Saturday, February 14, 2015

Hari Kasih Sayang Tanpa Keju Kambiang


Ini tandanya aku harus banyak diam. Apa lagi yang dapat kulakukan? Berbicara terlalu bersemangat ditambah makan yang terlalu bersemangat juga menyakiti lambungku. Sakitnya pun naudzubillah luar binasa tidak nyaman, memalukan pula. Terlebih bahaya lagi, terlebih penting lagi, apa yang kukatakan sebagian besar—jika bukan hampir semua—tidak kujalankan sendiri. I don’t walk my own talk! Ini adalah suatu tanda kecemenan yang teramat parrahnya. Apa jadinya kalau aku sampai bertemu Animal Mother dan Joker. Bahkan Cowboy pun kurasa akan marah padaku.


Sore ini Togar mengucapkan selamat hari Valentine padaku. Ia tidak minta Silverqueen padaku, apalagi kondom; mungkin karena coklat belum terbukti sebagai afrodisiak. Lagipula, Mas Toni sudah mengingatkan pakai kondom belum tentu aman, makanya jangan jajan. Togar, katanya, merayakan Valentine dengan cara membaca-baca entri Kemacangondrongan yang mengenai cinta. Ia pun memintaku menulis lagi. Sebenarnya aku agak tersipu ketika Togar mengatakan secara tersirat bahwa aku sok nyastra. Bukan, bukan karena aku merasa nyastra gak pake sok, melainkan karena aku... puitis, prosais, lirikis.

Hari Kasih Sayang ini seharusnya kurayakan di Kodamar dengan acara bersih-bersih bekas banjir. Namun, Cantik melarangku. Ia tidak mau aku terlalu capek lalu sakit. Aku sangat ingin pergi, meski kuakui juga aku takut sakit. Pagi tadi, sebelum pergi, kami sarapan dulu Bubur Ayam Kabita. Jadilah aku tidak pergi. Aku hanya mengantarkan Cantik sampai Kowanbisata 511 sambil bersimbah air mata, padahal Simbah sendiri tidak menangis. Aku pulang dan meneruskan opor tahu telurku. Togar minta bagi. Daripada minta lebih baik kuberitahu cara buatnya, 'Gar.

Belilah tahu matang sekantong dan tahu cina kecil sekantong. Cuci bersih masing-masingnya, sisihkan. Rebuslah telur agak enam buah. Jika rajin, gunakanlah teknik menggoreng dengan air atau poaching. Tumislah bumbu opor instan sampai harum, tambahkan sedikit air. Masukkan tahu dan telur, tambahkan air sampai semuanya terendam. Kecilkan api, diamkan sampai air berkurang. Jika telur dan tahu cina sudah kelihatan kekuningan karena menyerap bumbu opor, tambahkan santan instan sesuai selera. Tambahkan juga garam sesuai selera. Jangan pakai bumbu masak lagi karena biasanya sudah terkandung dalam bumbu instan.

Inilah Hari Valentine yang sempurna. Sendirian saja di rumah bersama satu wajan penuh opor tahu telur. Setelah mencicipi dan ternyata memang endang bambang, maka segera belanja kabel dan kelengkapannya untuk membuat lampu kanopi. Sempat sedih karena tibang masang kabel aja rasanya capek bukan main, akan tetapi ternyata tidak seburuk yang kukira. Sambil menunggu Pak Majid pasang kabel otomatis pompa, ternyata aku santai duduk di pinggir hutan bambu sambil lihat-lihat medsos. Nyamuk bambu mengerubung pun tidak menjadi masalah buatku.

Kasih sayang memang tidak selamanya harus dinyatakan dalam wujud keju kambiang. Meski ia surealis seperti mimpi, begitulah ia selalu. Seperti dermaga dingin dan bangku kayu yang diliputi bau pesing, bau kencing basi pemabuk. Itulah surealisme kasih sayang yang tidak akan pernah kupahami meski sampai kapanpun. Hanya harapan baik yang dapat dibubungkan, meski tanpa asap dupa asap setanggi. Ketakutan menjadi kenyataan dan kesenduan tiada bertepi, akan dermaga dingin yang surealis itu. Kuulang-ulang kata itu meski rasa bersalah tak kunjung mau pergi.

Selamat Hari Kasih Sayang, Kambiang. Selamat Tinggal.

Monday, February 09, 2015

Hari Pertama Kuliah Semester Genap 2014/2015


Minggu sore kemarin aku sempat terucap, musim hujan macam apa ini, karena langit sore menjelang Maghrib itu memang demikian cerianya. Mungkin ada juga mendung sedikit, namun yang jelas udaranya panas cenderung gerah. Minggu sore itu aku ceritanya masak tumis pare dengan teri padang. Salahku, aku membiarkan pare yang sudah kupotong tipis berlumur garam terlalu lama. Seharusnya setelah diremas-remas dengan garam segera dicuci bersih agar garamnya tidak terlanjur tinggal dalam daging buah. Jadilah tumis pareku seperti asinan pare yang dibuat oleh orang yang kebelet kawin.

Asal gambar dari sini
Menjelang malam, seingatku, hujan mulai turun. Mendekati Shubuh hujan sudah melebat. Ketika aku shalat Shubuh, udara begitu dinginnya. Hari ini adalah hari kuliah pertama di Semester Genap 2014/2015 untuk Universitas Indonesia. Meski kelasku mulai jam 11.00 tetap saja kami harus berangkat pagi karena Cantik menggantikan kelas orang di Fisip pada jam 08.00. Setelah shalat aku tidak berani tidur lagi. Lagipula tidak terlalu mengantuk. Kumanfaatkan kesempatan itu untuk mengetik-ngetik. Namun, ketika Cantik akhirnya terbangun, aku memutuskan untuk bergolek-golek.

Tivi sengaja kunyalakan cukup keras suaranya agar aku jangan sampai terlelap. Sekira hampir setengah delapan, aku dibangunkan Cantik karena air mandiku sudah siap. Jam delapan kurang kami berangkat di bawah guyuran hujan. Pantatku terasa dingin. Ternyata air mengalir melalui bagian depan ponco Cantik. Maka selepas kuantar Cantik ke Fisip, aku bergabung dengan Para Tamtama di kantin... dengan pantat basah. Kupikir, perutku tidak boleh kosong. Jika kosong aku bisa kemasukan. Maka kupesanlah seperti biasa nasi merah ikan asing telur ceplok kuah dari Warung Dilla.

Rencananya, pagi itu jam 09.00 kami pengampu Peminatan Hukum Lingkungan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (HL&PsdA) akan mengadakan rapat koordinasi perkuliahan. Akan tetapi, Mbak Wiwiek—seperti semua penduduk Jakarta pagi itu—terjebak macet dan banjir entah di mana sehingga, menurutnya, tidak mungkin tiba di kampus pada jam itu. Jadilah aku agak berlama-lama di kantin bersama Para Tamtama. Sekitar jam 10.00 baru aku naik ke Bidstu HAN. Sudah ada Mas Santo, Dik Vit dan Bang Andhika. Bang Andhika sempat seru bercerita mengenai KBK, tapi aku harus mengantar Cantik ke Vokasi.

Sepulang dari Vokasi aku segera membuka kelas Hukum dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Pesertanya kebanyakan adalah peserta mata kuliah Hukum Lingkungan dari semester kemarin. Ternyata, menjelaskan SAP ditambah sedikit bumbu-bumbu saja sudah menghabiskan 100 menitan. Jadi, materi mengenai Pembangunan Berkelanjutan sebagai Prinsip Pengelolaan Sumberdaya Alam belum sempat disampaikan dalam kuliah pembuka itu. Mungkin tahun depan disainnya harus diubah sedikit. Apakah dengan mengorbankan sesi diskusi? Seingatku, tahun kemarin sesi diskusi juga kurang efektif. Menurutku, penting untuk menyampaikan SAP dengan terperinci untuk mata kuliah ini.

Setelah kuliah, ternyata Mbak Wiwiek sudah ada di Bidstu. Namun aku tidak dapat segera bergabung karena Cantik sudah selesai di Vokasi. Sempat tertahan oleh bekas anak bimbingan, aku segera memacu Pario ke Vokasi, menjemput Cantik. Lewat belakang Poltek, kuantarkan Cantik sampai bertemu D10 di pertigaan Ramanda. Aku sendiri berpacu kembali ke kampus. Jadilah kami berlima, Mbak Wiwiek, Mas Santo, Bang Andri, aku dan Dik Vit berapat mengoordinasikan SAP untuk semua mata kuliah dalam Peminatan HL&PsdA, kecuali Hukum Perubahan Iklim. [Kecuali?! Seingatku, di SIAK masih ada kelas itu untuk Paralel! Wah, Bang Andri harus kuingatkan mengenai hal ini]

Sebelum ditutup, mungkin perlu juga dicatat bahwa aku ngaco ketika menerangkan SAP di kelas Paralel. Selesai hampir jam tujuh, rasa lemas itu kembali mendera. Ya Allah kasihanilah hamba, kasihanilah Bapak Ibu hamba. Alhamdulillah ditunggu agak satu jam, rasa itu mereda. Segera aku menyongklang Pario. Awalnya perlahan, makin lama makin langsam. Mendekati rumah aku merasa cukup segar untuk lanjut ke Lotteriwa. Alhamdulillah sampai di rumah. Satu burger nasi bulgogi dan chick-chick shaken kunikmati sambil menonton korban bom atom Hiroshima di NatGeo.

Saturday, February 07, 2015

Belum Ada Judul. 'Ga Usah Aja


Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala puji hanya bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada junjungan kami Baginda Nabi Besar Muhammad SAW berserta keluarganya, para sahabatnya, para pengikutnya semua sampai di akhir jaman. Aamiin.

Agar suasana hati sesuai, mungkin memang harius dibiasakan dulu dengan menulisi Kemacangondrongan. (Halah!) Siang ini, di hari wisudanya kebanyakan anak bocah 2011, aku menjadi Mas Jo. Hahaha. Iya, aku menjadi Mas Jo karena aku mengetik di depan ex-markas BPM. Memang yang paling sulit dari tidak punya meja sendiri adalah tidak punya akses internet kabel. Lalu internet gunanya buat apa? Aku juga tidak yakin. Apakah program-program di dalam Asus Transformer ini harus dimutakhirkan benar? Aku juga tidak yakin.

Meski ini gambar Kapal Borobudur, sebenarnya sih biar cepat saja. Dari Bismillah Kasal.
Akhirnya, akses internet ini memang hanya berguna untuk memutakhirkan Kemacangondrongan dengan entri yang kuharapkan dapat memicu suasana hati yang pas untuk segera menulis. “Kamu belum terima dari Jeprut?” tanya Cantik tadi begitu saja. Berarti… aku harus menulis. Oh, dengan kincir-kincir angin di hatiku, dengan kisah cintaku, aku tidak bisa lain kecuali menulis. Hanya itu pun yang aku bisa. Belum pernah, seingatku, dalam hidupku aku menadahkan tangan tanpa berusaha barang sesuatu apa terlebih dahulu. Ini lebih karena kata yang telah terucap.

Lagipula, perancang Transformer ini sepertinya tidak pernah menggunakan mesin tik. Memang sih, dulu di mesin tik ada juga standar untuk menegakkan kertas. Akan tetapi, kertas yang terlentang di atas penggulung ‘kan posisinya cenderung tidur, tidak tegak hampir sembilan puluh derajat begini. Ya, itulah kekurangan terbesar Si Peubah ini. Mengetik satu dua halaman mungkin tidak terasa. Jika harus mengetik ratusan halaman, kurasa akan terasa juga akibatnya pada tengkuk dan pundak. Mungkin, Transformer ini memang tidak dirancang untuk digunakan berlama-lama.

Berarti Asus X450C tidak boleh dijual. Berarti akan ada sumber rejeki dari tempat lain. Berarti aku akan dikaruniai kesehatan yang baik. Aamiin. Di hari wisuda kebanyakan anak bocah 2011 ini, di hari baik bulan baik ini, bahkan kapan pun, aku selalu berprasangka baik pada Tuanku. Kepada sesama manusia saja aku selalu berprasangka baik. Mengapa pula aku tidak berprasangka baik pada Tuanku Maha Baik? Lagipula, Si X450C itu masih kurang dua kali lagi cicilannya, bulan ini dan bulan berikutnya. Alhamdulillah.

Barusan bertemu Bobby Marbun dan Putu Daivi, dan Bobby berminat pada Institut Pancasila yang tidak menghasilkan uang itu. Seandainya saja aku mampu menjadi Carl dan Takwa Frednya, itu… angan-angan yang terlampau jauh. Das Sikumbang sudah dua kali menyindir, “sudah saatnya.” Aku bisa apa? Aku cuma bisa berkhayal aku Carl sedangkan Takwa Fred. Tidak ada jaminan pula Takwa akan kehilangan kesabarannya padaku, atau kehilangan minatnya pada apa yang sekarang menjadi minat bersama ini. Ahaha, itu sih aku banget, Bahkan Su Suk aja tahu.

Lalu aku sesumbar pada Bobby. Beri aku waktu sampai September tahun depan dan mari kita lihat apa yang terjadi. Edan. Sok-sokan. Gaya-gaya’an. Sementara itu, aku harus segera menghasilkan Seri Sejarah Maritim Indonesia, yang aku anggap sepele pengerjaannya, namun kenyataannya sampai detik ini belum bertambah sepatah kata pun. Mengapa aku merasa sangat berkewajiban? Apa karena janjiku? Sejujurnya, tidak terlalu. Ini lebih karena Cantik. Segala sesuatu selalu mengenainya. Sudah lima tahun lebih ini, hidupkan selalu saja hanya mengenainya.

Friday, February 06, 2015

Lelaki, Rembulan, Monas dan Wantannas


Antara 3 sampai 5 Februari, aku berada di antara rembulan, Monas dan Wantannas. Aku lelaki, berangkat pada Selasa pagi mencongklang Vario. Di pagi yang mendung itu aku sampai di Jalan Radio. Masih juga menyempatkan diri sarapan Ibu Tamin, lauknya telur dicabein, ada bihunnya, sayur nangkanya, ekstra tempe goreng Ibu Tamin yang legendaris itu. Sepuluh ribu. Alhamdulillah masih sempat mengobrol sebentar bersama Bapak Ibu. Sekira delapan lebih lima belas, melangkah mantap ke pinggir jalan, menyetop Prima Jasa.

Begitulah segala sesuatunya berawal untuk mengawali Februari 2015 ini. Urutan sebenarnya adalah Wantannas, Monas, baru rembulan, karena pagi datang dahulu mengemudiankan petang. Aku lelaki, terlalu sering cingcong pada supir taksi. Mungkin sebaiknya jika cingcong demikian jangan tanggung-tanggung. Langsung gjeger aja biar aamiin. Meski, seingatku, memakan waktu cukup lama juga untuk gjeger. Akankah terjadi lagi padaku? Terjadi apa? Apa harus seperti itu lagi? Apapun itu, asalkan efeknya sama atau bahkan lebih dahsyat pada trajektori yang sama. Aamiin. Aamiin Yaa Rabbal ‘alamin.

Aku lelaki pantang mundur jika timbang cingcong doang, karena hanya itu kebisaanku. Secara substansial, akibatnya, tidak ada yang bertambah. Hanya saja harus selalu diingat untuk di mana pun berada memberikan karya terbaik bagi nusa, bangsa, negara dan dunia. Lhah, agamanya mana? Katemi saja berpesan begitu pada anak-anaknya, meski paku telah dicabut dari kepalanya. (atau Suketi...? Ah, kurang nonton Apresiasi Film Indonesia, nih) Agama, setidaknya terkait dengan Mesjid Darussalam yang selalu penuh, setidaknya selama jam kerja, sudah seperti shalat Jumat saja.

Secara prosedural... ya, memang cara ITU saja titik beratnya. Substansi dapatlah dinomorduakan dalam urusan ini. Analisis strategi, yang bagiku tidak bisa lain kecuali menggeremang doa-doa dan harapan baik, sebagaimana aku sendiri sangat membutuhkan doa-doa dan harapan baik sebanyak mungkin. Meski terpisah di ujung-ujung magnet jarum kompas, ikatan itu tidak akan pernah hilang. Terlalu banyak waktu yang kami habiskan bersama. Terlalu banyak suka duka. Semoga Allah menolong kami semua. Kasihanilah kami, Oh Allah, kami mahlukMu yang lemah tak berdaya.

Lalu hidangan-hidangan prasmanan yang sudah jelas dipersiapkan oleh suatu katering atau semacamnya. Otsorsing mungkin. Kudapan-kudapan juga bolehlah, meski entah mengapa teh tidak di situ tidak di hotel rasanya sama. Tidak enak. Apalagi ditambahi krimer cair yang membuat perut panas saja. Minum air putih, karenanya, menjadi alternatif yang sangat masuk akal meski akibatnya pipis-pipis terus. Kantuk tidak pernah menjadi masalah kecuali di hari kedua yang sampai malam itu. Sampai terpaksa menahan leher dengan gulungan karpet, begitu saja di lantai mesjid.

Selebihnya, sungguh senang hari pertama ketika pulang ada Istri Tersayang. Kurasa tidak ada yang lebih menyamankan hati daripada itu. Pulang kepada orang-orang yang disayangi. Ada semua pada saat itu. Sesampainya di Jalan Radio, kami masih sempat berboncengan Pario. Cantik tadinya minta bakso, tetapi ternyata tidak ada bakso di Barito. Setelah membeli tiga plastik bubur ayam, segera balik arah ke Radio Dalam dan mampir dulu di Salero Ajo. Entah mengapa ia sepi, sedangkan yang di depan ex-Circle K justru ramai.

Selebihnya, ini urusan antara lelaki dan rembulan. Antara Monas dan Wantannas. Hari ketiga itu bahkan pulang sudah tidak kuat. Kepala sakit sekali, apakah karena makan terburu-buru. Mencongklang Pario hanya sampai Kemang dan balik bakul, meski telinga sudah disumpal al-Baqarah. Tidak lama setelah sampai di Jalan Radio, menyalakan AC sebentar maka tertidurlah untuk bangun keesokan paginya. Alhamdulillah segar sehat bugar. Mampir dulu di kampus, bertemu dengan Para Tamtama, masih sempat makan mie jamur pangsit rebus. Pulang. Pulang. Lelaki pulang.