Sunday, May 29, 2016

Aku Suka Kamu Suka Jatuh Cinta


Uah, sudah saja kutulis! Biar tidak lama, meski diiringi dentingan piano memainkan melodi entah apa. Sementara dalam angan melambai-lambai membayang sesuatu yang jelas kesia-siaannya, seperti sia-sianya akhir pekanku kini. Eh, begitu pakai irfon bunyinya lumayan. Apa yang tadi terbayang seperti kesia-siaan tiba-tiba menjadi indah, menjadi syahdu mendayu. Ya, setidaknya begitu. Setidaknya apa? Baca berita! Berita apa? Difoto apanya? Tidak. Beginilah saja adanya. Gendut mbededet, mungkin air isinya, ditahan oleh garam. Bisa jadi.


Di meja makan, sementara itu, menungguku segelas liang teh yang sudah diteguk agak sedikit. Menunggu seperti teman misterius, mengawasi apa-apa yang diperbuat oleh benakku. Benak yang ditenagai oleh keju sisa martabak yang sedikit dilumuri susu kental manis, yang kesal karena kerang saos padang. Jangan lombok yang asin dipadu dengan nasi uduk, seharusnya pakai bala-bala. Maka jadilah kenangan SDN Cimone 3 di bawah asuhan Bapak Sawira. Jadilah Jalan Jayapura di akhir '80-an itu, yang enggan kukenang kini karena sakit saja terasa di hati.

Biar seribu tahun memutih rambutku, hatiku tetap selembut salju. Hahaha salju tidak lembut, Bos! Dan tawa itu hanyalah padaku yang hanya sejenak mengecap, seperti juga Sandra. Bahkan Ayu dan Budi sepertinya jauh lebih baik dari kami. Bagaimana Nuni, Nuri, Yolan, Bowo? Semua masa lalu belaka, sedangkan masa kiniku adalah kenyataan mengenai surat keterangan telah melaksanakan tridarma, atau dasasatya? Gimana sih? Hidup benar-benar memaksaku untuk percaya sepenuhnya bahwa kebutuhan, bukan keinginan, akan selalu terpenuhi.

Kalau tidak percaya rasanya seperti tidak ingin hidup, soalnya. Buat apa hidup jika hanya menahan gejolaknya keterbukaan, meski itu hanya satu di tempat yang sangat strategis. Selembar post-it merah sempat menampung keraguan yang sok yakin, hanya untuk berakhir uwel-uwelan di tong sampah. Akhirnya, berujung pada kelecetan yang satu sampai anyang-anyangen yang lain. Sedangan rasaku tidak nyaman seperti kebanyakan gula, dan musik-musik sok relaxing ini memang ngeselin kecuali sedang dipijat-pijat penuh kelembutan oleh terapis yang jarinya tidak jempol semua.

Apa katamu? Penari angin? Lalu ada lagi bocah main debat-debatan memancing murka. Aku selaku pendidik [halahmadrid!] tentu saja tidak boleh murka. Aku harus sabar, meski tarikan urat muka tampak jelas menahan bosan dan jijik. Setan, mengapa tidak kuusir saja bocah-bocah itu, biar menjadi pelajaran bagi mereka dan yang lain-lainnya. Apa yang kulakukan ini... sia-sia. Bahkan bocah-bocah ini mencibirku. Bocah! Betapatah dengan oom-oom. Diberakin ada juga. Ya Allah hamba mohon ampun. Hamba mohon pertolongan. Hamba mohon ampun.

Apa tidak lebih baik jatuh cinta? 'kan enak? Jatuh itu sakit, sakit itu enak. Enaknya seperti keropeng setengah kering digaruk-garuk dithithili. Seperti itu 'kan? 'tuh sana jatuh cinta pada koreksian Hukum Adat hahaha. Tidak pada apapun yang dimasukkan ke perut. Lebih tidak pada apapun yang dijejalkan ke otak, apalagi ke dalam sanubari... dan penari angin dengan monotoni ini benar-benar menggangguku, apanya yang relaks?! Bisa edan aku dibuatnya. Nah, ini agak bolehlah, secara aku pun biasa memainkannya: Kenangan yang ada lampu jalan dan keheningan jalan setapak.

Tidak, sekali-kali tidak! Tidak, sekali lagi tidak! Meski buntu jalanku, meski beku otakku, meski gelap mataku, meski remuk hatiku, hanya Yang Tersembunyi itu yang kudamba. Biarlah aku menenggelamkan diriku ke dalamnya, Telaga Sunyi itu, meski siap aku berbantah-bantah dalam sunyi. Kecipaknya, gericiknya, tidak ada. Denting-dentingnya tak bersuara. Hanya nyaman dan kempisnya perut kini kudamba, agar tidak sesak ketika duduk, sepantas patutnya hamba, sudah selayaknya. Menekur menekuk punggung melipat perut. Sungguh, aku khawatir.

Saturday, May 21, 2016

Antara Aku, Kau dan Bekas Sukarnoku


Bulan Mei belum berakhir dan aku masih menulis entri dengan beban perak sepuluh gram plus batunya sekali di jari manis kanan. Aku menyukainya, meski Cantik tidak. Entah mengapa sudah lama aku merasa perlu untuk mengenakan artefak. Aku tahu sih. Ini gara-gara Pahlawan-pahlawan [yang menggunakan] Kekuatan dan Sihir. Biarlah. Setidaknya bukan mahkota atau sepatu entah-entah. Jangankan pedang atau tongkat, sedangkan kalung saja tidak terpikir olehku. Sebentuk cincin cukuplah, dan batu untuk digenggam-genggam.


Sungguh tidak ada yang ingin kurekam darinya, kecuali bahwa akhirnya kucicipi juga gurame a la Dapur Sunda di Hanggar Teras MBAU Pancoran yang kelezatannya matak lupa mitoha. Sayang ketika itu aku tidak berminat untuk mencicipi es goyobodna. Ketika baru pindah ke KSU pun, meski ada seingatku di pinggir jalan berjualan es goyobod, tidak juga kubeli. Itu sudah sepuluh tahun lebih. Itu adalah hari-hari terakhir Delta FM 99.5 the Best Oldies Station in Town, ketika iklan Dapur Sunda dan Patuna ditingkahi oleh berita-berita dukacita.

Teringatnya, aku berpuasa hari ini. Alhamdulillah. Sungguh ajaib! Kemarin-kemarin selalu saja gagal, sedangkan kini aku tengah ngabuburit sambil menulis-nulis entri. Masya Allah! Berhubung di sini tempatnya ngomong asal-asalan, maka boleh saja kukatakan jangan-jangan ini gara-gara kuarsa jernih. Sejak aku meremas-remasnya, entah bagaimana aku membeli Keagungan Surat-surat al-Quran Juz ‘Amma di toko buku mesjid, meski pembahasannya agak kurang ajib menurutku. Hahahah sekali lagi ini cuma asal bicara. Seperti sudah kukatakan, ini semata karena kesukaanku pada artefak.

Hari ini sejak pagi-pagi sekali, bahkan lebih pagi dari biasanya ketika ada kelas pagi, aku dan Cantik ngacir ke kampus. Cantik sih alasannya menghindari kerja bakti mengecat masjid beramai-ramai. Aku tidak peduli alasanku apa, yang penting ngacir. Seharian ini tidak ada yang benar-benar produktif yang kukerjakan, kecuali sedikit membaca-baca Juz ‘Amma—meski harus kuakui, Insya Allah, suasana Ramadhan itu sudah terasa. Alangkah asyiknya jika aku dapat nyolong start. Memang benar, Ramadhan itu yang asyik adalah mengantisipasinya.

Menjalani juga asyik sih, karena bersama-sama. Degup kehidupan, iramanya seakan berubah ketika Ramadhan. Entah bagaimana caranya, segala sesuatu terasa relijius asal jangan menonton tivi. Semoga Ramadhan ini benar-benar aku dapat meningkatkan kualitas penghambaanku, jangan sampai disibukkan mengejar-ngejar entah apa sampai-sampai Ramadhan berlalu begitu saja. Dapatkah aku bertekad untuk tidak menulis entri mengenai berlalunya Ramadhan karena kuacuhkan tahun ini? Halah gak usah aneh-aneh lah. Dijalani saja, mulai dari sekarang. Insya Allah. Amin.

Banyak sesungguhnya yang dapat diantisipasi, baik hal-hal yang mengasyikkan maupun yang menyebalkan. Apakah ini berarti aku sudah mulai bosan? Ah, kemarin makan rambut bidadari minyak bawang masih enak. Jamurnya banyak sekali dan udangnya ada agak empat atau lima ekor. Tujuh puluh ribu satu porsi! Itu jelas mengasyikkan, apalagi dengan prospek adanya WS baru. Ah, pasti mengasyikkan berkantor di situ. Bagaimana cuacanya nanti? Nyamankah bermotor mengejar buka puasa bersama Cantik di rumah? Wallahua’lam bishawab.

Hahahah tak satu kata pun dalam entri ini mengenainya. Salah sendiri. Sejujurnya, aku tidak nyaman berada di tengah-tengah mereka. Orang-orang macam apa ini? Aku hanya mengikuti alirannya saja. Beliau memang orang hebat, tapi mengultuskannya? Gagasannya, jangan orangnya! Dan gagasan itu, aku yakin, dibentuk, dibangun, dipupuk oleh beberapa benak sekaligus, setahap demi setahap. Tidak mungkin hanya satu. Jika itu adalah Rasulullah SAW, maka tiada pertanyaan sama sekali mengenainya. Tidak ada keraguan sedikitpun! 

Friday, May 06, 2016

Shalat Jumat Perdana di Masjid Qoryatussalam


Masa tidak ada lain yang kauhasilkan kecuali entri-entri tikbergun? Maafkan aku ya HP Stream 8. Insya Allah aku akan segera membuatmu berguna. Insya Allah, setelah backend Revtal bentuknya sudah nyaman bagiku yang obsesif kompulsif ini. Memang untuk sopannya aku harus bertemu dengan Gobang sendiri—jika bukan karena ingin mempertahankan empat juta sebulan hikhikhik. Sementara itu, selamat tinggal John Gunadi dan gerombolannya. Mungkin memang sebaiknya aku tidak perlu berurusan barang suatu apa dengan mereka.


Untunglah pagi ini aku ditemani Maria Elena, yang memang dibuat indah sedap terasa inderaku oleh Sang Perkasa nan Serba Tahu. Apakah seperti kayu manis indah warna kulitnya? Apakah hitam legam seperti arang, seperti gulita malam hitam-hitam matanya? Aku suka begitu, meski lebih baik lagi bila namanya Maria Dolorosa. Begitulah selalu kunamakan kapal-kapalku, dari schooner sampai brigantine sampai frigate, semua Maria Dolorosa—dengan tatapannya yang sayu sendu, seakan hampir menitikkan air mata.

Tidak. Sulit bagiku untuk memulai jika semuanya belum sempurna, belum tepat di tempat masing-masing. Itulah sebabnya aku masih saja menulisi—bahkan hampir-hampir kuminta mengarahkan ke sebuah blog saja dimana penuh kendaliku atasnya. Memang kenyataannya aku sendiri yang bersemangat seperti biasa. Menunggu sampai mereka antusias? Meski mereka tidak kunjung antusias aku akan tetap begini. Itulah sebabnya aku tidak pernah merasa hebat. Apa hebatnya menjadi diri sendiri? Tidak ada pula usahaku yang benar-benar ke arah itu.

Ini, Insya Allah, untuk mengingatkan diriku sendiri. Sudahkah aku hari ini;
  1. berlaku jujur,
  2. bersikap berani,
  3. bermurah hati,
  4. bersopan santun,
  5. bersungguh-sungguh,
  6. menjaga kehormatan,
  7. membalas budi,
  8. berlaku adil?
Meski ingin juga aku membuatnya dalam cetakan yang baik sehingga dapat dibaca setiap saat, mana tahu mengilhami generasi terbaru Indonesia. Ini ‘kan Insya Allah jauh lebih mudah dipahami daripada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Nah, ini baru lucu. Aku mengetik seakan-akan sedang menyalin atau menerjemahkan sesuatu di sebalah kanan kiborku, padahal yang ada di sebelah kanan adalah hasil ketikanku itu sendiri—sedang di hadapanku terhampar rerumputan di siang hari yang berawan dan sumuk ini. Aku baru saja shalat Jumat perdana di Masjid Qoryatussalam nan ramah anak. Mesjid ini baru mengadakan shalat Jumat jika hari libur. Di hari-hari kerja, kebanyakan jamaahnya shalat Jumat di tempat kerja masing-masing.

Meski ramah anak, kurasa sebenarnya aku dapat menahankannya. Masjid sedekat itu dari rumah, hampir tidak pernah aku shalat di situ. Apa ini ada kaitannya dengan berat tubuhku, berat dosaku? ‘Duh, sedangkan aku habis makan telur untuk yang kedua butir hari ini. Di hari Kenaikan Isa al-Masih ini, Tante Lien berkunjung ke rumah kami bersama Ihza dan Afi sekalian mengembalikan KTPku yang kemarin digunakan memperpanjang STNK Honda Beat B 6541 EVC.

Hari ini pula hampir aku lupa mengirim untuk anakku Fathia Rizqi Khairani, anakku satu-satunya yang nyaris tidak pernah kubesarkan sendiri. Baguslah ada Bapak Janus yang menggantikanku melakukannya, hal mana aku berterima kasih. Mungkin kalau ada nasibnya berjumpa, akan kukatakan sendiri kepadanya. Ini gara-gara Ibu dan Gendut baper mengira aku tidak sayang pada anakku sendiri—saking saja aku tidak diberi kesempatan membesarkannya. (sic!) Hah, untuk apa yang begini kutulis di sini.

Monday, May 02, 2016

Tapa Perdanaku di Sari Kenangan Satu


[Ini adalah suatu gejala (halah) sindroma gila menulisi, sudah tiga hari ini berturut-turut ada entri] Namun aku memang merasa perlu untuk mengabadikan tapa perdanaku di Sari Kenangan Satu. Boleh jugalah entri ini disebut Ke Barel Aku ‘kan Kembali atau apalah semacam itu. Memang itulah yang senyatanya terjadi. Kapan aku meninggalkan Barel? 2011? Mungkin iya, atau bahkan sepanjang 2011 itu aku sudah tidak di Barel—setidaknya sudah bolak-balik ke Pepaya. Sudah cukup lama.

Namun Sabtu lalu seharian sudah kuhabiskan di Barel dan sekitarnya. Campur-aduk rasa hatiku. Sensasi menyiapkan kos-kosan baru yang biasanya selalu kotor dan kumuh setelah lama ditinggalkan. Sensasi bergumul dengan debu-debu apak, hitam dan membuat gatal. Sensasi menggosok kamar mandi yang kondisinya ya sudahlah, dalam keadaan normal dapat saja membuat bergidik. Tambahan lagi, kasur kapuk! Ya as-Salaam, sudah berapa lama aku tidak melihat benda ini. Bahkan Markas Beto dahulu pun berkasur busa. [atau ada yang kapuk juga, ya?]

Untunglah sepanjang Sabtu itu cuaca sangat bersahabat. Sepanjang hari dari pagi langit terus saja mendung. Matahari tidak mengintip barang sepicing pun, bahkan ba’da ashar sempat hujan lumayan deras. Lelah memang, namun cukup dengan duduk dan berbaring sebentar mengusirnya. Semakin yakin aku biang keladi lemahnya tubuhku belakangan ini adalah cuaca yang tidak menentu. Hei, cukup banyak juga kuhabiskan untuk menyiapkan kos-kosan ini, mungkin sekarang sudah hampir satu juta. [belum sih… masih di bawah itu. Semoga]

Demikianlah maka hari ini—di bawah terik matahari setelah mendengarkan dongeng Claradika mengenai Public Private Partnership yang tidak sampai setengah jam itu, aku mencongklang Pario ke kos-kosan. Memang sudah kuniatkan terutama untuk membeli kursi plastik, karena satu-satunya kursi yang tersedia sudah dipatahkan Jay. Sesampainya di kosan, begitu saja aku terpikir barang lain: Kasur! Ya, karena kasur kapuknya sudah sedemikian tua kiranya sehingga menimbulkan polusi udara yang mencekik leher. Maka kugulung lagi itu kasur kapuk dan kuletakkan di luar di atas kursi patah.

Sesampainya di Hypermart Detos, segera kukelilingi bagian belakang toko mencari kursi plastik yang ternyata ada di pojok paling belakang. Dalam perjalanan mengelilingi belakang toko itulah aku melihat kasur lipat. Demikianlah maka kasur lipat lengkap dengan bantalnya sekali, juga kaus oblong—cocoklah untuk mendinginkan badan setelah terpanggang panasnya udara dalam seragam oranye Dhanny Dahlan koleksyen. Sesampainya di kosan, shalat dan segera menggelar kasur. Tadinya mau sambil membaca, namun nyatanya terlelap juga.

Pada saat terlelap-lelap ayam itulah hujan turun dengan derasnya. Sederas itu hujan turun, mungkin agak setengah jam lebih, masih tidak mampu mengusir gerahnya udara. Belum sempat terlelap maka bangunlah aku dan mendirikan shalat Ashar, bersiap-siap kembali ke kampus untuk mendongeng mengenai sumberdaya air. Demikianlah lebih dan kurangnya pengalaman tapa perdanaku di Sari Kenangan I yang merupakan salah satu kosan elit pada masanya. Delapan ratus ribu Rupiah sebulan kini, lebih mahal seratus dari yang diminta Babeh Tafran untuk kosannya.

Sesungguhnya, yang kusebut kosan dari tadi adalah “Sekretariat Bersama Komisariat-komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia di Universitas Indonesia,” yang karenanya harga sewanya naik menjadi Rp 1,000,000/ bulan—padahal hampir tidak pernah dihuni. Justru karena itulah maka aku bertekad membersihkannya dan menjadikannya semacam pertapaan pribadi. Tentu saja aku berharap sekali dua berkumpullah bocah-bocah itu di sini, terutama para kontributor revolusitotal.org. Namun janganlah berkumpulnya itu terlalu sering, karena aku yakin tak satu pun di antara mereka suka pegang sapu.

Sunday, May 01, 2016

Satu Mei di Danau Angsa, Insya Allah


Bolero ini, jika orang tidak suka-suka benar, maka pasti pusing dibuatnya. Namun jika sudah digelar ensembel string begini masa orang masih tidak suka? Apapun engkau, Bolero, aku lebih menyukaimu daripada harus menjadi tuan rumah untuk acara ramah tamah model apapun, meski tujuannya untuk membuat jalan yang mulus tempat bermain lima ekor gadis-gadisku. Ah, aku bisa membayangkan keanggunanmu. Keanggunan dan pesona yang tidak main-main, tidak dibuat-buat. Terpancar begitu saja dari hadirmu, dari adamu. Majestic!


Aku juga tidak sabar ingin segera mencicipi bertapa di Sari Kenangan Satu. Sebenarnya aku bisa saja membuat pertapaan lagi di tempat Babe Tafran, seandainya masih ada yang kosong, untuk tambah-tambah rejeki dia. Ini terpikir karena Ibu Semang Sari Kenangan Satu tidak mengijinkanku melubangi dinding hahaha. Babe Faishal pasti membolehkan. Entah sudah berapa kamarnya kulubang-lubangi. Aku butuh pertapaan itu, terutama selama aku dipecat seperti ini. Mana tahu hanya sampai akhir tahun ini.

Selebihnya, Insya Allah aku akan bertapa di tepi Danau Angsa! Hari ini Satu Mei dan aku masih berkhayal mengenai Danau Angsa. Semoga tahun depan tepat di hari dan waktu yang sama aku sudah berada di sekitar Danau Angsa itu. Semoga pada saat itu bahagia dan semangat saja adaku. Semoga dilancarkan semua sehingga selesainya. Amin. Pada titik inilah aku merasa mengantuk karena tidak tidur lagi setelah subuh tadi, semenjak dibangunkan Anak Gendut.

Berkeliling-keliling lantai dansa, bagiku, hanyalah khayalan yang dipicu asalku dari kelas aristokrat. Selebihnya, aku tidak tertarik untuk berpakaian sepatutnya bagi kesempatan seperti itu—apalagi sampai harus beramah-tamah dengan mereka yang hadir di situ. Biarlah ia menjadi sisa-sisa. Biarlah aku menjadi bangsawan yang membusuk, sejalan dengan membusuknya kehormatan dan rasa hormat. Meski demikian, sedapat mungkin aku akan terus berusaha menjadi orang terhormat, menjaga kehormatan keluargaku dan bangsaku, menjaga martabat kemanusiaan dan cita-cita moral rakyat yang luhur.

Dan itu tidak termasuk memakai kaus kaki, karena rasanya gerah. Bertelanjang kaki sungguh nyaman rasanya, meski telapak kakiku sudah tidak pernah tersentuh lumpur sawah lagi—paling banter lumpur jalan-jalan becek perkotaan. Yang coklat masih mending lah, yang hitam bagaimanapun membuatku ingin segera mencuci kaki. Jelek tidak mengapa, yang tidak boleh itu kotor dan bau. Sederhana itu suatu keharusan yang jika berhasil menepatinya akan menjadi kebanggaan. Bukan membangga-banggakan diri sendiri, melainkan kebanggaan komunal dalam wujud rasa hormat dari saudara-saudara sendiri.

Itulah cita-cita moral rakyat yang luhur! Tepat pada saat inilah aku merasa sungguh kesepian. Don Kisot masih jauh lebih beruntung dariku karena tunggangannya kuda, masih mendengus ketika dielus. Tungganganku Pario yang dudukan kakinya somplak. Eh, tapi ia mengerti loh perasaanku. Remasanku pada gasnya selalu ditanggapi seperti seharusnya. Kami memang bertambah tua bersama, dan selama itulah kami semakin tua dan tua saja—tidak seperkasa ketika muda usia. Tidak apa-apa. Inilah kodrat kehidupan.

Terlebih ketika kebangkrutan moral melanda seluruh dunia seperti wabah malapetaka begini. Inipun sudah diingatkan oleh nabi-nabi dan orang-orang bijaksana, jadi buat apa mengeluh? Buat apa merasa sepi? Satu-satunya kesepian yang patut dikhawatirkan adalahnya sepinya perbuatan baik, sepinya tanda bakti pada Majikan Maha Baik oleh dirimu sendiri. Padahal peluang dan kesempatan berbuat baik senantiasa mengintai di semua sudut dan tikungan. Padahal bakti pada Sang Asal Tujuan, seperti jantung sendiri, berdegup konstan.