebungkus nasi kuning lengkap dengan bihun goreng dan kering tempenya sekali, belum lagi tahu semur, tahu balado, masih telur dadar pula. Sensasi mengapung di awan-awan masih saja mempesonaku, kecantikannya, sedang teh Sari Wangi dengan aromanya yang bersahaja mendampingi. Dengan suasana hati seperti ini, anak siapapun akan kubelikan bubur ayam Baktai' lengkap dengan risoles Wolesnya, meski tidak ada sate ususnya; tidak peduli apakah ia nyantri di Bina Kheir dan tidak pernah kelihatan meski sebesar kambing balap, meski pulang setiap hari.
Tahukah kau bahwa mengetiki begini sama asyiknya dengan membimbing bangsa-bangsa, Iroquois, Brazil dan mungkin Amerika mencapai puncak kejayaan, meski itu diukur dari didengarkannya musik pop dan dikenakannya celana jeans oleh seluruh bangsa lainnya? [...kau, sama dengan selebihnya, tidak mau tahu juga?] Ya, aku memang hanya mencari keasyikanku sendiri. Ini memang onani, jika kau tanya. Aku tidak tahu siapa yang berperilaku menyimpang, akukah yang onani di muka umum, engkaukah yang menontonku onani di muka umum. Aku tidak akan membela diri atau kelakuan menyimpang yang manapun. Sebagai pengajar Hukum Adat, aku setuju dengan kelumrahan. Semua orang harus hidup lumrah.

Namun dalam jaman hidup serba mudah begini, seperti apakah hidup yang lumrah itu? Lungkrah di tengah jalan gara-gara gaya hidup yang tidak sehat? [naudzubillah] Seandainya aku tidak diapungkan di awan-awan oleh kecantikan ini, aku tidak tahu lagi, ketika gadis-gadis cilik yang manis-manis mencoba menghalangi jalanku dengan tangan-tangan mungil mereka terentang. Aku hanya bisa mengingatkan mereka akan bahayanya sambil berusaha membuatnya terlihat selucu mungkin. Memang tawa-tawa menggemaskan mereka lepas, namun sama sekali tidak mengurangi kegetirannya. Alisa Achmad berdoa membesarkan Billy menjadi perempuan yang shalihah, istri yang bagaimana, ibu yang bagaimana... kuaminkan. Amin.

Di jaman ketika orang masih saja terpesona oleh retorika, onomatop pun harus beringsut-ingsut ke tepi panggung yang tidak kena pencahayaan sama sekali. Sama seperti kedasih dan nama segala macam pohon, daun, buah, dalam hal ini termasuk pulau atau garis Wallace atau Weber sekalipun, semua saja harus minggir. Ini jaman retorika-retorika pendek yang viral! Asepteven! Orang-orang ini sudah sedemikian getirnyakah sampai memutuskan bersahabat dengan virus? Tidak ada yang baru dengan semua ini, setidaknya sejak 1993 Kurt Cobain sudah menjadikan virus semacam peliharaan, meski ia merancukannya dengan diri sendiri. Gaya hidupnya yang sama sekali tidak sehat memang berujung pada keputusan mengambil nyawa sendiri.

Demi jiwa dan penyempurnaannya, maka diilhamkan kefasikan dan ketakwaan. (QS 98: 7-8) Jangan menjadi jabariyah! Jangan mengatakan "dipaksa oleh takdir"! Tidak begitu cara memahami konsep "papan yang terpelihara"! (Ustadz Abdul Somad) Ini lagi Yani Osmawati sedih karena Chester, seperti Denny "Kencong" al-Hamzah sedih karena Kurt. Apa Yani, seperti Kencong ingin menggantikan Kurt, juga memutuskan untuk menggantikan Chester? Untunglah aku lebih Paul daripada John, dan Paul entah bagaimana panjang betul umurnya. Apa yang akan kulakukan jika sudah begini? Mendoakan kedua orangtuaku panjang umur, sedangkan umurnya selalu dipenuhi rahmat dan berkatNya?

Memang hanya ini motivasiku, mau diukur dengan alat apapun, semoga alatnya mampu mendeteksinya, dan semoga itulah yang mereka cari. Aku begini karena ditempa oleh orangtuaku, Bapak dan Ibu. Sekarang aku tidak boleh menempa apapun? Sekarang kepadaku tiba-tiba dihadapkan manusia-manusia di ambang hidup dewasanya, apa yang dapat kulakukan? Mendidik? Mengajari? Mengilhami? Menghamili? Hanya satu, akhirnya bagiku, penjelasan mengapa harus ada laki-laki dan perempuan. Tanda Maha Suci, Maha Terpuji, Maha Esa dan Maha BesarNya. Sudah. Sebagaimana semua otot polos yang menyusun manusia laki-laki maupun perempuan, seperti itu juga seharusnya mereka mensucikanNya, memujiNya, mengesakanNya, mengakui KebesaranNya!

Ustadz Abdul Somad saja malu dengan bangkainya yang cuma setengah kuintal, makanan cacing tanah, katanya. Lhah, aku masih lebih tiga puluh kilogram lebih dari beliau, astaghfirullah. Bangkai, karena seringnya memang bau. Mau dimandikan, mau diberi bedak minyak wangi, mau diberi pakaian habis dicuci dengan pewangi sekali, lama-lama juga bau. Astaghfirullah. Bangkai ini, yang kadang masih terpesona oleh bangkai lainnya, sesungguhnya kelihatan hidup semata-mata karena Kehendak dan Kuasa Sang Hidup, astaghfirullah. Lalu apa? Masih menghadapi hidup ini dengan nggresula? Bangkai koq merajuk! Secantik apapun bangkai, sejatinya bangkai, mau Marilyn Monroe atau tikus comberan dan terutama aku sendiri.

Monday, August 07, 2017

Terumbu Ngarang Mengapa Selalu Saja Terjadi?


Ini suatu judul tolol yang kurang lebih sama dengan "suatu kemampusan"-nya Sugiharto "Jakru" Nasrun ketika dia sedang mengendap-endap mengintai hantu, sementara tikus besar begitu saja nyelonong ke dalam kamar sampahnya. Segala puji memang hanya bagiNya yang mengaruniakan rasa riang dalam hati hambaNya melalui kenangan-kenangan kecil. Biasanya, setelah mengenang begini, aku akan segera terlempar kembali ke kekinian. "Apa jadinya Si Kampret satu itu?" Baguslah ia sudah tidak menjadi bagian dari hidupku. Cukuplah ia menjadi bagian dari salah satu episode hidupku yang... telah lampau. Begitu saja? Tidak mau kaukomentari lebih jauh? Tidak 'lah.


Akan tetapi, ini adalah entri mengenai terumbu. Berapa kali ia terjadi dalam hidupku? Tentu saja terumbu karang bahkan yang sehat segar bugar tidak akan sanggup melukaiku, apalagi yang sudah mengalami keputihan husy... pemutihan gara-gara air laut terlalu panas. Terlebih setelah aku setua ini, apa peduliku pada terumbu karang, ketika aku sudah punya segalanya. Namun, namanya terumbu karang memang selalu dan selalu saja terjadi. Menjengkelkan memang. Terkadang penyebabnya adalah hal-hal terakhir yang mungkin terpikir olehmu bisa menyebabkannya. Namanya juga karang, seringnya tajam. Terkadang menyayat, pedih sebentar. Jengkelnya itu loh yang terkadang lama.

Sebelum lanjut ke jenis terumbu yang lebih berbahaya lagi, ada baiknya aku mengucap syukur atas satu lagi kecantikan yang dikaruniakanNya dalam hidupku. Betapa tidak terduga-duga! Datangnya, bentuknya, suasananya. Aku mengapung di awan-awan, sedang manisnya madu yang seakan menetes dari guagarba perawan kucucupi. Ini terasa seperti riangnya kesunyian kelap-kelip gemintang di kesenyapan malam, keberadaanku, cintaku. Aku memejamkan mata dalam posisi duduk, nyaman sikuku menyangga badan bagian atas. Kecantikan itu menjalar-jalar mengelus alam pikiranku seperti jari-jemari lentik kekasih merayapi tubuh telanjang, menggelinjang. Haruskah kusesali pandang yang kucuri, atau haruskah kujalani hidup merindu dendam seperti Adso dari Melk?

Ini, bagaimanapun, adalah entri mengenai terumbu. Untunglah kecantikan di awan-awan itu tidak berterumbu, seperti di tepi laut berpasir putih; karena ada satu lagi jenis terumbu yang lebih berbahaya, yakni terumbu buta! Hiy, disayat dan disayat berulang-ulang, padahal satu sayatan rasanya seperti Khusus yang mencengkeram lengan bawahmu dengan gigi-geliginya, tepat di antara radius dan ulna. Berdebar-debar itu pasti, sudah itu lemas. Sakitnya sudah tidak terpikirkan, hanya keterkejutan yang menghisap segala tenaga. Ini lagi. Ini pahit. Ini sakit. Ini bahkan lebih parah dari terumbu buta. Uah, hidup di dunia, mengapa penuh kesakitan? Mengapa selalu saja menyakiti?

Sedang Bapak Ibu memandangiku dari tepi sebuah fjord di Tønsberg dari sepuluh tahun yang lalu, aku terheran-heran mengapa nyaris tidak mengenali beberapa malam yang mempesona. Beberapa dakian dan tukikan melodinya masih dapat kukenali, namun mungkin inilah keajaiban aransemen dan rendisi. Garfunkel atau Mantovani? Dua-duanya mungkin akan kusuka, meski dalam hal Garfunkel bagaimanapun harus kuakui keajaiban permainan panjang. (longplay) Jika tidak dalam serangkaian longplay, mungkin tidak akan terasa seperti keajaiban. Inilah Bukulagu Akbar Amerika, yang sekaligus membuktikan bahwa keburukan tidak mungkin dilekatkan secara kolektif pada suatu kumpulan orang.

Nah, kebetulan bicara mengenai sekumpulan orang, mengapa tidak diungkap di sini? Nyaris saja aku menuliskannya sebagai sebuah status pesbuk. Untung tidak jadi, karena Donbangi Dontiba juga menulis status tentangnya. Sejujurnya, ukurannya memang lebay dan ngeselin; meski tidak lebih dari mesjid kubah emas. Uah, aku, seperti Bapakku, memang tidak pernah tahan melihat perlakuan yang tidak adil. Begini saja deh, jika mesjid kubah emas saja bisa kutolerir, maka patung Kongco Kwan Sing Tee Koen pun harus ditolerir. Itu dia masalahku. Orang-orang yang mungkin merayakan mesjid kubah emas lantas ingin merubuhkan patung Kongco, ya kurasa wajar saja. Jangan-jangan pemrakarsa patung Kongco pun terinspirasi mesjid kubah emas.

Ini apa lagi ngomyang tentang Kongco kubah emas. [ngomong-ngomong Kongco artinya apa, sih?] Sudah, mari fokus pada masalah terumbu ini saja. Mungkin ini bukan masalah terumbu benar. Jangan-jangan ini hasrat yang terpendam. Tidakkah yang seperti ini sudah terlalu sering terjadi? Tidakkah hidup sekadar susah berganti senang, sedih berganti gembira, begitu saja seterusnya? Sudah cukup 'lah itu. Tidak perlu lagi ditambah-tambah dengan yang lainnya. Jika mau pun ditambah, tambahlah dengan yang menyenangkan, menggembirakan, menyamankan. Kenyamanan seperti sore hari di tengah padang rumput, angin semilir menyegarkan sementara matahari membelaikan kelembutan sinarnya sebelum tenggelam. Seperti itulah.

Jika pun mau ditambah lagi, keindahan. Jatuh cinta, dimabuk cinta. Aduh, ini mungkin memang indah, namun tidak menyenangkan. Jatuh, mabuk, sakit semua tauk. Kurasa rata-rata manusia memang masokis ketika mereka sengaja mencari sensasi dimabuk cinta sampai jatuh, terkapar atau bertekuk lutut sedangkan senyum mengembang selebar mulut selebar pipi. Bahkan kurasa kakek-nenek tua-renta pun suka pada sensasinya. Bahkan ketika yang begitu orang-orang muda, pasti tetap mengembang senyum mereka, meski ompong, meski peyot kempot pipi-pipinya. Di dunia yang penuh dengan orang-orang luar biasa, aku bersyukur mereka saling jatuh cinta.

Sunday, August 06, 2017

Bergandengan Mendaki Bersama. Memetik Bintang


Kemarin sempat terpikir untuk mengulas Buku Kafe. Bukan yang setelah pindah ke sebuah ruko, ya, melainkan yang masih di tempat yang sekarang jadi Surabi Bandung. Namun segera kusadari yang seperti itu sebenarnya adalah cara ar-Rahman membahagiakanku, menjawab doaku akan rasa nyaman. Segala puji memang hanya pantas untukMu, Illahi Rabbi. Mungkin perlu juga dicatat di sini, Alhamdulillah, malam tadi aku mendapat tidak satu, tidak dua, tetapi TIGA berita baik! Meski harus segera disusulkan di sini, berita baik seperti itu mungkin memang selalu datang pada jam setengah sembilan malam ketika badanku sudah siap tidur. Apapun itu, tetap saja tiga berita baik berturut-turut adalah rahmat karuniaNya.

Lantas, nikmatNya yang mana lagi yang akan kudustakan sedang aku merasa nyaman begini di Minggu pagi yang cerah, sedang aku menikmati secangkir 175 ml minuman kental berbadan penuh, sedang aku seakan duduk di nyamannya kursi beribu-ribu kaki di atas awan. Meski mungkin harus kususulkan di sini, aku harus berhati-hati menggunakan efek amplify di Audacity karena bisa merusak kesinkronan kanan-kiri stereonya. Tidak terlalu mengganggu, sih. Justru terdengar seperti gaung. Sudah dua minggu berlalu, rundungan ini kian pudar dan pudar, menyisakan hanya melodi cantik yang memang cantik. Aku memang tidak tahu bedanya manis dan cantik, meski manis memang bukan definisi yang tepat untuk Cantik.

Apa yang harus kulakukan? Bertahun-tahun ia merundungku, tahun-tahun yang oh mengapa harus kualami. Entah mengapa pagi ini aku terdorong membaca kata pengantar skripsi Aldamayo Panjaitan. 'Do, kau membuatku sedih pagi-pagi yang seharusnya ceria begini. Mungkin kau pun mengalami kesedihanmu sendiri, seperti seekor kamblap dan serangga di belakangku ini. Aku pun begitu. Apa yang kau tuliskan mengenai Marry tidak mengejutkanku. Memang begitulah seharusnya seorang impostor John Lennon. Aku baru sadar kita tidak begitu akrab bahkan ketika sering bersama dahulu. Semoga kau tidak mengalami apa yang aku dan orangtuamu alami. Jika itu menyakitimu, percayalah, kami pun sakit. Mungkin lebih.

Uah, aku tidak pernah membayangkan diriku seperti ini. [benarkah?] Ya, aku memang terpesona oleh Paman Karol, namun aku tidak ingat sejak kapan tepatnya. Apa benar aku ingin menjadi sepertinya? Tidakkah aku juga terpesona oleh Sengkuni yang dipanggil 'Man oleh ponakan-ponakannya? Tiap mengingat ini, aku jadi ingat tahun-tahun sebelum menjadi dosen. Aku sudah bergentayangan di FHUI seperti selalu kulakukan dalam sebagian besar hidup dewasaku. Namun tidak ada yang mengenaliku. Tidak Mega Hapsari Ramadhani. Tidak Eka Septiana. Tidak Fika Fawzia. Tidak ada yang tahu siapa aku. Aku tidak ubahnya Pak Mawi, Pak Salim, bahkan Pak Ronny, atau setidaknya begitulah yang ingin kupercaya.

Dan minuman kental berkrimer setelah ketupat sayur bersantan mungkin bukan ide yang terlalu baik! Apakah mengetiki ide yang lebih baik? Tidak. Tidak pernah. Kapan aku mulai AFIL? Apalagi asas-asas hukum perikanan Indonesia, apalagi koperasi. Ya, kurasa aku memang sedang jadi limbuk anak cangik. Berita baik akankah bertubi-tubi? Wallahua'lam. Belum lagi Takwa. Apa yang harus kulakukan? Aku bisa apa? Ini semua hanya bisa diadukan padaNya, bukan diketiki begini. Selain diadukan, tentu dikerjakan. Dibicarakan terlebih dulu atau tidak? Ya, Allah, sungguh hamba lemah tidak berdaya, sedang tiada daya tiada pula upaya kecuali denganMu Yang Maha Tinggi lagi Mulia. Bebaskanlah hamba dari kefakiran dan utang.

Illahi Rabbi, begitu banyak yang berkecamuk dalam hati dan pikiran, yang memang tidak pernah bisa reda dengan comak-camuk. Waktu masih lebih muda, ini setidaknya bisa membuat lupa. Sekarang, dua-duanya jangan. Yang pertama mau bagaimana lagi, yang kedua harus dihindari. Itulah maka kuambil lagi secangkir air panas. Entah apa khasiatnya, tapi semoga berkhasiat, sedang peluang-peluang diteriakkan oleh Pakde Russel dari masa kecilku. Dari impian yang hancur berkeping-keping, tidak seperti itu ternyata kejadiannya. Tidak pernah tepat seperti itu. Namun aku nyaman dengan Cantik, setidaknya karena dia gibisy. [apa begitu ejaannya?] Adakah cintanya membantuku membuka sebuah pintu? Setidaknya ia satu-satunya temanku kini.

Berbinar-binar di matanya, uah, memang tidak pernah gagal melodi ini. Soft rock bukan slow rock. Ya, aku sudah menduga dari dulu slow rock itu semacam kampungan. Semacam Inggris gagal. Pagi ini, rasanya aku mendapatkan tambahan semangat. Pagi ini, rasanya aku jauh lebih muda, lebih sanggup berharap-harap. Apakah aku masih sanggup menghadapi kegagalan? Beberapa orang mungkin mengganggap kegagalan yang pernah kualami cukup menakutkan, dan bahwa keadaanku sekarang adalah kebangkitan darinya. Sejujurnya, aku sendiri takut. Aku hanya bisa merasa senang. Kuat? Tabah? Apa masih sanggup? Endurance, kata dr. Sukamto, dan ini bisa dan harus dilatih. Chotto matte kudasai! [lho?] eh... Banzai!

Friday, August 04, 2017

Makan Jorji-porji di Kedai Nasi Ibu Toto


Bukan cuma aku kelingan kowe yang pernah merundungku, Roxann [tanpa "e"] juga pernah berhari-hari. Uah, memang tidak enak dirundung apapun. Dirubung, enak? Engga. Gara-gara lihat Warung Makan Ibu Ning di Gang Bhakti pagi ini, aku jadi ingat Kedai Nasi Ibu Toto. Adakah hidangannya yang terkenang? Tidak. Hanya saja, Ibu Toto selalu menghidangkan air es satu botol penuh bagi siapapun yang makan di sana. Bagi bocah baru lulus SD yang seperti itu mungkin mantap. Umur 40an begini, membayangkan minum air es sebotol rasanya ngilu. Maka itu aku minum segelas Nescafe 75 Soyfresh rasa coklat Belgia yang dipanaskan dulu di magnetron, bahkan masih disusul air panas sebanyak itu lagi.


Ada kalanya aku ingin minum sesuatu yang kental dan berbadan penuh. Inilah mungkin sebabnya terkadang aku tergoda oleh [saset-sa]setan. Kapan terakhir kali aku minum kopi yang benar-benar hitam? Entah. Lupa. Namun jangankan kopi hitam apalagi espresso ganda, seringkali tidak ngapa-ngapain aja jantungku terasa berdentam-dentam. Gaya hidupku memang tidak aktif. Kemarin sempat agak semingguan tiap pagi habis shubuh jalan pensiunan, namun berhenti lagi. Insya Allah dibiasakan lagi, seperti terbiasanya lima waktu dan kalau sampai tidak atau terlewat rasanya sungguh tidak nyaman di hati. Insya Allah akan bisa begitu. Insya Allah demikianlah cara agar jangan berdentam-dentam. Cukup berdenyut-denyut, mengangguk-angguk.

Sudah itu berseru trilili atau tralala sekali, agar tidak jadi rayap atau gendonnya sekali. Sebelum ini aku sempat ingin mendengar Barry Manilow. Seketika itu pula aku ingat kalau dia pelaku liwath. Aku sempat menelusur berita mengenainya, dan seketika itu pula aku merasa tidak ingin mendengarnya lagi. Kuganti Kenny Rogers. Apa ia yang kawin cerai sampai lima kali lebih baik? Entah. Apakah ini tandanya aku patriarkis? Tidak 'lah. Apa perasaanku terhadap pelaku liwath? Sejujurnya, seperti halnya melihat binatang qurban, aku merasa sedih. Betapatah tidak sedih melihat sesuatu yang sudah pasti mati? Terapi kejiwaan termasuk siraman rohani sebanyak-banyaknya, begitu usul seseorang. Mungkin ini yang benar.

Aku sudah pernah menulis mengenai hal ini. Aku menyebutnya "Mandala Agraria." Ini Jumat mulia. Buat apa membicarakan liwath? Aku berlindung dan memohon perlindungan padaMu bagi orang-orang yang kusayangi dari yang seperti itu, Ya Allah. Pagi ini Cantik pergi ke RSUD Pasar Rebo mengurus surat keterangan sehat jasmani rohani bebas narkoba, untuk mengurus NIDK. Alhamdulillah. Tahun lalu aku. Tahun ini Cantik. Apa yang ada di depanku? Aku ingin travelling, kataku tadi pagi pada Cantik. Frontpacking tapi, tidak backpacking, dari Mina lalu ke Arafah dan seterusnya itu. Aamiin, kata Cantik. Ya, itu yang ada di depanku. Insya Allah lima-limanya harus lengkap. Aamiin. Bapakku saja Haji Mahmud masa aku tidak.

Jadi jorji-porji itu makanan apa sebenarnya? Semacam pai puding begitu? Pai buah yang ada puding-pudingnya begitu? Uah, dari jaman SMA aku tidak pernah suka, meski kadang kumakan juga. Kasihan, padahal membuatnya pasti sulit. Jauh lebih sulit dari lemper atau sosis solo sekalipun, atau skutel tahu. Nah, ini enak. Krekers lapis isi ragu? Ini kenapa jadi makanan begini, sedang kemarin aku mengusulkan Pondok Laras sebagai konsumsi rapat, sebagai pengganti usul John Gunadi makan Sasari. Bu Rina, Mbak Lela, bahkan Mbak Yem aku tahu namanya. Sasari aku tidak pernah tahu, apalagi Padaringan. Pak Jay, tidak enak sebenarnya. Oskar! Mun tahu, angsiu tahu, apa lagi? Tahu tok pikirannya! Iyan apa kabarnya...

Aku ada janji dengan cukup banyak mahasiswa sebenarnya pagi ini. Setidaknya dengan Asepteven yang namanya sering kuserukan, aku berjanji membicarakan masalah negara jaga malam. Namun karena pagi ini sudah ke terminal, aku jadi malas buru-buru ke kampus. Jadilah aku mengetiki, menggelitiki di rumah yang kembali kacau-balau ini. Setelah Jay Graydon lalu Barry Manilow sebentar, Kenny Rogers sempat beberapa lagu, aku kembali kelingan kowe, 'Nduk. Memang tidak akan ada habis-habisnya jika begini, meski aku merasa sudah mulai bosan. Gila apa, sudah hampir seminggu penuh begini. Takkan kubiarkan yang seperti ini merundungku terlalu lama! Secantik apapun, semanis apapun engkau, sudah cukup sampai minggu ini saja!

Siap ini, masak air. Aku jadi malas beres-beres jika sudah parah begini, dan yang membuat parah tidak lain serangga anak serangga yang satu itu juga. [biangnya juga 'sih] Kemarin-kemarin upaya terbesar adalah mengangkat kasur pegas, sekarang upayaku harus satu rumah 50 m2, edan apa? Betapatah aku tidak kelingan kowe, 'Nduk? Aku tahu pasti kau hanya ada dalam khayalanku. Lebih tepatnya, kau sebenarnya adalah aku sendiri, khayalanku sendiri. Kau tidak ada, jika itu artinya seseorang. Aku memang selalu hanya mencintai diriku sendiri. Bukan berarti aku tidak bisa sayang. Insya Allah, aku penyayang. Hei, pada luwing saja aku sayang. Namun, untuk menjaga kewarasan, seringkali aku terpaksa harus menyayangi diriku sendiri.

Kucium Kau, Kubuat Menangis

Wednesday, August 02, 2017

Malam Ketika Musang Menangis 2017


Kuharap akan tiba saatnya aku membaca lagi entri ini, dan dua sebelumnya, sedang hatiku terasa hangat dan nyaman, sedang aku merindukan tangisan musang karena sudah agak berapa lama tidak mendengarnya. Adri mungkin ingin tahu kenapa aku sampai hati mempertontonkan kekacauanku seperti ini. Ia menyimpulkan, mungkin, ketika aku sedang berada dalam "limbo" maka aku begini. Limbo? Waktu ketika skripsi sudah jadi dan menunggu sidang? Mungkin juga. Aku memang berada dalam keadaan yang kurang lebih mirip. Sejujurnya aku tidak pernah memperhatikan bilamana aku mengetiki. Aku menulisi. Aku menelanjangi.


Malam ini musang menangis, bahkan sepulangku dari membeli kwetiauw rebus ia masih menangis, meski sekarang ini dia sudah diam. Sudah sampaikah hajatnya? Bagaimana denganku? Sebagaimana dua tahun lalu, udara malam ini pun terasa hangat, seperti ketika musang menangis. Kemarau mungkin waktu yang tepat untuk beranak dan membesarkan anak musang. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya bayi-bayi musang jika sepanjang hari hujan, berhari-hari. Mereka pasti kedinginan. Mereka bisa mati. Begitulah musang sepanjang hidupnya hanya menyucikanNya. Kurasa hanya namaNya saja yang merundung hidupnya.

Sedangkan aku, sampai harus memutar daftarmainku yang lain agar beberapa malam ketika Art Garfunkel terpesona berhenti merundungku. Betapa mengerikannya menjadi manusia! Beberapa saat ini kusadari betapa shalatku sangat asal-asalan. Ketika shalat anganku ke mana-mana. Apa harus "mengaji" lagi pada Ustadz Abbas Mansur Tamam, syukur-syukur bisa seakan melihat Allah dalam shalat? Kemarin malam saja aku serasa sudah siap "mengaji" al-Asma' al-Husna pada Ustadz Quraish Shihab, tapi kugeletakkan saja ia di meja beranda sedang aku mainan entah medsos entah yutub. Apa karena aku sedang berada dalam limbo?

Uah, Si Tolol ini menyalahkan selain dirinya lagi! Tidakkah seharusnya dalam keadaan seperti ini justru kau berusaha mendekat? Aku masih ingat, menghadap jendela yang kubobok sendiri, aku Yasinan Fadhilah. Aku lupa apakah ketika itu aku berharap-harap seperti ini atau malah acuh tak acuh. Tidak ada gunanya pula kuingat-ingat. Ini benar-benar limbo. Limbo 'tuh sebenarnya apa sih, 'Dri? Aku ingat Togar juga beberapa kali menggunakan istilah ini. Mengapa aku tidak pernah tertarik? Ya, aku menunggu. Aku harap-harap cemas. Aku gelisah. Daripada limbo, Limbuk, sebagai anaknya Cangik, lebih akrab terdengar, meski aku tidak mau.

Terlebih lagi Bilung, akrab sekali. Apakah ada hubungannya dengan Tungbilung Thet-thuwet aku tidak tahu pasti. Ini hari-hari memasuki kemarau. Tidak kemarau, tidak penghujan, si tukang meniup-niup terus saja meniup-niup ke dalam dada manusia, meniupkan was-was. Hamba berlindung kepada Allah darinya. Kata Cak Nun, cara masuk surga macam-macam. Ada yang sepanjang hidupnya gagal terus, Allah kasihan padanya dan memasukkannya ke surga. Ada yang karena saking polos dan lugunya berhati-hati terus sepanjang hidupnya, masuk surga. Ada yang ikhlas terus kepada istrinya, masuk surga. Kurang-lebih begitu juga pandangan Habib Quraish Shihab. Kasih-sayang Allah mendahului murkaNya.

Kembali mengenai tangisan musang, bagaimanapun ia adalah kenangan manis. Jangankan entah suatu saat nanti kelak di kemudian hari. Sekarang saja ia sudah manis. Ia kenangan akan kemurahanNya. PerlindunganNya. PertolonganNya. Tangisan musang adalah tangisan kesederhanaan. Ia menguarkan aroma ketundukan, kepasrahan yang proaktif, bebas dengan cara mengikatkan diri. Tangisan musang adalah tangisan kerinduan, seperti rindunya cinta pada Cinta, rindunya setitik air mata yang menetes di mata air pada lautan samudera. Tangisan musang mengilhamkan keakraban, kehangatan bertetangga, celoteh riang Istri tersayang dengan saudari-saudarinya sebelah dan sebelah rumah.

Ya, Allah Rabb hamba, demi KekuasaanMu yang meliputi segala sesuatu, izinkanlah hamba membaca lagi entri ini pada suatu hari kelak yang penuh diliputi keselamatan, kesejahteraan dan kebaikan dalam menjalani hidup dunia akhirat; kenyamanan, kehangatan, sehat segar bugar jasmani rohani, sedang hamba mereguk ilmu-ilmu yang bermanfaat dunia akhirat, sedang apapun yang Engkau karuniakan pada hamba mendatangkan berkah dan berkah belaka, bahkan Engkau memandang ridha pada hamba. Maha Suci Engkau, segala puji hanya patut bagi Engkau, tiada sesembahan yang patut disembah, patut ditakuti, patut dijadikan tempat bergantung kecuali Engkau, Mahabesar Engkau, Allah Rabb hamba.

Tuesday, August 01, 2017

Apa Yang Akan Kulakukan? [dengan Tahi Macan]


Jika dirasa-rasa, pengalamanku berwisata ke Solo tempo hari itu sesungguhnya menyenangkan. Serba gratis, dibayar lagi; karena hal-hal terbaik di dunia ini adalah yang gratis. Betapa tidak? Aku berkenalan dengan beberapa malam ketika Arthur Garfunkel terpesona, ketika itu. [...dan memang mempesona] Kurasa aku suka suasananya. Jika agak lebih lama sedikit mungkin juga tidak apa-apa, terlebih jika bisa sambil menunggu bubur ayam seperti ini. Hidupku memang selalu sepi, dan aku tidak bisa dan tidak boleh mengandalkannya; karena aku tolol. Akan selalu ada waktu-waktu di mana aku berusaha memecah kesepian itu, dan pasti berakhir konyol [awas jangan diganti "t"] untukku.

"Kurasa seperti inilah bentuknya tahi macan," kataku pada diri sendiri, "ada sungutnya."
Bubur ayam setelah nasi kuning berminyak bekas kemarin mungkin memang berlebihan. Namun jika itu berarti lengkapnya beberapa malam ketika Art Garfunkel terpesona, kurasa sepadan. Pesona yang harus diselimuti tabir kabut tipis selendang sutra putih, atau lembayung boleh juga; karena aku bisanya hanya ini. Sedang hidup sehari-hariku seperti itu. Seperti kembalinya aku pada kenyataan hidupku yang tiada arti. Seandainya aku bisa melolong, mungkin akan kulakukan saat ini juga. Meski aku lebih suka dicabik-cabik harimau daripada dibelai-belai oleh seorang anak perempuan, apalagi kakek-kakek. Karena aku anjing yang serigala begitu hahaha.

Lantas mengapa tidak melolong? Pertama, aku bukan anjing sebenarnya, apalagi serigala. Kedua, masa ada Tyra Banks melolong? Seberapa banyak sakit yang dapat dikurangi dengan meracau aku tidak peduli, selama racauan dan kesakitan adalah keseharianku. Sedangkan geraman mesin jet dan getaran halus fyuselaj tidak terdengar dan tidak terasa. Lalu apa ini di telingaku? Haruskah aku menyerah begitu saja, berhenti berharap, bahkan berkhayal. Tentu saja, Tolol. Masa mau kaudamba-damba khayalan absurd, sudahlah absurd khayal pula. Ini semacam kenangan akan khayalan. Ini semacam major malfunction. Ini alarm sudah berkedip-kedip meraung-raung.

Apa sesungguhnya yang dapat menyenangkan hatiku? Dapatkah Si Bongkok berdansa berputar-putar bersama pujaan hatinya, bukan urusanku. Hanya saja, ini memang lelucon pahit yang tragis. Tragis? Seperti dalam tragedi begitu? Ahaha... ini aku! Duduk di kursi tengah-tengah, aku dapat melihat lorong juga jendela. Jangan dulu sakit telingaku. Jangan dulu roti atau jus. Biarkan aku menikmati hidup yang mudah ini. Haruskah aku menunggu hidup mudah entah kapan di mana, sedangkan di sini pun tiada pernah kurasakan hidup yang mudah ini? Berapa? Tujuhpuluh dua? Empat? Satu? Hahaha kau berolok-olok. Tak satu pun tiada mengapa, sepanjang hidup ini mudah.

Apakah itu dengan klarinet atau harmonika, semua saja sebenarnya hanya untuk satu tujuan: memendam rasa. Hingga mendendam. Hei, jantung, janganlah kau berdentam-dentam. Engkau, tidak seperti aku, memang hanya mematuhi perintah dan ketentuanNya. Sampai kapan aku harus terus-terusan terpesona begini, sedangkan sungai sudah lama kuseberangi. Aduhai, sungguh sulit melaksanakan kata-kata sendiri. Apakah Salvatore juga begini jika sedang merebus tikus? Apa lereng Alpen memang sedingin itu sehingga Salvatore sampai membutuhkan protein tikus, sedangkan Mawar dan keluarganya mungkin memakan jantung sapi? [Aku protein kedelai saja boleh?]

Sedang neneknya Mawar diberaki ayam, sedang Saudara Remigio memberaki Mawar tahi macan, Salvatore makan tikus rebus. Digarami tidak? Sedikit. Dengan daun mint mungkin? Nanti dimarahi Saudara Severinus. Remigio dan Adso sama-sama berak tahi macan. Bedanya, Remigio harus menambah jantung sapi, Adso tidak. Begitulah dunia bahkan di biara. Apa jika demikian lebih baik Salvatore yang lengannya salah bentuk gara-gara dikerja Bernardo Gui, padahal ia hanya makan tikus, padahal garamnya sedikit, tanpa daun mint? Tapi dia menjilat. Ya, bahkan Salvatore pun bisa berak tahi macan. Apa salahnya? Salvatore dan Remigio berakhir jadi arang. Adso tidak.

Serakan arang yang tadinya Salvatore dan Remigio sama-sama bergumam, ini lebih dari sekadar tahi macan. Ini tentang kasih sayang. Apa jadinya punggung yang tidak pernah dibelai kasih sayang. Apa jadinya torso yang tidak pernah didekap lembut sambil dielus-elus. Apa jadinya jika itu terjadi di bawah rindang Beringin oleh dua tikus betina, satu di gigi satu di telinga. Apa jadinya kalimat-kalimat tanya tak bertanda tanya ini. Serulah! Menggeliatlah, biar diinjak mejret saja, apakah itu ascaris lumbricoides atau vaginula rodericensis. [aku seharusnya masuk biologi. Tadi aku melihat mahasiswa mengenakan jaket jurusan biologi] Apa jadinya jika saling menggigit? Gigit-geligit.

Bima Unzila Ilaika