Sunday, September 28, 2014

Ulang Tahun yang Ke-15, Bagiku 23 Tahun yang Lalu


Di tengah serbuan nyamuk begini, di carport yang entah kapan ada car-nya ini, apa aku cukup niat untuk masuk dulu mencari Soffell, kembali lagi lalu mencoba menghasilkan entri mantap? Kurasa tidak. Di malam musim kemarau ini, rambut belakang kepalaku basah, gondrong belum cukur, sedangkan tante Geri seakan membelai khayalku, selalu dari kecilku, memanggilku "My Love, My Love." Gembelnya, dilanjut dengan All I am-nya Heatwave. Salah satu yang kental mewarnai masa remajaku, dari 23 tahun yang lalu.

Hari ini anakku Kikin, Fathia Rizqy Khairani ulang tahun ke-15 tahun, seperti Bapaknya 23 tahun yang lalu. Sama seperti Bapaknya, Kikin sudah masuk SMA meski umurnya belum genap 15. Nanti Insya Allah ia lulus SMA pun belum genap 18 tahun umurnya. Baru saja kukatakan padanya, sambil mengucapkan selamat ulang tahun, kegagalan terbesar Bapaknya adalah (i) gagal menetapi shalat lima waktu di awal waktu semuda mungkin, sehingga akibatnya (ii) gagal memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, sering membiarkan benaknya diharu-biru pikiran-pikiran entah apa.


Sulit bagiku menatap ke depan, kuakui sejujurnya. Aku tidak bisa melihat ke depan. Apa yang kusebut sebagai "visi," bahan-bahannya kukhayalkan dari kisah-kisah mengenai waktu-waktu yang telah lampau. Apa yang mendorongku untuk terus, untuk maju? Cinta? Baru segini saja rasanya aku ingin berhenti. Sungguh, saat ini aku merasa ingin berhenti dari segala Pancasila, UUD 1945, Kejayaan Nusantara, entah apa... sedangkan membaca toll road financing tulisan Ah Hui sumpah aku tiada mengerti. Kalau sudah begini, ingin rasanya aku ber-please please please bersama Johnny Logan.

Johnny Logan, karena kalau James Brown aku tidak berani. Lagipula, aku tidak ingat please please please James Brown diputar di Delta FM 99.5. Tidak pernah, seingatku, meski --ingatkah kau, Nak?-- Kikin usia seminggu atau dua minggu pernah kubawa menari berputar-putar di ruang depan kontrakan kami yang berlantai ubin merah mengikuti nyanyian Opa James Georgia on My Mind. Lalu akan kutimpakan semua ini, apa yang kualami, pada Pancasila dan UUD 1945, sumpah setiaku padanya? Akan kubenarkan dengan itu? Lalu apa itu naik bis kuning di pintu, dari Asrama sampai bunderan psiko sambil bernyanyi-nyanyi You're So Beautiful Tonight-nya Kenny Nolan?

Akankah kumarahi anak-anak itu, karena tiada tahu asal-usul, tidak visioner, sumir pemahamannya mengenai kemajemukan Indonesia, dan pasti seadanya saja mengenai masyarakat hukum? Apakah marahku karena itu, atau karena diktatku tidak laku? Bukuku tidak laku? Bukuku lagi belum tentu laku, meski Pak Try memujinya, meski Pak Ananda sudah mengambil satu, orang tua-tua itu? Sedangkan kukatakan pangsa pasarnya adalah anak-anak muda umur 20-an? Jika aku tidak terbayang memaksa anakku sendiri membaca bukuku, mengapa aku harus memaksa anak orang lain?!

We can make it so much better if we try --Kenny Rogers

Saturday, September 27, 2014

Buat Apa Kalau Tidak Ada yang Baca?


Begitulah kata Lily. Tadinya, seperti layaknya orang normal, aku pura-pura tergerak mendengar stetmen itu. Seperti ketika aku menulis "kaum buruh sedunia, bersatulah!" dalam evaluasi dosen oleh mahasiswa (EDOM) mengenai mata kuliah "Komputer untuk Ahli Hukum," Bang Edmon bertanya apa maksudku menulis begitu. Akan tetapi, aku menulis untuk diriku sendiri. Aku menyadarinya, ketika membaca Bersetia Bela Pancasila. Aku menikmati tulisanku sendiri. Kelakuanku di Pesbukpun tiada jauh beda. Aku sibuk dengan diriku sendiri. Aku seperti Mbak Gemala Dewi hahaha.
Oh, betapa sedihnya. Amboi, betapa menderita. Aduhai, betapa sengsara jika selalu saja harus menuruti keinginan orang lain. Cukuplah aku melakukan itu untuk Cantik, karena ia Cantik dan aku sayang padanya. Selain Cantik? Lebih dari satu orang? Sudah gila apa? Aku tiada 'kan peduli! Jangan-jangan seperti itu pula kelakuanku di dalam kelas, yang pura-pura mengajar itu. Amboi, aduhai, betapa melelahkan pura-pura waras begini, pura-pura peduli. Don't make a s***, [out of anything] begitu kataku di Buku Tahunan Angkatan Kedua SMA Taruna Nusantara. Jangan bikin urusan. Jangan ambil pusing.

Namun... kata Takwa, tidak boleh frustokat. Ya, memang itu penyakitku yang paling utama. Koh Ah Jin saja sampai tahu. Aku pun sudah berjanji pada diriku sendiri untuk membatasi kelakuan one night stand ini hanya pada game. Namun... aku masih juga menulis di sini. Kenapa tidak segera direalisasikan Pancasilaku.com? Bedah buku tinggal menghitung hari dan sebaiknya ia segera siap, apapun itu, untuk mendistribusikan Bersetia Bela Pancasila. Kenapa? Mungkin karena aku sedang pilek. Bagaimana tidak mau dikeluarkan dari Akabri kelakuanmu begini? Siap, salah! Lalu e-Journal bagaimana? Komunikasi internal? Prospektus? Sepertinya aku cuma bisa minta tolong...