Wednesday, March 15, 2017

Betapa Indahnya Dunia, Dunianya Indah Betapa


Di suatu hari Rabu, maka yang umum iklim berubah. Benang perak dan jarum emas tidak akan sanggup menyatukan hati yang rengkah karena hidupnya musim panas dan matinya musim dingin. Panas dan dingin berganti-ganti, mulur dan mungkret; kecuali air, karena dengan anomalinya ketika beku justru membelah-rengkah batu-batu. Sedang batu licin tandas oleh belaian air, elusan angin, terlebih hati yang sepi takkan sanggup mengatasi yang demikian itu.


Cinta selalu saja menjadi sumber inspirasi bagi seniman. Mengapa seluruh manusia di muka bumi ini tidak menjadi seniman saja, atau pemabuk? Kesakitan, terlebih yang sangat, memang seringkali tidak terlupakan. Sampai terbawa mimpi, sedangkan mimpi dalam bahasa Jerman sama dengan luka. Luka badan akan sembuh dengan sendirinya, tetapi tidak luka hati. Hati adalah batu, dan cinta, dan dusta adalah air dan angin. Maka jadikanlah hati dari baja, dibakar, ditempa, didinginkan, ulangi lagi.

Puisi sialan ini lantas untuk siapa? Untuk siapapun yang melambaikan tangan di tepi jalan minta tumpangan, tidak peduli apakah ia bercelana jeans atau tidak bercelana sama sekali. Bagaimana kalau bau? Ceboki, mandikan, keramasi. Apapun yang menutup badannya, sehelai pun, renggut. Biarkan begitu, pandangi. Tepat di sinilah gagalnya Begawan Wisrawa, tidak peduli apakah gelandangan atau putri raja, pasti menggagalkan. Begawan Wisrawa pasti akan berakhir menggagahinya.

Apa mau dunia terbolak-balik? Apa mau surga menjadi neraka? Apa mau dewa menjadi manusia? Tidak mungkin. Mustahil. Sedangkan terik matahari terhalang lebat dedaunan pohon durian pun terkadang masih sanggup menembus, mencapai tanah, menghangatkannya. Meski ditutup dengan sandal jepit sekalipun, tetap berkas cahaya menyinari punggung kaki. Matahari, teriknya, berkas cahayanya tidak akan pernah di bawah telapak kaki, apalagi sandal jepit.

Tetes demi tetes peluh membasahi tubuh yang juga basah berpeluh. Peluh bercampur peluh, dan seorang anak kecil dimarahi ibunya karena bertanya mengenai peluh yang menetes. Ia padahal ingin mereguk nikmatnya peluh, dari buah-buah dada wanita dewasa dalam khayalan yang tak pernah terwujud. Khayalan itu, seperti luka, adalah mimpi buruk yang tidak akan berhenti merundung benak. Setua apapun anak kecil itu menjadi, luka itu akan tetap basah, terus bernanah.

Maka selesailah. Dengan kedua tangan dimasukkan saku samping celana, dan perasaan tersimpan rapi dalam saku kemeja, anak kecil melangkah pergi. Tepian pejalan kaki disusuri di bawah remang cahaya toko-toko Cina. Perasaan dan kedua tangan ia tidak punya, setidaknya tak terlihat mata yang hanya peduli pada apa yang ingin dilihat. Maka cobalah termenung, seakan kehilangan sesuatu yang sangat berharga, yang tidak mungkin kembali lagi, sampai selama-lamanya. Begitulah.