Monday, December 31, 2018

Entri Keenam yang Ditulis di Bagasnami


Kami berangkat lumayan pagi. Maafkan jika aku tengah kesulitan mengingat rincian. Aku baru tahu jika penat terbang (jet lag) dapat berakibat begini. Ini pun—mencoba mengingat-ingat rincian—kulakukan dalam rangka mengatasi penat terbang. Tidak juga. Aku hanya tidak suka jika Desember punya sembilan entri. Mengapa tidak sepuluh, sehingga tahun ini genap empat puluh entri. Aku hanya ingat kami berangkat lumayan pagi hari ini. Bahkan sarapan apa pagi ini aku tidak ingat. Ini sebenarnya mengerikan, karena aku benar-benar nyaris mengandalkan ingatanku semata untuk nafkahku.


Sesampainya di rumah Mama, seperti biasa asbah. Tante Lien sedang keluar ke Pipal bersama Afifah dan Nadia. Tiada berapa lama mereka pulang. Kali ini, Afifah dan Nadia yang asbah padaku, paman mereka yang baru datang dari Amsterdam. Tiba-tiba saja aku punya ide untuk memberikan cangkir-cangkir Maastricht 2017 yang tersisa pada mereka. Satu sudah untuk Khaira, maka dua lagi rasanya pas jika kuberikan pada Afifah dan Nadia. Aku masih ingat Afifah mengatakan kepada sepupunya itu, "kita punya cangkir yang sama." Afifah, kurasa, adalah seorang gadis kecil yang ekspresif, tidak seperti kedua saudara sepupu perempuannya sesama cucu-cucu perempuan Nenek.

Lantas, aku tertidur. Kata Istriku aku tertidur nyenyak. Satu pertanyaan yang paling sering kuulang-ulang beberapa hari terakhir ini adalah apakah aku mendengkur. Ya, itu bisa menjadi tanda nyenyak tidaknya tidurku. Kata Istriku, ketika itu aku mendengkur. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai rencana menghabiskan malam tahun baru di Sultan Residence. Yang ada di kepalaku, aku ingin menraktir Afifah makan sop ikan Batam, seperti yang kujanjikan. Ketika terjadi kekusutan mengenai bagaimana pergi ke Sultan Residence, kupikir rencana makan sop ikan inilah yang akan dijalankan.

Nyatanya, beberapa menit setelah anak-anak dijemput taksi daring kiriman Kak Tina, datanglah taksi daring lainnya, dikirim Kak Tina juga, untuk mengangkut yang tersisa dari Kodamar, yakni Mama, Istriku dan aku. Maka berkendaralah kami, melalui tol JORR timur di atas Bypass ke arah selatan, lalu membelok ke arah barat masuk tol dalam kota. Ketika itu yang dibahas adalah sudah akan ditutupnya Sudirman Thamrin untuk keramaian malam ini. Apa pentingnya bahasan ini untukku, sungguh aku sulit mengingatnya. Yang jelas tiada berapa lama sampailah kami di Sultan Residence, yakni menara keduanya.

Sesampainya di Lantai 17, keponakan-keponakan dan anak-anakku sudah ramai ingin berenang. Aku bersalam-salaman dengan kerabat yang sudah berkumpul. Lengkap sampai ada Mbak Endang, yakni kakaknya Mas Heru, dan satunya lagi yang aku tidak sepenuhnya ingat bagaimana ceritanya. Semacam saudara angkat begitu. Duduk mengepung meja adalah yang teraman bagiku yang cuma pura-pura sanggup bersosialisasi. Kurasa aku berhasil menarik simpati Bang Ian dengan menunjukkan ketertarikanku pada kabar Alfrance Berardi. Aku memang benar-benar tertarik.

Semoga benar-benar terjadi suatu hari nanti, aku naik Air Asia atau apapun, sedangkan terdengar dari pengeras suara: "This is your Captain, Alfrance Berardi speaking." Ah, keberhasilan anak, anak siapapun, selalu membuat hati terasa hangat. Kurasa dapat kukenang dengan terang-benderang betapa wajah Bang Ian menunjukkan kepuasan dan kelegaan ketika menceritakan perihal Ardi. Semoga ia menjadi anak yang tahu berbakti kepada orangtuanya, demikian juga semua sepupunya. Selebihnya, aku adalah suami si Anthi alias Kontil, si bungsu, perempuan. Begitulah posisiku di keluarga besar ini, di bawah naungan Sang Patriark Ian Syahlan Martua Nasution van Pematang Siantar.

Kurasa malam ini aku belum sepenuhnya sadar bahwa badanku masih beroperasi dalam waktu musim dingin Amsterdam. Aku masih hanya khawatir tidak bisa tidur jika bukan di rumahku sendiri, kamarku sendiri, kasurku sendiri, bantalku sendiri. Malam ini, sekitar jam sembilan, kantuk yang mengerikan menyerangku. Aku mencoba tidur di lantai beralaskan karpet tebal dari dinding ke dinding, sampai Bang Ian dan Mbak Erni sendiri menurunkan kasur-kasur agar cukup untuk semua. Tidak sampai sejam bahkan kurang dari itu, aku terbangun dan terus terjaga sampai berganti hari.

Berganti tahun, sebenarnya. Ya, aku sepenuhnya terjaga ketika pergantian tahun a la kalender Gregorian terjadi. Kulihat dari Lantai 17 itu, jauh dan dekat di kaki langit, kembang api menyemburat, meletup, berkeretak berdentam-dentam, seperti entah sudah berapa kali dalam hidupku. Demikianlah sebelum jam menunjukkan pukul dua belas tengah malam, sampai beberapa saat juga setelahnya. Tahun 2018 Masehi sudah berakhir bagiku. Tahun yang penuh berkah dan belas-kasihNya. Semoga tahun depan begitu juga, bahkan jauh lebih baik. Penghambaanku, tentu saja, karena lain dari itu sungguh-sungguh tidak terlalu penting. Allah, atas segala sesuatu, berkuasa.
 

Sunday, December 30, 2018

Dibakar di Kompor, Dikecapi Karena Lapar


Mari kita tinggalkan horor itu, kesedihan itu. Bahkan tidak cukup jika sekadar digambarkan sebagai kesedihan, ini kengerian! Masih saja 'kuberusaha keluar dari kungkungan tujuh lima, agar tampak sungguhan seperti prosa. Tujuh lima sesungguhnya bukan mengungkung, justru membebaskan. Seperti jazz, ia memberdayakan otak bukan memasungnya. Nyatanya, aku tetap saja kembali kepadanya: Tujuh lima. Ini seperti beringsut-ingsut masuk kembali dalam zona nyaman. Seperti seekor siput: Bekicot. Betapa tidak dengan belaian begini, meski udara tidak lagi sesejuk biasa.


Apa yang kualami seminggu ini sungguh aneh. Rasanya hampir-hampir seperti cinta remaja, meski aku tahu betul rayapku sudah mati. Bagaimana caraku memasukkan ini semua di akal, tentu aku tidak tahu. Seperti biasa, aku tidak peduli. Seperti halnya kantuk yang dahsyat bergulung-gulung bagai ombak lautan, sebelum maghrib dan sekarang agak jauh selepas isya,’ rasa ini sungguh tiada tara. Aku tua, apa karena aku belum memulai. Aku tetap saja tua, seperti mantel hujan dijemur di pagar geser.

Serasa tiada berguna semua kebijaksanaan ketika dihadapkan pada situasi ini. Semua pakem bukan saja dilanggar, melainkan memang seakan tiada pernah maujud. Apapun yang terjadi aku akan terus berusaha: Mencoba. Ini bukan bondongan roket mewarnai merah langit malam selatan Jakarta. Ini bukan pula getaran-getaran langit-langit yang hampir meruntuhkan neon panjang. Aku tidak tahu dari mana datangnya. Aku hanya dapat berharap ini menandai berakhirnya horor dengan manis. Sampai-sampai aku tidak membutuhkan horor dan kengerian dalam bentuk apapun.

Betapatah aku terpukau melihat awal, musim semi. Bermekaran, merekah, semerbak. Belum saja aku melihat akhir. Kegelisahan. Sakit. Ada waktu-waktunya di mana kau begitu saja diselamatkan. Ada waktu-waktunya harus menunggu barang sejenak. Pada kenyataannya, semua hanya harus dijalani dan ditahankan. Laki-laki. Perempuan. Ada semua. Aku menjadi bagiannya, meski tidak seharusnya di sini. Aku tidak yakin apakah aku sanggup menyelesaikan ini, ataukah ini akan menjadi sesuatu yang cukup bernilai. Ini bukan hidangan imperialis. Ini adalah kenyataan belaka.

Sebelum memulai, sesudah mengakhirinya. Aku suka berwisata kuliner. Semua asal jangan daging hidup kucicipi. Daging olahan masih bolehlah, namun aku suka dari berbagai ragamnya. Keragaman itu yang aku suka karena khayalanku tak berbatas tak bertepi. Terlintas-lintas dalam bayangku, berkebat-kebat dalam benakku. Berangsung-angsur kuperangi horor, kengerian yang terus menyengat-nyengat sanubariku. Takkan kubiarkan. Terangguk-angguk, daripada mengguguk-guguk. Mengapa aku sampai terperangkap dalam suasana ini, entah aku tidak tahu. Ini adalah sebagian dari pura-pura. Tidak benar-benar sebetulnya, hanya seakan-akan.

Ahoi, hoi-ho-hoi, aku seperti Nano berkisah mengenai Jin dari Tanah Parsi, ragaan dari masa mudaku. Ayoh agak semangat, sedang engkau sudah bertemu Siti Kejora pagi atau petang hari lalu. Seperti itu saja. Aku semangat untuk segera kembali bekerja, meski di sini benar tidak ada polisi maupun polisi pamong praja. Siapa tahu aku benar-benar sanggup mencipta, dengan mengerahkan daya cipta. Ragaan dari sengsaranya Buru saja bisa sekuat itu, masa aku di apartemen mewah begini tidak sanggup.

Dibandingkan seminggu yang lalu, memang suasana hatiku tidak beranjak banyak. Masih ada horornya. Ah, dunia apa ini. Seminggu ini horornya diperkuat. Ah, horor mengapa begini. Kesakitan seperti dikecapi. Meminjam kecap untuk dicrotkan ke atas kompor tua. Ini ayam. Pantas aku tidak suka ayam, meski itu original. Meski baru berpuasa, ayam, mungkin karena lapar; kecap, mungkin karena bakar. Demikianlah horor, masih bagus jika demikian. Bisa jadi segera berakhir. Ayam, yang jelas berakhir. Horor, semoga tiada lagi.

Sunday, December 23, 2018

Diganti: Seperti Makan Micin dengan Chiki


Kalau benar itu alasanmu, mengapa bukan Pak Kaji. Iya, ‘kan sudah kukatakan itu. Aku berbohong. Tepatnya aku menutup-nutupi sesuatu. Apa itu. Biasa. Diri-rendahku. Tidak. Ini bukan karena berada belasan ribu mil dari... mana. Ini lebih seperti berada belasan ribu kaki di surga. Maafkan aku, Dokter. Mungkin benar katamu itu. Kelebatan-kelebatan gagasan. (flight of ideas) Kau mau memaafkan kekuranganku ini ‘kan. Kau pasti mau. Kau dokter benar-benar. Ya, tepat seperti yang kubayangkan mengenai seharusnya seorang dokter.


Jelasnya, aku menulis ini karena tidak mau mengawali kalimat dengan “yang”. Aku gagal lagi menjadi cerpenis. Pram juga menjadikan dirinya sendiri sebagai bahan cerita. Tapi ia juga menceritakan banyak sekali orang lain, tentu dibumbui dengan khayalnya sendiri. Bedanya, aku ‘membumbui’ khayalku sendiri dengan cerita mengenai orang lain. Hahaha, seperti makan micin dengan chiki. Ini seharusnya judul entri kali ini. Jangan Dokter Icang. Nah, ini lebih suai dengan Kemacangondrongan; dan aku tidak kuasa mengkhianati tujuh lima.

Sedang orang-orang mencipta berbagai hal yang berfaedah bagi hidup dan kehidupan, aku mencipta eksibisionisme dalam format tujuh lima jadi lima dua lima. Biar aku mati dulu, jangan seperti seniorku Denny JA. Biar aku seperti Vincent. Di Minggu pagi yang sunyi dan mendung ini, aku berkesenian setelah menjejali perutku dengan indomie goreng rendang dua bungkus sekaligus, masih dengan cemilan suiran ayam kebap yang rasa-rasanya sudah tidak terlalu segar. Apa karena anak-anak sekolah sudah libur. Bisa jadi.

Di sampingku, seperti biasa, mug kelabu pucat berisi ramuan rempah musim dingin berbasuh madu. Aku bahkan menginginkan campuran Wina sekarang. Bila masih ada hariku, Insya Allah, biar kukenang hari ini, hari-hari terakhirku di studio Kees Broekmanstraat 218, barang-barang berserakan sedang aku masih tidak ada gagasan bagaimana cara terbaik untuk mengepaknya. Aku benar-benar menyanding secangkir campuran Wina sekarang! Eh, tadi mengapa Dokter Icang, bukan Pak Kaji katamu. Nah, coba sembunyikan ini. Bukan karena memanjat kursi dapur...

...bukan pula karena medewerker pas. Ah, kau tahu ‘lah. Tidak, aku tidak tahu. Sialan 'lu! Sekali sesapan saja membuatku urung membawa campuran Wina ke rumah. Mungkin sudah benar itu Douwe Egbert saja. Siap ini akan kubongkar lagi koper untuk mengeluarkan plastik-plastik berpenutup. Buat apa pula kau urusi plastik berpenutup. Memang harus kuurusi karena itu penuh dengan kenangan Cantik. Begitulah aku, seorang yang setia. Prek! Tahi! Uah, pas betul berbom-bom-bom Seandainya Aku Tidak Peduli dari mudaku.

Jadi begitu, ya. Seperti biasa ini adalah entri inkoheren. Aku tidak tahu malu. [masih harus kaukatakan juga?] Aku tidak punya kehormatan. Seperti Paman Yat-fei Si Kepala Besi, aku memakai celana dalamku di kepala dan minta dikencingi. Untunglah tidak ada yang melakukannya sampai hari ini. Bisa-bisa kembali lagi kepala besiku. Bisa-bisa main bola lagi aku. Aku jadi kangen Zulkhali Duki. Masih maukah ia mengencingi mulut Rudy Saladin. Mengapa harus mulut. Apa dia sudah pernah nonton begituan.

Yah, biarlah Hari Demi Hari mengembalikan kewarasanku berangsur-angsur. Dalam kesejukan senja hari, badan bersih habis mandi, bersarung, teh hijau satu gelas besar. [yang mungkin telah menggerus dinding lambungku selama bertahun-tahun] Kembali jelas tidak mungkin, namun terkabulnya doa adalah keniscayaan. Ya Allah, kacau benar aku pagi ini. Namun aku tidak mau lagi berdoa di sini. Ini memang tempat kekacauan. [maafkan aku, Ki Macan] Uah, Ki Macan sudah tidak ada! Akulah Ki Macan! Tiada lain aku sendiri!

...dan selalu aku. Sendiri.

Sunday, December 16, 2018

Salju Pertama di Amsterdam 2018


Kemarin… kau masih bersamaku… husy, koq jadi nyanyi. Kemarin ada kukatakan akan kuceritakan apa jadinya ‘kan. Nah, ini kuceritakan. Akhirnya aku benar-benar naik trem ke arah Nieuwe Sloten, tapi turun di Heemstedestraat, untuk dilanjut jalan kaki ke Jacques Veltmanstraat. Turun di Centraal kusempatkan mampir membeli munchkins isi sembilan, masih ditambah yang isi empat. Kumakan satu, tiga sisanya kugabung dengan yang sembilan, jadilah isi duabelas, tiga untuk masing-masing rasa. Suhu udara ketika itu sekitar minus dua.


Naik trem dengan membawa gitar dalam tasnya, plus tentengan munchkins ternyata cukup merepotkan. Terlebih ketika engkau harus bongkar pasang sarung tangan untuk mengecek peta gugel. Sebenarnya tidak perlu se-umek ini jika udara tidak sedingin itu. Tidak berapa jauh dari halte sampailah aku di semacam Smiley tapi untuk keluarga. Nyaman. Besarnya cukupan ‘lah. Ruang depan multifungsi digabung dengan dapur dan satu kamar mandi, dengan dua kamar tidur yang lapang-lapang. Di dalam situ tinggallah Dokter Icang sekeluarga.

Berhubung belum mulai kerja lapangan dan ini belum benar-benar etnografi, maka belum ada keharusan padaku untuk merinci pengamatanku. Hanya saja perlu dicatat di sini bahwa pallumara itu mungkin memang seharusnya bandeng, atau ikang bolu, kata orang Bugis. Jangan salmon apalagi kepalanya. Aku mau ikang bolu pallumara pada bagian perutnya. Selebihnya, seperti guna blog ini, aku akan mencatat perasaanku. Apa benar yang kurasakan. Benar-benar sulit dilukiskan. Hanya saja, aku yakin, perasaan ini, apapun itu, akan mereda.

Pamit agak cepat setelah meninggalkan gitar kesayanganku di sana, sampai rumah apa yang kukerjakan. Bukan karena tidak mau merinci, melainkan karena aku kali ini memang benar-benar lupa. Malam itu dingin, seingatku. Aku bahkan berjaket berkaus kaki, dan aku tidak bisa tidur hingga menjelang jam empat dini hari, jikapun sekadar agar melihat jatuhnya salju pertama di Amsterdam pada 2018 ini. Demikianlah, maka seperti halnya sepuluh tahun yang lalu, entri ini berjudul “Salju Pertama di Amsterdam 2018.”

Jika entri mengenai salju pertama dari sepuluh tahun lalu aduhai relijiusnya, kali ini aku tidak mau begitu; meski lamat-lamat kuingat betapaku berurai air mata ketika menulisnya dulu. Mengapa. Apa karena sama-sama membawa gitar dan batal menyanyikan lagu satu pun. Ketika itu yang kubawa gitar setengah bodi. Kali ini yang kubawa yang tiga perempat. Ketika itu belum minum obat darah tinggi. Sekarang sudah. Selebihnya, mengapa sih harus menangis. Tidakkah kalau mau menangis lebih baik sekarang ini.

…karena perasaan itu. Terkadang heran betapa di entri-entri terdahulu dapat terpikir olehku kata-kata dan kalimat-kalimat puitis, sedang kini kalimat-kalimatku dan kata-kataku tak lebih dari cericau dan cuitan tak bermakna. Baiklah. Tidak menjadi apa. Namun mereka banyak sekali, mau diapakan. Ya tidak harus diapa-apakan. Tepatnya, amit-amit jabang beibeh jangan sampai diapa-apakan. Semua biarkan seperti adanya. Doakan saja, seperti selalu dibatin kemunafikanmu. [aduhai ribet nian Bahasa Indonesia dengan awalan dan akhirannya] Tidak perlu sok minta ampun pula!

Hanya dirimu yang dapat menghentikan hujan [salju] ini. [Mengapa kurung kotak sih, bukan kurung biasa atau kurawal. Memang apa sih arti kurawal jika bukan kurawa ditambah “l”] Hidup macam apa yang akan dijalani oleh mereka, tidak bisa lain kubumbungkan harapan-harapan baik. Agar suatu hari nanti, tidak akan ada lagi kengerian, horor seperti dikenal kini. Semua damai, meski tidak perlu sampai seperti khayalan mengenai jamannya Lenina Huxley. Aku lelaki lemah, susah mulai dan rayap mati. Sudah.

Saturday, December 15, 2018

Hari Ini Bapak Berulang-tahun yang ke-68


Apakah ini pertanda, bendera di ketinggian seberang sana dicabut orang. Tidak ada lagi penanda bagiku, untuk mengetahui ke arah mana angin bertiup dan seberapa kencang. Sedangkan menjelang siang di Sabtu yang mendung ini, kuminum lagi Campuran Wina, yang tampaknya tiada seberapa menyakiti dibanding Torabika Creamy Latte, meski sama-sama gula pisah. Seperti inilah, maka Insya Allah akan ada hari-hari di mana aku tersenyum-senyum mengenangkan bendera dan Campuran Wina, sedang jiwa dan ragaku terasa ringan dan nyaman.


Jika Kang Ucu saja menikmati Pejah Husnul Hotimah, apatah lagi aku. Sungguh aku bersusah hati tidak sanggup menyenangkan Cantik. Apa yang menyenangkan hatinya membuatku berjengit. Apa yang menyenangkan hatiku membuatnya mencelos. Namun semua ini ‘kan sementara saja, Sayang. Berapa banyak di persekitaranku, persekitaran kita yang sudah mendahului, jadi sabar saja. Kuharap ini tidak terbaca seperti catatan bunuh diri, meski ditulis di muramnya cuaca bersuhu minus tiga derajat celsius. Insya Allah aku baik-baik saja. Tidak mengapa.

Ditemani daftarmain dari sekitar lima belasan tahun yang lalu, dengan jari-jari rampak memberondong papankunci, aku baik-baik saja. Memang sedikit sekali dari dunia ini yang menarik perhatianku. Tidak salah jika Pak Kaji mengatakan aku “klempurak klempuruk rak tau metu kos-kosan.” Benar belaka. Terlebih ini kos-kosan mahal. Harus dimanfaatkan semaksimal mungkin hahaha. Alasan. Namun sepertinya hari ini, tepatnya, setiap hari, aku harus ada ‘lah keluar agak barang sebentar. Semata-mata agar enak tidur malam. Sudah itu saja alasannya.

Nah, untuk hari ini aku berencana untuk mengunjungi kembali Namu, untuk mencicipi lagi semangkuk udon rubah, mungkin juga satu skup rum raisin atau rasa lainnya. Entahlah. Belum tahu juga apakah ini akan kejadian, nanti atau besok akan kuceritakan padamu. Kemarin aku sudah menghabiskan senilai semangkuk udon itu juga. Apakah hari ini akan begitu lagi. Hahaha tiba-tiba kebiasaanku berhemat muncul mak pethungul. Sedangkan kemarin aku sudah mengeluarkan uang terbanyak selama ini, kurasa, untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Belum-belum rencana di atas gagal total, karena baru saja Jeng Isdah mengontak agar aku datang berkunjung ke tempat mereka di Jacques Veltmanstraat. Ini Insya Allah akan menjadi pengalaman baru, karena aku belum pernah punya alasan naik trem nomor 2 ke arah Nieuwe Sloten. Siap ini aku harus segera mandi jika demikian, karena aku berjanji setelah dhuhur berangkat. Ahaha, hari ini Kemacangondrongan kembali menjadi seperti situsweb harian, karena ini bukan buku. Lebih praktis, namun kurang romantis.

Aku membilas cangkir bekas campuran Winaku dengan air keran, lalu memanaskannya dengan magnetron. Pemanas airku yang berbadan plastik menghasilkan air panas yang beraroma. Segala kerepotan ini tidak perlu. Di rumah aku tinggal mengambil air panas dari pengser, yang mana sebentar lagi Insya Allah akan kulakukan. Aku jadi ingat keluarga-keluarga di sini, Pak Kaji, Mas Ihsan. Bertualang? Bisa jadi. Namun aku, pada usiaku sekarang ini, sungguh sulit tertarik pada petualangan jenis apapun, terlebih yang semacam itu.

Sesungguhnya masih ada kusimpan tenagaku untuk satu petualangan, yang tentu saja bagiku itu bukan petualangan sama-sekali. Sementara orang mungkin akan menyebutnya sebagai petualangan, yakni mereka yang kemungkinan tidak sepakat denganku, bahkan mencibirku, bahkan mungkin mencoba membunuhku, jika aku beruntung. Aku bisa apa. Begitulah doa Bapakku, yang hari ini berulang tahun ke-68, bagi anak-anaknya, mungkin terutama yang laki-laki. Aku, Bono anak Harnowo, anak laki-laki tertua Bapakku. Bisa apa lagi aku kecuali berusaha mewujudkan harapan Bapakku ini.

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!

Thursday, December 13, 2018

Cinta adalah Suatu Permainan yang Aneh. Lho?!


Haruskah aku meninggalkan lima dua lima sekadar agar entri-entriku koheren? Lihat! Belum-belum sudah memulai paragraf dengan ini. Amboi, mana mungkin akan menjadi paragraf yang koheren? Entri, nyatanya, memang tidak pernah benar-benar berisi cerita. Entri selalu mengenai letupan-letupan perasaan, dan, aduhai, betapa perasaan memang selalu meletup-letup. Itulah yang kurekam dalam sebuah entri. Akhirnya aku, pada karater kelima puluh, memutuskan untuk kembali pada lima dua lima; karena aku tidak tahan! Biarlah tujuh lima menjadi penanda. Sudah begitu saja.

Ini Sam, tidak dengan sayur kol, tetapi dengan dedaunan kering
Nah, sekarang pindah. Betapa melegakan. Seperti apa. Malam ini aku sedang tidak merasa lega. [atau merasa tidak lega] Apa benar yang kurasakan malam ini. Yang jelas, roti gandum kasar dengan selai jahe saja sudah nikmat. Apalagi roti putih. Makanan mungkin akan menggairahkanku. Akhir pekan ini cuma harus kutahankan. Cuaca mendadak cerah. Awan-awan menghilang. Udara menjadi dingin dan kering. Tetap saja harus shalat Jumat. Pakai celana yang mana. Halah, begitu saja menjadi problema, 'emangnya Gito Rollies.

Kurasa kebanyakan orang seperti aku begini. Atau tidak banyak. Atau ge-er. Atau teman. Masa tadi aku membatin tidak ada yang lebih memahamiku daripada Tante Connie. Kenyataannya sekarang Tante Connie sedang menemaniku, seperti halnya aku menggunakan sebutan dengan gelarnya sekali sebagai panggilan. Aku ini apa-apa’an. Ini sudah kembali seperti aku yang biasanya. Begitu Senin atau Kamis malah lupa. Begitu Jumat malah kepengin. Maka celana jadi sempit. Pikiran seringnya tidak menyimpang dari kekentuan. Padahal sudah tua. Bodoh.

Kujalani hari-hariku seperti ini entah sudah berapa lama, entah berapa lama lagi. Akhirnya menulis entri lagi. Entah mengapa makan bakso di sore hari berhujan, di seberang Pasaraya Manggarai, setelah itu shalat maghrib berjamaah, sering sekali menjelang. Apakah itu ketika kali pertama bertemu Laurens. Bukan baksonya yang jelas. Bakso justru Bu Dini, yang mungkin akan kukenang selalu. Kesederhanaannya. Kemantapannya. Betapalah tidak menggelendut begitu caranya. Dipaksa tambah terus sama Pak Kaji. Ah, alasan saja. Padahal memang doyan.

Dalam hidup ini, di dunia ini, segala sesuatu selalu datang dan pergi. Lalu Dugem. Pasti dia ingin cabut dari NMN. Ya, cabut saja. Berat, membuat berat. Aku tidak bisa mengisi waktu luangku dengan yang terlalu berat. Jika ringan tentu saja tidak pantas dibayar. Masa mengisi waktu luang minta dibayar. Ah, mau Tante Connie, mau Oom Cliff, sama cantiknya. Selalu cantik, demikian juga ketika digesek Paolo Mantovani. Aku mau marah. Aku sudah marah. Aku sedang marah.

Nyatanya dipenjara juga tidak produktif. Nyatanya hanya merintang waktu. Nyatanya entri lagi saja hasilnya. Sudah begitu berkhayal minta dikurasi sekali. Ini lagi Suatu Saat di Kehangatan Mentari. Aku malah tidak merasa begitu. Ini adalah hangatnya malam hari. Di mana. Di salah satu kamar Mess Pemuda yang baru saja kurapikan. Di manapun berdinding putih, bercahaya lampu neon putih. Berperabotan kayu model lama berpelitur gelap, dengan bau agak apak, agak lembab. Berkomputer atas meja tapi CPU-nya berdiri.

Banyak bukan hari-hari, malam-malam seperti itu. Banyak sekali. Entah sudah berapa ratus, berapa ribu. Mengerikan di masa mudamu seperti itu. Lalu apa bedanya dengan masa tua. Lihatlah. Begini akhirnya entri yang dicita-citakan koheren. Sudah kukatakan. Mana mungkin koheren, apalagi dengan suasana hati seperti ini. Apakah ketika itu sudah turun salju dengan lebatnya, sangat bisa jadi; karena natal hanya berdua, bertiga dengan Sam yang minta pipis. Maka kuantar sebentar keluar. Segera masuk lagi. Apa kabar, Sam.

Wednesday, December 12, 2018

Boro-boro Cappuccino. Ada juga mules!


Apa iya aku harus memulai dengan secangkir kertas latte macchiatto, atau kali ini cappuccino, sedangkan di pojok kopi tadi ada Willy? Suasana siang ini agak berbeda [apanya?] dari hari kemarin. Apakah karena telingaku disumpal Dari Hari ke Hari atau karena fantasi Pram mengenai Jakarta jaman sekitar Revolusi Fisik? Apa juga karena berusaha menyelami suasana kebatinan Pak AB Kusuma dalam dinginnya dini hari Amsterdam? Apa? [Mengapa kembali lagi ini tanda tanya] Gabungan dari semua ini, kurasa.


Jadi tidak cappuccino-nya. Bagaimana dengan perutmu yang tidak kunjung beres. Aku seperti Idulfitri di Kemacangondrongan ini. Aku ada dua, yakni aku dan diriku sendiri. Terkadang diriku sendiri menanyaiku. Terkadang, sebaliknya, aku yang menanyai diriku sendiri. Seringnya kami bercakap-cakap. Sayangnya, tidak seperti Idulfitri dan Namun, kami tidak lapar. Kami berdua memang sudah cenderung tidak peduli, maka aku begitu saja melepas kancing celana. Padahal jaket kubuka. Padahal agak di belakang sana ada Icha. Habis mau bagaimana lagi.

Lantas Inah dan Aminah. Uah, tidak kreatif Pram membuat nama, seperti nama-nama Portugis karangannya. Ia sendiri mengakui, mengapa Portugis bernama Spanyol. Inah dan Aminah, masing-masing mengerikan dengan caranya sendiri. Untukku yang sok relijius ini mungkin lebih ngeri Inah, meski Aminah kemungkinan mati dengan mulut bernanah terkena rajasinga, karena—dalam khayalan Pram—orang laki sudah tidak mau menidurinya seraya memandang wajahnya. Beginikah moral jaman itu? Hanya dua inikah pilihannya, missionary atau fellatio, dan tanpa “kehormatan”?

Inah bagaimana? Sebenarnya, dibanding khayalannya mengenai Aminah, Inah ini tidak ada apa-apanya. Moral bahkan sudah menerimanya jauh lebih dulu, mungkin, daripada apa yang terjadi pada Aminah. Mungkin ada gunanya bagi ilmuwan sosial sepertiku. [“Ceilah!” cibir Sobi, kakak Inah] Cara berpikir Sobi dan Inah segera mengingatkanku pada diriku sendiri yang normatif. Amboi! Bahkan di antara orang-orang hukum saja aku ekstra normatif, ekstra sok moralis. Aku harus melatih diriku agar dapat seperti Pram, melukiskan tepat seperti adanya.

…sementara mengesampingkan penilaian-penilaian moralku sendiri. Di sini tiba-tiba aku teringat sifat burukku yang lain, yakni pembual. Pembohong ‘lah, mudahnya. Bukan sekadar melebih-lebihkan, aku sering mengada-adakan kenyataan yang sebenarnya cuma ada dalam benakku yang hiperbolik. Seperti kata Iwan Goya, aku naga yang ekstrim, suka membesar-besarkan persoalan. Seperti ketika kukatakan, Fawaz sedang “crying for help.” Aku sampai malu sendiri. Tentu saja bundanya tidak suka kukatakan begitu. Bunda mana yang suka anak bujangnya dikatakan seperti itu? Tidak ada!

Ya sutra 'lah. Biarkan Waltz Terakhir ini membelai-belai hatiku, seperti yang selalu ia lakukan semenjak kecilku. Dengan lampu Funai berkelip-kelip mengindikasikan dentam-dentamnya bass, sedang rumah K28 gelap gulita; mungkin Ibu sedang memanggang kue sekaligus memasak nasi. Kenyataannya memang bukan itu kampung halamanku, seperti Aminah yang dalam sekaratnya pulang ke Kebayoran. Semoga ketika waktu itu datang, yang kulihat adalah kampung halaman yang sejati. Jadi bukan dari masa lalu, bukan pula masa depan. Semoga semata gambar keabadian!

Anjrit dengan sayur kol! Tragis sekali. Kesombonganku serasa ingin berkata: “Biasa.” Tanpa tanda seru. Namun tak ayal ia menghantui juga, hampir seperti ketika aku tidak sengaja menonton Insidious atau yang semacamnya. Aku marah karena ia memanipulasi sisi psikologis audiens. Tidak sekadar menakut-nakuti, ia membuat kelompencapir mempertanyakan kewarasan sendiri; standar-standar moralnya, kepatutannya sendiri. Memang begitulah film horor dan suspens masa kini, bahkan ada istilahnya. Suspens psikologis. Hei, tapi ini ‘kan cerpen, dari pertengahan Abad ke-20 pula!

Tok! Tok! Mengetok Pintu Sorga.

Tuesday, December 11, 2018

Syekuntum Mawar Merah, Merpati Putih


Uah, jadi seperti judul perguruan silat. Tadinya, ketika berjalan dari Kees Broekmanstraat ke halte trem Zuiderzeeweg, sempat terpikir olehku untuk menyudahi kegilaan lima dua lima. Namun, entah mengapa, sesampainya di kantor keinginan itu sirna begitu saja. Mungkin karena begitu masuk ruang flex ada Mas Ichsan dan Jeng Isdah suami istri. Hatiku jadi empuk, seperti daging dibungkus daun pepaya. Intinya, kesenian lima dua lima ini lanjoot. Tidak lanjoot hanya jika aku harus bekerja. Berkesenian ya beginilah.


Yang tetap dari awal perjalanan hari ini adalah keinginan untuk melayang-layang bersama seutas merpati putih. Merpati atau dara, begitu sempat ‘ku membatin tadi. Ah, dua-duanya sama-sama menjengkelkan. Sok imut! Apa itu damai. Aku suka [film] perang. Maksudnya, kalau terpaksa ya mau bagaimana lagi. Siapa yang menghendaki kedamaian harus siap berperang, begitu ‘kan? Pikiran[ku] memang jarang koheren. Baru bisa koheren jika kupaksa. [ada tidak sih sebenarnya awalan berupa kata ganti orang? Ini pasti bukan bentuk baku.]

Seperti begitu saja Tjiang Lexsy mengirim tautan video kuliahnya Pak Yudi Latif memperingati Widjojo Nitisastro, di mana beliau bicara mengenai keajaiban Bahasa Indonesia. Ahai, retorika! Lebih baik syair berlagu sekali, seperti Bang Haji Oma, tung keripit ahai tulang bawang. [tahunya dari Togar Tanjung] Aduhai, merpati! Berani-beraninya aku berkhayal mengenai hidup sesudah mati. Hidup dulu! Aduhai, bukan salah panca indera tentu saja, seperti yang kubatin-batin sambil menunggu datangnya Trem 26 tadi. Salah diri-rendahmu sendiri, tentu saja.

Dan begitu saja Japri menepuk pundakku, mengabarkan bahwa ia sudah secara resmi menyerahkan kertas delapan bulannya. Secara resmi?! Aku? Tidak berani berpikir apa-apa. Mengapa pula lagu temanya beberapa malam yang mempesona begini. Mengapa pula acara kuis tebak kata harus diberi nama “Ragam Pesona,” kurasa sama saja. Apakah aku penyair; aku ingin begitu, meski itu budak penyair pujangga lama. Aha, ini dia keinginanku. Aku ingin menyebut diriku sendiri penyair, atau semacam sastrawan begitu. Ilmuwan biar nanti.

Hari ini aku tidak mendapat mug yang biasa, yang bertuliskan “Sharing our resources and exercising our powers transparently and fairly, we strive for a department where we can enjoy our work, feel included and develop our creative potential to the fullest.” Aku mendapat cangkir bening sehingga aku bisa melihat wiskiku yang berwarna cemerlang keemasan. Ternyata ia tidak segelap yang kukira. Ternyata warnanya sungguh indah memukau hati. Semoga baik pula manfaatnya bagi kesehatan lahir dan batin.

Hidup tidak lain sekadar impian. Impian yang bisa indah, bisa mengerikan, karena ia impian yang berakibat; tepatnya, dapat menyebabkan hal-hal yang mengakibatkan. Mengerikan! Berlalunya cinta saja sudah sakit sekali ditanggungkan, terlebih berlalunya hidup yang sia-sia. Setua ini, aku sudah benar-benar lupa seperti apa rasanya cinta remaja. Terkadang aku masih merasakan sesuatu sih, yang mungkin mirip dengan gejolaknya cinta remaja; namun untuk hal-hal yang sama-sekali berbeda. Semoga saja yang kurasakan itu adalah yang sebenarnya, sebenar-benarnya. Semoga.

Bang Andhika bagaimana, sudah merasakannya? Mas Ari bagaimana? Apapun itu, semoga saja jauh lebih baik daripada Mas Ari harus menerima oleh-oleh dariku yang saru bentuknya; seperti yang mungkin akan menimpa Mas Narno, Mas Gitos, Mas Gondrong dan semua anggota klub sarapan, yang sepertinya tidak pernah benar-benar menerimaku. Namun mereka semua menghilang dari pandangan, karena aku hanya punya mata-mata untukmu. Ya, kamu. Siapa lagi. Aku punyanya cuma kamu. Segala puji hanya bagiNya Tuhan seru sekalian alam.

Sunday, December 09, 2018

Suatu Minggu Siang di Uilenstede, Amstelveen


Pik lah udah, pik! Apanya yang pik? Ya, setelah setengah tahun hijriyah lambat-laun kamu banyak makan lagi, sehingga di Rabiul Akhir ini gendut lagi. Sampai ga cukup itu celana yang tadinya longgar setelah agak dua minggu puasa sekitar 19 jam sehari. Jadi tidak perlu menyalahkan sakit perut tiap akhir tahun atau apalah. Tuh kan akhirnya menulis entri lagi. Habis mau begimana lagi, ini masalah kemasan. Aduh, kemasan bagaimanapun menyesuaikan isi. Isi besar kemasan tentu besar.


Isi kecil kemasan juga bisa besar, bahkan tidak ada isinya juga kemasan bisa segede gaban. Aduhai, mau merevisi IuN, ini pekerjaan besar. Mau mengerjakan yang lebih “mudah” terbentur kemasan. Apalagi segala buku teks entah-entah itu. Sudah. Jangan diteruskan. Kerjakan atau diam saja. Ditulis di sini tidak akan selesai juga. Lalu apa bedamu dengan yang suka posting segala sesuatu di medsos. Lebih baik kau tulis di sini bahwa perutmu melembung lagi melebihi celananya sampai sulit dikancing.

Ini jez alus pake ada ombak-ombaknya lagi. Biarlah. Ternyata bukan gruvi, melainkan alus. Nah, ini ajip juga. Sore ini matahari keluar, kira-kira satu jam sebelum terbenamnya. Semoga masih sempat mampir ke Primark malam ini. Akhirnya kejadian beneran, handschoenen jatuh di metro! Aku lupa apakah dulu suka mengantongi handschoenen dalam Badboys, yang jelas waktu di Maastricht aku hanya punya satu dan satu itu saja. Gratis pula. [atau beli di kringloop?] Kini mau ga mau harus beli.

Benar belakalah Adrianus Eryan bahwa entri tercipta bila kita dalam keadaan limbuk; atau bisa juga ketika sedang rutin, seperti ketika tahun-tahun 2013 dan 2014. Aku semangat tidak ya? Semangat dong. Bagaimana mau semangat jika tidak terbayang seperti apa. Akankah aku punya rumah yang agak luas, dengan pekarangan yang lebih luas lagi. Terpenting, ada gardu belajarnya. Aha, masih saja. Lantas apa yang akan dihasilkan gardu itu, jika masalahnya sekarang ternyata kemasan?! [Engkau paham betul apa keinginanku]

Sungguh untuk diriku sendiri tidak penting. Apakah senang hatiku jika aku punya semacam Begreno Home begitu untukku sendiri? Untuk apa punya begituan jika tidak ada Ibu dan Bapak yang senang tinggal di sana? [dan mungkin Mama dan Tante Lien juga] Dan dengan kemasan ini, aku tidak yakin lagi pada gardu belajar, bahkan pada belajarnya itu sendiri. Yang benar mungkin seperti Takwa itu. Berbisnis. Tapi aku tidak bisa begitu. Kalau bisa tentu sudah sejak dulu kulakukan.

Bahkan Rendy sendiri mungkin tidak bisa. Ah Hui bisa. Bahkan Mahawisnu bisa. Aku tidak. Sopuyan tidak. Rendy? Membayangkan Rendy tidak bisa, kecut hatiku. Rendy saja tidak bisa apalagi aku. [berjanjilah kesempatan pertama sampai Jakarta berusaha menemuinya] Berapa banyak utangku pada siapa saja? [Berjuta-juta! Ya Allah, mampukan, sanggupkan hamba untuk melunasi semuanya] Rahmat Bagja saja, kata Bang Isal, orang pinter. Jadi mesti sehat. Tidak boleh kebanyakan makan. Bagaimana, besok sanggup? Harus dong. Bismillah. Insya Allah sanggup.

Ini Torabika Creamy Latte entah-entah. Bukan. Yang entah-entah aku sendiri! Sudah tahu selalu begini akibatnya, mengapa dicoba juga. Jadi dari dulu kalau merasa mengantuk di waktu seharusnya bangun, padahal cukup tidur, solusinya bukan kopi, apalagi kopi-kopian. Itu aktivitas virus, yang berarti daya tahan tubuh sedang lemah. Makanya jangan lemah. Makanya olahraga teratur. Hadi sedang ke Den Haag urusan Panitia Pemilihan Luar Negeri. (PPLN) Hadi sedang menjadi Hadi. Aku harus bisa lebih baik dari diriku sendiri.

Etdahbuset di sini bisa juga Udan Kethek Ngilo

Monday, December 03, 2018

And They Call It "Tummy Love"


Aku tidak akan bicara mengenai sakit atau [ke-]buruk[-an]. Ini awal Desember. Sempat juga terpikir olehku menulis sebuah eulogi. Namun yang kemarin saja tidak diabadikan, mengapa yang ini harus. Terlebih, awal Desember di tepian Buiten Ij begini, hal terakhir yang ingin dilakukan seorang lelaki adalah menonton film mengenai cuaca buruk. Nah, ini lebih mengena. Meski titik hujan terus jatuh di atas kepalaku, aku tidak akan bersedih. Ini malah seperti hujan rahmat. Aku bebas. Tiada yang merisaukanku.

Aku pun tidak akan membutuhkan wiski atau anggur untuk mengusir perasaan tertekan musim dingin. Lebih baik aku bertemu di Lavandou dengan entah siapa. Apakah pengusaha herbal atau kepala kantor internasional, atau kawan lama dari waktu-waktuku di Maastricht. Atau gang kecil di belakang ruko-ruko yang dahulu ada Darma.Net-nya. Apakah Felix.Net masih ada, sedangkan Haji Telecom saja masih ada internet café-nya. Majulah ayo maju menyerbu sampai titik darah penghabisan. Hancur lebur perintang kemerdekaan! Jangan menyerah, kata d’Masiv.

Apakah aku ini ilmuwan. Kalau ilmuwan mengapa meracau. Kalau ilmuwan mengapa hiperbolik. Oh, benar-benar berbeda rasanya. Malam ini dan beberapa malam yang lalu. Mungkin memang beginilah akhirnya Asus X450C, untuk bersenang-senang. Sedangkan HP Stream 8 malah untuk bertempur. Sudah tidak pada tempatnya membandingkan, bahkan sekadar membayangkan diriku seorang Ji-Ai, entah di Point Kumana atau di mana. Lebih baik aku membayangkan diriku seperti Gerben. Seperti apa dia. Seperti apa Laurens. Adriaan. Sungguh kasihan. Aku bisa apa.

Minum rum dicampur coca-cola, hahaha dengan terompet yang ditutup pengedam. Uah, rasaku! Dari mudaku. Di pojokan itu, di bawah tangga. Sekarang jadi sarangnya Pak Amin. Tinggal dijalani. Kurikulum sudah berubah entah berapa kali. Mengapa resah. Mengapa gelisah. Sedang anak-anakku sudah gadis semua. Tiada akan lama mereka akan menjadi perempuan. Aku tidak gelisah. Aku hanya harus... Aku... Ah, sedangkan Duma, sedangkan Klowi, sedangkan Luna. Aku memang sentimentil. Kurasa aku akan selalu begini. Aku hanya harus bertahan.

Lalu campuran kunyit dan cardamom, diberi madu. Aku mengidap hipertensi. Semakin lama entri-entri semakin tidak bisa dibaca. Aku membiarkannya begini. Ini hanya tinggal sisa-sisa, karena aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Tahuku hanya ini. Akankah aku masih sanggup menjadi ilmuwan, tidak malam ini. Mungkin besok pagi. Entahlah. Bukan aku tidak pernah dengar Tome Pires. Bukan aku tidak pernah dengar Suma Oriental. Apalagi Babad Tanah Jawi. Akhirnya sampai juga ke tepi sana. Naik feri gratis lagi.

Dan ketika engkau memelukku, betapa hangatnya dirimu. Namun mengapa aku harus memilikimu. Itulah sebabnya. Sebenarnya engkau itu pemberian, tapi tidak berarti lantas engkau menjadi milikku. Meski tetap saja aku berdoa memohon milik. Tidak. Aku memohon karunia. Jauh di dalamku terdapat cukup cinta untuk kita bagi berdua. Lihatlah sekeliling dan kau akan menemukannya di situ. Uah, ada hari-hari tiba-tiba saja aku enak bernyanyi-nyanyi diiringi petikan gitarku sendiri. Untuk diriku sendiri dan dinding-dinding ini. Lain itu tidak.

Malam ini... bahkan aku tidak lagi percaya pada entri. Jika aku saja sudah enggan membacanya, betapatah ada yang masih suka membacanya. Aku jelas bukan Mochtar Lubis atau siapapun itu. Aku justru teringat padanya, yang sempat terpikir olehku untuk menulis eulogi. Di sini. Kasihan betul jika itu sampai terjadi. Ini tempat berolok-olok. Aku saja yang tolol membayangkan ini bisa dikurasi. Kurasi wasaisi! Siapa aku, SM Ardan?! Sepuluh kata terakhir ini kutulis sekadar agar lima dua lima.

Saturday, November 10, 2018

Fenomena Pahalawan-Dosawan: 25+ Tahun Lalu


Salah. Sudah berapa kali kukatakan, kalau hendak menulis entri, bukalah pengolah kata, jangan blognya. Nanti malah tidak jadi menulis. Nanti malah membaca-baca. Terlebih dalam suasana seperti ini. Terlebih ketika di pergelangan kiri melilit gelang tasbih berbiji tiga puluh tiga. [kucopot] Tidak perlu merasa bersalah ngomyang. Apa yang harus kau kerjakan, selesai. Apa yang ingin kaukerjakan, jadi. Selain begini, paling membangun peradaban. Semoga sudah begitu saja. Kalau aku yang membaca sih enak. Tidak tahu orang lain.


Sidang Pembaca, [halahpeño!] enak tidak sih membaca Kemacangondrongan? Aku tidak peduli kalau tulisanku tidak perlu, yang penting dia enak dibaca tidak? Enak ‘kan? Karena berpikir itu melelahkan, maka aku menulis tanpa berpikir. Dapatkah kalian membaca tanpa berpikir? Ini istirahatku. Ini caraku melepas penat. Ya, yang penat pikiranku, tapi terkadang jariku tidak mau berhenti. Tapi terkadang aku merasa ingin dan harus mencipta. Kreativitasku harus disalurkan, semacam nafsu birahi begitu. Harus dilampiaskan. Begini caraku melampiaskannya sekali waktu.

Lalu ada lagi perasaan. Apa lagi ini sebenarnya? Mungkin inilah. Bukan nafsu birahi, melainkan perasaan. Ya, aku sangat perasa. Terkadang aku mendapati perasaanku jauh lebih banyak dari yang kubutuhkan. Kalau sudah berlimpah-limpah begini aku harus bagaimana? Bisaku hanya ini. Kuluapkan. Aku memang tidak tahu malu untuk urusan ini. Mengapa orang harus malu dengan perasaannya? Itulah sebabnya aku tidak suka istilah “lebay” dan konotasi yang disematkan padanya. Orang Indonesia lebay sejak nenek-moyang, dan ini perangai baik!

Lebay dengan perasaan, namun tidak dengan nafsu. Sekarang malah terbalik. Anak-anak perempuan berpose berlebihan, berbaju kekurangan, bergaya sengit. (fierce) Sungguh tidak patut. Anak perempuan itu harus berperasaan halus, lembut. Tidak kepada dirinya sendiri, tetapi kepada orang lain. Penderitaannya, kesusahannya. Bapak pulang tampak lelah dan bersusah hati, anak perempuan yang menyambutnya dengan senyum dan sapa termanis. Mengambil tas Bapak, menyiapkan minuman hangat untuk Bapak. Semua khayalan belaka, gara-gara kebanyakan ‘nonton drama remaja di TVRI dulu. Kenyataannya...

...tidak banyak yang kuharap dari dunia ini. Perasaan senyaman ini, meski perut sedikit kembung, di hari-hari November yang terus berkejaran, di Amsterdam. Keren? Aku membelikan anak perempuanku baju hangat dari Bershka, sedang di Jakarta pun ada. Primark yang belum ada. Sedang soto-sotoan sewadah penuh bisa untuk seminggu ini setidaknya. Sedang roti dan uborampenya pun lengkap. Apa lagi yang kuharapkan. Jika pun malam ini aku tidak bekerja, itu karena malam minggu. Hari Pahlawan pun. Mengapa bekerja?

Itulah maka entri ini mungkin yang pertama dengan tanda operasi matematika. Ketika kamar cilik masih berhadapan dengan gang yang masih tembus ke belakang, belum diacak-acak oleh Adik yang idenya memang selalu tidak-tidak saja. Ketika gudang LKHT di lantai 4 gedung D masih bertikus berantakan di depannya. Ketika KB 218 berubah lagi susunan perabotannya, hampir seperti ketika aku datang kali pertama. Ketika Manipol-Usdek menjadi syair sebuah lagu. Ketika itulah tidak banyak yang dapat diharapkan dari dunia.

Inilah kesenian. Apa karena seniman lalu namanya harus begitu, Manthous. Apa karena semilir angin setelah istirahat makan kudapan kedua, tidakkah semua tahap sama saja selalu begitu. Kudapan, seperti juga kantin Bu Karim, semua tempat, semua suasana yang telah memberiku rasa nyaman. [tapi mengapa lapar lagi, padahal baru sekitar dua jam lalu makan] Dulu ada peyek bayam! Agak aneh memang, tapi aku sering beli. Seperti Minggu pagi dengan Surga Tahu dari tivi di Ruang Bersama belakang.

Selamat Hari Pahlawan. Selamat?

Sunday, October 28, 2018

Ada Musang Tidak Menangis. Aku Musangnya


“Ini sudah jauh dari musim semi,” kataku sambil mengulum senyum sok bijaksana, meski aku tidak yakin apakah ngomyang di waktu-waktu begini merupakan pilihan bijak. Apa lagi yang akan kau keluhkan? Keriangan musim semi di telinga, sedangkan Cantik mendengkur di belakangmu, ribuan mil dari Cikumpa. Seperti apapun itu, Ya Allah, hamba mohon karunia kesanggupan untuk menghadapi, senyampang masih di dunia ini. Musim gugur ini aduhai sudah dinginnya. Untunglah ada Cantik di sini. Terserah padaMu, Ya Allah.


Baru kemarin ini sudah hampir jam delapan malam, akan tetapi hari ini waktu diundurkan satu jam. Agar dapat menikmati hari terang lebih lama, katanya. Amboi, aku orang tropis tidak bisa menghayatinya. Banyak yang seperti aku begini di sini, semua berjuang. Semua dengan perjuangannya sendiri-sendiri. Aku, sementara itu, menikmati Toccata dan secangkir besar teh musim dingin. Seharusnya kemarin masih kubeli yang musim gugur, rasanya lebih enak pun. Aduhai andai aku dapat menulis serampak ini untuk disertasi.

Di mana pun aku berada di bumiMu ini, Ya Allah, hamba mohon jangan tinggalkan hamba. Jangan biarkan hamba jauh-jauh dariMu, Oh Pelindung hamba, kepada Siapa segala mahluk bergantung. Apa harus kucatat juga di sini mengenai masalah perut akhir tahun? Tidak ada masalah selama NamaNya masih bergaung menggema di relung hati. Rabb hamba, dengan bershalawat kepada kekasihMu, junjungan hamba, hamba mohon perlindunganMu, belas kasihanMu. Satu bulan ini dan mungkin agak satu bulan bahkan kurang. Hamba mohonkan.

Sedangkan kuda sembrani mengepak anggun berkilau-kilau surainya ditimpa sinar matahari tropis, tidak ada lagi yang lebih hamba sungguh-sungguh inginkan kecuali bersimpuh di hadapanMu. Benarkah begitu? Sanggupkah kau terbirit-birit bahkan ketika waktu shalat baru hampir tiba, di mana pun engkau berada di negerimu sendiri? Bahkan di Rumah Cantik di tepian Cikumpa itu, sanggupkah engkau melawan kantuk menuju shubuh? Oh Allah hamba mohon sanggupkan. Sanggupkan, Ya Rabb. Jadikan hamba lebih baik dalam menghamba hanya kepadaMu. Tolonglah hambaMu.

Ini masih di garis depan. Ya, ini garis depan, meski di mana-mana pun pertempuran. Segala puji hanya bagiMu yang telah mengaruniakan kehangatan kepada hamba baik lahir maupun batin, yang tengah hamba rasakan kini. Segala sesuatu dengan izinMu akan membaik dan terus membaik saja, karena seperti kata Sersan Elias, “feeling good is good enough.” Memang ada hari-hari ketika aku tolol dan menginginkan segala macam entah-entah. Namun bagaimana, aku lelaki cengeng yang gampang mewek untuk hal-hal sepele.

Jadi ya kunikmati malam ini dengan menulis entri. Kucecapi dengan ketukan yang mirip-mirip lagu rakyat Polandia ini, segala kenikmatan hidup. Semoga tidak berlebihan. Semoga tidak sampai mengurangi jatahku di sana nanti. Orang bilang ini adalah Jaman Aquarius. Aku berurusan memang dengan laut. Dengan apapun aku berurusan, semoga semua itu mengantarku pulang ke kampung halaman dengan sebaik-baiknya, berkumpul kembali dengan semua saja yang kusayangi. Apapun itu, meski Kalabendu sekalipun, ini semua sungguh hanya sementara. Tahankan saja.

Lantas begitu saja Lagu untuk Anna. Sudah sebesar apa? Ah, malas aku membayangkannya. Lebih kepada tidak tega, sih. Aku begitu saja ingat Pebi dan ibunya yang Cantik tidak mau berurusan lagi. Lalu ada Mang Udin yang asal-asalan 'ngurus bambu, meski Oji lebih kusut lagi. Semua butuh uang. Aku pun. Di sini aku berusaha sedapatku berhemat, sudah gagal sejak seminggu lalu. Aku hanya bisa berharap, setelah ini segala sesuatu masih berada dalam kendali. Sudah begitu saja.

Selamat Hari Sumpah Pemuda. Selamat?!

Monday, September 24, 2018

Ebiet G. Ade: Kata Orang Cinta Musti Bergetarrr...


Ini belum pernah terjadi, menulis entri sambil mendengarkan Ebiet G. Ade. Lagipula, hari-hari yang telah berlalu tidak untuk diratapi, tetapi untuk disyukuri, betapa Allah telah begitu baiknya kepada kita, sedangkan betapa durhakanya kita kepadaNya. Nah, yang seperti inilah yang membuat paragraf-paragrafku kacau ketika seharusnya tidak. Ini, pilihan jawaban F yang artinya baik pernyataan maupun alasan salah namun menunjukkan hubungan sebab-akibat berupa multikolinearitas sempurna atau heteroskedastisitas. Wakwaw! Entri ini harus selesai karena sudah dimulai, bagaimana juga!


Betapa anehnya menulis entri sambil mendengarkan Ebiet G. Ade, karena mendengarkan lagu-lagu religi dari Wali saja terasa mengerikan, meski sekarang badanku sudah hangat karena sudah makan. Alhamdulillah. Hahaha, coba Gerben membaca kalimat-kalimatnya Syekh Abdul Qodir al-Jilani atau putranya. Bisa tahu rasa dia! Itulah mungkin mengapa kata sambung “sedangkan” sering kugunakan. Lucu sekali cara Gerben menggambarkan kebiasaan burukku membuat kalimat majemuk bertingkat alias ngantet tapi teu sadarajat. Ya Allah, hilangkan atau redamlah kebiasaan itu meski sebentar.

Aku benar-benar tidak dapat melukiskan suasana yang ditimbulkan oleh lagu-lagu Ebiet G. Ade ini. Apakah lantas anganku diterbangkan ke Kemayoran di awal ’80-an, aku tidak sedang ingin terbang-terbang. Pikiranku sebenarnya fokus ke masa depan, yaitu sekitar minggu depan, atau 2-3 bulan ke depan, sedangkan aku sudah terlewat sekali Kursus Teori Sosial Tingkat Lanjut. Masa depan, seperti hari-hari yang telah lalu, Insya Allah, biidznillah, akan berlalu baik-baik saja. Aamiin. Jadi tidak perlu khawatir. [...khawatir sih tidak]

Nah, kupu-kupu kertas. Ini entah bagaimana lumayan lekat. Berbeda dari Aku Ingin Pulang yang gara-gara Adik, ini tidak gara-gara siapa-siapa. Setidaknya seingatku. Uah, dari 1995. Benar-benar tidak ada petunjuk aku bagaimana ia bisa lekat. Apakah ia menyelinap di hari-hari nistaku di TPS, aku benar-benar tidak ingat. Masa-masa ini mengingatkanku pada Bapak Ibu. Aku baru benar-benar sanggup lepas dari Bapak Ibu kapan ya. Yah, mungkin tahun 2000-an adalah masa transisi. Paruh pertamanya belum, paruh kedua lepas.

Lalu Elegi Esok Pagi. Widis, ratapan. Ini kata yang aku tidak pernah yakin artinya. Baru saja aku menelusur untuk memeriksanya. Ratapan atau dukacita. Tidak! Naudzubillah, hamba berlindung kepadaMu ‘duhai Maha Perkasa, Maha Penyayang. Hamba di negeri asing begini, sudah tidak terlalu muda lagi, maka hanya berlindung kepadaMu harapan hamba. Kasihanilah kami para perantau ini, Rabb, baik yang disertai keluarga maupun yang tidak seperti hamba begini. [...kemudian Nyanyian Rindu ini juga entah bagaimana akrab di telinga]

...meski dududu-nya tidak cantik. Mang Ebiet memang bukan Art Garfunkel, meski siapa juga yang tidak mengakui kedahsyatannya. Apakah aku harus mulai menyanyikan lagu-lagunya, sudah setua ini. Tidak perlu, kurasa. Semua lagu ini perlahan-lahan Insya Allah harus diganti. Aku memang tidak membacanya sendiri, namun setidaknya kudengarkan dan sedapat-dapatnya kuresapi. Sudah kumulai sebelum ke sini, di KRL, di Metromini S63 lanjut Miniarta M04. Sekarang kadang di Trem 26 lanjut Metro M51, atau lebih seringnya sambil keliling Zeeburgereiland.

Teh Earl Grey kira-kira masih seteguk lagi, sedangkan yang sedang dimainkan ini aku tidak kenal. Kapankah kuakhiri, sekarang atau menunggu yang terkenang. Terlambat, ia terus berputar. Kurasa ia akan terus berputar sampai entri ini diterbitkan. Sempat terhenti di sini, tapi aku bertekad untuk menyelesaikannya sampai terbit. Entah mengapa akhirnya malam ini jadi juga menulis entri, sementara dorongan demi dorongan sudah meletup kadang membuncah berkali-kali dalam beberapa minggu ini. Sekarang inilah saatnya. Akhirnya jadi juga. Fiuh.

Monday, September 03, 2018

Badiyo, Njoget ing September!


Memulai September dengan KeniJi adalah suatu penanda kegatotan Agustus yang memang tidak delapan tetapi juga tidak satu. Memulai dengan semug teh jeruk Jaipur dan roti gandum dipuntir-puntir rasa keju, mengembalikan karya klasik Koentjaraningrat untuk menggantinya dengan kumpulan cerpen, ternyata apa yang disukai adikku aku tidak. Adikku John aku Paul, dan seterusnya. Entah mengapa aku tidak pernah tertarik dengan Emha. Jangan-jangan aku memang tidak pernah tertarik pada apapun kecuali diriku sendiri. Aku hanya tertarik khayalanku sendiri.


KeniJi yang medley begini memang membuatku tidak tahu judulnya satu persatu. Apakah ini idenya seperti lobi apapun yang sejuk nyaman sedang hatiku pun nyaman dan tentu saja badan mudaku, bisa jadi. Aku tidak respek pada diriku sendiri dan siapapun yang sepertiku, hanya bisa corat-coret lantas mengaku seniman apalagi budayawan. Kenyataan bahwa aku seorang bapak, sudah itu saja; dan itu dibuat lawakan berdiri?! Dapat kurasakan kesakitan bapak itu dan mungkin juga anak perempuannya. Oh, betapa dunia!

Hari ini juga anak perempuanku memulai kuliahnya yang benar-benar kali pertama, Ilmu Negara. Bulan ini juga kedua anak perempuanku bi idznillah akan berulang tahun. Sembilan belas dan empat belas tahun masing-masingnya, Illahi Rabbi; dan aku, bapaknya, masih saja tolol sampai detik ini. Sedangkan Havana mengalun-alun begini mengingatkan betapa ketololan itu masih saja terpelihara baik sehingga kini. Rabb hamba, sungguh hamba tak berdaya sedangkan engkau Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Hamba mohon lindungilah anak-anak perempuan hamba.

Jadi lawakannya begini: Seorang Bapak menasihati anak perempuannya di New Jersey, sedang ia sendiri di Timur Tengah entah sebelah mana. 'Nak, jadilah seorang muslimah yang baik, agar kita dapat berkumpul di surga. “Surga,” gumam anak perempuan pada diri sendiri, “sedang di New Jersey sini saja kita tidak pernah berkumpul.” Masya Allah! Betapa dunia penuh kesakitan dan aku memohon pada Yang Gagah Lagi Mulia akan karunia kesehatan lahir-batin; baik kiranya kumohonkan hal itu untuk bapakku saja.

Mengapa entri di awal September ini jadi mengenai bapak? Togar Tanjung pun seorang bapak bagi Duma. Astaga, dan Fawaz Nitisemito pun suatu hari bi idznillah menjadi bapak! Kudengar September sudah mengguyurkan hujan yang lumayan lebatnya di kampung sana. Kampung halaman. Di manakah kampung halamanku? Benarkah aku merindukannya, dengan kelakuanku yang seperti ini? Benarkah aku memanggil-manggilNya, atau sekadar menipu diri selama ini? [Aduhai serius sekali kalimat-kalimat tanya ini sampai ada tandanya begini] Saksofon sopran meratap-ratap...

Bisa jadi ini pertigaan BBM di mendungnya langit, apakah mencongklang atau duduk gelisah di bangku samping pak supir gokar. Jika mencongklang apakah tujuannya Paragon di pagi yang dingin bagiku. Setelahnya bisa jadi makan siang sega mawut magelangan bo’ong-bo’ongan sementara Fawaz dengan tekunnya nithili giant fried chicken. Rabb hamba, waktu berjalan terus, hamba mohon ampun. Apa daya hamba, Rabb, kecuali denganMu Nan Maha Tinggi Lagi Agung. Berakhirnya musim panas, menjelangnya musim gugur ini pun bukti KekuasaanMu.

Ini saksofon kenapa umek begini, kalau tidak salah judulnya Pulang. Setidaknya ada memang yang judulnya begitu. Di mana pun di atas bumi Allah ini, di belahan dunia mana pun jika memang ada belahannya, aku sekadar musafir. Apa arti hidupku, begitu tanyamu. Tidak ada, kecuali aku menghamba kepadaNya sebaik-baik yang aku sanggup, demi Hikmah dan KekuasaanNya. Jangankan arti, aku tidak ada! Hanya Allah Azza wa Jalla. Allah. Allah. Allah. Allah Maha Besar. Gusti, hamba rindu panggilanMu.

Friday, August 24, 2018

Bei Dir War Es Immer So Schön


Segala puji hanya pantas bagi Allah Tuhan seru sekalian alam, yang telah mengabulkan doa hambanya yang hina-dina ini! Masya Allah, jika di dunia saja sudah begini indah, betapatah keindahan yang dijanjikanNya bagi hamba-hambaNya yang beriman dan beramal soleh kelak di SurgaNya. Aku akan sabar menunggu. Keindahan dunia ini apalah, sekadar fana. Insya Allah, hamba akan menunggu yang tidak terhingga itu, yang tak terperi, Rabb. Sungguh Maha Benar JanjiMu. Lagipula, janji siapa lagi yang layak ditunggu?


Sialnya, di pagi ketika Pak Idrus Marham ditetapkan sebagai tersangka KPK ini, [pagi di Amsterdam, sudah siang di Jakarta] dengan raungan Pakde Paul demi melihatnya berdiri di situ, aku merasa seperti binatang. Dorongan-dorongan jasadku pagi-pagi begini minta dipenuhi, berturut-turut. Padahal pada saat yang sama, aku mengulangi lagi kesalahanku dari dulu-dulu—semoga kali ini bukan kesalahan, bahkan bukan kesengsaraan, melainkan keberkahan saja adanya, amin—pagi ini, yang sudah tidak terlalu pagi, ditemani semug teh label kuning.

Pagi ini juga, gara-gara Bang Udi Suhandoro, entah bagaimana aku dirundung genderang seruling. Dimulai dengan Canka Garuda Yaksa, lantas tentu saja Gita Jala Taruna, yang sampai hari ini aku bersikeras sebagai pencetus gagasan hiasan kepala walrus, karena Aku Seekor Walrus! Gambarku dahulu jauh lebih keren dari yang sekarang. Seperti tikus got, kata Rumi. Ada benarnya. Mengapa harus nangkring ‘gitu sih posisinya? Memang membuat pemakainya kelihatan lebih tinggi. Akankah ini menjadi obsesiku, menyumbangkan replika kulit walrus?

Pagi ini juga, aku melihat ganjalan sebesar bantalan rel akhirnya kisut mengempis. Dimulai dari khayalan akan rendang kerang sampai tidak bisa tidur, kemudian gulai kerang bertahu yang aduhai melimpah-ruah, pagi ini aku melihatnya tinggal sewadah kecil. Apakah ini waktunya bereksperimen dengan frikandel, bisa jadi. Disemur karena banyak kecap, mungkin juga. Semua urusan jasadiyah belaka, yang berhubung masih berjasad bagaimanapun sungguh pentingnya. Lantas mengapa ini Tolong Senangkan Aku pagi-pagi begini, sama saja dengan pagi menulis entri.

Pagi ini juga, sesungguhnya aku merasa kurang patut memulai pagi di hari yang merupakan penghulu hari-hari ini. Ketika orang merasa masih lucu untuk senantiasa kritis, skeptis, sinis pada apapun, aku melakukan kesalahan dengan riang-gembira menceritakan sesuatu yang seharusnya lebih kupendam dari aib manapun. Tanyakan Padaku Mengapa, dan ia sudah mati! Terserah Allah, aku tentu saja tidak tahu. Mengapa tidak kudoakan diriku sendiri saja, Pakde John, memohonkan ampun dan maaf atas dosa-dosaku sendiri yang menggunung mengerikan?

Tanyakan padaku mengapa kukatakan cinta padamu. Uah, sedangkan begitu saja Adik mengirim tautan berita mengenai Rony Rahman Gunalan disusul foto Atiqi Cholisni Nasution. Sudah lewat itu semua, sekarang sedang dijalani Fawaz Hamdou dan entah berapa juta yang sebaya dengannya. Kudoakan semoga kalian semua selamat menjalaninya, melaluinya, dan kelak mengenangnya sambil tersenyum penuh syukur, sambil terus meningkatkan penghambaan padaNya. Nyatanya semua kita hamba. Semua saja tanpa terkecuali. Selain Ia, pasti hamba! [lhah koq bisa kurang lima]

Tolonglah Cintai Aku. [wekwek wekwekwek] Nurul Faisal sudah jelas. Bagaimana Amri Hakim, masih ada Fahrurrozi dan Abdul Wafiy. Masya Allah, nama-nama yang bagus sekali bagi hamba-hamba. Aku suka Betawi seperti aku suka Papua. Aku suka keturunan Cina seperti halnya keturunan manapun, terlebih Kandahar! Aku akan selalu dirundung cinta kepadamu. Aku cinta cinta terlebih dan terutama Cinta. Nah, ini ternyata sebuah entri mengenai cinta dan seperti biasa Cinta. [ini punggung atas sebelah kiri kena’apa pegel begini]

Cinta memang selalu begitu

Tuesday, August 14, 2018

Rumput Teki Terpapar Radikalisasi. Masalahku


Suteki. Mengapa ini yang melintas, tidak mungkin lebih penting dari selepung. Apa yang membuat kibor ini sering mati sehingga aku harus buting ulang, ya. Apa sebaiknya kuganti saja nama daftar-main itu agar tidak setiap saat menerbangkan angan. Apapun itu, demikianlah maka begitu saja aku mengetiki lagi di Ruang Flex seperti minggu lalu. Namun kali ini sejuk. Di dalam maupun di luar sama nyamannya, sedangkan minggu lalu masih begitulah. Apapun itu, seperti biasa, hanya perlu dijalani.


Demikianlah blog ini sesungguhnya untuk membuang kelebatan angan, bukan untuk berkomunikasi. Anganku sendiri, yang sering mengganggu ketika aku butuh konsentrasi. Akan halnya ia menjadi karya seni, itu ‘kan perasaanku saja. Tidak ada yang peduli juga, ketika bahkan Istriku sendiri tidak mau kuajak ke dalam duniaku yang muram dan sendu, namun penuh cinta ini. Mungkin memang aku saja yang tidak tahu cinta itu apa, selain semacam siang hari di kantor pusat PLN yang di CSW itu.

Lantas gudeg kinjeng atau bahkan warteg bu gendut yang serba asin itu, atau mungkin asam padeh. Uah, aku ternyata memang suka terlempar kembali. Anganku mengenai cinta dan kasih-sayang tidak lebih hanya masa lalu yang nyatanya berhasil kulewati dengan selamat. Seperti sekarang ini, terang saja kenangan dibuai cinta di awang-awang terasa sungguh nyamannya, karena aku berhasil melewatinya dengan selamat. Seperti itu. Hari-hariku di HAN terasa penuh kasih-sayang, karena memang aduhai banyaknya hari yang kulalui di situ.

Lalu rumput teki, tidak pernah benar-benar menyayangiku. Di manakah adanya, aku tidak bisa mengingatnya. Lebih dari apapun, aku gembira itu adalah engkau. Siapa engkau. Siapapun yang menyayangiku. Kau sayang padaku. Mengapa aku tidak bisa diselimuti kasih-sayang setiap waktu. Mengapa ada waktu-waktu di mana aku merasa sebatang kara berkerukup muram-durja. Mungkin karena aku masih ada di dunia fana. Kuharap begitu. Apa dengan ini aku percaya Hari Akhir, mungkin dengan imannya seekor kepik atau yang lebih hina.

Sejak kapan entri-entriku jadi begini. Apakah entri-entriku enak dibaca, seperti kumpulan-kumpulan cerpen yang kubaca ketika muda sambil mengejan. Apakah sambil mengepulkan. Semoga Jamal Abdul Gani sudah beranjak tua. Terakhir kulihat dia memang bertambah tua seperti semua saja. Mereka tidak mau mengerti. Ini hidup yang mudah, mudah dijalani. Kamu, ya, kamu. Selain rambutmu kalah cantik, tidak masuk akal jika interlude berupa hembusan klarinet ini saja sudah membelai. Lantas aku ingat nabinya Karim yang sudah tua itu...

Mengapa entriku jadi begini, mengapa Ibu Lia berhenti merangkai bunga. Asepteven, mengerikan! Aku sudah terbiasa denganmu. Itulah yang menumbuhkan cinta kasih. Kesediaanmu untuk selalu ada untukku. Apa ada. Engkau bersikeras, aku tidak merasa. Mungkin memang aku sebuah lubang besar. Kosong. Gelap menganga, nan tak kunjung penuh diisi apapun. Mungkin aku memang harus puas dengan apa yang ada, tanpa sekalipun lagi berkata gapapa. Aduhai ini una paloma blanca memang boa edan, lebih edan dari mliwis goreng!

Kurasa tidak mungkin lagi ada senyum yang lebih cantik dari ini, meski begitu saja berkelebat senyuman seulas jaksa, jika boleh disebut begitu. Ia pandai tersenyum, Anak-anakku. Hiasilah dunia fana ini dengan senyuman tertulusmu. Biarkan Jalan Raya Lenteng Agung di depan Universitas Pancasila terasa nyaman dan teduh. Tidak perlu lengang asal lancar, karena kalau lengang mungkin di gelapnya malam; dan ini mungkin terasa sedikit melangutkan. Malam-malam sebaiknya di dalam kamar tidur yang nyaman, meski sederhana saja.

Apa yang dapat kulakukan?

Monday, August 06, 2018

Jatuh Cinta Lagi Setiap Saat, Boleh 'Gak Sih?


Meski rasanya aku kini seperti diterbangkan ke awang-awang, kurasa aku harus melupakanmu. Biarlah yang kuingat sekadar perasaannya, yang kurasakan kini. Dengan dingin-dinginnya kaki, dan dengan kaus polo merah ini, masih dengan celana Gabs meski telah berubah warna, kunikmati semua, namun tidak denganmu. Aku bersyukur dalam hidupku masih dapat merasakan yang seperti ini, dan ini akan kukenang selalu. Nyatanya, ketika aku terbang lagi yang mana jarang-jarang itu, tidak lagi kutemui perasaan ini, meski ada lagu-lagunya juga.


Jadi bukan lagunya benar, melainkan engkau. Tidakkah segala sesuatu akan selalu begitu, seperti dua potong kecil daging sedang sisanya sambal yang kumakan sebagai sarapan pagi ini. Selalu dengan Nama Tuhanku aku hidup dan aku mati, kapanpun itu, terlebih di tengah musim panas begini. [Uah, aku mengantuk. Akankah kopi mengatasi masalahku ini, atau akankah ia membawa masalah baru] Mari kita jatuh cinta, kulantangkan ini pada persekitaranku. Pada bungkus permen dan gelas plastik kesukaanku, apapun bentuknya itu.

Dan det deredet ini memang harus diakui cantik, angelic! Bukan kamu. Kalian saling jatuh cintalah. Aku masih ingat umur belasan, awal duapuluhan. Aduhai, waktu-waktu yang sangat berharga dalam hidup setiap orang. Maka jangan disia-siakan dengan perbuatan-perbuatan yang akan kausesali duapuluh tahun kemudian. Kudoakan kalian semua tidak pernah mengalami apa yang kualami, aku lelaki paruh baya begini. Masih bagus sekali di umur begini aku masih diijinkan mengecap berbagai kebahagiaan, terutama dalam bentuk Cantik, Istriku sendiri satu-satunya.

Aku pun berusaha menyukainya, menjadikannya pengganti musik, meski ternyata memang beda. Mungkin memang harus berbeda, entahlah. [Aku benar-benar akan mengambil kopi!] Dan entah mengapa aku menggoyang-goyangkan kepala seperti cara seseorang melakukannya. Suatu lelucon yang tragis. Untukku lelucon, untuknya? Entah mengapa pula prapatan Limau itu yang berkelebat, yang mana ternyata Nadia adalah anak Dos-Q. Aduhai, betapa tak hendak jatuh cinta dengan senandung mendayu begini di telinga. Benar belakalah Ustadz Khalid Basalamah. Musik dan lawan jenis, jauhilah!

Ya, kurasa bohong saja itu kalau ada yang mengatakan tidak percaya ada jatuh cinta pada pandangan pertama. Nyatanya aku berkali-kali mengalaminya, dan jatuh cinta pasti pada pandangan pertama ‘lah… kecuali satu itu, mungkin benar pada pandangan kedua. Bahkan ia sampai ada dalam daftarmainku kurasa benar gara-gara dia. Aduhai sekarang di da di da benar-benar cantik! Ini mungkin memang mengenai jatuh cinta yang bukan pada pandangan pertama, melainkan entah pada pandangan ke berapa. Amboi, namanya cinta…

…di mana-mana sama. Menggairahkan! Cinta di awang-awang ini, rasanya masih sama persis seperti kali pertamanya, sekitar setahun yang lalu. Meski kini aku tidak benar-benar mengambang di awang-awang, setidaknya aku berada di Lantai 5 Gedung B Universitas Amsterdam Kampus Roeterseiland. Coba kurang keren bagaimana lagi, apa mau main ranking-rankingan. Boleh! Lantas mengapa kantor pusat PLN yang di CSW itu, uah, memang kalau sedang mengambang begini kau bisa diterbangkan ke manapun. Mau ke panasnya Margonda juga bisa!

Beberapa teguk latte ini memang bolehlah efeknya. Meski aku kini jauh sangat dari Blok M, tidak lagi dalam jangkauan Parioh Sty, aku tidak pernah benar-benar jauh darinya. Di manapun aku, toh tetap di bumi Allah. Akan halnya aku benar-benar beli obat nyamuk elektrik sore ini tidak menjadi masalah, toh aku sudah beli bohlam bahkan pengharum ruangannya sekali. Padahal di kamar sudah ada lilin wangi, tapi itu ‘kan untuk musim dingin nanti. Jadi, sudah siap berkertas-delapan-bulan?

Wednesday, August 01, 2018

Sebuah Entri Jelek untuk [Awal] Agustus


Setelah Juni empat, Juli enam, akankah Agustus menjadi delapan. Jangan sampai! Kalau perlu Agustus satu saja ini. Semoga. Aku masih ingat betapa akhir Agustus di belahan bumi utara sini tidak berbeda jauh panjang harinya dengan Jakarta, seperti halnya aku masih ingat turun beberapa halte terlalu cepat ketika kali pertama naik Veolia. Hei, ini tidak terlalu buruk. Memang segala sesuatu tidak akan terlalu buruk setelah berlalu. Coba, mau kau jadi capratar lagi. Tidak ‘kan. Seperti itulah.

Hiy, jadi capratar, sedangkan membayangkan Dua Agustus saja aku ngeri. Sudahlah, segala sesuatu akan berlalu seperti halnya segala sesuatu. Akankah berlalu hari-hariku bercakap-cakap dengan diriku sendiri. Aku hanya ingin semuanya rukun, seperti di cerita-cerita 'lah. Ya Allah, mengapa tidak Engkau karuniakan kepada hamba yang seperti itu, sedangkan itu benar yang hamba inginkan. Sebegitu buruknyakah keinginan hamba ini? Sungguh tidak terpikir oleh hamba, tiada pula dugaan-dugaan. Baiklah hamba mohon ampun saja kepadaMu, Maha Perkasa lagi Bijaksana.

Entri-entri ini, adakah yang membaca selainku. Mengapa kalian membacanya. Tentu tiada gunanya barang apa bagi kalian. Mungkin sekadar olok-olok perintang waktu. Lalu mengapa sekarang aku ingin ada yang membaca selain aku. Ini bertentangan dengan hakikat eksibisionisme! Namun aku kesepian. Sungguh. Seperti apa rasa prajurit yang harus berjaga sendiri di pos yang jauh dari peradaban, atau misalnya personil Angkatan Laut Denmark yang berpatroli di Tanah Hijau berkereta salju. Ini pasti jauh lebih mudah jika dibandingkan itu.

Sebentar. Kereta salju bagaimanapun masih ditarik anjing. Aku hanya bisa membayangkan betapa senangnya berteman anjing, sedangkan John Gunadi tidak setia lagi. Aku di sini berteman laba-laba. Itu pun mereka di luar jendela sana. Lebih baik begitu. Seringai kalian pasti lebih mengerikan dari seringai anjing serigala. Apa lebih baik berangkat tidur pamit kepada Hadi. Nyatanya pilihanku memang tidak banyak. Jauh-jauh semua pula. Aku belum mencoba Fajri. Mengapa pun harus kucoba. Mengapa tidak, sedangkan Karim dulu begitu.

Uah, masih satu jam lagi Isya’. Hariku ya begini-begini saja, bagaimana cara meningkatkan mutunya. Entahlah. Di manapun selalu sekadar menjalani hari-hari. Mana yang lebih enak, entahlah. Mungkin aku memang pengeluh. Mungkin aku memang keple. Masih baguslah nasibku untuk seorang keple. Masih minta dicintai, disayangi, dielus-elus. Apa tidak boleh. Apa salah. Sedangkan hal yang paling kuinginkan di dunia ini saja tidak kunjung kudapatkan. Setelah sekian lama, akhirnya kusadari, hanya itu yang kuinginkan. Aku memang tidak bercita-cita...

Bagaimana dengan akhirat. Tidak perlu ditanya. Kau tahu kau bukan siapa-siapa. Apa ruginya jika diri-rendahmu sama-sekali mati. Apa mungkin. Entahlah. Aku lebih suka duit daripada pujian, kurasa sekarang. Dunia bagaimanapun harus memilih. Masih bagus masih dapat. Ada yang tidak dapat apa-apa bahkan. Ada yang dapat semua. Biarkan saja. Sedangkan lampu crane itu tampak mengambang di udara malam-malam begini. Siapa yang menyangka kalau ini akan menjadi pemandanganku sehari-hari. Siapa yang menyangka aku akhirnya meninggalkan mushala HAN...

...untuk sementara. Ke mana aku ‘kan kembali, bilamana, tidak perlu kupikirkan sekarang. Kertas Delapan Bulan dan kursus-kursus keren itu saja pikirkan. Akankah aku mendapat sertifikat untuknya. Jika tidak pun akan kuminta, bila perlu buat sendiri. Aku sangat membutuhkannya, buat gaya-gayaan. Mungkin nanti akan kutulis di CV. Tidak. Aku tidak akan mendaku antropolog. Aku cuma ingin mengatakan, salah satu bidang yang kutekuni adalah antropologi hukum. Pernahkah ini kutulis sebelumnya di sini. Entahlah. Insya Allah seperti itu.

Friday, July 27, 2018

Kemasukan Kamikaze Gelombang Panas 2018


Nah, ini dia. Ini bukan acaranya Bang Mohan Mehra. Ini suatu teknik baru dalam menerbitkan entri. Jika selama ini aku kerap menyalahgunakan retroaksi, kali ini, setelah dibantu Thesaurus, aku mencoba progresi. Ya, karena aku pada dasarnya tidak ingin menyalahi janjiku pada Januari. Jika Juli harus seperti Januari, maka enam-lah ia. Meski tadi ketika turun dari trem nomor 7 ada sedikit godaan, jangan-jangan Juli jadi tujuh. Baru saja aku terpikir mengenai progresi ini. Apa salahnya dicoba.


Mencoba progresi seharusnya ilustrasinya progresif juga, lha ini koq malah Sinatra campur Jobim. Sebelumnya sempat Fausto Papetti, namun terasa terlalu melangutkan jiwa di petang hari kala sang surya nyaris tenggelam begini. Aduh, sepertinya Sinatra campur Jobim ini pun harus segera diganti... jadi Rapsodi Gelandangan! ...atau tanpa ilustrasi sama sekali? Ah, biarkan saja! Setidaknya sampai entri ini selesai. Masalah nanti melanjutkan bekerja atau entah apa, itu urusan belakangan. Sebagai pilot kamikaze, aku tidak boleh banyak berpikir.

Ini seperti pagi-pagi sehabis subuh mendengarkan kisah-kisah mengenai pilot kamikaze, sedangkan jendela dibuka, lantas kaki perlahan-lahan mendingin dan makin dingin. Pagi yang dingin aku sendiri. Dingin-dingin, tambah dingin, semakin dingin... Halah! PYMM apa kabarnya? Aduhai cucok! 'Udah edan hari 'gini Rapsodi Gelandangan bertingkah. Menulis entri hari 'gini juga edan, sebenarnya. Setidaknya tidak dengan Dalam Rahimnya Nirwana. Hebat ini menulis entri tanpa peduli suasana hati. Mungkin karena sedang kemasukan kamikaze. Mungkin karena hari ini kode oranye.

Apakah setelah ini justru menuntaskan 'nonton Flash Gordon yang beberapa tahun lalu pernah Jumat dua rakaat, bisa jadi. Ya, ini sih tidak ada bedanya dengan entah berapa ribu hari-hari panas yang pernah kulalui, yang membuatku kemasukan juga. Akan halnya aku bungkruh, mau bagaimana lagi. Ini cucok dengan beberapa tahun lalu itu juga, di mana terjadi jungkat-jungkit yang sekarang sedang menghadapi kemalangan. Astaga. Mengapa yang terkenang justru memanjat ke lantai empat, sesampainya di sana malah cegukan.

Ah, Ratu Pembunuh memang selalu berhasil membangun suasana. Masalahnya suasana seperti apa yang terbangun olehnya? Apakah sore-sore juga di Radar AURI. Uah, ini juga jadi cucok. Bedanya sekarang aku mengerjakannya untuk diriku sendiri. Masya Allah, tidak pernah kusangka, setelah duabelas tahun terjadi juga ini padaku. Berapa banyak lagi sisanya, betapa kita semua saling bersilangan, namun ujungnya sudah jelas. Sudah pasti! Tanda seru kurasa lebih baik dari tanda tanya. Lebih asertif. [nasib buruk menimpa orang baik...]

Mungkin di sini sudah pernah ada Gadis Berpantat Semok. Tidak perlu juga kutonton di bioskop. Mana tahu, ketika sedang duduk-duduk menghadap Cikumpa ia akan muncul begitu saja seperti James Brown, Ray Charles, siapa lagi. Bedanya kali ini aku sedang memperjuangkan sesuatu. Apa memang. Entah, sedangkan belum pukul sembilan matahari sudah kehilangan keperkasaannya. Demi masa. Demi waktu senja. Masih haruskah aku berusaha mencari kesenangan, sedangkan yang terpasang tinggal lagi Peradaban Lima Dunia Baru yang Berani begini.

Masih ingatkah kau akan Bangkitnya Bangsa-bangsa. Adakah ia masih menarik. Bersedia, siap, yak! Mengapa tidak pergi. Mengapa sepeda menyebabkan sentlap-sentlup. Mengapa jika sadelnya sudah disetel aku harus yakin bahwa ia tidak akan menyodomiku lagi. Aku tidak mau menjadi Presiden Amerika Serikat, apalagi Presiden Republik Indonesia. Itu biar Jokowi saja. Biar dua periode, jika maunya begitu. Aku hanya ingin Sahabat Terbaik dan itu adalah Cantik. [Aku merindukannya itu sudah pasti, meski kutahan-tahan agar jangan sampai terlintas]

Wednesday, July 25, 2018

Sore Musim Panas Menulis Entri Jadi Jelek


Mungkin memang sudah pada tempatnya jika Juli, sebagaimana Januari, memiliki enam entri. Juli merupakan awal dari paruh kedua tahun ini, seperti halnya Januari adalah awal dari paruh pertamanya. Alhamdulillah, tahun ini sudah hampir setengah jalan, dengan rutinitas baru! Aku tidak ingat, atau sekadar sedang malas mengingat, tetapi rutinitas yang kutinggalkan memang sudah mengurungku, membuatku menjadi seperti ini. Siapa tahu, rutinitas baru ini menjadi semacam pembalik ke sediakala, ke arah yang lebih baik. Insya Allah Ta’ala.

...yang istimewa itu, ada kaas croissant yang sudah digigit, makan malamku...
Sungguh unik suasana sore ini. Ini seperti jam setengah enam sore kalau di kampung, padahal sekarang jam sembilan. Pernahkah aku menulis entri pada waktu seperti ini, aku tidak ingat. Apa yang biasanya kulakukan pada jam-jam segini. Bisa jadi di kelas, selebihnya aku lupa. Entri ini mungkin akan jadi entri kedua yang ilustrasinya gambar yang kuambil sendiri. Akankah seterusnya seperti ini, mengingat ada saja yang ilustrasinya hilang. Bisa jadi. Ini adalah blog kata-kata bukan gambar, bagaimanapun.

Jam begini memang tidak sesuai untuk menulis entri. Biasanya, badan sudah penat apalagi pikiran. Maka sekarang pun tidak lancar, namun kupaksakan juga. Membaca Verstappen aku sudah malas, melamun sangat membahayakan, meski aku bukan pelamun. Ada rasa rindu yang sekuat tenaga kutahan. Sungguh indah sore menunggu maghrib jika bersama dengan orang-orang yang dicintai. Di sini, demikianlah keadaanku. Semoga derita ini menghapus dosa-dosaku. Makanya jangan ditambah, dong. Dalam kasus Hadi empat bulan. Aku berapa lama, tidak tahu.

Ya Allah, berkelebat-kelebat itu berbagai kenangan mengenai sore-sore indah yang telah kulewati. Suatu hari nanti, mungkin gambar ini pun yang akan mengelebat. Mengetik entri, menghadap jendela yang mempertontonkan langit sore yang nyaman, sedangkan kelak bangunan-bangunan ini mungkin sudah jadi. Dua orang perempuan keturunan Afrika melintas di kejauhan. Mereka tidak mempedulikanku. Ya, ini musim panas. Akhir Juli. Lalu masuk Agustus, dan kertas delapan bulan alias disain penelitianku pun selesailah. Insya Allah. Lalu berbagai kursus yang menggairahkan.

Ini entri tidak bagus, tidak mengalir, meski tiba-tiba saja melintas persekitaran Jalan Tambak di waktu-waktu seperti ini. Uah, aku mungkin tidak akan begitu suka. ‘Tuh ‘kan, bahkan di sana saja ada kemungkinan tidak suka. Jangankan itu. Tepat di samping Cantik, di atas kasur nyaman pun masih ada kemungkinan itu tidak suka. Lantas apa bedanya, jarak, waktu tidak menentukan. Kau bisa di manapun, kapanpun, dan tetap merasa suka. Jangan pedulikan apapun yang dirasa, tetap ingat Allah.

Jendela kubuka lebar-lebar hampir satu jam tadi, semoga tidak ada serangga masuk. Apapun rasanya, tempat ini akan menjadi kenangan indah setelah dilalui. Insya Allah, jika sampai waktunya nanti, mungkin aku tidak akan kembali lagi ke sini. Bisa jadi aku akan tinggal bersama Hadi. Setidaknya aku pulang akan bertemu orang, meski seperti itu bentuknya. Insya Allah, aku selalu bisa masuk kamar, namun selalu bisa keluar dan bertemu dengan orang, meski Hadi. Mungkin kami memang sama-sama kesepian.

Aku merasa seperti ada serangga. Semoga itu perasaanku saja. Buat apa gelisah, toh maghrib Insya Allah segera menjelang. Setelah itu, seperti biasa, tinggal menunggu Isya’. Setelah Isya’ tinggal menunggu kantuk. Jangan lupa minum obat, seperti sudah kaulakukan satu setengah tahun lebih. Siapa tahu suatu saat nanti kau akan terbebas dari itu semua, seperti yang selalu kaupinta selama ini. Aku memang terlahir murung, namun tidak berarti aku tidak bisa optimis. Apa lagi yang kupunya selain optimisme?

Sunday, July 22, 2018

Amsterdam Sudah Cukup Bagiku, Stockholm


Meski terpisah ribuan mil, pagi ini aku bersama teh Bapak, Sosro Heritage Jasmine Tea. Entah sejak kapan Bapak selalu ngunjuk teh ini. Mungkin semenjak kutinggal ke Magelang. Aku tidak ingat pasti. Teh ini sepanjang ingatanku selalu bersama kami sambil menikmati nasi uduk Mpok Mar. Beberapa bulan yang lalu aku terpisah hanya belasan mil dan sekitar dua jam naik go-car dari Bapak. Kini entah apa yang memisahkan kami dengan Mpok Mar. Di manapun tidak akan kutemui.

Nasi Uduk Piking yang tidak anying. Pokoknya bukan nu aing, Ma Jolie Fille.
Mungkin hanya sebentuk nisan bertuliskan namanya. Itu pun kemungkinan besar aku tidak akan mengenali. Hanya doa yang dapat kukirimkan padanya, semoga Allah menghapus dosa-dosanya, melipat-gandakan pahalanya, memasukkannya ke dalam surgaNya. Amin. Betapa Mpok Mar telah membuat pagi-pagiku bahagia dengan nasi uduknya yang sederhana itu. Langkah yang ringan menuju ke beranda sederhana tempat ia berjualan. Mengantri bersama orang-orang sederhana sesama pelanggannya. Langkah kembali pulang yang bertambah riang saja karena segera akan menyantap sederhananya hidangan bersama Bapak.

Pagi ini, meski bersama teh Bapak, aku tidak bersama Bapak, apalagi nasi uduk Mpok Mar. Mungkin ini sesuatu yang harus kulatih agar terbiasa. Aku justru bersama dengan kari entah-entah, roti macan berisi salad kentang dengan kilasan saus kari, keju murah yang hambar dan abon yang mantap dari Muhammad Ilham Rivanny. Beberapa tahun ke depan ini aku harus terbiasa dengan yang seperti ini. Insya Allah, nanti tidak akan sesepi ini. Siapa tahu ke depannya bersama Hadi.

Bersama dengan siapa aku, tidak lagi bersama dengan siapa aku, tidak banyak berarti. Jika pagi ini aku bersama Pakde Frank Mills, itu sama saja dengan tidak mungkinnya aku bersama lagi dengan Pakde Binto maupun Pakde Lentu. Insya Allah, tidak lama lagi Adjie bisa bersama lagi dengan Pakde Boni. Begitu saja terus. Seperti halnya ada ketukan dua perdua, sedang yang lainnya entah tiga atau empat perempat, suasana hati seperti apa yang diciptakannya, semua tidak banyak berarti.

Akankah dalam hidupku ini aku sampai di Stockholm bahkan Trondheim, tidak terlalu kupikirkan. Hanya saja, sekiranya sampai juga, hanya kepadaMu hamba memohon badan yang sehat nyaman dan hati yang ringan bahagia, sebagaimana di Amsterdam ini. Cinta memang seperti itu, meski aku tidak seberapa pandai memainkan piano. Pakde Frank Mills hampir selalu memainkan piano pada nada-nada tertingginya. Seperti halnya makan, semakin jarang kurasakan nikmatnya terharu-biru nyanyianku sendiri, seperti di masa-masa yang lebih muda. Seperti itu saja.

Ketika kau tersenyum, meski mungkin bukan untukku, aku tersenyum juga. Mungkin kukulum senyumku, atau kubiarkan lebar. Entah aku seorang ilmuwan atau pemberontak, atau sekadar orang gajian yang membeli nasi uduk padang di pagi hari dan nasi uduk malam di malam hari, tidak menjadi masalah. Akan halnya telah kuucapkan selamat berpisah kepada Parioh Sty, dan apakah itu berarti ia akan berganti menjadi semacam Splash, apa bedanya. Hanya saja, jika itu dapat membuat Cantik senang, akan kulakukan.

Tidur lima jam semalam, telanjang bulat, berselimut tipis saja, membuatku sarapan sambil berjaket. Je t’aime moi non plus, sementara matahari pagi menembuskan kuat-kuat sinarnya melalui celah-celah tirai, di pagi musim panas di Amsterdam ini. Entah berapa lama lagi ia dapat kusebut tepi hutan bambu dan tepi Cikumpa, entah apa yang menungguku di pesisir Teluk Jakarta atau kantor-kantor pemerintahan, mungkin juga Darmaga, Bogor. Semua tinggal dijalani saja, seperti Opa Paul Mauriat menarikan jari-jarinya pada tuts-tuts piano.

Sunday, July 15, 2018

Perancis Juara Dunia Sepak Bola di Meent


Sedangkan aku malah main-main bola sepak dengan Nayla Zahra, yang membuatku merasa penderitaanku tiada berarti apa-apa. Memang bisa-bisa konyol kelakuan memperbanding-bandingkan begini. Jikapun mau, lakukanlah seperti apa yang dicontohkanNya dalam Quran. Manusia memang suka membanding-bandingkan, dan dengan cara itulah mereka belajar. Sudahlah, ini bukan tempat sok bijaksana. Ini adalah pengabadian kolam kecil musim panas yang cantik, dikelilingi pepohonan, ditingkahi entah oboe entah terompet Perancis. Terlepas dari teriakan-teriakan para pendukung Perancis, bukan itu yang aku dengar.


Ada juga yang meragukan Royal Philharmonic Orchestra, (RPO) menuduhnya menggunakan kibor murah. Sempat juga terpikir begitu, meski seterusnya semakin ragu. Terutama setelah mendengar ratapan viola solo, mungkin memang benar RPO. Hanya terpikir olehku, jika lagunya seperti Bruno Mars atau Meghan Trainor seperti sekarang ini, RPO bisa gulung tikar; atau mungkin memang sudah gulung tikar? Dunia terus berubah. Anak-anak kecil menjadi orang dewasa. Tiada akan lama lagi sebelum Nayla tumbuh menjadi seorang gadis seperti kakaknya Fia.

Aku masih bisa meracau di sini, bagaimana dengan Nayla? Ia hanya punya bapaknya. Bahkan teman mungkin dia tidak punya, kemarin saja bertengkar dengan Linda. Aduhai, lelakon hidup manusia. Ada yang sekadar ngelakoni, ada yang beriman seraya beramal shalih. Begitu saja senandung flute melemparkanku ke masa-masa yang telah lalu, yang mempertemukan kami kembali di tapsiun Duivendrecht sampai Meent, berpisah di van Boshuizenstraat. Informatika Gajah Duduk jelas bukan sembarangan, terlebih dengan beasiswa pula, meski gagal menjadi penerbang.

Lalu apa gunanya menulis di sini? Adakah tulisan-tulisan ini balik berbicara padaku? Tentu tidak. Adakah yang benar-benar kubutuhkan adalah seseorang yang balik berbicara padaku, seperti halnya Hadi yang terbiasa pulang bertemu orang dengannya ia akan bercakap-cakap? Mulai lagi kalimat-kalimat tanya ini. Aku berharap ini semacam posimpresionisme, eksibisionismeku ini. Jangan sampai ia menjadi puisi esei pula karena aku pun tidak punya duit. Bisaku hanya ini. Aku bukan Fred Holleman yang menulis novel. Aku Bono yang bertujuh-lima-lima-dua-lima.

Namun Holleman menyelesaikan disertasinya, bahkan mengucapkan pidato inaugurasi yang mengharu-biru Sofyan Pulungan. Aku sih tidak. Ini pula Budi Arsika nyela-nyela. Bukan. Kalau ada yang benar-benar harus kaulakukan, itu adalah ITU! Mengapa lancar sekali benakmu menyuruh jari-jari mengetuk-ngetuk, kemudian menghunjam enter? Apa tidak bosan? Lalu mengapa berlama-lama di rumah, tidak segera ke kantor? Apa karena tidak ada jadwal mengajar? Kalimat-kalimat tanya lagi, yang membuatku justru semakin tidak lihai menyusun pertanyaan penelitian. Bagaimana mau jadi ilmuwan ulung?

Aku juga tidak mau disapa sembarang orang. Huh, aku memang pilih-pilih, seperti Dr. Doel Salam pilih-pilih kuah bakso. Setidaknya aku bukan Hadi yang masih punya tenaga untuk ber-PPLN, atau Pak Ibnu Fikri yang tidak dibayar mengetuai PCI NU. Jika kau merasakan ini, ingatlah Nayla dan bapaknya. Sebenarnya ingat Allah sih. Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Benar ini. Tidak. Aku tidak mau berdoa di sini, sedang ini mungkin adalah Waktu dalam Hidupku dari Tarian Kotor.

Kotor? Maksudmu seperti lethek gitu? Seperti tuwa, bacin lagi? ‘Tuh kalimat tanya lagi. Sudahlah. Sekali menebak langsung benar. Sekali saja itu. Perancis juara dunia sepak bola di Meent. Seperti kata Gerben, kemungkinan besar nelayan kalah, maka bertemanlah dengan pengusaha, demikian Laurens hahaha. Tidak tepat begitu kata-katanya, sih. Jangan-jangan aku yang diam-diam ingin mewujudkan kebohongan yang terus saja kuulang-ulang. Astaghfirullah, bagaimana mau masuk surga jika begini caranya? Dengan ini berakhirlah Waktu dalam Hidupku dari Tarian Kotor.