Friday, December 28, 2012

Dunia Cinta, Akhirnya Tak Memandang Usia


Dunia, dunia, dunia, bagian mana darimu yang belum mengecewakanku? [...beef prosperity masih enak, sih...] Tenang, tenang, tenang, semua akan mendapatkan giliran. Jangan berebutan. Semua PASTI kebagian. Jadi, konon kematian yang terbaik itu adalah Kematian Pandawa. Dimulai dari Sadewa dan Nakula, yang merupakan kaki kanan dan kiri Pandawa Lima, disusul Arjuna yang merupakan mata dari Pandawa Lima, lalu Bima yang merupakan gairah Pandawa Lima dan terakhir Yudistira yang merupakan jiwa dari Pandawa Lima itu sendiri. Ini mirip dengan kisah mengenai pengingat yang dikirimkan oleh Kematian sebelum ia sendiri datang. Pertama, langkah-langkah dibuat berat, padahal Sadewa dan Nakula adalah penopang bagi kakak-kakaknya. Kedua, mata dibuat rabun, sedangkan Arjuna Sang Pemanah Ulung sangat mengandalkan matanya; rabun di sini bermakna luas, mencakup semua keindahan duniawi. Ketiga, gairah hidup itu sendiri dibuat hilang, sebagaimana Bima adalah yang paling bergairah dari berlima, terlebih masalah makan. Terakhir, jiwa itu sendiri dibuat hilang dari jasad, laksana Yudistira yang merupakan jiwa dari Pandawa Lima. Maka bergembiralah ketika pengingat-pengingat itu datang, jika benar perjumpaan denganNya-lah yang kau harapkan; dan merataplah memohon ampun ketika pengingat-pengingat itu datang, jika mengingat betapa dosa dan durhaka laksana buih di lautan banyaknya.

Mal Depok, sebelum berubah menjadi D Mall
Seperti kematian itu, sepertinya tidak ada yang dapat diperbuat untuk meramaikan kembali Mal Depok, yang sampai awal 2000-an begitu berjayanya. [...atau aku mengunjunginya di waktu yang salah?] Semalam, aku berjalan-jalan di keempat lantainya. Dahulu, di Lantai Dasar, di pintu belakang terdapat KFC, yang kini aku nyaris tidak pernah kepingin. Tepat di seberangnya adalah Timezone. Banyak kenangan di situ. Gunblade, Star Wars X-Wings, Manx TT, Tekken 3, alat panco entah apa namanya... dan masih banyak lagi; yang sekarang tak ingin lagi aku memainkannya. Di Lantai Tiga sekarang ada Amazone, entah masih satu perusahaan atau tidak dengan Timezone, tapi yang jelas ada Gunblade. Namun, seperti kenangan itu sendiri, picunya sudah tidak mantap, sudah kendor. Lantai Satu dahulu merupakan Hypermart tempat aku mencuri berbagai barang; terutama rokok, tapi pernah juga tuna kalengan dan makanan lainnya. Lantai Dua, seingatku, terdapat alat-alat musik dan olahraga, juga sedikit buku dan alat tulis; di sinilah dahulu aku mencuri mainan Scrabble, mengganti bungkusnya dengan ular-tangga yang jauh lebih murah. Lantai Tiga, aku tidak pernah tahu ada apa di sana dahulu, kecuali bahwa terkadang di tempat ini diadakan pameran-pameran; misalnya pameran benda pusaka, termasuk jenglot ada di situ. Gambar di atas seingatku adalah revonasi pertama, bentuk aslinya tidak begitu. Sekarang adalah renovasi kedua, sehingga tampak chic begitu; akan tetapi tetap saja sepi. Satu-satunya yang kini lumayan menarik hati adalah Food Hall di basement. Barangnya aneh-aneh.

Dahulu sekali, aku pernah berangkat dari kontrakanku di Srengseng Sawah naik angkot menuju Mal Depok; seingatku malam-malam, dan membawa buku tulis. Pada waktu itu aku mau menulis suatu esai dengan judul "Mereformasi Gerakan Reformasi." Ya Allah, betapa naifnya aku waktu itu... Beberapa esai pernah kuhasilkan bersama mesin tik hijau terbang yang memorabel itu, bermodalkan entah berapa bungkus rokok dan berapa baskom kopi; semuanya dikirimkan ke Kompas, dan semuanya tidak ada yang dimuat. Kenangan ini mengingatkanku, bahwa aku memang tidak pernah berhenti menjadi seniman. Secara sangat mendasar, suasana kebatinanku saat menulis di emperan Mal Depok itu sama persis dengan apa yang kurasakan sekarang. Aku tidak pernah tahu dan tidak pula merencanakan, mau diapakan tulisan-tulisan itu. Apakah aku membayangkan diriku terkenal gara-gara tulisan? Tidak! Sekali-kali tidak! Aku selalu menulis untuk... 'ku sendiri. Aku bahkan tidak peduli apakah orang membacanya atau tidak. Aku belum cukup mencari tahu, apakah media sosial telah juga berhasil memodifikasi kebutuhan orang membaca buku. Setidaknya, beratus-ratus ebook yang ada dalam tabletku sangat jarang pun kubaca. Setiap kali membuka tablet, pasti berita Liverpool kucari, atau pesbuk, paling banter Wikipedia. Kemana perginya membaca untuk senggang?

No comments: