Sunday, December 31, 2017

Ngeblog dari 2006, 2017 jadi Goblog


Asepteven, jadi ini cuma baru judulnya? Ini dilematis. Haruskah aku mengakhiri 2017 dengan makian, atau membuatnya menjadi duapuluh satu? Sungguh dilema 'gak guna khas lapak sini. Apakah ini siang-siang hari yang panas di sepanjang Cimone Gama Raya atau apapun, itu bahkan sudah duapuluh tahun lalu lebih. Waktu yang telah berlalu dan yang masih harus dilalui, 'kan kau sudah tahu. Lalu mengapa masih menulis-nulis di sini? Semata karena malas ngoreksi di akhir tahun, seperti yang telah kulakukan agak delapan tahun terakhir ini. Masya Allah betapa banyaknya!


Aku tidak mau bicara jika itu membuatmu sedih. Aku paham engkau datang untuk menjabat tanganku. Seandainya aku bisa melakukan ini dalam Bahasa Belanda. Bisa saja. Di umur empatpuluh satu ini? Masih sama rasanya 'kan, atau setidaknya kau sudah tidak tahu bedanya lagi; karena kau mengalaminya hari demi hari, detik demi detik. Kau berada di dalamnya sampai kau tidak tahu lagi. Akankah kualami lagi jamur panggang dengan suasana hati dan badan yang nyaman, bahkan sampai hati main rangkul-rangkul anak gadis orang? Masya Allah, tidak, tidak lagi yang seperti itu!

Gadis cilik, katakanlah yang sebenarnya, sungguh aku tidak pernah menyimak ceritanya, kecuali keriangan ketukan piano honky tonk. Apakah ini siang hari di Taman Puring, di jok belakang Fiat 124 B 122 AM masih bercelana pendek merah? Sekarang giliran Satrio Adjie Wibowo menjalaninya. Bahkan ibunya! Ya sudah. Ini bahkan lebih tua lagi. Kerinduan kepada apa? Akankah kualami lagi, akankah menyiksa? Beberapa hari terakhir ini entah bagaimana caranya Shalawat Nariyah dengan lagunya yang sangat ndeso itu merundung benakku, apapun yang kulakukan, kemanapun kupergi.

Dan itu dimulai ketika aku belum bisa tidur sampai menjelang tengah malam, begitu saja aku menghafalkannya. Shalawat Munjiyah, sekarang Nariyah, setelah sebelumnya Induk Istighfar. Semua dari Ibu. Ibu dari Kyai Cholil Bisri. Semoga jika ada kebaikan dari aku melantunkan dan membacanya, terlimpah tercurah kiranya bagi Ibuku tersayang. Ya, aku adalah Bapak Ibuku dan buku-buku yang kubaca, dan setelah meneguk secangkir cappuccino [salah terus aku menulisnya] aku entah bagaimana merasa lebih segar, di siang menjelang sore yang mendung berguruh ini.

Dan aku masih saja terima! Astaghfirullah, bagaimana caraku ngecakke? Menulis, siapa yang mau baca? Ya tulis saja! Sekarang ini, ngapai kau menulis-nulis goblog begini? Ayo ngoreksi! Ahaha, ampun. Iya aku ngoreksi entah hari ini atau mulai besok pagi. Tidak bolehkah aku bersantai di malam tahun baru yang tidak ada drive in dan jauh dari Ancol ini? Begini inilah malam tahun baruku. Tidak di bar yang riuh penuh orang penuh asap, mengenakan bando bertuliskan "happy new year," karena kedua tungkaiku tidak hancur terkena pecahan proyektil meriam. Hanya hatiku sedikit, itu saja.

Jadi harus berapa banyak? Mengapa harus enam tujuh? Entahlah. Keteraturan yang datangnya entah-entah dari mana, selalu saja. Tahu takua, agar tidak takwa, uah, enak sekali! Entah mengapa selalu terkait dengan Sarimi rasa sapi warna coklat. Sudahlah, Madu Madu. Bagaimana shalat lohormu tadi? Seperti biasa, seadanya? Bagaimana caranya agar tidak terus begitu? Teguk lagi cappuccinomu? Aku tidak mau menyakitimu, aku tidak mau melihatmu menangis. Aku yang menunggu selama masa kanak-kanak dan remajaku, hanya untuk disakiti dan menangis. Aku tidak menyesal. Tidak.

Apalagi jika kuingat dosa-dosa mengerikanku. Aku tidak benar-benar menunggu. Semoga Allah tidak menghukum Bapak Ibu gara-gara kelakuanku. Aku hanya ingin jadi anak Bapak Ibu yang sholeh. Aku juga ingin punya ruang belajar, jika gardu belajar terasa berolok-olok dan Pulau Kirrin jelas keterlaluan. Mammamia Spicy Chicken! Suatu seruan yang cukup pantas bagi Toserba Model [dengan bunyi "e" seperti pada "benar"] atau Agung Shop. Pernahkah? Aku hanya ingat alat-alat tulis di situ. Seperti Gardena, aku tidak akan pernah sanggup melepaskanmu, terlebih dengan solo gitar begitu.

Thursday, November 30, 2017

AFIL dan Administrative Law, Semoga Sumringah


Giselle, entri ini kutulis pada suatu Kamis di Semester Gasal alias Fall Semester 2017, jadi ini pasti tentang AFIL dan Administrative Law. Aku lupa bagaimana, yang jelas pagi ini aku sangat-sangat terlambat. Masing teringat olehku satu lift bersama Jonathan Edward. Anak-anak pagi ini semangat sekali diskusinya. Hampir semua berpartisipasi. Kelompoknya Rama Prima Prayoga presentasi hari ini, dan dia jauh lebih telat dari aku. Sudah begitu pakai memfoto belakangku lagi! Jika Faw saja kambing maka apa Rama ini? Semacam entah-entah jadi superhero yang mencium liontin kupu-kupu?


Setelahnya, kalau tidak salah ingat, aku memesan nasi Dilla, krecek, sawi putih, telur ceplok, bihun. Makan sambil memeriksa slides Local Governance, lalu pergi mengajar. Ada Bang Andri mau mengisi kelas pengganti. Mengajar, Ahmad Ramadinan kurang yakin bedanya desentralisasi dan dekonsentrasi. Mungkin benar kata Jay, anak-anak ini hanya terpaksa. Tidak ada yang benar-benar berminat dengan apa yang kukatakan. Atau tidak? Itukah sebabnya Jay, ah sudahlah. Benarkah, seperti kata Amar, aku tulus ikhlas, atau aku hanya menipu diri sendiri, sehingga sia-sia semua ini?

Seperti Bang Andri yang sangat bergairah dengan apa yang didalami, seakan aku benar-benar peduli apa yang diputuskan Artidjo Alkostar. Mana mau percaya aku pada orang yang membiarkan biografinya ditulis sedang ia masih hidup. [Bagaimana dengan Pak Teddy?] Kukatakan dengan pura-pura bersungguh-sungguh, mungkin Bang Andri harus menulis di koran tentangnya. Kukatakan juga Bang Andri jangan sampai membiarkan Dik Savit tenggelam dalam surat-surat dan nomor-nomornya sekali. Selebihnya adalah hujan sepanjang hari yang membuatku kebingungan mau makan apa.

Mengurus pengadaan, mencetak semua hasil terjemahan sampai seratus ribu lebih, lalu pulang. Sampai rumah tidak langsung shalat maghrib malah makan oncom goreng dua setengah dengan sambal kacangnya sekali. Menurunkan kasur untuk tidur kambing, malah aku yang tidur di situ malam ini. Ternyata Nexmedia sudah hidup lagi! Semua salurannya gratis selama empat bulan ke depan. Lewat jam delapan malah lapar, akhirnya nongkrong di tenda nasi goreng depan kompleks. Lumayan ramai malam ini, sampai sempat iseng buat instastory. Mie rebusnya juga dibuat status.

Segitu saja Kamisku. Jelaslah betapa ia membosankan dan melelahkan sekaligus. Beginilah selalu semester gasal, sampai di akhir tahun aku selalu kelelahan. Insya Allah tahun depan aku akan berganti rutinitas baru. Insya Allah jauh lebih menyenangkan dan menyehatkan lahir batin, meski setelah kukonversi ternyata sebelas duabelas dengan apa yang biasa kuterima di sini. Apakah cukup? Hanya berkah dariNya dan keberkahan atas apa yang dikaruniakan padaku yang dapat kupohon dan kupinta. Apa lagi? Banyak sedikit sama sekali tidak ada hubungannya dengan sedih dan gembira.

Entah berapa kali celengan garis harus ditukar di Indomaret. Entah berapa kali hanya itu yang ada dalam dompet. Sampai hari ini hanya begini-begini saja, di sekitar ini saja selalu. Sebenarnya kemarin-kemarin sempat terpikir membuat entri dengan judul Badai Cempaka, namun jadinya malah ini. Jadi memang tidak penting badaikah atau cerahkah, yang penting sumringah, dan sumarah! "Sesungguhnya cara hidup yang disukai Allah adalah berserah diri," pada kehendak dan ketentuanNya tentunya. Lalu apa yang menahanmu dari membersihkan diri? Segera setelah ini!

Mau sampai kapan begini? Tidak akan ada selesai-selesainya ini! Jangan kurang ajar dan "membiarkan" Allah mengambil tindakan padamu, Tolol! Bukan itu artinya berserah diri! Asaptaga, bertahun-tahun dan masih ini saja masalahmu. Sudah empatpuluh tahun lebih umurmu. Seperti deham-dehamnya desahan Johnny Guitar, kau harus menyelinap keluar beringsut-ingsut dari ini. Itu setidaknya jika ternyata mendobrak tidak sanggup. Hei, siapa tahu hari-harimu akan lebih semarak. Ah, sudah kucoba berulang kali. Coba lagi terus jangan pernah berhenti. Ingat selalu KeindahanNya!

Tuesday, October 31, 2017

Oktober, Mon Amour, Mengabahkan Abai-abai


Tanggal ini jatuh pada suatu Selasa, sehingga ini pasti semacam persiapan mengajar Wardat dan juga memesan gado-gado ditambah jus mangganya sekali. Ataukah ini sapo tahu asal-asalan dengan kimpul tahunya sekali? Semester gasal mungkin memang membuat kesehatan memburuk, entah dengan kesibukannya yang luar binasa, atau perasaan seperti memanfaatkan segala peluang untuk mendapatkan uang. Asaptaga, dengan Concerto de Aranjuez begini, terasa benar merananya. Mencari uang untuk apa, ketika kesukaan tinggal permen pedas dan susu kedelai sejuta dua juta buat apa?


Lantas ini Aria apa? Syukurlah satu-satunya Aria yang kuingat sekarang adalah Aria Sutjahja, meski ingatan itu kembali tepat ketika kumenuliskannya. Biarlah Aria ini saja yang mendesah mendeham-deham karena getaran bilah bambu. Biarlah aku bersenang-senang di Brasilia, meski dalam hidupku yang ini mungkin aku tidak akan pernah sampai ke sana. Untuk apa, apa faedahnya? Biarlah hatiku saja melonjak-lonjak kegirangan dalam gembiranya nada, meski menyimpan suatu ironi yang sukar dilukiskan kata-kata, karena melukis dengan cat, kuas dan pisau hanya untuk Belinda Rosalina.

Sedang bagiku cukuplah berdansa dengan Rumena, aduhai betapa cantiknya! Tanpa harus dirol atau pakai obat pengeriting, tebal mengombak rambutnya. Namun yang paling kusuka adalah bau puncak dahinya di mana bermula rambut indahnya. Lucu baunya, cantik ianya! Aku berdansa, meski harus kuakui seringkali menjengkelkan, berputar-putar dengannya. Namun begitulah Rumena. Nama apapun menjadi penting apabila hanya satu ia, dan itulah yang kaumiliki hanya satu-satunya. Kau jadi tidak peduli nama lain, apalagi sampai menginginkannya, untuk selama-lamanya.

Dan Rumena masih belum selesai juga, dengan akhir seperti birunya Sungai Januari. Sungai! Sungai! Jelas bukan Cikumpa, karena ini seharusnya besar dengan kapal uapnya sekali, dengan kincir pendorong di tiap sisi. Mi Amor! Asal jangan mis amores saja. Tidak hanya Paul Mauriat atau Francis Goya, kurasa Fausto Papetti pun seperti itu, membuat yang sudah indah menjadi lebih indah. Aslinya pasti tidaklah seindah ini, seperti pernah kudengar Maria Lo, amboi aduhai oleh Opa Fausto dibuat membelai telinga. Kemana perginya orang-orang ini, di tengah zaman genosida kreativitas ini?

Entah kemana! Meski dengan sintesaiser dan gitar listrik berefek, meski tidak seperti Paolo Mantovani. Keindahan adalah keindahan! Melembutkan jiwa, seperti jiwanya seorang Penggembala yang Kesepian. Pasti sekarang kausesali badan dan pikiranmu yang kotor 'kan? Pasti kau berharap seandainya tubuh dan jiwamu suci. Tolol hahaha mau sampai kapan tubuh-tubuh bertato menjalari punggung-punggung terjal bumi, semakin tandus dengan selera rendah kebendaan menjejali? Meski cantik bentuknya, meski mungkin membuat muntah apalagi baunya, memang bangkai sejati!

Uah, ini mulai terdengar seperti karya seni. Inilah prasasti modern. Jika dunia masih ada seribu tahun lagi, ia akan diungkap orang sebagai suatu arkeologi. Ahaha Si Tolol yang hanya karena secarik kertas merasa berharga bernilai tinggi. Tidakkah kau mulai merasa betapa hidupmu hampa heh, El Bimbo?! Dari kejauhan mereka cantik, namun begitu kausanding tiap hari, mereka terasa seperti nasi bungkus basi dari hari kemarin atau kemarinnya lagi. Ahaha akhirnya begini. Terlebih mengenai kesukaanmu, preferensimu, apakah dengan begitu terasa manis lagi harum baunya? Tentu tidak!

Akhirnya, memang tidak salah jika ada yang menyangka burung gereja lebih asyik daripada keong. Mereka yang menyangka terbang melayang di awang-awang lebih mengasyikkan daripada menyeret perut di atas lendir sendiri beringsut-ingsut, memang tidak bisa disalahkan. Kemungkinan besar mereka tidak pernah bisa terbang, karena duduk di kursi sambil berharap sekejap keindahan bukanlah terbang itu sendiri. Kemungkinan mereka tahu perut sendiri, dan pasti mereka pernah ingusan, Emmanuelle. Jadi maafkanlah laki-laki gendut bertetek menjijikkan, bertopeng pula. Maafkanlah.

Saturday, September 30, 2017

Suatu Entri Retroaktif Mengenai September


Sedang ditemani keabadian begini, aku harus bersikap seolah-olah waktu membeku di sekitarku. Bukan retroaksi benar, hanya penayangannya, karena kuniatkan ini untuk semua saja September yang pernah kulalui, atau September-september yang akan kulalui. Keceriaannya, seakan milik kita bersama. Uah, sudah lama otak ini tidak dipaksa ngomyang begini rupa. Sampai lupa aku berapa baris seharusnya satu alinea. Ya sudah mari dikira-kira saja. Bahkan membayangkan saja sekarang terasa menakutkan, mendekati jam sembilan malam begini masih di Mertoyudan? Tak usah.


Kenangan masa muda sudah tiada berguna. Khayalan masa depan tiada berdaya. Akankah berhasil kuselesaikan agak enam baris dikali tujuh alinea ini, aku tidak tahu. Begitu saja setelah sekian lama aku melakukannya lagi. Begitu banyak perubahan yang telah terjadi, namun juga begitu sedikit. Ini jelas bukan hikayat mengenai Sukab apalagi legenda. Tetap saja entri yang ditulis segenap hati mengundang seulas senyum di bibir penulisnya sendiri. Memang hanya itu gunanya, sebagaimana diniatkan. Begini inilah kebahagiaanku, karena bayang-bayang malam selalu membuatku sendu.

Inikah yang dimaksud malam-malam berkepulnya asap Minak Djinggo yang terbuat oleh Nojorono? Sampai begini sajakah? Memang edan jika kau mengharap akan sampai kemanapun tanpa pernah ada hasrat melangkahkan kaki. Ini seperti malam-malam temaram, sedangkan gerimis mengerukup bak tabir malam. Aku memang belum pernah punya rumah mewah, mepet sawah. Binatang malam entah kodok, entah katak, entah serangga cerewet meramaikan malam. Ataukah ini malam-malam pelabuhan peti kemas yang menyeramkan, tapi kalah seram dengan suramnya masa depan?

Sudah begitu saja segala jenis dan merek rokok berganti-ganti, lalu minuman keras? Sampai di sini saja? Untuk apa? Entri ini, untuk apa, sedangkan masih harus membuat yang seperti ini setidaknya satu lagi. Sedangkan masih harus membuat tiga lagi setidaknya seperti ini? Atau malam-malam di ketinggian lantai empat Gedung D FHUI. Jika tidur sendiri terkadang terasa aduhai juga. Namun setidaknya ketika itu masih sanggup mandi dengan air dingin. Pernah juga memaksakan merokok Gudang Garam Filter sampai sakitnya aduhai, sampai muntah sekali. Pada waktu itu, masih juga.

Sesaset Jahe Wangi yang benar-benar wangi di ruang pojokan itu, di bawah tangga. Jauh lebih baik keadaannya dahulu daripada kini. Jahe Wanginya boleh beli di Alfamart Psiko. Mbak-mbaknya masih yang dulu juga, sampai saat terakhir kadang masih terlihat. Sampai ada Bakwan Halim, yang jual bapak-bapak ikhwan tapi musiknya metal. Aku tidak ingat hujan. Lagipula buat apa hujan-hujan ke situ? Lalu ada juga mandi setelah itu tidak handukan sebelum ke Dokter Pachry yang melakukan praktek medischine. Astaga ini anakronis! Buat apa ini semua, untuk tobat jelas tidak. Lantas apa?

Ah, justru di akhir-akhir begini akhirnya ingat September buat apa. Tentu saja buat sahur. Tentu saja untuk manisan cumi kering yang asin bukan kepalang. Tentu saja mengenai suatu episode surealis dalam hidupku. Ataukah jaga serambi sedangkan membaca shalawat munjiyah ketika aku berpikir bisa menjadi prajurit taruna terbaik, seperti ketika aku menyangka bisa kumlot? Monalisa, Monalisa, anak yang manis, September adalah suatu malam ketika bahkan masih sempat membeli martabak padahal sudah mulas. Apakah ketika itu bertemu Bang Fajar Tjahjanto yang sedang membeli susu?

Apakah ketika itu bersama Kita-nya Sheila on Seven dan Dian Sastro yang kupingnya besar? Berapa banyak September harus kuingat, berapa lagi yang kulupakan, seperti tarian di Hotel Kalifornia? Nah, nah, entri ini mendekati akhirnya. Ia harus berakhir dengan... manis? Mendesah? Seperti seribu kunang-kunang di Manhattan, maupun Amsterdam kurasa sama saja akhirnya. Sungguh terasa aneh seperti ini, terasa seperti suatu kemunduran. Terasa seperti sebentuk senyum yang aduhai mana tahan. Kutahankan saja. Aku tidak mau begitu. Aku tidak tahu kemana ini akan membawaku, tapi jangan...

Sunday, August 13, 2017

Sekujur Bangkai Terbujur di Lantai. Mau Santai?


Apa lagi yang dapat diharap dari pagi hari yang berselimut awan menyeluruh, sedang bulatan matahari mengintip sendu dari baliknya, kecuali sebungkus nasi kuning lengkap dengan bihun goreng dan kering tempenya sekali, belum lagi tahu semur, tahu balado, masih telur dadar pula. Sensasi mengapung di awan-awan masih saja mempesonaku, kecantikannya, sedang teh Sari Wangi dengan aromanya yang bersahaja mendampingi. Dengan suasana hati seperti ini, anak siapapun akan kubelikan bubur ayam Baktai' lengkap dengan risoles Wolesnya, meski tidak ada sate ususnya; tidak peduli apakah ia nyantri di Bina Kheir dan tidak pernah kelihatan meski sebesar kambing balap, meski pulang setiap hari.
Tahukah kau bahwa mengetiki begini sama asyiknya dengan membimbing bangsa-bangsa, Iroquois, Brazil dan mungkin Amerika mencapai puncak kejayaan, meski itu diukur dari didengarkannya musik pop dan dikenakannya celana jeans oleh seluruh bangsa lainnya? [...kau, sama dengan selebihnya, tidak mau tahu juga?] Ya, aku memang hanya mencari keasyikanku sendiri. Ini memang onani, jika kau tanya. Aku tidak tahu siapa yang berperilaku menyimpang, akukah yang onani di muka umum, engkaukah yang menontonku onani di muka umum. Aku tidak akan membela diri atau kelakuan menyimpang yang manapun. Sebagai pengajar Hukum Adat, aku setuju dengan kelumrahan. Semua orang harus hidup lumrah.

Namun dalam jaman hidup serba mudah begini, seperti apakah hidup yang lumrah itu? Lungkrah di tengah jalan gara-gara gaya hidup yang tidak sehat? [naudzubillah] Seandainya aku tidak diapungkan di awan-awan oleh kecantikan ini, aku tidak tahu lagi, ketika gadis-gadis cilik yang manis-manis mencoba menghalangi jalanku dengan tangan-tangan mungil mereka terentang. Aku hanya bisa mengingatkan mereka akan bahayanya sambil berusaha membuatnya terlihat selucu mungkin. Memang tawa-tawa menggemaskan mereka lepas, namun sama sekali tidak mengurangi kegetirannya. Alisa Achmad berdoa membesarkan Billy menjadi perempuan yang shalihah, istri yang bagaimana, ibu yang bagaimana... kuaminkan. Amin.

Di jaman ketika orang masih saja terpesona oleh retorika, onomatop pun harus beringsut-ingsut ke tepi panggung yang tidak kena pencahayaan sama sekali. Sama seperti kedasih dan nama segala macam pohon, daun, buah, dalam hal ini termasuk pulau atau garis Wallace atau Weber sekalipun, semua saja harus minggir. Ini jaman retorika-retorika pendek yang viral! Asepteven! Orang-orang ini sudah sedemikian getirnyakah sampai memutuskan bersahabat dengan virus? Tidak ada yang baru dengan semua ini, setidaknya sejak 1993 Kurt Cobain sudah menjadikan virus semacam peliharaan, meski ia merancukannya dengan diri sendiri. Gaya hidupnya yang sama sekali tidak sehat memang berujung pada keputusan mengambil nyawa sendiri.

Demi jiwa dan penyempurnaannya, maka diilhamkan kefasikan dan ketakwaan. (QS 98: 7-8) Jangan menjadi jabariyah! Jangan mengatakan "dipaksa oleh takdir"! Tidak begitu cara memahami konsep "papan yang terpelihara"! (Ustadz Abdul Somad) Ini lagi Yani Osmawati sedih karena Chester, seperti Denny "Kencong" al-Hamzah sedih karena Kurt. Apa Yani, seperti Kencong ingin menggantikan Kurt, juga memutuskan untuk menggantikan Chester? Untunglah aku lebih Paul daripada John, dan Paul entah bagaimana panjang betul umurnya. Apa yang akan kulakukan jika sudah begini? Mendoakan kedua orangtuaku panjang umur, sedangkan umurnya selalu dipenuhi rahmat dan berkatNya?

Memang hanya ini motivasiku, mau diukur dengan alat apapun, semoga alatnya mampu mendeteksinya, dan semoga itulah yang mereka cari. Aku begini karena ditempa oleh orangtuaku, Bapak dan Ibu. Sekarang aku tidak boleh menempa apapun? Sekarang kepadaku tiba-tiba dihadapkan manusia-manusia di ambang hidup dewasanya, apa yang dapat kulakukan? Mendidik? Mengajari? Mengilhami? Menghamili? Hanya satu, akhirnya bagiku, penjelasan mengapa harus ada laki-laki dan perempuan. Tanda Maha Suci, Maha Terpuji, Maha Esa dan Maha BesarNya. Sudah. Sebagaimana semua otot polos yang menyusun manusia laki-laki maupun perempuan, seperti itu juga seharusnya mereka mensucikanNya, memujiNya, mengesakanNya, mengakui KebesaranNya!

Ustadz Abdul Somad saja malu dengan bangkainya yang cuma setengah kuintal, makanan cacing tanah, katanya. Lhah, aku masih lebih tiga puluh kilogram lebih dari beliau, astaghfirullah. Bangkai, karena seringnya memang bau. Mau dimandikan, mau diberi bedak minyak wangi, mau diberi pakaian habis dicuci dengan pewangi sekali, lama-lama juga bau. Astaghfirullah. Bangkai ini, yang kadang masih terpesona oleh bangkai lainnya, sesungguhnya kelihatan hidup semata-mata karena Kehendak dan Kuasa Sang Hidup, astaghfirullah. Lalu apa? Masih menghadapi hidup ini dengan nggresula? Bangkai koq merajuk! Secantik apapun bangkai, sejatinya bangkai, mau Marilyn Monroe atau tikus comberan dan terutama aku sendiri.

Monday, August 07, 2017

Terumbu Ngarang Mengapa Selalu Saja Terjadi?


Ini suatu judul tolol yang kurang lebih sama dengan "suatu kemampusan"-nya Sugiharto "Jakru" Nasrun ketika dia sedang mengendap-endap mengintai hantu, sementara tikus besar begitu saja nyelonong ke dalam kamar sampahnya. Segala puji memang hanya bagiNya yang mengaruniakan rasa riang dalam hati hambaNya melalui kenangan-kenangan kecil. Biasanya, setelah mengenang begini, aku akan segera terlempar kembali ke kekinian. "Apa jadinya Si Kampret satu itu?" Baguslah ia sudah tidak menjadi bagian dari hidupku. Cukuplah ia menjadi bagian dari salah satu episode hidupku yang... telah lampau. Begitu saja? Tidak mau kaukomentari lebih jauh? Tidak 'lah.


Akan tetapi, ini adalah entri mengenai terumbu. Berapa kali ia terjadi dalam hidupku? Tentu saja terumbu karang bahkan yang sehat segar bugar tidak akan sanggup melukaiku, apalagi yang sudah mengalami keputihan husy... pemutihan gara-gara air laut terlalu panas. Terlebih setelah aku setua ini, apa peduliku pada terumbu karang, ketika aku sudah punya segalanya. Namun, namanya terumbu karang memang selalu dan selalu saja terjadi. Menjengkelkan memang. Terkadang penyebabnya adalah hal-hal terakhir yang mungkin terpikir olehmu bisa menyebabkannya. Namanya juga karang, seringnya tajam. Terkadang menyayat, pedih sebentar. Jengkelnya itu loh yang terkadang lama.

Sebelum lanjut ke jenis terumbu yang lebih berbahaya lagi, ada baiknya aku mengucap syukur atas satu lagi kecantikan yang dikaruniakanNya dalam hidupku. Betapa tidak terduga-duga! Datangnya, bentuknya, suasananya. Aku mengapung di awan-awan, sedang manisnya madu yang seakan menetes dari guagarba perawan kucucupi. Ini terasa seperti riangnya kesunyian kelap-kelip gemintang di kesenyapan malam, keberadaanku, cintaku. Aku memejamkan mata dalam posisi duduk, nyaman sikuku menyangga badan bagian atas. Kecantikan itu menjalar-jalar mengelus alam pikiranku seperti jari-jemari lentik kekasih merayapi tubuh telanjang, menggelinjang. Haruskah kusesali pandang yang kucuri, atau haruskah kujalani hidup merindu dendam seperti Adso dari Melk?

Ini, bagaimanapun, adalah entri mengenai terumbu. Untunglah kecantikan di awan-awan itu tidak berterumbu, seperti di tepi laut berpasir putih; karena ada satu lagi jenis terumbu yang lebih berbahaya, yakni terumbu buta! Hiy, disayat dan disayat berulang-ulang, padahal satu sayatan rasanya seperti Khusus yang mencengkeram lengan bawahmu dengan gigi-geliginya, tepat di antara radius dan ulna. Berdebar-debar itu pasti, sudah itu lemas. Sakitnya sudah tidak terpikirkan, hanya keterkejutan yang menghisap segala tenaga. Ini lagi. Ini pahit. Ini sakit. Ini bahkan lebih parah dari terumbu buta. Uah, hidup di dunia, mengapa penuh kesakitan? Mengapa selalu saja menyakiti?

Sedang Bapak Ibu memandangiku dari tepi sebuah fjord di Tønsberg dari sepuluh tahun yang lalu, aku terheran-heran mengapa nyaris tidak mengenali beberapa malam yang mempesona. Beberapa dakian dan tukikan melodinya masih dapat kukenali, namun mungkin inilah keajaiban aransemen dan rendisi. Garfunkel atau Mantovani? Dua-duanya mungkin akan kusuka, meski dalam hal Garfunkel bagaimanapun harus kuakui keajaiban permainan panjang. (longplay) Jika tidak dalam serangkaian longplay, mungkin tidak akan terasa seperti keajaiban. Inilah Bukulagu Akbar Amerika, yang sekaligus membuktikan bahwa keburukan tidak mungkin dilekatkan secara kolektif pada suatu kumpulan orang.

Nah, kebetulan bicara mengenai sekumpulan orang, mengapa tidak diungkap di sini? Nyaris saja aku menuliskannya sebagai sebuah status pesbuk. Untung tidak jadi, karena Donbangi Dontiba juga menulis status tentangnya. Sejujurnya, ukurannya memang lebay dan ngeselin; meski tidak lebih dari mesjid kubah emas. Uah, aku, seperti Bapakku, memang tidak pernah tahan melihat perlakuan yang tidak adil. Begini saja deh, jika mesjid kubah emas saja bisa kutolerir, maka patung Kongco Kwan Sing Tee Koen pun harus ditolerir. Itu dia masalahku. Orang-orang yang mungkin merayakan mesjid kubah emas lantas ingin merubuhkan patung Kongco, ya kurasa wajar saja. Jangan-jangan pemrakarsa patung Kongco pun terinspirasi mesjid kubah emas.

Ini apa lagi ngomyang tentang Kongco kubah emas. [ngomong-ngomong Kongco artinya apa, sih?] Sudah, mari fokus pada masalah terumbu ini saja. Mungkin ini bukan masalah terumbu benar. Jangan-jangan ini hasrat yang terpendam. Tidakkah yang seperti ini sudah terlalu sering terjadi? Tidakkah hidup sekadar susah berganti senang, sedih berganti gembira, begitu saja seterusnya? Sudah cukup 'lah itu. Tidak perlu lagi ditambah-tambah dengan yang lainnya. Jika mau pun ditambah, tambahlah dengan yang menyenangkan, menggembirakan, menyamankan. Kenyamanan seperti sore hari di tengah padang rumput, angin semilir menyegarkan sementara matahari membelaikan kelembutan sinarnya sebelum tenggelam. Seperti itulah.

Jika pun mau ditambah lagi, keindahan. Jatuh cinta, dimabuk cinta. Aduh, ini mungkin memang indah, namun tidak menyenangkan. Jatuh, mabuk, sakit semua tauk. Kurasa rata-rata manusia memang masokis ketika mereka sengaja mencari sensasi dimabuk cinta sampai jatuh, terkapar atau bertekuk lutut sedangkan senyum mengembang selebar mulut selebar pipi. Bahkan kurasa kakek-nenek tua-renta pun suka pada sensasinya. Bahkan ketika yang begitu orang-orang muda, pasti tetap mengembang senyum mereka, meski ompong, meski peyot kempot pipi-pipinya. Di dunia yang penuh dengan orang-orang luar biasa, aku bersyukur mereka saling jatuh cinta.

Sunday, August 06, 2017

Bergandengan Mendaki Bersama. Memetik Bintang


Kemarin sempat terpikir untuk mengulas Buku Kafe. Bukan yang setelah pindah ke sebuah ruko, ya, melainkan yang masih di tempat yang sekarang jadi Surabi Bandung. Namun segera kusadari yang seperti itu sebenarnya adalah cara ar-Rahman membahagiakanku, menjawab doaku akan rasa nyaman. Segala puji memang hanya pantas untukMu, Illahi Rabbi. Mungkin perlu juga dicatat di sini, Alhamdulillah, malam tadi aku mendapat tidak satu, tidak dua, tetapi TIGA berita baik! Meski harus segera disusulkan di sini, berita baik seperti itu mungkin memang selalu datang pada jam setengah sembilan malam ketika badanku sudah siap tidur. Apapun itu, tetap saja tiga berita baik berturut-turut adalah rahmat karuniaNya.

Lantas, nikmatNya yang mana lagi yang akan kudustakan sedang aku merasa nyaman begini di Minggu pagi yang cerah, sedang aku menikmati secangkir 175 ml minuman kental berbadan penuh, sedang aku seakan duduk di nyamannya kursi beribu-ribu kaki di atas awan. Meski mungkin harus kususulkan di sini, aku harus berhati-hati menggunakan efek amplify di Audacity karena bisa merusak kesinkronan kanan-kiri stereonya. Tidak terlalu mengganggu, sih. Justru terdengar seperti gaung. Sudah dua minggu berlalu, rundungan ini kian pudar dan pudar, menyisakan hanya melodi cantik yang memang cantik. Aku memang tidak tahu bedanya manis dan cantik, meski manis memang bukan definisi yang tepat untuk Cantik.

Apa yang harus kulakukan? Bertahun-tahun ia merundungku, tahun-tahun yang oh mengapa harus kualami. Entah mengapa pagi ini aku terdorong membaca kata pengantar skripsi Aldamayo Panjaitan. 'Do, kau membuatku sedih pagi-pagi yang seharusnya ceria begini. Mungkin kau pun mengalami kesedihanmu sendiri, seperti seekor kamblap dan serangga di belakangku ini. Aku pun begitu. Apa yang kau tuliskan mengenai Marry tidak mengejutkanku. Memang begitulah seharusnya seorang impostor John Lennon. Aku baru sadar kita tidak begitu akrab bahkan ketika sering bersama dahulu. Semoga kau tidak mengalami apa yang aku dan orangtuamu alami. Jika itu menyakitimu, percayalah, kami pun sakit. Mungkin lebih.

Uah, aku tidak pernah membayangkan diriku seperti ini. [benarkah?] Ya, aku memang terpesona oleh Paman Karol, namun aku tidak ingat sejak kapan tepatnya. Apa benar aku ingin menjadi sepertinya? Tidakkah aku juga terpesona oleh Sengkuni yang dipanggil 'Man oleh ponakan-ponakannya? Tiap mengingat ini, aku jadi ingat tahun-tahun sebelum menjadi dosen. Aku sudah bergentayangan di FHUI seperti selalu kulakukan dalam sebagian besar hidup dewasaku. Namun tidak ada yang mengenaliku. Tidak Mega Hapsari Ramadhani. Tidak Eka Septiana. Tidak Fika Fawzia. Tidak ada yang tahu siapa aku. Aku tidak ubahnya Pak Mawi, Pak Salim, bahkan Pak Ronny, atau setidaknya begitulah yang ingin kupercaya.

Dan minuman kental berkrimer setelah ketupat sayur bersantan mungkin bukan ide yang terlalu baik! Apakah mengetiki ide yang lebih baik? Tidak. Tidak pernah. Kapan aku mulai AFIL? Apalagi asas-asas hukum perikanan Indonesia, apalagi koperasi. Ya, kurasa aku memang sedang jadi limbuk anak cangik. Berita baik akankah bertubi-tubi? Wallahua'lam. Belum lagi Takwa. Apa yang harus kulakukan? Aku bisa apa? Ini semua hanya bisa diadukan padaNya, bukan diketiki begini. Selain diadukan, tentu dikerjakan. Dibicarakan terlebih dulu atau tidak? Ya, Allah, sungguh hamba lemah tidak berdaya, sedang tiada daya tiada pula upaya kecuali denganMu Yang Maha Tinggi lagi Mulia. Bebaskanlah hamba dari kefakiran dan utang.

Illahi Rabbi, begitu banyak yang berkecamuk dalam hati dan pikiran, yang memang tidak pernah bisa reda dengan comak-camuk. Waktu masih lebih muda, ini setidaknya bisa membuat lupa. Sekarang, dua-duanya jangan. Yang pertama mau bagaimana lagi, yang kedua harus dihindari. Itulah maka kuambil lagi secangkir air panas. Entah apa khasiatnya, tapi semoga berkhasiat, sedang peluang-peluang diteriakkan oleh Pakde Russel dari masa kecilku. Dari impian yang hancur berkeping-keping, tidak seperti itu ternyata kejadiannya. Tidak pernah tepat seperti itu. Namun aku nyaman dengan Cantik, setidaknya karena dia gibisy. [apa begitu ejaannya?] Adakah cintanya membantuku membuka sebuah pintu? Setidaknya ia satu-satunya temanku kini.

Berbinar-binar di matanya, uah, memang tidak pernah gagal melodi ini. Soft rock bukan slow rock. Ya, aku sudah menduga dari dulu slow rock itu semacam kampungan. Semacam Inggris gagal. Pagi ini, rasanya aku mendapatkan tambahan semangat. Pagi ini, rasanya aku jauh lebih muda, lebih sanggup berharap-harap. Apakah aku masih sanggup menghadapi kegagalan? Beberapa orang mungkin mengganggap kegagalan yang pernah kualami cukup menakutkan, dan bahwa keadaanku sekarang adalah kebangkitan darinya. Sejujurnya, aku sendiri takut. Aku hanya bisa merasa senang. Kuat? Tabah? Apa masih sanggup? Endurance, kata dr. Sukamto, dan ini bisa dan harus dilatih. Chotto matte kudasai! [lho?] eh... Banzai!

Friday, August 04, 2017

Makan Jorji-porji di Kedai Nasi Ibu Toto


Bukan cuma aku kelingan kowe yang pernah merundungku, Roxann [tanpa "e"] juga pernah berhari-hari. Uah, memang tidak enak dirundung apapun. Dirubung, enak? Engga. Gara-gara lihat Warung Makan Ibu Ning di Gang Bhakti pagi ini, aku jadi ingat Kedai Nasi Ibu Toto. Adakah hidangannya yang terkenang? Tidak. Hanya saja, Ibu Toto selalu menghidangkan air es satu botol penuh bagi siapapun yang makan di sana. Bagi bocah baru lulus SD yang seperti itu mungkin mantap. Umur 40an begini, membayangkan minum air es sebotol rasanya ngilu. Maka itu aku minum segelas Nescafe 75 Soyfresh rasa coklat Belgia yang dipanaskan dulu di magnetron, bahkan masih disusul air panas sebanyak itu lagi.


Ada kalanya aku ingin minum sesuatu yang kental dan berbadan penuh. Inilah mungkin sebabnya terkadang aku tergoda oleh [saset-sa]setan. Kapan terakhir kali aku minum kopi yang benar-benar hitam? Entah. Lupa. Namun jangankan kopi hitam apalagi espresso ganda, seringkali tidak ngapa-ngapain aja jantungku terasa berdentam-dentam. Gaya hidupku memang tidak aktif. Kemarin sempat agak semingguan tiap pagi habis shubuh jalan pensiunan, namun berhenti lagi. Insya Allah dibiasakan lagi, seperti terbiasanya lima waktu dan kalau sampai tidak atau terlewat rasanya sungguh tidak nyaman di hati. Insya Allah akan bisa begitu. Insya Allah demikianlah cara agar jangan berdentam-dentam. Cukup berdenyut-denyut, mengangguk-angguk.

Sudah itu berseru trilili atau tralala sekali, agar tidak jadi rayap atau gendonnya sekali. Sebelum ini aku sempat ingin mendengar Barry Manilow. Seketika itu pula aku ingat kalau dia pelaku liwath. Aku sempat menelusur berita mengenainya, dan seketika itu pula aku merasa tidak ingin mendengarnya lagi. Kuganti Kenny Rogers. Apa ia yang kawin cerai sampai lima kali lebih baik? Entah. Apakah ini tandanya aku patriarkis? Tidak 'lah. Apa perasaanku terhadap pelaku liwath? Sejujurnya, seperti halnya melihat binatang qurban, aku merasa sedih. Betapatah tidak sedih melihat sesuatu yang sudah pasti mati? Terapi kejiwaan termasuk siraman rohani sebanyak-banyaknya, begitu usul seseorang. Mungkin ini yang benar.

Aku sudah pernah menulis mengenai hal ini. Aku menyebutnya "Mandala Agraria." Ini Jumat mulia. Buat apa membicarakan liwath? Aku berlindung dan memohon perlindungan padaMu bagi orang-orang yang kusayangi dari yang seperti itu, Ya Allah. Pagi ini Cantik pergi ke RSUD Pasar Rebo mengurus surat keterangan sehat jasmani rohani bebas narkoba, untuk mengurus NIDK. Alhamdulillah. Tahun lalu aku. Tahun ini Cantik. Apa yang ada di depanku? Aku ingin travelling, kataku tadi pagi pada Cantik. Frontpacking tapi, tidak backpacking, dari Mina lalu ke Arafah dan seterusnya itu. Aamiin, kata Cantik. Ya, itu yang ada di depanku. Insya Allah lima-limanya harus lengkap. Aamiin. Bapakku saja Haji Mahmud masa aku tidak.

Jadi jorji-porji itu makanan apa sebenarnya? Semacam pai puding begitu? Pai buah yang ada puding-pudingnya begitu? Uah, dari jaman SMA aku tidak pernah suka, meski kadang kumakan juga. Kasihan, padahal membuatnya pasti sulit. Jauh lebih sulit dari lemper atau sosis solo sekalipun, atau skutel tahu. Nah, ini enak. Krekers lapis isi ragu? Ini kenapa jadi makanan begini, sedang kemarin aku mengusulkan Pondok Laras sebagai konsumsi rapat, sebagai pengganti usul John Gunadi makan Sasari. Bu Rina, Mbak Lela, bahkan Mbak Yem aku tahu namanya. Sasari aku tidak pernah tahu, apalagi Padaringan. Pak Jay, tidak enak sebenarnya. Oskar! Mun tahu, angsiu tahu, apa lagi? Tahu tok pikirannya! Iyan apa kabarnya...

Aku ada janji dengan cukup banyak mahasiswa sebenarnya pagi ini. Setidaknya dengan Asepteven yang namanya sering kuserukan, aku berjanji membicarakan masalah negara jaga malam. Namun karena pagi ini sudah ke terminal, aku jadi malas buru-buru ke kampus. Jadilah aku mengetiki, menggelitiki di rumah yang kembali kacau-balau ini. Setelah Jay Graydon lalu Barry Manilow sebentar, Kenny Rogers sempat beberapa lagu, aku kembali kelingan kowe, 'Nduk. Memang tidak akan ada habis-habisnya jika begini, meski aku merasa sudah mulai bosan. Gila apa, sudah hampir seminggu penuh begini. Takkan kubiarkan yang seperti ini merundungku terlalu lama! Secantik apapun, semanis apapun engkau, sudah cukup sampai minggu ini saja!

Siap ini, masak air. Aku jadi malas beres-beres jika sudah parah begini, dan yang membuat parah tidak lain serangga anak serangga yang satu itu juga. [biangnya juga 'sih] Kemarin-kemarin upaya terbesar adalah mengangkat kasur pegas, sekarang upayaku harus satu rumah 50 m2, edan apa? Betapatah aku tidak kelingan kowe, 'Nduk? Aku tahu pasti kau hanya ada dalam khayalanku. Lebih tepatnya, kau sebenarnya adalah aku sendiri, khayalanku sendiri. Kau tidak ada, jika itu artinya seseorang. Aku memang selalu hanya mencintai diriku sendiri. Bukan berarti aku tidak bisa sayang. Insya Allah, aku penyayang. Hei, pada luwing saja aku sayang. Namun, untuk menjaga kewarasan, seringkali aku terpaksa harus menyayangi diriku sendiri.

Kucium Kau, Kubuat Menangis

Wednesday, August 02, 2017

Malam Ketika Musang Menangis 2017


Kuharap akan tiba saatnya aku membaca lagi entri ini, dan dua sebelumnya, sedang hatiku terasa hangat dan nyaman, sedang aku merindukan tangisan musang karena sudah agak berapa lama tidak mendengarnya. Adri mungkin ingin tahu kenapa aku sampai hati mempertontonkan kekacauanku seperti ini. Ia menyimpulkan, mungkin, ketika aku sedang berada dalam "limbo" maka aku begini. Limbo? Waktu ketika skripsi sudah jadi dan menunggu sidang? Mungkin juga. Aku memang berada dalam keadaan yang kurang lebih mirip. Sejujurnya aku tidak pernah memperhatikan bilamana aku mengetiki. Aku menulisi. Aku menelanjangi.


Malam ini musang menangis, bahkan sepulangku dari membeli kwetiauw rebus ia masih menangis, meski sekarang ini dia sudah diam. Sudah sampaikah hajatnya? Bagaimana denganku? Sebagaimana dua tahun lalu, udara malam ini pun terasa hangat, seperti ketika musang menangis. Kemarau mungkin waktu yang tepat untuk beranak dan membesarkan anak musang. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya bayi-bayi musang jika sepanjang hari hujan, berhari-hari. Mereka pasti kedinginan. Mereka bisa mati. Begitulah musang sepanjang hidupnya hanya menyucikanNya. Kurasa hanya namaNya saja yang merundung hidupnya.

Sedangkan aku, sampai harus memutar daftarmainku yang lain agar beberapa malam ketika Art Garfunkel terpesona berhenti merundungku. Betapa mengerikannya menjadi manusia! Beberapa saat ini kusadari betapa shalatku sangat asal-asalan. Ketika shalat anganku ke mana-mana. Apa harus "mengaji" lagi pada Ustadz Abbas Mansur Tamam, syukur-syukur bisa seakan melihat Allah dalam shalat? Kemarin malam saja aku serasa sudah siap "mengaji" al-Asma' al-Husna pada Ustadz Quraish Shihab, tapi kugeletakkan saja ia di meja beranda sedang aku mainan entah medsos entah yutub. Apa karena aku sedang berada dalam limbo?

Uah, Si Tolol ini menyalahkan selain dirinya lagi! Tidakkah seharusnya dalam keadaan seperti ini justru kau berusaha mendekat? Aku masih ingat, menghadap jendela yang kubobok sendiri, aku Yasinan Fadhilah. Aku lupa apakah ketika itu aku berharap-harap seperti ini atau malah acuh tak acuh. Tidak ada gunanya pula kuingat-ingat. Ini benar-benar limbo. Limbo 'tuh sebenarnya apa sih, 'Dri? Aku ingat Togar juga beberapa kali menggunakan istilah ini. Mengapa aku tidak pernah tertarik? Ya, aku menunggu. Aku harap-harap cemas. Aku gelisah. Daripada limbo, Limbuk, sebagai anaknya Cangik, lebih akrab terdengar, meski aku tidak mau.

Terlebih lagi Bilung, akrab sekali. Apakah ada hubungannya dengan Tungbilung Thet-thuwet aku tidak tahu pasti. Ini hari-hari memasuki kemarau. Tidak kemarau, tidak penghujan, si tukang meniup-niup terus saja meniup-niup ke dalam dada manusia, meniupkan was-was. Hamba berlindung kepada Allah darinya. Kata Cak Nun, cara masuk surga macam-macam. Ada yang sepanjang hidupnya gagal terus, Allah kasihan padanya dan memasukkannya ke surga. Ada yang karena saking polos dan lugunya berhati-hati terus sepanjang hidupnya, masuk surga. Ada yang ikhlas terus kepada istrinya, masuk surga. Kurang-lebih begitu juga pandangan Habib Quraish Shihab. Kasih-sayang Allah mendahului murkaNya.

Kembali mengenai tangisan musang, bagaimanapun ia adalah kenangan manis. Jangankan entah suatu saat nanti kelak di kemudian hari. Sekarang saja ia sudah manis. Ia kenangan akan kemurahanNya. PerlindunganNya. PertolonganNya. Tangisan musang adalah tangisan kesederhanaan. Ia menguarkan aroma ketundukan, kepasrahan yang proaktif, bebas dengan cara mengikatkan diri. Tangisan musang adalah tangisan kerinduan, seperti rindunya cinta pada Cinta, rindunya setitik air mata yang menetes di mata air pada lautan samudera. Tangisan musang mengilhamkan keakraban, kehangatan bertetangga, celoteh riang Istri tersayang dengan saudari-saudarinya sebelah dan sebelah rumah.

Ya, Allah Rabb hamba, demi KekuasaanMu yang meliputi segala sesuatu, izinkanlah hamba membaca lagi entri ini pada suatu hari kelak yang penuh diliputi keselamatan, kesejahteraan dan kebaikan dalam menjalani hidup dunia akhirat; kenyamanan, kehangatan, sehat segar bugar jasmani rohani, sedang hamba mereguk ilmu-ilmu yang bermanfaat dunia akhirat, sedang apapun yang Engkau karuniakan pada hamba mendatangkan berkah dan berkah belaka, bahkan Engkau memandang ridha pada hamba. Maha Suci Engkau, segala puji hanya patut bagi Engkau, tiada sesembahan yang patut disembah, patut ditakuti, patut dijadikan tempat bergantung kecuali Engkau, Mahabesar Engkau, Allah Rabb hamba.

Tuesday, August 01, 2017

Apa Yang Akan Kulakukan? [dengan Tahi Macan]


Jika dirasa-rasa, pengalamanku berwisata ke Solo tempo hari itu sesungguhnya menyenangkan. Serba gratis, dibayar lagi; karena hal-hal terbaik di dunia ini adalah yang gratis. Betapa tidak? Aku berkenalan dengan beberapa malam ketika Arthur Garfunkel terpesona, ketika itu. [...dan memang mempesona] Kurasa aku suka suasananya. Jika agak lebih lama sedikit mungkin juga tidak apa-apa, terlebih jika bisa sambil menunggu bubur ayam seperti ini. Hidupku memang selalu sepi, dan aku tidak bisa dan tidak boleh mengandalkannya; karena aku tolol. Akan selalu ada waktu-waktu di mana aku berusaha memecah kesepian itu, dan pasti berakhir konyol [awas jangan diganti "t"] untukku.

"Kurasa seperti inilah bentuknya tahi macan," kataku pada diri sendiri, "ada sungutnya."
Bubur ayam setelah nasi kuning berminyak bekas kemarin mungkin memang berlebihan. Namun jika itu berarti lengkapnya beberapa malam ketika Art Garfunkel terpesona, kurasa sepadan. Pesona yang harus diselimuti tabir kabut tipis selendang sutra putih, atau lembayung boleh juga; karena aku bisanya hanya ini. Sedang hidup sehari-hariku seperti itu. Seperti kembalinya aku pada kenyataan hidupku yang tiada arti. Seandainya aku bisa melolong, mungkin akan kulakukan saat ini juga. Meski aku lebih suka dicabik-cabik harimau daripada dibelai-belai oleh seorang anak perempuan, apalagi kakek-kakek. Karena aku anjing yang serigala begitu hahaha.

Lantas mengapa tidak melolong? Pertama, aku bukan anjing sebenarnya, apalagi serigala. Kedua, masa ada Tyra Banks melolong? Seberapa banyak sakit yang dapat dikurangi dengan meracau aku tidak peduli, selama racauan dan kesakitan adalah keseharianku. Sedangkan geraman mesin jet dan getaran halus fyuselaj tidak terdengar dan tidak terasa. Lalu apa ini di telingaku? Haruskah aku menyerah begitu saja, berhenti berharap, bahkan berkhayal. Tentu saja, Tolol. Masa mau kaudamba-damba khayalan absurd, sudahlah absurd khayal pula. Ini semacam kenangan akan khayalan. Ini semacam major malfunction. Ini alarm sudah berkedip-kedip meraung-raung.

Apa sesungguhnya yang dapat menyenangkan hatiku? Dapatkah Si Bongkok berdansa berputar-putar bersama pujaan hatinya, bukan urusanku. Hanya saja, ini memang lelucon pahit yang tragis. Tragis? Seperti dalam tragedi begitu? Ahaha... ini aku! Duduk di kursi tengah-tengah, aku dapat melihat lorong juga jendela. Jangan dulu sakit telingaku. Jangan dulu roti atau jus. Biarkan aku menikmati hidup yang mudah ini. Haruskah aku menunggu hidup mudah entah kapan di mana, sedangkan di sini pun tiada pernah kurasakan hidup yang mudah ini? Berapa? Tujuhpuluh dua? Empat? Satu? Hahaha kau berolok-olok. Tak satu pun tiada mengapa, sepanjang hidup ini mudah.

Apakah itu dengan klarinet atau harmonika, semua saja sebenarnya hanya untuk satu tujuan: memendam rasa. Hingga mendendam. Hei, jantung, janganlah kau berdentam-dentam. Engkau, tidak seperti aku, memang hanya mematuhi perintah dan ketentuanNya. Sampai kapan aku harus terus-terusan terpesona begini, sedangkan sungai sudah lama kuseberangi. Aduhai, sungguh sulit melaksanakan kata-kata sendiri. Apakah Salvatore juga begini jika sedang merebus tikus? Apa lereng Alpen memang sedingin itu sehingga Salvatore sampai membutuhkan protein tikus, sedangkan Mawar dan keluarganya mungkin memakan jantung sapi? [Aku protein kedelai saja boleh?]

Sedang neneknya Mawar diberaki ayam, sedang Saudara Remigio memberaki Mawar tahi macan, Salvatore makan tikus rebus. Digarami tidak? Sedikit. Dengan daun mint mungkin? Nanti dimarahi Saudara Severinus. Remigio dan Adso sama-sama berak tahi macan. Bedanya, Remigio harus menambah jantung sapi, Adso tidak. Begitulah dunia bahkan di biara. Apa jika demikian lebih baik Salvatore yang lengannya salah bentuk gara-gara dikerja Bernardo Gui, padahal ia hanya makan tikus, padahal garamnya sedikit, tanpa daun mint? Tapi dia menjilat. Ya, bahkan Salvatore pun bisa berak tahi macan. Apa salahnya? Salvatore dan Remigio berakhir jadi arang. Adso tidak.

Serakan arang yang tadinya Salvatore dan Remigio sama-sama bergumam, ini lebih dari sekadar tahi macan. Ini tentang kasih sayang. Apa jadinya punggung yang tidak pernah dibelai kasih sayang. Apa jadinya torso yang tidak pernah didekap lembut sambil dielus-elus. Apa jadinya jika itu terjadi di bawah rindang Beringin oleh dua tikus betina, satu di gigi satu di telinga. Apa jadinya kalimat-kalimat tanya tak bertanda tanya ini. Serulah! Menggeliatlah, biar diinjak mejret saja, apakah itu ascaris lumbricoides atau vaginula rodericensis. [aku seharusnya masuk biologi. Tadi aku melihat mahasiswa mengenakan jaket jurusan biologi] Apa jadinya jika saling menggigit? Gigit-geligit.

Bima Unzila Ilaika

Wednesday, July 26, 2017

Alangkah Senang Pengalamanku Berwisata ke Solo


Nah, nah, ini baru benar-benar edan! Aduh jangan, dong. Ayolah. Konsistenlah dengan judul yang sudah sangat manis dan tanpa dosa itu. Manis dan tanpa dosa? Tepat di sini aku berhenti. Benar-benar berhenti. Membasah semua di mana-mana, membuncah. Meremas, merengkuh, sedang jari-jari ini sudah tidak mantap. Mengapa ini semua harus terjadi, ketika beberapa malam Arthur Garfunkel terpesona? Saat ini aku benar-benar berharap pesona itu hadir bersamaku, tiap-tiapnya ketika aku sendiri begini. Hancurlah sudah judul yang begitu manis, begitu tanpa dosa. Hancur. Inilah adanya.


Bacin. Lethek. Solo? Hahaha... apa tidak ada sedikit saja yang mau kauabadikan? Apa? Piano di lobi itu? Piano Yamaha upright murahan itu? Atau sekarang Karin yang ngemsi bersamamu ketika kau masih cukup manis dan dosamu masih agak sedikit? Cukup manis? Dosa sedikit? Ini ternyata entri manis tanpa kol. 'Emangnya mie godog? Jika dibiarkan memang ini yang terjadi. Otak yang penuh tanda tanya, yang menemukan pembenaran dari Pippi Si Kaus Kaki Panjang dengan olahraga bertanya-tanyanya. Selain itu bisa melodi manis, bisa ketukan tolol. 'Tuh 'kan, manis lagi. Tolol tapi belum. Ini bisa edan!

Ini lagipula bukan Janet Jackson dan bukan pula satu-satunya untukku, melainkan mengapa Pebbles percaya. Ayolah. Fokus ke Solo. Solo? Tidak! Aku mau... menyembuhkan patah hatiku. Namun bagaimana, dengan apa? Piano, bisa? Seharusnya bisa, meski sangat boleh jadi aku akan dimaki Simon Cowell kalau sampai melakukannya. Suaraku jangan-jangan sekadar kaliber penyanyi kereta bawah tanah. Pengamen! Memang itu aku. Solo! Solo! Tidak! Aku... tidak berdaya. Aku lemas. Seperti biasa aku mencari pelampiasan. Tidak begitu juga. Tidak! Aku tidak mau dan tidak peduli Solo meski dipaksa bagaimana.

Ya, aku patah hati. Bagaimana kalau Wonogiri? Gila apa?! Sangiran? Ah, tapi aku tidak ke sana! Sudah, coba carikan lakban. Jangan sampai Johnny Logan memohon-mohon. Ini sakit juga. Ini seperti rokok Crystal yang baunya sebenarnya harum tetapi rasanya najis lagi menyakiti tenggorokan. Apa mau muda lagi. Tepat di sini aku menangis menggarung-garung sejadi-jadinya. Aku berguling-guling di lantai kamar mandi sedang tidak dipedulikan. Mengapa begini? Asepteven, aku yang baru menyingkap kegaiban malah jadi begini. Aku yang pulang dari Solo langsung meminum oli, tanpa bercelana!

Aduh, aduh, sakit. Di sini. Di mana-mana. Mana bisa membiara jika begini? Mana bisa jadi bola polo? Sedangkan distemper tidak membuatku jadi sugardaddy. Bagaimana jika suka sugardaddy? Masa bunuh diri seperti Jesse Alvin? Kami sama-sama pemain bass 'loh. Tidak 'lah. Membunuh? Mudah. Sekalian bikin horcrux. Aduh, sudahlah, Sayang, datang saja padaku sini. Hentikan aku, sedang jempol-jempol bergoyang-goyang berputar-putar begini. Apa kumaki saja melayangnya selembar seratus ribu? Selat Solo? Malam bisa jadi dingin. Siapa yang bisa menghangatkanku? Siapa yang tak bercelana?

Hei! Tinggal di sini! Di mana? Sedang tikus mati karena meminum susu kental manis coklat, padahal tidak habis. Lalu ini. Manis juga, berlumur dosa. Malu tidak kau bicara begitu, hah? Hanya Hari Prasetiyo yang tahu, dan sudahlah tidak perlu lainnya. Bisa dimulai? Bisa dihentikan? Belum. Sedikit lagi. Sudah sakit ini. Dari tadi juga begitu. Kau 'kan masokis. Aku sadis. Kau koprofil. Aku ngentutan. Solo. Solo. Solo. Tidak! Tidak! Tidak! Sugardaddy. Mau kucabik-cabik? Aku seperti pembacok ahli IT 'loh. [apa kabarnya] Kucekoki susu kental manis coklat? Coklat? Merah jambu. Kakinya berbulu.

Aku cuma harus mendekapmu dalam pelukanku. [atau memelukmu dalam dekapanku?] Kalau sudah apa? Membiarkanmu tertawa kecil ketika kukecup bibirmu, sedang bengkak menghitam begitu? Cupu 'kan? Aah! Sayang, kau menyakitiku... jangan dari situ lalu ke situ... Inilah yang dapat kubawa dari Solo. Ini oleh-olehnya. Bukan Javenir tapi javelin. Asli. Kutombak kau pakai javelin, begitu. Langsung menancap di hati dan sengaja tidak dicabut. Nanti ikut tercabut hatinya. Heart bukan liver 'loh yang kena. Haruskah kukelilingi seantero bumi jika ia bulat, atau kukembarai jika datar, untukmu?

Demak Kota Wali

Saturday, July 22, 2017

Cinta adalah Hal Tersedih ...Ketika Ia Pergi


Sedang ditemani oleh dalamnya samudera, hatiku terasa penuh cinta pagi ini. Namun bukan cintaku sendiri. Ini mengenai Rencana Tata Hati dan Wilayah Rumah Tangga (RTHWRT)-nya Efraim. Hati. Rumah Tangga. Usia awal duapuluhan. Aah. Seandainya kau tahu apa itu usia awal duapuluhan. Salah. Seandainya AKU tahu apa itu usia awal duapuluhan. Kuharap kau tidak setolol aku 'Im di usia awal duapuluhan. Setidaknya jagalah kesehatanmu dengan sebaik-baiknya mulai dari sekarang, agar hati dan rumah tanggamu nyaman sampai akhir nanti. Selain itu, jadilah orang baik lahir batin. Jagalah kesehatan badan dan jiwamu. Itulah setidaknya hal-hal yang tidak kulakukan ketika masih berusia awal duapuluhan.


Hahaha... dan tampangmu entah bagaimana caranya ada mirip-miripnya dengan Bella Nathania. Heh, ini pujian untukmu... tapi cercaan untuk Bella hahaha. Tentu saja jauh lebih cantik Bella, cuma tolong katakan padanya 'Im. Jangan terlalu kurus 'lah. Aku suka melihat pipinya ketika lebih berisi. Lebih cantik begitu. Setuju 'gak 'Im? Pagi ini entah mengapa aku berkhayal-khayal seandainya Bella melahirkan anak-anakmu. Seperti apa mereka jadinya? Sudah barang tentu mereka akan menjadi anak-anak yang cerdas, tapi apakah mereka akan menjadi anak-anak yang berbudi? Semua itu tergantung bagaimana orangtuanya mendidik diri sendiri dari sekarang. Lho koq orangtuanya? Ya, benar. Itu juga yang tidak kulakukan dulu.

Dengan kalian berdua, mungkin aku tidak akan terlalu khawatir akan Indonesia. Indonesia Insya Allah akan baik-baik saja jika diteruskan oleh anak-anak yang lahir sebagai buah cinta pemuda-pemudi Indonesia seperti kalian. Di rumahku sini, tetangga-tetanggaku bertekad mencetak generasi penerus yang Qurani, dan Insya Allah kelihatannya mereka akan berhasil. Seandainya apa yang mereka lakukan ini dapat diekstrapolasi ke lingkup yang lebih luas. Ya, karena mendidik anak adalah tugas ideologis, jika bukan kewajiban ilahi. Dunia menjadi tempat yang lebih baik atau lebih buruk tergantung sebagian terbesarnya pada bagaimana hal ini dilakukan. Inilah, mendidik anakku sendiri, yang tidak pernah kurasakan.

Lantas, masalah uang. Uang, sialnya, sangat sentral. Terhadapnya, meski begitu, kau tidak perlu terlalu benci, namun juga jangan terlalu suka. Kau pasti pernah dengar bahwa hidup yang paling enak itu adalah hidup pas-pasan. Pas butuh rumah, pas ada uangnya. Pas butuh kendaraan, pas ada uangnya, begitu seterusnya. Tidak usah sok-sokan memiskinkan diri, apalagi sampai ajak-ajak Bella dan anak-anaknya. Namun jangan juga berusaha mati-matian agar kaya. Tidakkah kau sadar, meminta kaya berarti meminta dirimu dicoba, diuji bahkan diazab? Khususnya untuk masalah ini, lagu lamanya Vetty Vera sudah betul: Sedang-sedang Saja. Aku pernah sok benci uang dan sok memiskinkan diri dan keluarga. Ini salah!

Lantas harus bagaimana? 'Im, aku yakin orang-orang seperti kau dan Bella tidak sulit mencapai berbagai kesuksesan atau prestasi, apakah itu karir dalam pekerjaan, beasiswa, gelar akademik dan semacamnya. Tentu saja kau harus mengusahakannya sekuat tenaga, namun ingatlah, renungkanlah. Apa niatmu dalam melakukan semua itu? Untuk kehebatanmu sendiri? Pujian orang? Uang? Jangan 'Im. Aku titip satu hal. Lakukan, dan niatkanlah itu untuk menolong saudara-saudara sebangsa setanah air yang hidupnya kurang beruntung. Untuk merekalah sesungguhnya Kemerdekaan 17 Agustus 1945 diproklamasikan. Kau sudah merdeka, bagaimana dengan mereka? Berlakulah seperti anak sulung pada mereka, entaskan mereka dari kesulitan hidupnya.

Akhirnya, dan yang terpenting, taatlah beragama. Inilah yang akan menolongmu dalam apapun. Salah satu bagian terpenting dalam beragama adalah menerima dengan lapang dada dan besar hati apapun yang ditentukanNya untukmu. Jika kau melakukannya dengan benar, maka kau akan tahu bahwa apapun yang sampai ke tanganmu bukan milikmu ketika masih ada orang yang datang padamu dalam keadaan kekurangan. Jika kau pun melakukan ini dengan benar, maka kau akan tahu bahwa sebagian besar isi kepalamu memang sudah sepatutnya dilupakan, karena pada dasarnya, seperti dalam Yesaya 6:8, Tuhan bertanya: "Siapa yang akan Kuutus? Siapa yang akan pergi untukKu?" Siapkan selalu dirimu untuk mengacungkan tangan dan berkata: "Inilah aku. Utuslah aku."

Begitu, 'Im. Kalau ternyata Bella tidak mau jadi Ibu dari anak-anakmu, ya tidak apa-apa juga 'kan? Tetap saja kita doakan agar suatu saat nanti kelak di kemudian hari Bella akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Tetaplah kalian siapkan sebaik-baiknya generasi penerus Bangsa Indonesia, generasi penerus umat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang seharusnya mulia dan dimuliakan. Dan ini kalian lakukan dari SEKARANG juga. Usahakan sebaik mungkin agar segala ketololan masa muda tidak menjerat apalagi sampai membelenggu kalian. Jika itu sampai terjadi, hanya penyesalan yang akan menghantui sisa hidup kalian. Semoga Tuhan menjauhkan yang seperti itu dari kalian, karena untukku, aku hanya bisa menyesalinya kini.

Tuesday, July 18, 2017

Komidi Monyet Ahmad. Berbeha, Berleha-leha


Aku justru memilih untuk memulai pagi di kubik ini dengan berleha-leha, [atau berlengah-lengah?] yakni dengan mengetik-ngetik. Tidak juga. Aku memulai pagi ini dengan sebungkus nasi kuning lengkap dengan kering tempe dan mie gorengnya sekali. Masih ditambah pula dengan tahu dua macam, semur dan balado, bahkan telur dadar. Minumnya entah mengapa selalu teh Sari Wangi, padahal madu kurmanya sudah habis. Tidak juga. Aku memulai pagi ini tentu dengan shalat shubuh, kemudian olahraga jalan pensiunan keliling kompleks.


Namun tetap saja aku berprokrastinasi. [semoga tidak pernah ada kata serapan semacam ini] Apa benar yang akan kuketik pagi ini? Alasan pemanasan sudah sangat tidak relevan, jadi jangan dipakai lagi. Apakah aku takut menghadapi kenyataan. Rasa takut memang ada. Apakah aku kesepian? Bisa jadi. Nyatanya sebelum ada Cantik, Teman Hidupku, aku hanya berteman denganmu; kini bahkan setelah Ki Macan pergi. Ah, seperti halnya aku yang tidak pedulian, Ki Macan pun tidak pernah benar-benar menjadi temanku.

Jadi pagi ini tentang apa? Tentang berusaha menulis secara runtut? Hahaha sedang aku diprotes mahasiswa karena caraku mengajar membingungkan, katanya. Protesnya ke Donbangi Dontiba 'aja, Dik. Aku yakin kalau tolokku yang dipakai kau tidak akan protes. Belum terjawab problema ini, tiba-tiba Bang Andri menawarkan bakwan malang. Ya tidak kutolak. Ongkosnya adalah berdebat mengenai apakah rezim sekarang anti Islam atau tidak. Anti HTI ya, Islam tidak. Begitu posisi Bang Andri. Yo ora opo-opo aku se

Saking ga jelasnya, aku sekarang mendengarkan Gitar Gutawar. Bu Sri Suparti mengingatkan kalau 1 Agustus rekomendasi kebijakannya sudah harus selesai, sedang perutku berontak gara-gara berdebat tadi. Ada-ada saja. Tuh kan, baru sebentar saja sudah tidak runtut, sedang sekarang sudah tidak pagi lagi. Oh ya lupa, jus pepaya. Insya Allah buah-buahan harus makan yang banyak. Insya Allah sehat. Insya Allah hari ini selesai semua urusanku, semua yang harus diurus. Urusan memang jadi banyak, mau bagaimana lagi.

Apakah karena Dik Gita menyanyi diiringi papanya, maka entri ini harus kuberi judul Komidi Monyet Ahmad? Hahaha pasti banyak di antara kalian yang tidak tahu kalau Erwin Gutawa pernah memerankan tokoh Buang dalam film Permata Bunda. Apakah film Indonesia dalam reinkarnasinya yang sekarang lebih baik dari yang dulu-dulu? Entahlah. Dulu pun kalau tidak sengaja tidak akan aku menonton film. Aku memang terlahir tidak suka menonton film. Mungkin mirip dengan Pak Teddy yang lebih suka membaca.

Namun, seperti kata Takwa, Pak Teddy membaca bacaan-bacaan yang salah hahaha. Aku pun barusan merasa salah mendengarkan Gitar Gutawar, maka segera kuganti dengan Tante Karen. Bagaimanapun, ini bukan pagi yang aneh apalagi ganjil. Ini pagi yang kasihan atau menyedihkan. Ibuku cantik. Istriku cantik. Namun tidak semua perempuan seberuntung mereka. Beruntung? Entahlah. Adakah aku mendukung sesuatu sampai membabi-buta. Semoga tidak. Aku mendukung Pancasila dan UUD 1945? Aku mendukung Takwa dan Imani Primanya hahaha. Sungguh. Ini menyedihkan.

Segera setelah paragraf terakhir ini, aku lebih baik bekerja karena ini memang mengenai Imani Prima, sebuah perseroan terbatas. Tempatku bekerja? Begitulah. Aku yang jelas bukan binatang dan tidak lagi kanak-kanak, yang karenanya aku punya pilihan dan suara, meski tentu tidak seindah suara Tante Karen. [jangan-jangan suaraku separau suara keledai atau politikus] Biarlah kututup entri ini dengan seuntai kalimat panjang yang berlari-lari riang seperti seorang gadis cilik yang sangat menyayangi bapaknya, sesuatu yang bagiku hanya khayalan.

Sunday, July 16, 2017

BCA Kepanjangannya Bangunan 'Can Anggeus


Jangan menyakiti dirimu sendiri! Cukuplah makanan menyakitimu ketika melalui lambung atau bagian lain dari saluran cernamu entah yang mana. Menceritakan dirimu sendiri dengan kata ganti orang pertama menandakan seseorang berkinerja tinggi? Ahaha, ini bagian dari perubahan jaman—seperti kata Mas Santo. Meski bercerita dengan kata ganti orang kedua atau ketiga tidak kurang konyolnya—jika bukan makalah ilmiah. Lalu pada siapa aku harus berpaling? “Jika bukan kau, siapa lagi yang kuharap dapat memaklumiku?” kata Ray Charles.


Mencintaimu, mencintaimu, ooh, apa yang dapat kulakukan? Aku tidak sanggup berhenti mencintaimu! Maafkan aku, Cantik. Mungkin memang bukan cinta yang kita punya ini, seandainya pun aku tahu cinta itu apa, atau kita bisa menyepakati suatu makna tentangnya. Namun, dari sisiku sendiri, aku mencintaimu sangat—jika bukan sangat bergantung padamu secara emosional. Kau adalah bagian dari keseharianku yang membosankan bahkan untukku sendiri; dan aku lebih sanggup menahan bosan daripada kejutan. Aku nyaman dengan keteraturan, meski membosankan.

Alhamdulillah, meski belum membereskan tempat tidur, hatiku terasa lebih ringan pagi ini dibandingkan pagi kemarin. Mungkin aku senang karena semalam menggagalkan diri sendiri berbuat sesuatu yang akan kusesali selamanya, seperti malam-malam dingin di dermaga bau pesing. Keparat orang-orang bule itu. Biadab betul kelakuannya, sedang di sekelilingnya penuh keadaban. Kemarin sekali lagi? Untuk sekadar melakukan segala sesuatu dengan lebih baik dan benar? Tidak ‘lah. Sebagaimana Adrianus Eryan masih tahu Karen Carpenter, seperti itulah hidup maju terus.

Demikianlah maka setelah ketupat sayur tahu dua aku masih menghabiskan nasi goreng sisa semalam. Setelah segelas besar teh melati kini setengah lebih gelas besar air hangat mendampingi, sedang saksofon menghembus lembut menemani tidurmu. Sebagaimana halnya ia menahan diri, aku pun menahan diri untuk terlibat secara emosional—semata agar tidak sakit hatiku; mungkin akan kukatakan sendiri padamu nanti. Pagi ini, aku tidak ingin mengeluh betapa hidup sudah demikian jahat padaku, atau aku yang terlalu masa bodoh.

Toa masjid sudah berbunyi-bunyi di Minggu pagi ceria ini, semacam lonceng gereja berdentang-dentang memanggil jemaatnya. Aku yakin hanya Islam jalan hidup yang benar, meski semua agama baik sepanjang menuntun manusia menjalani hidupnya dengan baik di dunia ini. Adrianus Eryan, seperti Pak Parwinando, bisa jadi Katolik. Aku bisa jadi Islam. Namun kami sama Jawa, sama Indonesia, sama manusia, sama mahluk Tuhan. Baginya jalan hidupnya, bagiku jalan hidupku. Untuk hidup, orang perlu merasa bahwa jalan hidupnya benar.

...dan aku mencintaimu sangat. Sungguh, aku pun tidak akan mengklaim apa yang kuberikan padamu ini cinta. Namun inilah cintaku sebatas kelemahanku sebagai mahluk. Hanya Ia Sang Cinta yang sanggup mencinta tanpa dicinta. Mahluk tidak. Mungkin aku memang jahat, tapi kau harus tahu bahwa apa yang kaulakukan sudah berada di luar batas-batasku. Namun, seperti biasa, kau hanya mendorong batasku agak lebih jauh saja. Mungkin ini latihan yang baik bagiku. Terlebih baik, mungkin ini semacam pertanda baik.

Takwa kemarin sore berbicara mengenai berkah Allah. Siapa juga yang tidak butuh berkah Allah, terlebih Masyarakat Pancasila. Takwa bukan aku yang suka menghancurkan kota bahkan peradabanku sendiri jika kutemukan sedikit saja kecacatan padanya. Ladang yang tidak lurus, rumah yang salah tempat, hancur! Aku Insya Allah akan membantunya sedapat-dapatku. Insya Allah aku belajar banyak darinya sebagaimana aku berusaha belajar sebanyak-banyaknya dari siapapun, bahkan dari tukangnya Pak Insan yang aku enggan tahu namanya itu. Demikian, jadilah KehendakNya.

Saturday, July 15, 2017

Kesenian mBoko Tujuh Lima Jadi Lima Dua Lima


Akhirnya hanya engkau teman yang dapat kuajak bicara; Tepatnya, tempat satu-satunya menumpahkan segala keluh-kesah. Ya, hanya kau. Tidak sudi pun aku melakukannya kepada yang lain. Aku memang eksibionis. Bang Edmon mengatakan aku eksentrik. Tidak penting itu semua. Aku sedang mengusahakan sesuatu. Semoga sesuatu itu berhasil. Sudah terlampau lama hanya kabar buruk yang kuterima. Inginkah aku mendengar kabar baik? Bahkan sekadar ingin saja aku tidak berani. Aku takut kecewa. Kecewa sepertinya kurang baik untuk orang setuaku.


Sekarang aku sedang berkeluh-kesah. Apa benar yang kukeluhkan? Jika kau sampai tidak tahu apa yang ingin kaukeluhkan, sedang kau merasa benar ingin mengeluh, itu tidak baik. Lagipula, apatah yang baik dari semua ini? Hebat. Hari ini aku terkuras dari segala ingin. Pagi ini aku memang masih berkeliling kompleks yang naik turun itu. Aku bahkan menyarap Mie Ayam Donoloyo beserta risolesnya sekali. Kau pernah mendengarnya bukan? Begitulah hidupku. Tidak, aku tidak akan mengatakannya ganjil seperti Teguh.

Hidupku sekadar penuh pengulangan. Namun aku sangat membutuhkan dorongan besar. Butuh atau ingin? Harus. Lihatlah sekeliling. Semua dengan masalah dan derita masing-masing. Jika sekadar menahan sakit, Jack Kennedy dan Mbak Eka pun menahan sakit. Namun ada satu ini yang sungguh sulit ditahan. Ah, entahlah. Ini pun sekadar kesenian tujuh lima persis harga mie instan jaman dahulu ketika aku sedang doyan-doyannya. Hei, bahkan mengenang masa lalu—kegemaranku satu-satunya—pun gagal menyemangatiku di pagi yang murung ini.

Pagi ini pula aku mencuci, sebentar lagi akan kujemur. Aku pun harus mandi. Akankah aku ke Radio Dalam? Entahlah. Aku tidak peduli. Ya, bahkan rasa senang, rasa ringan di hati itu pun rejeki yang mungkin paling sering diremehkan dan diabaikan. Kini aku sangat membutuhkannya. Hati yang senang, hati yang ringan. Pikiran yang terang, bukan yang diselimuti kabut kekentuan. Ya, aku memang sengaja pagi ini, karena ini sama saja dengan media sosial. Ini bukan tempat berdoa.

Setelah selesai dipindah, aku mulai mendengarkan musik-musikku. Musik yang itu-itu saja. Sekarang Tante Dionne Lewat Begitu Saja. Sebenarnya tidak sesuai dengan suasana hatiku, meski melodi dan ritme 1970-an ini memang selalu terasa lesap mulus ke dalam hatiku. Ya, begitu saja. Hari ini Insya Allah aku ke Radio Dalam. Mengenang masa-masa yang telah lalu atau menatap masa depan. Aku yakin pada Allah Tuhanku. Allah satu-satunya andalanku. Tentu saja, mau mengandalkan siapa lagi? Aku toh sendirian kini.

Itu bukan doa ‘kan? Tidak apa-apa kusebut di sini ‘kan? Aku relijius? Ya, aku berusaha begitu. Kelakuanku masih tidak karuan? Aku berusaha untuk tidak begitu, meski sulit. Nah, ini agak sesuai dengan keadaanku sekarang, meski aku benar-benar tidak peduli. Maafkan aku, Cantik, tapi sepertinya tidak akan terjadi dalam kehidupanku aku suka jalan-jalan. Itu ide paling gila yang bisa kupikirkan, untuk tidak mengatakan paling tidak berguna. Passion, kata Riza? Apa passion-ku? Ada ‘lah. Tidak perlu kusebutkan.

Lantas buat apa semalam kuumumkan nilainya Hexa? Aku lelah semalam lahir batin. Dalam kondisi seperti itu, seringkali sulit untukku mengendalikan diri. Akhirnya aku melakukan hal-hal yang mungkin akan kusesali di pagi harinya. Buat apa aku berurusan dengan bocah-bocah ini setiap hari? Adakah ini karena kekagumanku pada Paman Karol, maka aku menjadi sepertinya? Cuih, Paman Karol palsu! Gadungan! Menjijikkan! Ini paling enak. Meludahi dan memaki-maki diri sendiri, seperti yang pernah kulakukan di suatu hari yang celaka.

Saturday, July 08, 2017

Sembarangan! Kamu itu yang Sontoloyo!


Aku benar-benar marah kepada Telkomsel Fles. Bukan sekadar karena aku harus mengubah kebiasaanku menulis blog, melainkan karena kebodohannya yang kecepatan penuh. Seandainya aku lebih muda agak sepuluh atau limabelas tahun dari ini, mungkin aku akan tertawa terbahak-bahak karena kebodohannya yang pol ini. Namun kini aku sudah tua. Bukan waktunya lagi untuk menertawakan kebodohan, karena kebodohan adalah sesuatu yang mengerikan. Salah-salah, kebodohan dapat mengantar seseorang ke dalam Api. Aku berlindung padaNya dari yang seperti itu. Sungguh!


Sungguh? Lalu kau merasa lebih baik dari Bang Cepi sedangkan engkau membuat komentar cabul di dindingnya? Ini adalah suatu kebodohan yang mengerikan. Bagaimana aku dapat menghindar darinya, dari kebodohan berkecepatan penuh ini? Bahkan ketika aku menulis ini, terasa benar betapa kebodohan itu hinggap lekat pada benak tololku. Terasa benar betapa sebenarnya ketololanku tertawa-tawa riang kegirangan. Hokay. Hidup bagaimanapun memang selalu penuh dengan kejutan-kejutan menikung, tikungan-tikungan mengejut. Aku hanya harus menyesuaikan.

Ini bahkan aku ditemani Kahoru Kohiruimaki. Halah, payah ‘kali pun mengingat nama ini. Pagi ini, sambil menyarap Mie Ayam Donoloyo, aku berkhayal-khayal mengenai pagi-pagi yang tidak puasa. Pagi-pagi tidak puasa begini nikmatnya diteruskan dengan sedikit risoles dan teh melati seraya mengetik-ngetik. Hwarakadah, begitu mau buka blog koq ga bisa. Sontoloyo! Lebih mengerikan lagi, kesontoloyoan itu berlanjut! Astaghfirullah, sudah loyo begini koq ya masih terus saja sontoloyo. Lalu apa? Menyalahkan blog yang tidak terbuka? Salahmu sendiri!

Nah, ini Insya Allah jawabnya! Kapan? Besok? Ya Allah, hamba mohon kabar baik sore ini. Hamba memohon kepadaMu dengan teramat sangat. Baru seminggu berpisah, kurasa badanku sudah merindukannya. Kehangatannya, kesyahduan dan kesenduannya. Memang begitu seharusnya mencinta. Tidak lagi menjompak-jompak. Ini cinta pensiunan! Pensiun dari apa? Insya Allah dari perbuatan keji, mungkar dan permusuhan! Biarlah disindir Bang Cepi tidak mengapa, jika ini bisa mengantarku ke Taman. Yang mengerikan ‘kan, sudahlah disindir ternyata tidak ke Taman juga.

Asepteven! Ini dia! Kurasa hari ini memang penuh dengan pengejut tikungan. Begitu saja aku bertemu dengan kawan lama dari sekitar entah kapan. Aku seharusnya menduga dari dulu. Model-model melodinya sama. Ternyata ini kerjaannya Tokyo Square. Ini band apa sih? Oh, ternyata band singapur. Pantes! Ternyata Within You’ll Remain yang kukenal pertama berasal dari 1985. Cucok lah, memang sekitar itu. Jiahaha... sudahlah begitu, longplay Tokyo Square ini diselingi iklan Vivo V5s. Apa-apa’an ini? Konspirasi Cina? Hahaha...

Ini Sabtu pagi yang betul-betul aneh. Mana besok Cantik berangkat ke Eropa untuk sepenetasan telur ayam, sedang aku mungkin harus menahankan tukang Pak Insan yang ramah itu. Jika paginya sudah seaneh ini, bagaimana siangnya? Akankah kuhabiskan dengan merapikan kedua gawaiku, Vivo V5s dan Andromax E2? Haruskah kupelihara keduanya, nomornya terutama? Ahaha, ini lagu-lagunya Tokyo Square sumpah nyebelin banget. Rasanya aneh... apalagi dengan badan bau tahi kelinci begini. Apapun itu, Ya Allah, hamba mohon kabar baik.

Benar, Ya Allah Gusti hamba, kabar baik. Meski telah tertepis, tetap saja kabar buruk entah bagaimana bertubi-tubi. Ini mungkin memang sudah bukan waktunya bicara. Ini waktu berbuat. Buktikan semua kata-kata itu dengan perbuatan. Diam dan berbuat. Dimulai dengan menghubungi Prof. Melda Kamil sesegera mungkin. Mungkin karena aku terlalu banyak berolok-olok begini, maka aku tidak kunjung berbuat. Terlebih buruk, aku menasihati Togar. Nasihat itu sebaiknya untukmu, Tolol! Kaulah yang sekarang sedang sangat membutuhkan nasihat seperti itu!

NB. dan kabar baik, sekali lagi, tak kudapatkan

Saturday, July 01, 2017

Lebaran Ketupatnya Kecepetan Sehari, 'deh


Ini entri istimewa, karena judul dan ilustrasinya sudah disiapkan terlebih dulu. Meski tetap saja tidak ada jaminan bahwa isinya akan merupakan penjabaran dari judulnya. Tadi sempat muncul tanya, lantas apa guna jurnal ini. Jawabannya tersedia segera: Eksibisionisme! Aliran seni lukis yang kuciptakan sendiri, yakni melukis dengan kata-kata. Jelas jauh lebih efisien daripada melukis sungguhan, karena alatnya tidak lain adalah alat produksiku sendiri: komputer pribadi, dan otak dan pikiranku yang bekerja melompat-lompat. [katak si katak lompat, lompat ke dalam paya]


Demikianlah maka hari ini aku terbangun pukul 05.35! Kali pertama dalam 35 hari terakhir ini aku tidak bangun sebelum pukul 04.00. Berhubung aku harus minum Canderin, berarti hari ini setelah 35 hari akhirnya aku berhenti puasa. Sebuah pisang ambon yang sudah matang sekali ternyata sungguh manis disantap pagi hari, terlebih ditemani setidaknya seliter air putih. Sepotong pepaya setengah mengkal segera saja menyusul. Entah bagaimana, ia terasa lebih manis dari sebelumnya. Apakah ia terus matang meski sudah dipotong, atau berfermentasi?

Mungkinkah tidak terbangun sahurnya aku ini ada kaitannya dengan kwetiauw yamin Bangka komplit yang kusantap malam sebelumnya pada sekitar 21.00? Entahlah, yang jelas aku kurang bayar pada Ah Lie. Semalam aku membayar kwetiauw pangsit sedang yang kumakan adalah kwetiauw komplit. Maka ketika Cantik minta ketoprak, kubelikan saja ia Ketropak Portugal sekalian mampir bayar kekurangan ke Ah Lie. Cantik seperti biasa tanpa kecap cabai delapan. Aku pun memesan sebungkus tanpa cabai agar tidak terlalu merasa bersalah pada tukang ketopraknya.

Dengan ketoprak, ini toh lebaran ketupat, meski syawalanku masih kurang sehari. Meski lebaran ketupat, aku tidak sanggup menghabiskan ketupat di ketoprakku. Memang sudah lama aku tidak sanggup melakukannya, terlepas dari kenyataan aku memakan sekantung cukup besar kerupuk bekas ketoprak yang kami makan ketika bersilaturahmi ke ndalemnya Bude Ning beberapa hari lalu. Selesai lebaran ketupat, aku merayakan dengan mengganyang Berlin yang dikangkangi Ashurbanipal, dengan pasukan sumbangan dari negara-negara kota yang bersimpati padaku.

Siap itu, shalat dhuhur, aku merasa siap untuk memulai menulis proposal rangkaian kegiatan Masyarakat Pancasila dengan ditemani Kisah Cinta-nya Francis Goya. [Cantik setelah menemaniku lebaran ketoprak bobo lagi. Jam biologisnya memang sedang kacau, sepertinya sudah sejak hari-hari terakhir Ramadhan.] Lumayan lah sudah dimulai, tinggal diteruskan. Namun pastinya harus ditunda karena sebelum 3 Juli aku harus menyelesaikan kelembagaan komunitas dan pasar, konservasi pada tataran genetik, juga perencanaan lingkungan dan pesisir. Sorenya bahkan aku masih sempat jalan-jalan pensiunan sedikit.

Meski awalnya gara-gara sate kerang, aku menemukan diriku dan Cantik malam ini kencan di D'Cost Mal Depok. Hidangannya Buncis Singapura, Tahu Jepang, Omelet Makanan Laut dan Gurami Goreng. Akhirnya aku tahu salah satu fuyunghai terbaik adalah D'Cost punya, meski seingatku teksturnya [ya, tekstur. Bagiku ini terpenting untuk fuyunghai] sebelas duabelas lah dengan Kuri-Kuri punya, tapi Kuri-Kuri 'kan jauh. Buncisnya sebenarnya oye, tapi aku kuatir dengan bumbu pedasnya. [terkonfirmasi dengan kemampuannya membangunkanku sahur. Terima kasih, Buncis]

Selesai makan kami ke Toko Buku Toga Mas. Sebenarnya ada setidaknya empat buku yang ingin kubeli: Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas-nya Achmad Chodjim, dan Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu-nya Sapardi Djoko Damono. Namun itu bisa hampir dua ratus ribu sendiri. Maka kubeli Bahaya Kapitalisme-nya Ignatius Gatut Saksono yang kucurigai entah-entah isinya. [dan ternyata memang entah-entah] Cantik sementara itu beli buku latihan soal untuk Khaira dan Gray Mountain-nya John Grisham, ditambah lagi majalah National Geographic edisi terbaru boleh beli di Food Hall.

Thursday, June 29, 2017

Syawalan Tidak Lain Tiruan Ramadhan 'kan?


Masa setiap kali membuang tenaga mental dan otak untuk memulai hari dengan menulis entri di hari-hari puasa ini, sedangkan ukuran lambungku tampaknya mengecil setelah berpuasa sebulan penuh? Apakah akan menggunakan alasan pemanasan? Apa tidak takut rekening kosong? Apa malu menerima tanpa memberi, sedang yang diberikan sesuatu yang tiada arti, seperti hidup dan diriku sendiri? Apa tidak ingin Asus Zenfone 3 Max? Mengapa memulai entri dengan berondongan pertanyaan begini?

Sedang muadzin Masjid Ukhuwah Islamiyah sudah mengumandangkan adzan dhuhur pada 5 Syawal 1438 H ini, apa hari-hari puasa sekadar menunggu maghrib? Lantas, kalau sudah maghrib, lalu berbuka, lalu shalat maghrib, lalu shalat isya', lalu apa? Tidur? Bangun sahur? Tidur lagi setelah shubuh sampai matahari tinggi dan panas sinarnya? Aku sendirian di kubik PS-PKR UNHCR gara-gara Dwaskoro Syahbanu. Sebenarnya bisa saja sekarang ini aku membariskan resimen-resimen kavaleri mandekalu di lepas pantai Berlin untuk menghentikan kesombongan Ashurbanipal.

Namun aku memilih kemari... untuk menulis entri hahaha. Kelembagaan konservasi entah-entah pada 27 Ramadhan lalu juga kurasa disebabkan oleh ritme puasa, meski akibatnya jelas hidangan berbuka dari dapur kekaisaran. Aku kaisar? Tidak. Aku biasa makan sampah koq sehari-hari. Terlebih dengan kemiskinan merundung, apa tega aku makan yang bukan sampah? Aku melakukannya bukan karena empati sosial atau yang sejenisnya, semata karena memang uangku sedikit. Nanti cepat habis jika bergaya hidup kaisar, bahkan meski aku kaisar benar sekalipun.

Lalu silaturahmi ini, seperti orang-orang, apa benar? Uah, jika benar aku harus seperti orang-orang, maka biarkan aku... [sampai di sini tercekat] Edan! Seperti tidak pernah kenal Pengungkap Kegaiban, yang membuat takut almarhum[ah?] Santiago dan Lemonado yang entah mungkin masih hidup. Ahaha, adakah sempat dalam hidupmu berkenalan dengan Pengungkap Kegaiban, Santiago? Semoga Allah mengampuni dan menghapus dosa-dosamu, Kawan. Bagaimanapun, kau orang baik. Semoga perbuatan baikmu diterimaNya dan dilipatgandakan balasannya.

Jelasnya, aku masih dibiarkan hidup sampai sekarang, dan tidak lucu sok-sok'an bercanda mengenai hidup dan mati seakan jagoan. Ini saja, mengapa tidak terbirit-birit ambil wudhu lalu shalat? Apa? Mau pakai alasan sedang telanjang dada? Uah, seandainya Sentosa 52 itu bakmi dan aku masih jauh lebih muda dan punya uang, bisa jadi aku mengunjunginya rutin. Aku tidak terpikir makanan apa yang bisa dikaitkan dengan Indragiri, tapi itu pun bisa jadi tidak banyak berguna sekarang. Insya Allah masih ada sih selera makan, apalagi sedang berpuasa begini.

Aku baru sadar setelah melihat kalender meja resmi FHUI, ternyata dituliskan di situ cuti bersama berlangsung selama 27-30 Juni 2017, berarti benar kampus ini baru akan mulai ramai lagi Insya Allah pada Senin, 3 Juli 2017. Apakah besok sudah ada Jumatan di Mesjid UI? Dapatkah aku menyelesaikan sesuatu hari ini sebelum datang besok? Adakah besok menjelang kabar gembira? Illahi Rabbi, mengapa semua perhatian dan perasaanku tercurah padanya? Adakah harap-harap cemas seperti ini menebus dosa?

Bagaimana jika sekali lagi aku dikecewakan? Adakah itu menghapus kesalahan? Ada yang lebih mengerikan daripada kekecewaan. Ingkar janji! Sedangkan Bude Ning semalam mengingatkan betapa aku tidak menepati janji menyelesaikan terjemahan UU HAM dan UU Fidusia sampai Bude menagih-nagihku. Seperti itulah yang akan terjadi jika besok aku tidak segera mulai melembagakan konservasi. Apakah akan kausesali kegegabahan ini? Seenaknya saja janji-janji hanya karena dijanjikan hidangan dari dapur kekaisaran. Sejatinya, kau ini budak hina!

Dengan budak hina ini, tiba-tiba saja terlintas di kepalaku seorang penyalin yang mengencingi celananya sendiri karena akan berhadapan dengan manusia-manusia ganas haus darah. Begitu saja ketika ia keluar dari kandang, kepalanya dihantam ayunan gada. Pecah. Tangannya yang terhubung dengan rantai pada mitranya lantas dibuntung karena mengganggu gerak. Ya, begitulah nasib budak hina. Mati dengan kepala pecah dan tangan buntung, dibuang ke comberan seperti bangkai tikus. Mungkin gara-gara tidak membayar utang untuk membiayai gaya hidup? Naudzubillah!

Monday, June 26, 2017

Ini Tentang Kenikmatan Seksuil ('emang Enak)


Ini adalah sejenis judul jika aku sedang marah sangat. Sayangnya, seperti biasa, tidak ada yang peduli apa yang kurasakan sekarang atau kemarin dulu. Apakah aku tertengah di jepit-jepit ataukah permata mendung-mendungnya Rama Sindhunata melendung, semua menjadi deritaku sendiri. Nah, bicara tentang seorang Imam Katolik, biarlah kutulis dulu di sini dari Mazmur 51:5, ketika Raja Daud berkata, "Aku senantiasa bergumul dengan dosaku," meski menurut Prof. Yusril, Injil dan mungkin Alkitab seluruhnya lebih seperti kitab hadits daripada Quran.


Mungkin tidak ada salahnya juga 'kan kalau kutambahkan di sini dari Yesaya 6:8 "Setelah itu, aku mendengar suara Tuhan, berfirman, "Siapa yang akan Kuutus? Siapa yang mau pergi untukKu?" Lalu, aku menjawab, "Ini aku. Utuslah aku!" Ya, kenyataannya diam bisa jadi adalah nyanyian termerdu. [apakah bunyi "r" pada ter- harus dilesapkan menjadi "temerdu"?] Nyatanya, Pram sampai pada simpulan mengenai Nyanyi[-an] Sunyi Seorang Bisu ketika dipenjara di Pulau Buru. Bahkan Rasulullah berkata, "Dunia adalah penjara orang beriman dan surga orang kafir."

Namun ini tentang kenikmatan seksuil yang memang enak. Enak-enaknya seperti mentega lembut yang tidak digarami, meleleh di atas roti hangat yang baru keluar dari pembakaran. Tidak suka mentega? Bagaimana dengan kuning-kuning organ dalam bulu babi (echinoidea) segar yang dibumbui tetes-tetes air laut? Tidak suka juga? Bagaimana dengan gurih-gurih liur perempuan yang memberahikanmu, meski tonggos giginya, sedang pada ketiak, kemaluan, dan duburnya baru kembali tumbuh rambut-rambutnya setelah dicukur klimis beberapa hari lalu?

Ahaha, iblisnya memang pada rincian! Tidak. Rincian mengenai sifat lubang-lubang dan liang-liang lainnya tidak akan diberikan di sini, sekadar menghormati Yuli Cahyono yang sejatinya adalah diriku sebagaimana ingin kumenjadi. Ya, meski ini tentang kenikmatan seksuil! Memang pada dasarnya ada kemiripan di antara Rama Sindhunata dan Ahmad Tohari. Mereka berdua sama-sama sering keasyikan sendiri dengan rincian, sampai-sampai orang lupa pada alur utama. Ada lagi, mereka berdua sama-sama suka burung kedasih atau tadahasih.

Nah, dalam hal ini mereka berdua sama denganku. Bisa kubayangkan kami bertiga adalah orang-orang bisu yang kesepian dalam kesunyian kami. Bisu namun tidak tuli, sehingga terdengarlah dengan jelas nyanyian kedasih atau tadahasih yang... memilukan? Memang berbeda dari kicauan riang prenjak yang sangat tidak disukai Ibuku, tapi apakah memilukan? Ataukah asosiasinya dengan berita kematian membuatnya terdengar pilu? Di manapun aku menyepi, di ketinggian lantai empat atau tepian Cikumpa, hiasannya memang selalu nyanyian kedasih.

Lalu Istriku. Aku mencintaimu. Jelas aku secara emosional tertambat erat, lekat padamu, mungkin seperti lintah yang menghisap darahmu. Akan halnya engkau punya kehidupanmu sendiri, aku bisa apa. Aku pun tidak pernah bisa lepas dari kebisuan yang sunyi sepi ini, yang kau tidak pernah suka. Mengharapkan seseorang memasuki dan menjadi bagian dari dunia bisuku yang sunyi sepi ini, bahkan dirimu? Tidaklah. Aku tidak akan sampai hati, meski jujur kuakui, seandainya mungkin aduhai betapa indahnya lagi permai, tapi tidaklah.

Langit hari ini, seperti telah kuduga, penuh dengan bidadari menangis. Apa benar yang mereka tangisi? Apakah pertengkaran Jokower-Ahoker melawan hater yang tidak kunjung usai? Aku tidak sudi percaya kalau bidadari secetek, seklise itu. Lebih baik aku ge-er, merasa bidadari-bidadari menangisi kebisuanku, kesepianku, kesunyianku, sedang aku, seperti Rahwana, terjepit di tengah-tengah dua gunung. Kepalaku tetap sepuluh. Aku tetap hidup. Namun aku tidak bisa apa-apa selain berteman nyanyian sunyi, sepi, bisu.

Di sini sebenarnya ingin sekali kuberi rincian mengenai kenikmatan seksuil yang tengah kurasakan seraya terjepit di tengah-tengah begini, namun karena tekadku untuk menjadi Yuli Cahyono, tentu saja kuurungkan niatku. Biarlah sidang pembaca mengerahkan segenap daya khayal mencipta kembali kenikmatan seksuil dalam benak masing-masing. Ya, karena itu semua hanya dalam pikiran. Bahkan ketika kau merasa seperti menjerit, itu pun hanya dalam pikiran. Karena sekelilingmu tiada lain kecuali kesunyian, kesepian, kebisuan. "Seperti itu," kata Bang Sony Maulana Sikumbang.