Sunday, February 24, 2019

Dahulu Semua Indah, Terasa Bergelora. [Gorengan]


Ya, seperti itulah yang sanggup menggelorakan. Aku memutuskan langsung mengetik di editor ini karena aplikasi pengolah kata sedang terasa aduhai menjengkelkan. Apa yang kuguratkan di sini tentu sesuatu yang tidak pernah penting, kecuali secercah rasa yang sebenarnya harus dilupakan. Namun apa salahnya, demi suatu masa ketika semua indah, semua terasa bergelora; karena segala sesuatu memang ada jamannya. Itu adalah waktu di mana satu sengatan kecil, satu kepakan sederhana dapat memicu prahara yang mengharu-biru dunia. Duniaku. Dunia tololku. Duniaku, Tolol!


Ya, masa begitu saja bergelora. Malu dong sama Hari Anak Planet. Kalau sama Togar anak komplek mah tidak perlu malu, karena aku anak komplek yang kampung sangat. Dengan kelakuan dan, akhirnya, kesenangan-kesenangan seperti anak kampung, dari Planet lagi, seperti Hari begitu. Kadang aku membatin. Mengapa 'lah aku tidak lebih akrab dengan kehidupan kampung. Ya, karena memang kau anak komplek, Tolol! Bagaimana aku tahu kalau di kampung tersedia kesedapan-kesedapan yang entah bagaimana caranya menjadi preferensi sejatiku, dengan istilah apapun aku menyebutnya.

Uah, ini lebih menantang dari apa yang pernah dilakukan Gramsci di dalam bui. Gramsci buinya kecil saja, kurasa, sekitar ukuran buinya Hitler lebih atau kurangnya. Aku dalam bui raksasa! Aku mengungkung diriku sendiri, sedang mereka dikurung penguasa masing-masing. Akulah penguasa diriku sendiri dan dengan kekuasaan itu aku mengurung diriku sendiri pula! Hei, jangan sampai orang menyangka yang tidak-tidak. Ini semata-mata mengenai gorengan dan lontong, dan serabi. Ini adalah sesuatu yang entah bagaimana tidak mau pergi juga dari benakku yang seharusnya sudah tua renta.

Dan aku memang tidak bertujuh-lima lima-dua-lima, namun akibatnya aku mengecek pratinjau setiap satu alinea sekali. Pak 'nDul memang--dengan personanya yang lebih intimidatif, tidak seperti Mas Toni yang cenderung flegmatik--menunjukkan banyak kemiripan. Dan kesia-siaan ini begitu saja diinterupsi oleh Takwa menanyakan kabarku, bercerita mengenai Kolkata. Mengapa aku, seperti biasa, banyak menyela. Tepat sekali nasihat Sopiwan untuk penelitian lapanganku. Kalau mau dapat banyak, diamlah. Pura-pura bego 'lah. Ini pun sebentar lagi akan disela oleh pengabutan (fogging).

Lantas kapan akan kuakhiri jika tidak bertujuh-lima lima-dua-lima begini. Apa menunggu klimaks yang tidak mungkin pula dicapai di sini, sedang Orkestra Filharmonik Kerajaan sudah memainkan Waktu dalam Hidupku dari Tarian Kotor. Bukan tariannya benar. Pikirannya. Sekitar dua menitan lagi maka akan kuperiksa apakah airnya sudah mendidih. Gor-gor atau mulak-mulak, selalu saja dalam benakku. Tidak bisa semuanya! Semua atau tidak sama sekali. Bagaimana dengan satu saja. Atau, ada lagi yang lebih mengerikan. Bagaimana kalau seperti sarapan. Tempo-tempo kepingin nasi uduk bulu ayam, tempo-tempo lontong, gorengan dengan sambal kacangnya sekali.

Ha, mengerikan sekali! Ngeri! Ingat dan ingatlah selalu itu. Aduhai mengapa benar harus kurasakan yang demikian ini. Mana baru saja kusadari kalau je t'aime moi non plus artinya aku juga cinta padamu. Uah, aku tidak sama dengan kalian hai Salim Said dan Gunawan Mohamad. Jika Achmad Sulfikar mau sama dengan kompatriot Bugisnya, itu sepenuhnya urusan dia. Aku tidak. Aku... Pak 'nDul. Hahaha tertawa sesukamulah. Prabowo tidak bakal menang. Tidak begitu caranya menang. Kau seharusnya tahu bagaimana caranya menang, kau 'kan jenderal.

Jika ini kutambah satu alinea lagi, semata karena aku ingin segera mengakhirinya. Sepanjang Rahayu Theatre itu ke arah Apotek Windu Mukti, yang sangat bisa jadi kedua-duanya milik pengusaha-pengusaha keturunan Cina, demi apapun Prabowo tidak akan menang. Hei, mengapa jadi ini. Mengapa tidak bakpao kelebihan soda pengembang yang sebenarnya didapatkan dari ibunya, yang mengembang di tempat-tempat yang kurang semestinya. Mengapa ditertawakan. Terima kasih, Sayang. Ini satu kesakitan. Satu kejahatan yang nyatanya hanya khayalan. Mengapa menyakiti?

Aku 'kan hanya kopral. Keple pula. Asli.

Thursday, February 14, 2019

Semua Cintaku dan Ia Tersenyum. Dikecup


Tidak perlu terlalu dipikirkan. Lagipula rasa koq dipikirkan. Ini juga bukan suatu kepura-puraan, apalagi kesal kepuncakan. Ini sekadar, apa. Masa jatuh cinta lagi. Apa kau tidak punya lain di luar jatuh cinta. Kebacinan, kebusukan sudah tidak waktunya ketika kau benar-benar, secara harafiah, membusuk. Ketika suasana kimiawi tubuhmu cenderung asam, itu berarti kau sedang membusuk. Jadi suatu sekarang bersambungan. (present continuous) Aku toh lebih Pak 'nDul daripada Mas Toni, haruskah kupanjangkan jenggotku. Tidakkah kasihan pada Cantik.


Lantas begitu saja dari pagi-pagi yang lampau, aroma sedap Minak Djinggo yang terbuat oleh Nojorono disembur-semburkan Engkong. Kepada siapa aku dapat berpaling, ketika di kamar mandi pojokan belakang itu aku menungging sambil mengeles. Mas Toni pun. Pak Ndul pun. Malu hati jika celananya dilucuti, dibuang ke tanah pekuburan, di belakang koperasi. Sakit ‘kan. Cintai aku pagi ini. Tolonglah cintai aku. Mengapa tidak sekarang. Ini lebih baru. Ini setelah insap, setelah tidak terlalu sarap. Apa mungkin.

Seperti pagi ini aku mencari nasi uduk bulu ayam, yang terngiang adalah Dengan Tangan Ini. Ternyata tidak ada bulu ayamnya, jadi aku parkir pas di tempat ia biasa ada. Profesor Imam Khomeini jika memang menjadi kehendakNya. Kembali lagi ke Amsterdam sambil meratap merintih-rintih dalam hati. Begitu saja di semua tempat tinggal dijalani. Aku bahkan tidak berani merinci. Rinciannya. Bila suatu kalimat diakhiri, kapan ia diawali. Bass biarlah Ajo. Aku bisa macam-macam meski tiada yang peduli.

Etnografi sudah gila apa, sementara diingatkan pada turlap bisa berjengit. Lalu Penyejuk Mata yang meledak-ledak. Apa mau dikata. Memang mungkin lebih baik aku di sini menyanding Pak Ihin, Pak Yudi, Mas Afif dan satu lagi. Biar terbaca, Insya Allah, suatu hari nanti sedangkan badan sehat hati hangat belaka. Perut nyaman diisi roti gandum lapis isi keju, filet kalkun atau ayam dan uborampenya sekali. Itu masih nanti, yang penting turlap. Apa yang ada sementara dinikmati saja.

Bapak bisa jadi Hamilkar Barka. Aku bisa jadi Hannibal. Adik mungkin Hasdrubal. Bukan. Itu malah nama adikku. Aku hanya fasih berbicara dan manis bertutur-kata. Ah, buat apa cerita hebat mengenai orang-orang hebat itu. Para jenderal yang sebenarnya, bukan jenderal yang sebenarnya mengurus urusan privat sendiri. Lalu apa gunanya bicara begini, bahkan memikirkannya. Lebih baik kau pikirkan bagaimana mencapai Salemba sebelum jam delapan pagi di beberapa Kamis ke depan ini. Bisa jadi nasi rames itu ganjarannya.

Ini apa menulisi, bukannya menata-letak. Aku menikmati. Aku mensyukuri? Semoga. Aku menggantikan. Ada urusan dengan Ali dan Fadhil, atau Nira. Ini Waktu Mencinta, sedang perut agak mulas-mulas manja. Semua tidak ada gunanya. Apalagi. Uah, bahkan tidak berhak atas kata ganti apapun. Mengapa aku mengutuk turunan Rano Karno. Mengenai apakah semua ini. Ini mungkin mengenai wajah berambut yang diterpa polusi. Ini mengenai pori-pori yang tentu saja lebih besar. Ini bisa jadi mengenai perawatan wajah, tidak peduli.

Aku tahu, ini mengenai sesuatu yang lebih besar, meski aku tidak akan menenggang para pendusta. Seekor cicak begitu saja menjulur-julurkan lidahnya, membaui udara di sekitarnya. Adakah ia mencium bau bacin yang menguar dari benakku. Cicak begitu saja melompat ke lubang yang dibuat tikus di kasa, sedang aku menutup mata, membiarkan ia mengecupku. Siapa, apa benar yang kurindukan. Aku hanya berpura-pura. Aku tidak benar-benar rindu. Aku tidak tahu lagi apa yang kurasakan... [Cicak itu sudah tiada]

Memang Cantik [Puas, sambil mengancing celana]