Sunday, October 28, 2018

Ada Musang Tidak Menangis. Aku Musangnya


“Ini sudah jauh dari musim semi,” kataku sambil mengulum senyum sok bijaksana, meski aku tidak yakin apakah ngomyang di waktu-waktu begini merupakan pilihan bijak. Apa lagi yang akan kau keluhkan? Keriangan musim semi di telinga, sedangkan Cantik mendengkur di belakangmu, ribuan mil dari Cikumpa. Seperti apapun itu, Ya Allah, hamba mohon karunia kesanggupan untuk menghadapi, senyampang masih di dunia ini. Musim gugur ini aduhai sudah dinginnya. Untunglah ada Cantik di sini. Terserah padaMu, Ya Allah.


Baru kemarin ini sudah hampir jam delapan malam, akan tetapi hari ini waktu diundurkan satu jam. Agar dapat menikmati hari terang lebih lama, katanya. Amboi, aku orang tropis tidak bisa menghayatinya. Banyak yang seperti aku begini di sini, semua berjuang. Semua dengan perjuangannya sendiri-sendiri. Aku, sementara itu, menikmati Toccata dan secangkir besar teh musim dingin. Seharusnya kemarin masih kubeli yang musim gugur, rasanya lebih enak pun. Aduhai andai aku dapat menulis serampak ini untuk disertasi.

Di mana pun aku berada di bumiMu ini, Ya Allah, hamba mohon jangan tinggalkan hamba. Jangan biarkan hamba jauh-jauh dariMu, Oh Pelindung hamba, kepada Siapa segala mahluk bergantung. Apa harus kucatat juga di sini mengenai masalah perut akhir tahun? Tidak ada masalah selama NamaNya masih bergaung menggema di relung hati. Rabb hamba, dengan bershalawat kepada kekasihMu, junjungan hamba, hamba mohon perlindunganMu, belas kasihanMu. Satu bulan ini dan mungkin agak satu bulan bahkan kurang. Hamba mohonkan.

Sedangkan kuda sembrani mengepak anggun berkilau-kilau surainya ditimpa sinar matahari tropis, tidak ada lagi yang lebih hamba sungguh-sungguh inginkan kecuali bersimpuh di hadapanMu. Benarkah begitu? Sanggupkah kau terbirit-birit bahkan ketika waktu shalat baru hampir tiba, di mana pun engkau berada di negerimu sendiri? Bahkan di Rumah Cantik di tepian Cikumpa itu, sanggupkah engkau melawan kantuk menuju shubuh? Oh Allah hamba mohon sanggupkan. Sanggupkan, Ya Rabb. Jadikan hamba lebih baik dalam menghamba hanya kepadaMu. Tolonglah hambaMu.

Ini masih di garis depan. Ya, ini garis depan, meski di mana-mana pun pertempuran. Segala puji hanya bagiMu yang telah mengaruniakan kehangatan kepada hamba baik lahir maupun batin, yang tengah hamba rasakan kini. Segala sesuatu dengan izinMu akan membaik dan terus membaik saja, karena seperti kata Sersan Elias, “feeling good is good enough.” Memang ada hari-hari ketika aku tolol dan menginginkan segala macam entah-entah. Namun bagaimana, aku lelaki cengeng yang gampang mewek untuk hal-hal sepele.

Jadi ya kunikmati malam ini dengan menulis entri. Kucecapi dengan ketukan yang mirip-mirip lagu rakyat Polandia ini, segala kenikmatan hidup. Semoga tidak berlebihan. Semoga tidak sampai mengurangi jatahku di sana nanti. Orang bilang ini adalah Jaman Aquarius. Aku berurusan memang dengan laut. Dengan apapun aku berurusan, semoga semua itu mengantarku pulang ke kampung halaman dengan sebaik-baiknya, berkumpul kembali dengan semua saja yang kusayangi. Apapun itu, meski Kalabendu sekalipun, ini semua sungguh hanya sementara. Tahankan saja.

Lantas begitu saja Lagu untuk Anna. Sudah sebesar apa? Ah, malas aku membayangkannya. Lebih kepada tidak tega, sih. Aku begitu saja ingat Pebi dan ibunya yang Cantik tidak mau berurusan lagi. Lalu ada Mang Udin yang asal-asalan 'ngurus bambu, meski Oji lebih kusut lagi. Semua butuh uang. Aku pun. Di sini aku berusaha sedapatku berhemat, sudah gagal sejak seminggu lalu. Aku hanya bisa berharap, setelah ini segala sesuatu masih berada dalam kendali. Sudah begitu saja.

Selamat Hari Sumpah Pemuda. Selamat?!