Saturday, July 31, 2021

Sabtu Siang Bermendung, Malam Minggunya Hujan


Kalau bulan ini mau dibuat empat, sekarang 'lah waktunya. Mana suasana hatiku seperti habis meletus balon hijau. Lantas mengapa mengetiki. Kalau tidak mengetiki mau apa lagi. Ini adalah bunyi-bunyian dari Francis Goya yang belum pernah 'kudengar. Bagaimana lagi aku harus menatanya. Setiap rincian kecil bukan menyempurnakan gambar yang telah ada, malah seakan-akan menambah aksen yang tidak seharusnya. Bahkan pengeras suara pecah itu pun membuat balon-balon lain meletus. Begini ini seharusnya sholawat bukan mengetiki, yang perlu sepercik keriangan.


Sabtu siang yang gerah bermendung ini, biasanya aku akan mengingat-ingat sabtu-sabtu siang bermendung yang telah lalu. Setelah ini semua, terasa betapa bodohnya perbuatan itu. Apakah ini karena aku kini hanya ingin menatap ke depan. Haruskah 'kumerasa khawatir dengan temuanku seonggok kulit di ambang pintu belakang. Pada tempatnyakah sekarang aku menyesali kebiasaan Cantik membuat semak rumah. Cukupkah 'kupahami semua ini sebagai tidak berdayanya aku mengendalikan apapun yang bahkan selayaknya berada dalam jangkauanku sendiri. Ah, sudahlah.

Sebelum memutar daftarmain ini, aku sempat menambah koleksi menyeks sampai genap lima puluh. Apa yang sempat membawa kesenangan meski sedikit ketika di Uilenstede sambung Kraanspoor, ternyata gagal mencerahkan Sabtu siangku yang gerah bermendung di Tepi Cikumpa, tempat yang cantik ini. Apalah artinya penanda waktu, terlebih buatan Paus Gregorius Ketigabelas. Seakan aku berharap ketika memasuki hari pertama bulan Agustus aku serta-merta mengerjakan sesuatu yang berguna. Tebakanku ternyata lebih akurat dibanding Bang Ade Sobari.

Maka begitu saja Sabtu siang yang gerah bermendung berubah menjadi malam Minggu yang berhujan. Tepat setelah adzan maghrib dan baru benar-benar reda setelah lewat jam sembilan. Masya Allah, malam Minggu macam apa ini. Ini bisa sangat romantis atau, sebaliknya, tragis. Namun aku sedang tidak tertarik dua-duanya. Gara-gara kulit aku tidur di atas ranjang, hanya sekitar sejam. Aku terbangun berkeringat, memberanikan diri menggelar alas tidur di depan pintu, tetapi tidak kunjung bisa tidur hingga mendekati tengah malam. Ketika bergolek-golek muncullah ide...

...yang membuatku menulis pesan instan. Belum dapat 'kuceritakan sekarang. Jelasnya, kini aku mengetiki, setelah tetap saja gagal tidur. Tanpa ditemani daftarmain apapun, kecuali suara tilawah dari radio transistor kecil Tante Lien. Udara malam sehabis hujan dingin menembus melalui pintu kasa. Waktu-waktuku kini, entah bagaimana mencatatnya, sedang aku tidak sanggup memberi bentuk pada gumpalan-gumpalan yang menyesaki kepala, atau dada. Ini adalah waktu-waktu krusial untuk berusaha meraih cita-cita. Jangan pula merasa lebih hebat dari siapapun.

Entah Afi sudah biasa tidur ditemani tilawah dari radio Oma Lien, atau aku yang harus pakai sumpal telinga setelah ini. Bukan. Bukan agar tidak terdengar itu tilawah, melainkan mana tahu aku bisa tidur nyenyak karenanya seperti malam-malam kemarin. Oh, Allah Gusti, entah hikmah apa yang dapat hamba petik, di tengah bertubi-tubinya huru-hara, Engkau masih karuniakan satu lagi untuk hamba pikir-pikirkan. Hanya satu keyakinan hamba, Engkau tidak akan menguji hamba melampaui yang sanggup hamba tanggung, maka ampunilah hamba, Ya Allah. Kasihanilah.

Aku bahkan sudah menyumpal telinga ketika sedang mengetiki ini. Memang aduhai sumpal telinga Garuda ini. Jangankan bunyi dengung kipas angin, derum-geram mesin jet saja dapat diredamnya. Terlebih keributan yang terkadang dibuat anak perempuan kesayangan. Semoga Allah mengaruniakan istirahat malam yang nyaman, menyembuhkan, menyehatkan setelah ini. Ini adalah entri mengenai kasih-sayangNya, yang terkadang berwujud sumpal telinga, hal-hal yang jauh lebih besar dari itu,  bahkan lebih sepele. Kita tak pernah tahu. Ia Maha Tahu akan hambaNya.

Saturday, July 24, 2021

Sandoro: "Menulis macangondrong, misalnya."


Sandoro berpikir, "menulis macangondrong" membuat hatiku gembira. Mungkin, membacanya memang membuat hati gembira, seperti dia dulu tertawa-tawa menonton jeruk yang menjengkelkan. Menulisnya... 'kurasa gembira bukan kata yang tepat. Apa yang 'kurasakan tepatnya ketika aku menulisi. Hanya satu kata terpikir olehku: gabut; dan itu bukan perasaan yang menyenangkan apalagi gembira. Namun saat ini, mungkin lebih dari kapanpun, aku sedang sangat butuh bergembira. Jadi, meski nyatanya aku menulisi, aku harus bergembira, atau setidaknya merasa riang-gembira.


Terkadang, jika aku sedang berbicara dengan seseorang atau beberapa orang, aku merasa bersemangat. Tidak tepat betul gembira, tetapi bersemangat. Meski berbeda, biarlah 'kubayangkan saja aku sedang berbincang-bincang dengan kawan-kawan penghuni Perimbas! Bisa jadi, dalam suasana seperti itu, aku akan merasa gembira. Dikelilingi kawan-kawan yang menyukaiku dan 'kusukai, siapa yang tidak gembira. Urusan gembira ini ternyata tidak main-main. Khususnya untuk orang sepertiku, yang konon suka datang ke tempat Dokter Lisa padahal tak sakit apa-apa.

San, akan 'kulakukan apapun untuk merasa gembira, bahkan menulis macangondrong. Kau bukan orang yang cocok untuk bergembira. Kau jika bersamaku terlalu serius. Aku pun. Biar 'kutegaskan di sini, San. Aku tidak suka tentara-tentara'an apalagi tentara lokal. Ya, aku mempelajari dengan lumayan serius konflik-konflik militer dalam sejarah peradaban manusia, tetapi tentara lokal, apalagi yang kontemporer, tidak akan membuatku gembira. Ceritamu mengenai kampungmu, bagaimana orang-orang di sana menjalani kehidupan, masih jauh lebih mungkin menggembirakanku.

Aku suka mengenang-ngenangkan pengalaman pulang bersamamu dari Salemba, entah itu makan bubur atau tidak. Jelasnya, pulang bersamamu membuatku merasa aman, seperti tidak sendirian. Semakin tua, semakin habis tenagaku, kesenanganku pada kesendirian. Aku sudah tidak heran lagi. memang begitulah kenyataannya. Aku tidak akan pernah lagi pura-pura tegar, pura-pura gagah. Aku lelaki paruh baya dengan banyak kekuatiran. Dengan kenyataan itu, sedapat mungkin akan 'kujaga suasana hatiku agar tetap riang gembira, meski dengan mengandalkan doa semata.

Menulisi begini memang terasa agak seperti menulis surat. Kau mungkin pernah dengar sekali dua, San, khayalanku mengenai hidup seperti seorang rahib. Tentu saja khayal belaka, karena aku tidak pernah benar-benar tahu bagaimana seorang rahib hidup. Namun lancar sekali jari-jariku mengetiki betapa yang 'kubayangkan mengenainya adalah meratapi hidup dunia. Sungguh setelah apa yang 'kualami belakangan ini, aku merasa tolol dan pongah mengatakannya. Sok-sok'an! Aku hanya bisa berharap ada sesuatu yang dapat 'kupelajari dari huru-hara yang melanda.

Ah, dari sini saja sudah pasti ketahuan, betapa aku tidak tahu apa-apa mengenai bergembira dan kegembiraan. Aku tidak tahu apakah aku masih sanggup menyelesaikan entri ini, San. Ada baiknya aku shalat Ashar dulu. Ada sedikit 'kutahu mengenai kegembiraan, yakni tertawa-tawa di bawah rinai hujan. Entah mengapa tadi koneksi internet putus, maka begitu saja 'kukenakan giok Aceh dan kinyang airku. Entah mengapa ini membuatku merasa senang. Aku cuma punya dua ini, dan tidak ingin tambah lagi. Giok Aceh, meski ada kurangnya, aku cukup puas. Kinyang air masih ada ruang.

Sempat terpikir, apakah kinyang air diikat saja. Uah, yang ada sekarang saja sudah mengundang rasa tidak senang Kakakmu. Kinyang airnya sekarang dilubangi dan diberi tali ala kadarnya untuk dikenakan di setentang dada. Memang mauku begitu. Aku ingin yang sederhana saja, tapi rapi. Jangan pula seperti yang dikenakan Mas Gonggo. Giok Aceh pemberian Ibu, kinyang air aku beli sendiri. Hijau dan transparan. Adakah aku percaya khasiat-khasiat. Aku hanya suka. Berartefak bak pahlawan yang mengandalkan kekuatan dan sihir memang selalu menarik hatiku.

Saturday, July 10, 2021

Entri Terakhir yang Ditulis di Bagasnami


"Kehidupan kedua telah berakhir. Berikutnya apa?" Begitu tanya Afi. Dalam entri ini, aku hanya ingin bercerita mengenai indahnya hidup. Betapa setiap episode menginap di Bagasnami selalu menyisakan kenangan manis untuk dikecap-kecap di hari kemudian. Aku menulis ini sedang aku menyakiti diri sendiri. Namun tidak 'lah. Semua ini sekadar hidup yang indah, dan tidak, 'Fi. Tidak ada kehidupan yang berakhir. Seperti kehidupanmu, dan kehidupan semua anak perempuanku. Aduhai betapa ingin aku dikenang seperti Mama mengenang ayahnya, H.M. Arief.


Lantas ini. Entah bagaimana kehidupan menghanyutkanku sampai di sini. Duapuluh lima tahun yang lalu mungkin tidak akan pernah terbayang olehku. Namun memang begitulah kehidupan, seperti biasa 'kukatakan asal-asalan. Jodohnya sisa-sisa Laskar Pajang tentu juga sisa-sisa Laskar Padri. Sungguh aku mensyukuri arus kehidupan yang menghanyutkanku ke sini. Inilah arus deras yang melambat namun bertambah keperkasaannya, sampai di muara sana. Inilah aku hanyut di dalamnya. Ini pulalah yang 'kudamba-damba, tiada lagi yang lain. Inilah tujuanku.

Selebihnya hanya kenangan manis. Semanis mie dok-dok Surabaya yang pernah 'kubeli, atau apapun yang 'kumakan di Bagasnami. Ya, senikmat itu. Senikmat tidurku yang nyenyak, baik dalam hembusan pendingin udara maupun dalam balutan penolak nyamuk. Semua adalah tidur yang nyaman dan menyehatkan. Betapa 'kukhayal-khayalkan hape baru pengganti smartfren atau bahkan jersi liverpul, bahkan di sinilah 'kurampungkan Bersetia Bela Pancasila, Demi Jaya Indonesia. Semua serba manis, serba indah, maka ke depannya pun begitu pula. Insya Allah.

Tentu saja es panas. Entah sudah berapa es dipanaskan. Berapa kali Ramadhan. Berapa kali sahur dan buka puasa. Masya Allah, serba indah. Sungguh, inilah indahnya hidup. Aku memulai blog ini mendambakan indahnya hidup di Kemayoran, malah mengalami indahnya hidup di Jalan Tangguh Empat Nomor Tujuh Belas, Kodamar Kelapa Gading. Ya, di Bagasnami ini. Rumah kami. Rumahku. Jangan lupa, Damai Indonesiaku! Masya Allah, sudahlah indah, damai pula. Seperti itulah. Memang Insya Allah tiada yang lebih pantas, patut daripada keindahan dan kedamaian.

Ini jenis keindahan dan kedamaian yang lain lagi. Melodi-melodi memang indah dan damai, seringkali manis. Namun ini keindahan dan kedamaian yang tenang. Nyaman. Tiada rasa khawatir, tiada rasa was-was. Tidak ada. Sungguh, aku tidak sanggup melukiskannya. Paletku kekurangan bianglala yang dapat 'kugunakan untuk menggambarkannya. Jika kau pernah menyimak sesorah yang diberikan mubaligh dalam Damai Indonesiaku, di siang hari yang penuh berkah, penuh kasih-sayang, seperti itulah. Semanis moci durian, tentu saja, yang sudah dipanaskan, dibagi dua. Semanis itu.

Rinciannya tak mungkin 'kuberikan semua di sini. Apakah teh sereh dingin botolan yang dibeli di Sepel malam-malam, belum lagi nasi-nasi kepalnya, aku lupa apakah ada hotdog-digigit-kodog, semua ini tidak akan sanggup menjelmakan kecantikannya. Ini bahkan lebih cantik dari Cantik, karena memang dari sinilah asal cantiknya Cantik. Secantik tiga cucu perempuan beranjak remaja, Khaira, Afifah, Nadia, secantik itulah. Semoga Allah berkenan mengaruniakan hidup yang indah kepada ketiganya, begitu juga pada Kin cucu Ibu dan Mami. Masya Allahu Akbar.

Demikianlah maka menjelang tengah malam yang gerah di tepian Cikumpa, susah-payah 'kumencoba lukiskan segala keindahan, kedamaian. Jelas mustahil. Ragaan apapun akan lungkrah, terlebih di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat. Mau dibatasi bagaimanapun, keindahan akan tetap terpancar, keharuman menguar, karena ini kisah mengenai indahnya kehidupan. Kehidupan yang tiada 'kan berakhir, 'Fi. Jadi tidak perlu kautanyakan apa berikutnya, karena keindahan ini akan terus berlanjut, meretas fana dunia, Rabbana.

Sunday, July 04, 2021

Prasetiyo Hari Bersama Hari: Melewatkan Jum'at


Aha, sudah lama tidak 'kugunakan teknik membuat judul yang seperti ini, sedang aku sudah curiga ketika Cantik mengenakan helm. Aku bahkan sampai lupa apa yang ada di kepalaku tadi. Oh, bakmi bangka yang di seberang Gema Pesona itu. Tentu saja Cantik tidak berminat. Ketika ia menyebut "Mbak Ira" bertambah kecurigaanku. Benar saja. Tulezyu! dan benar saja belum buka. Ternyata Donat 'Nyelup sudah buka, maka kesampaian 'lah beli Krim Boston meski masih bersama teman-temannya agak lima biji lagi. Makan bubur ayam Pemalang pun bersama Si Kucing.

Badut Indramayu. Tanpa dikatakan pun aku sudah tahu dari tampangnya.
Begitulah maka Tante Agnetha diharmonikan oleh Tante Frida, dengan iringan piano hongki tong Oom Benny, sedang aku ketar-ketir apakah kopi instan yang agak terlalu banyak ini akan menyakiti perut atau tidak. Enaknya sebelum Senin menjelang aku sudah menyelesaikan tata-letak buku han-ham, tapi biarlah bass entah siapa ini mendentam dulu gendang-gendutku. Bukan karena itu semua aku menulisi, semata karena menulisi adalah hal terasyik setelah menghancurkan peradaban. Uah, siapa sih yang pernah membeli gim dari websait, apa tetap di awan-awan. 

Nina! Aduhsay bass-nya, atau gitarnya Oom Bjorn, sedap betul. Inilah kesedapan hidup di dunia, bukan yang lainnya. Jika dokter Jul merasa lucu dengan hancurnya gigi karena cairan vagina, aku lebih merasa lucu jika menggoyang-goyangkan bahuku, mengangguk-anggukkan tengkukku, seirama dengan lenggok gemulainya Ratu Dansa yang masih seusia anak perempuan kesayanganku. Muda dan manis, hanya tujuh belas. Iramanya terutama, bukan lenggok gemulainya. Lenggok gemulai biar dalam khayalku saja, sedang mataku terpejam, karena bukan itu intinya. Irama!

Halah, ini lagi Aku Punya Impian malah teringat KehidupanBarat, lantas Abdul Qodir. Ini bagian dari kemudaan yang tidak ingin 'kuingat-ingat. Hal terbodoh yang bisa dilakukan siapapun adalah mengingat-ingat, terlebih sampai mendamba-damba kembalinya masa muda. Memang perutku sekarang gendut mengganjal, kepalaku botak, dan tiga macam obat darah tinggi 'kuminum sekaligus tiap malam. Namun itu semua tetap baik, sama baiknya dengan kemudaanku. Bahkan mungkin lebih baik, seandainya dosa-dosaku diampuni seriang irama denting hapsikord ini. 

Baru empat puluh empat tahun koq sudah merasa tua. Sok tuak luh! Masa bodo! Aku tidak lantas merasa berjingkrak-jingkrak riang di jalanan Stockholm, sedang Amsterdam yang jelas-jelas sudah 'kutelusuri, lebih sering 'kutunduk-tekuri jalan-jalannya. Dingin berangin, hangat berhujan, tidak ada bedanya. Aku tetap menunduk, menekuri, menjalani. Sudah lewat waktuku untuk menjadi seperti Alexander Agung. Jadi apapun 'kurasa sudah lewat, kecuali teman Mang Imas berziarah ke wali-wali soto. Itu pun yang dekat-dekat saja. Sekitar sini saja, tidak sampai Bojonegoro.

Mammamia! Satu-satunya hanya ayam berbumbu dari kalangan Jet-Set yang 'kubeli di Toserba Model. Selebihnya aku tidak pernah berseru begitu. Aku mungkin gaya-gaya'an sampai orang menyangkaku yang tidak-tidak. Padahal aku tidak lebih seekor anjing bekas peliharaan yang terlantar menggelandang di pinggir-pinggir jalan. Itu pun tidak jauh-jauh. Aku menggoyang-goyangkan ekorku biar disangka minta kasihan orang-orang yang lalu-lalang. Padahal tidak! Aku bahkan menggoyang-goyangkan pantatku tanpa tahu malu, sedang lidahku menjulur-julur.

Penampil Super, bisa jadi! Memang hanya itu bisaku. Semua kawanku bisa macam-macam. Bu Ismu sudah melihatnya dari jauh-jauh hari. "Yang satu ini," batin Bu Ismu, "hanya akan jadi badut. Mungkin sedikit lucu, tapi bagiku tidak." Gumamnya sambil menjebikkan bibir. Aku lantas ingin tahu segala tahun dan bulan lahir Bu Ismu, jika perlu jamnya dan sebagainya, tapi itu semua ketololan. Itu sekadar naluri ingin tahu yang 'kusangka seperti insting ilmuwan, padahal cuma ketololan seorang badut. Kasihan siapapun yang berurusan denganku, hanya badut yang agak sedikit lucu.