Sunday, May 31, 2015

Tentang Honda Kocak, Kepada Togar Tanjung


Kepada Yth. Togar Tanjung di Tempat... Istirahaaattt... Grak!

Sudah lama aku tidak menulis surat. Maksudku, surat yang begini. Beberapa bulan yang lalu, sekitar lima bulanan, aku masih menulis surat. Surat-surat malesin itu, yang pakai nomor. Aku tidak mau menulis surat begitu. Aku mau menulis surat begini. Ini seperti surat yang ditulis di atas kertas khusus. Kertas surat. Biasanya tipis, tapi kalau untukmu tidak perlu yang harum 'lah. Sudah gila apa?! Nah, itu dia, karena surat gila seperti ini hanya mungkin kutujukan padamu. Masa kepada Dekan FHUI Prof. Topo Santoso, SH., MH., Ph.D? Sudah gila apa?!

Baiklah langsung tudepoin aja. Aku tidak setuju jika kau mengatakan Honda Kocak sebagai idola barumu. [Cak, maaf namamu terpaksa kuanagram. Aku takut sampeyan masih bisa ge-er kalau kutulis namamu seperti adanya] Aku tidak setuju jika kita sesama kawan seperjuangan saling mengidolakan. Lagipula apa itu idola? Berhala? Tidak! Kita manusia bertuhan. Kita mahluk Allah. Hanya Allah yang patut dimintai perlindungan, disembah, dipuja dan dipuji, karena Ia Maha Baik. Sedangkan kita, kau, aku dan Honda Kocak, adalah kawan seperjuangan.

Anindya Kusuma Putri Indonesia 2015
Apa yang kita perjuangkan? Kita berjuang untuk terlihat waras, setidaknya di depan umum. [Oh, berarti Lisa termasuk kameradwati, dong...] Meski bolehlah kita, kau dan aku, sedikit prihatin pada Honda Kocak yang kelihatannya semakin lelah berjuang, semakin tidak peduli dengan tampaknya jatidiri, semakin tidak ambil pusing dengan ketelanjangannya. Namun, tunggu... apa benarkah kita harus prihatin padanya? Setidaknya untukku, yang merasa menghargai tinggi ketelanjangan... apa benar aku prihatin? Apa harus malu, apa harus takut, jika kita sebenarnya... Yahudi?

Heh heh heh tentu saja kita bukan Yahudi benar-benar. Hanya saja, tidakkah ini mirip sekali dengan permainan yang dimainkan Yahudi dan Inkuisisi di Eropa Abad Pertengahan? Ini mirip sekali! Mari belajar di sinagog, tapi di bawah tanah. Harafiah, di bawah tanah. Di atas tanah, jadilah Katolik yang taat. Di atas tanah, ikutlah kebaktian di gereja. Di atas tanah, maki-makilah Yahudi... bangsamu sendiri... Maka sudah pada tempatnya jika, di atas tanah, kita sedikit menggeleng-gelengkan lemah kepala-kepala kita, “prihatin” atas apa yang diidap oleh Honda Kocak.

Togar Tanjung yang baik. Aku tahu, aku ini pengaruh yang sangat buruk bagimu. Kalau bagi orang Katolik taat lainnya, tidak perlu dikatakan lagi. Namun bahkan sebagai sesama Yahudi saja, aku ini pengaruh buruk. Heh heh heh mungkin tidak seburuk itu, karena sekarang saja aku merasa agak khawatir dengan perumpamaan yang kugunakan ini, takut menyinggung perasaan orang hahaha... atau, mungkin justru kau bisa menolongku. Bisakah kau menolongku agar agak lebih ingin untuk... menulis proposal?

Jika Honda Kocak, aku curiga, masih harus dianagram, Mas Toni Edi Suryanto, kurasa, tidak perlu lagi. Honda Kocak mungkin masih punya ibu, dan itu, Insya Allah, adalah alasan yang cukup kuat baginya untuk memperhebat Wahana Krida Ketahanan Revolusi. (Hada Hanrev) Mas Toni, kurasa, kalaupun masih punya, lebih intim dengan kucingnya ketimbang ibunya. Mungkin Mas Toni merasa aneh kalau harus berbagi nasi pembagian panti dengan ibunya, karena itu lebih pantas dilakukan bersama kucing.

Inilah yang dapat kusampaikan padamu, Gar. Honda Kocak, Mas Toni, bukan idola. Mereka kawan seperjuangan. Hanya saja, Honda Kocak masih berjuang, Mas Toni sudah... jadi pahlawan. Lhoh, pahlawan ‘kan buat diidolakan, Bang, begitu mungkin tukasmu. Hhh... aku juga tidak mengerti dengan main pahlawan-pahlawanan ini, sama tidak mengertinya aku mengapa Mayor Udara Sujono merasa dirinya seorang nasionalis bukan kominis. Sudahlah, Gar, tidak usahlah kita main pahlawan-pahlawanan. Mari kita sebut saja, Mas Toni sudah... hilang akal. (sic?!)

Wassalam Asmuni. Sarungnya Lelaqi

Saturday, May 30, 2015

Senang di Pulau, Bermandi Sinar Matahari


Jika aku sampai berhasil menyelesaikan, jangankan satu entri, satu alinea berikutnya saja, itu sudah di luar kebiasaan. Demis Roussos sudah susah-payah menarik urat lehernya sampai sembilan lagu, dan tidak muncul juga gairahku untuk mengetuk-ngetuk papan-kunci. Lucunya, beberapa hari bahkan minggu terakhir ini, ketika aku sudah menggelar X450C bukan gairah menulis yang kudapati, melainkan justru membaca-baca entri lama. Hehehe memang itulah gunanya Kemacangondrongan ini. Aku suka masa lalu. Aku suka nostalgia.

Suatu kesukaan yang, kurasa, seringkali atau setidaknya berkali-kali, membuat orang kurang suka. Setiap perbincangan, setiap pembicaraan, pasti kuseret ke arah situ. Jangan-jangan Fred von Savigny juga seperti itu. Bukan berarti hukum itu selalu ditentukan oleh sejarah yang pernah dilalui suatu kaum, hanya saja Fred terlalu suka sejarah seperti aku. Namun mungkin aku tidak sendirian. Nyatanya, kawan-kawan TN bahkan sampai membuat satu grup Telegram tersendiri khusus untuk mengobrol sejarah. Sayang saja, aku sudah muak dengan grup-grupan ini.


[Hey, sejauh ini sudah buyar itu batas kebiasaan beberapa hari atau minggu terakhir ini. Cukup rampak aku mengetuk-ngetuk papan-tekan menjelang tengah hari ini. Mendekati kecepatan tertinggiku, bahkan] Jika hanya diobrolkan dalam sebuah grup Telegram, aku khawatir tidak menghasilkan apa-apa. Namun demikian, bocah-bocah ini akan menjadi sekutu dekat dalam menyusun materi kaderisasi. Kelak jika sudah diketok maka dapat dimulai rekrutmen terhadap bocah-bocah ini. Tinggal lagi melihat, mereka kuat menulis, atau sekadar cepat jarinya memencet-mencet layar sentuh.

Lantas, seperti biasa, jika terlalu mengempos maka tak lama kemudian mengempis. Sejujurnya aku sedang malas, atau rasa malas itu kembali menghantui. Pekerjaan di Djeproet terbengkalai. Ah, sekaranglah waktunya aku merekam cerita Cantik tentang Seno Gumira Ajidarma. Terus terang, aku agak kagum pada bapak satu ini. Cerita bahwa dia sangat produktif, dalam sehari setidaknya menghasilkan satu tulisan, mengonfirmasi kekagumanku. Memang tidak mungkin ada orang yang pantas dikagumi jika ia tidak bekerja lebih keras dari kebanyakan orang.

Sedangkan tidak kurang dari Cantik sendiri mengatakan aku Pemalas. Bahkan Istriku sendiri, yang kusangka merupakan Belahan Jiwaku, tidak mengerti aku. Jika sudah begini, biarlah kuputuskan, memang tidak mungkin ada orang yang akan memahamiku. Biarlah kulakukan sesukaku saja, tapi terus kulakukan dan kulakukan dan kulakukan, karena tidak ada orang pantas dikagumi jika ia tidak bekerja lebih keras dari kebanyakan orang. Terlebih lagi, aku tidak butuh kekaguman, karena hanya aku yang berhak mengagumi diriku sendiri.

Di atas ini, jelas kesombongan, kepongahan. Begitulah aku terlahir. Aku hanya bisa berusaha dan berharap agar bawaan lahir ini tidak memancar sampai terpindai orang lain. Biar aku saja yang tahu dan orang-orang yang kebetulan mampir ke sini. Lagipula apa yang dapat disombongkan. Tidak ada. Beginilah mungkin cara Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang menolongku. Jika saja aku diberi satu atau beberapa hal yang dapat kusombongkan, entah berapa banyak lagi dosa dan dosa yang akan kutumpuk.

Begitulah maka pagi ini dari statusnya Pak Topo aku mengetahui bahwa Mbak Melda sudah jadi guru besar. Proficiat, Mbak. Aku tidak heran kalau Mbak Melda yang menjadi guru besar tetap FHUI berikutnya setelah Pak Dekan Topo. Lagipula, ketimbang Mbak Melda, aku lebih mirip adiknya Milson Kamil. Kami berdua sama-sama pemalas. Makanya aku sedih ketika Mas Mils tidak punya lagi dorongan untuk maju. Entah ke mana yang penting maju. Kita mana tahu, Mas.

Sunday, May 17, 2015

Bapak Indian dan Anak-Cucunya


Akankah kuhasilkan satu entri khusus mengenai topik ini? Mengenai tiga kamerad, kawan seperjuangan menempuh... apa? Apa yang ditempuh? Nasib? Takdir? Ada menyelinap sedikit rasa untuk mengabaikan saja suasana sentimentil yang sudah menjurus pada melankoli ini. Namun begitu, kuat juga mendentam perasaan untuk menghormati tiga kamerad ini, karena bersamaku memang cuma ada kami berempat. Berempat menanggung apa? Nasib? Takdir? Bisa keduanya, yang mana saja tidak menjadi masalah. Nasib tidak terdengar lebih pesimis. Takdir tidak terdengar lebih heroik.



Eyang Padmodidjojo pernah melaksanakan tapa pendem empat puluh hari empat puluh malam. Itu menunjukkan tekad yang kuat. Demikian juga pohon jambu sudah banyak berbuah, meski tadi pagi masih banyak tawon menghisap madu dari kembang-kembangnya. Akan tetapi yang lebih penting dari itu semua sebenarnya adalah sesering mungkin. Sekerap mungkin. Insya Allah. Apapun itu tidak akan lebih penting dari yang satu ini. Kasih sayang yang diungkapkan, dinyatakan. Meski tentu saja harus seiring sejalan, karena hasil perjuangan juga harus bisa dibawa pulang.

Lalu, Ulang Tahun Kolinlamil. Sungguh, ini lebih lama lagi tidak pernah bertukar kata. Bisa berbulan-bulan bahkan lebih. Benarkah aku pernah benar-benar membubungkan doa, ataukah cukup doa sekadar grenjetnya hati? Bahkan sebelum aku menulis entri ini, aku diantarkan pada entri lain yang temanya tepat seperti apa yang sedang kugarap sekarang ini. Apakah itu doa yang terucap, atau sekadar bergerinjulnya hati, itu semua ada. Lebih dari apapun, apa yang telah kita lalui bersama cukuplah menjadi ikatan yang tidak akan putus selamanya.

Lalu, Parker Crane naik Eskalator. Aku melihat hidupmu berat. Aku melihat hidupmu mungkin jauh lebih berat daripada yang pernah kualami. Aku merasa hidupmu pasti lebih berat dariku. Kata-kata lembut, hanya itu yang dapat kuberikan. Aku pun tidak berdaya. Sudah banyak kata kuhamburkan semata untuk membuat hidup lebih baik, namun semua itu tinggal kata-kata yang terhambur. Apakah aku pernah benar-benar berdoa untukmu, atau cukup keprihatinanku menjadi perisai dan jubahmu? Perisai yang meneduhi di kala terik, jubah yang menyelimuti di kala dingin?

Lalu aku sendiri. Menolong diriku saja aku tidak bisa. Apa yang dapat kulakukan untuk kalian? Memang bukan aku yang dapat, mampu melakukan apa-apa untuk kalian. Memang doa itulah yang harus kububungkan, entah sambil menengadahkan tangan, entah sekadar keprihatinan di hati. Ya Allah, hamba mohon jagalah mereka bertiga selalu dalam lindungan dan pertolonganMu. Mereka bertiga adalah kawan-kawan seperjuangan hamba satu nasib satu takdir. Ampuni hamba yang bermulut besar ini, Ya Allah, Engkau pasti mafhum akan keprihatinan hamba pada mereka.

Akhirnya, kami berempat tidak ada istimewanya dari sekitar tujuh milyar anak Adam di muka bumi ini, laki-laki dan perempuan. Hamba memang banyak mulut mengenai nasib dan takdir, tapi mereka adalah tiga laki-laki yang hamba kasihi, istimewa bagi hamba. Ampuni hamba karena mengistimewakan mereka dari lainnya, Ya Allah. Mungkin karena kami masih hidup, Ya Allah, sedangkan dunia ini, Ya Allah, betapa mengerikannya jika bukan karena Kasih-sayangMu. Mudahkanlah kami bertiga untuk selalu mengingatMu, bersyukur padaMu, memperbaiki mutu penghambaan padaMu.

Akhirnya, jadi juga entri mengenai topik yang memang sangat pantas ditulis ini, meski memang terasa sentimentil dan melankolis. Memang ini sangat sentimentil dan sangat melankolis. Memang ini adalah mengenai hamba, yang lemah dan lemah saja sifatnya, bahkan sejatinya tidak ada. Akan halnya mereka ada bagiku, itu semata karena nasib dan takdir. Nasib dan takdir ini jualah, ini sajalah yang mengikat kami berempat. Entah juga mengapa harus berempat, namun begitu itulah rasaku.

Saturday, May 16, 2015

Takkan Mungkin 'Ku Melupakanmu, Manis...


Kali ini aku menulis entri tanpa ditemani melodi apapun, karena di kejauhan sudah terdengar suara tilawah. Memang jika dirasa-rasa, banyak kemiripan antara Jeruk Purut dengan Radio Dalam. Insya Allah setelah libur nanti aku dapat menghabiskan waktu lebih banyak di sana. Tadi sebelum hujan ada suasana nyaman yang sudah lama tidak kurasakan, dan itu dipicu oleh bunyi-bunyian yang dibuat ayam katai. Aku tidak tahu apa-apa mengenai perilaku ayam. Suara-suara yang dibuatnya tadi tidak bising, justru nyaman.


Aku tadi membatin, dengan suara-suara ini yang dibuat ayam katai, ditambah suara tilawah di kejauhan... sempurna! Sayangnya sekarang hujan, jadi suara ayam katai tidak terdengar lagi. Sekarang diganti oleh gericik hujan dan desau angin, tetap dengan suara tilawah di kejauhan. Apakah setelah ini akan dilanjutkan dengan ta’lim ibu-ibu? Uah, kenangan yang sungguh manis, semanis hidup di masa kanak-kanak ketika belum menanggung beban dosa. Hidup ini akhirnya hanya berganti-berganti antara nyaman dan agak nyaman. Selebihnya... aku tidak tahu apa-apa.

Ya, siang ini aku memang sedang di Jalan Radio, di kamar yang penuh kenangan ini. Kamar ketika aku bermimpi tentang seekor kura-kura raksasa mengapung di langit malam. Di atas tempurungnya ada tiang tinggi sekali, sedangkan di puncaknya ada bintang. Bintang itu begitu memukau sampai-sampai aku ingin mendapatkannya. Namun ternyata aku tidak sendirian. Banyak juga yang punya ide yang sama. Akhirnya kami berlomba, dihadang berbagai kesulitan pula Badai pasir dan semacamnya, seingatku. Setelah susah-payah memanjat tiang, akhirnya aku berhasil mendapatkan bintang itu!

Akan tetapi, setelah mendapatkan bintang, sekonyong-konyong kutemui diriku sendirian di tengah-tengah padang pasir yang sangat luas. Sejauh mata memandang hanya pasir bertemu dengan langit dini hari yang terang kebiruan. Inilah mungkin satu-satunya mimpi yang kuingat sampai ke rinciannya, dan ini terjadi ketika aku masih TK atau kelas-kelas awal SD. Setelah itu aku terbangun. Terdengarlah Rabighfirli warhamni watub’alaya diulang-ulang, yaitu senandung al-Mukhlisin jika sedang menunggu masuk waktu Shubuh. Apa arti dari mimpi seperti ini?

Kini tilawahnya sudah berhenti, digantikan oleh suara yang aku dengar sudah sejak lama sekali, dari tiga puluh tahun yang lalu bahkan lebih. Suara siapakah ini? Ustadz H. Abdul Qodir? Entahlah. Lucunya lagi, aku merasa agak lapar, seperti sudah ingin menyantap cisburger yang memang dibelikan untukku oleh adik-adikku. Makan sedikit-sedikit. Cuma itu yang aku tahu untuk mencegah hilangnya rasa nyaman yang kurasakan kini. Melodi apa yang cocok untuk suasana dan suasana hati seperti ini? Penelope-nya Paul Mauriat mungkin.

Ya, menarik sekali. Aku merasa lapar. Ini adalah sebuah pertanda bagus. Aku selalu takut kalau aku tidak ingin makan. Kemarin kumat sampai sebegitunya, jika bukan karena @#!? mungkin juga karena anak-anak yang ribut saja ketika sedang khutbah Jumat. Ya Allah, hanya kepadamu hamba dapat berlindung dari rasa tidak nyaman seperti kemarin itu. Beranikah hamba berjanji? Salahkah hamba jika tidak berjanji, seperti yang pernah hamba buat pada 2002 itu? Ah, tetap saja, diikrarkan maupun tidak, Allah lebih tahu isi hatiku.

Tinggal lagi aku sekarang, apakah aku hamba nista tak tahu malu, atau hamba yang tahu berterima kasih pada Tuannya yang Maha Baik Hati. Apa susahnya sih? Setidaknya jangan banyak alasan. Mustahil orang mengaku beriman lalu tidak dicoba. Itu sudah pasti. Sedangkan aku baca Quran setiap hari saja tidak, mau tidak dicoba. Lhoh, justru orang yang sudah begitu mungkin cobaannya lebih berat lagi daripadaku. Apapun itu, Ya Allah, hamba mohon, jadikanlah hamba selalu mengingatMu, tahu berterima kasih padaMu, berusaha menjadi hamba yang lebih baik lagi. Aamiin.

Friday, May 15, 2015

Sudah Tentu Ini Teripang, Dian Sastro!


Malam adalah waktu beristirahat, sedangkan terang adalah waktu bergiat. Namun malam begitu tenang, begitu syahdu, begitu mengilhami. Malam begitu menggoda untuk menulis entri. Tadi pagi aku banyak tidur, karena memang libur. Padahal sebentar lagi pagi, bahkan sekarang ini sudah dini hari. Sudah pada tempatnya jika aku mengucap syukur atas rasa badanku kini, terutama jika dibandingkan kemarin pagi. Lagian, sudah tahu sedang kumat, koq ya makan santan kental begitu. Untung saja tidak pakai telur pedas.
 
Ini gambar sepiring taiks. Ada dua potong terclepret
Bercerita tentang hariku, kurang menarik. Perasaanku, datar-datar saja. Rencana-rencanaku, belum punya. Hanya saja, semakin banyak orang membaca-baca entri-entri di sini, entah apa manfaatnya bagi mereka. Aku sendiri baru membaca-baca entri-entri lama. Bahkan, ketika aku shalat Isya’ yang sudah lewat tengah malam tadi, yang terpikir olehku adalah menulis entri. Ya, badan yang Alhamdulillah terasa nyaman dan sunyinya malam adalah paduan yang sempurna untuk terbitnya rasa seperti menulis, meski itu entri. Membaca-baca entri itu saja sudah menghibur, apalagi menulisnya.

Dari cenderamata yang satu ke cenderamata yang lainnya. Amboi, sedih sekali hidup seperti itu. Syukurlah aku hanya harus mendengarkannya, mungkin sedikit berkhayal tentangnya, namun tidak benar-benar menjalaninya. Hidupku sendiri... tidak jauh berbeda dari Khodori Eko Purwanto mungkin, si Eliot Ness itu. Anjrit mana mirip pun tampangnya, atau gara-gara potongan rambutnya? Jadi, pagi ini, atau kapan, motor Eliot Ness kempes bannya gara-gara tertusuk paku. Alhamdulillah, dengan adanya cairan pengisi ban tubeless, setidaknya Vario Sty tidak akan langsung kempes kalau tertusuk paku.

Nah, mungkin di sinilah cocok kumasukkan apa yang terngiang-ngiang sepanjang hari ini dalam benakku. Meski begitu, aku merasa tidak pantas menuliskan nama-nama mereka di sini. Tidak di entri ini, setidaknya. Benarkah Eliot Ness dan kawan-kawannya telah sedia menyerahkan jiwa raganya untuk Cita-cita Perjuangan Bangsa? Mungkinkah melakukannya sedangkan masih ingin hidup, masih ingin kaya, masih ingin Raisa? Oh, sedangkan kebisaanku satu-satunya kini pun menghalangiku. Aku tidak bisa lagi berbicara terlalu berapi-api.

...atau, jangan sepesimis itu? Sore ini, 'kan aku membeli jelly teripang? Mana tahu, atas seizin-Nya, jika memang satu-satunya kebisaanku itu memang penting untuk Bangsa dan Negara ini, akan dikembalikan lagi padaku? Jika aku boleh memilih, ya, seandainya saja tersedia padaku pilihan-pilihan, sejujurnya aku lebih suka diam. Akan tetapi, bagaimana caranya mengajar Koperasi dengan diam? Bagaimana caranya menanamkan benih-benih revolusioner jika tidak memanggang diri sendiri dengan bara apinya? Sampai panas terasa itu diafragma, sampai terbatuk-batuk, sampai tidak bisa bicara?

Hanya Allah yang tahu bagaimana caranya. Mengajar koperasi dengan membiarkan mahasiswa lebih aktif, sedangkan yang diperlukan adalah cuci otak dari segala tipu daya kemodalan keduniaan? Hah, masih ini juga temanya, karena memang ART belum dibuat, dan memang beginilah seharusnya suasana kebatinan dari ART itu. Jika tidak, untuk apa? Meski belum juga tega aku membayangkan diri sendiri memikirkan citedness dan hanya itu. Citedness, yang jelas, bagiku, bukan excitedness, makanya yang benar adalah excitement! Raisa? Dian Sastro? Hanya Ajo yang tahu.

Begitu banyak orang tahu mengenai pendidikan dan cara-cara mendidik. Mungkin lebih banyak lagi yang merasa tahu. Aku tahu apa? Aku hanya tahu perasaanku sendiri. Sering sekali kutemui diriku sedang sangat ingin bernyanyi untuk khalayak, justru ketika aku akan mengajar. Itu adalah suatu suasana hati yang bagus, sesuai, meski tidak tepat. Menghadapi mata-mata itu, atau wajah-wajah bosan, mengantuk, gelisah... mungkin inilah pembenaran mengapa harus lebih berpusat pada mahasiswa. Jika pun sekadar untuk mendapatkan uangnya, maka layaklah dicoba.

Wednesday, May 06, 2015

Air Mata di Bantalku, Sakit di Hatiku


Hari ini, atau sudah beberapa hari terakhir ini, mengapa aku meragukan paham kebangsaan? Mengapa aku tidak berhasil menemukan, setidaknya pada detik ini, pembenaran mengapa perlawanan terhadap kemodalan harus dilakukan dari satu bangsa ke bangsa lainnya? Mengapa, kalau toh yang dilawan adalah kemodalan juga, harus dilakukan sendiri-sendiri oleh satu bangsa ke bangsa lainnya? Sebentar... baru saja aku teringat, sudah beberapa kali kukatakan pada banyak orang, bukan aku menentang kemodalan. Kemodalan yang seperti apa dulu...


Dan ternyata... aku tidak tahu apa-apa tentang kediktatoran proletariat. Masa aku baru paham malam ini bahwa kediktatoran proletariat, setidaknya secara teoritis, tidak dimaksudkan untuk kekal selamanya. Kediktatoran proletariat diperlukan untuk mengikis habis semua jejak kemodalan, dari gagasannya itu sendiri, sikap mental yang sudah terlanjur tertanam dalam benak orang, sampai berbagai pelembagaannya. Jika itu semua sudah lenyap dan terbentuklah masyarakat komunis, maka kediktatoran proletariat tidak diperlukan lagi. Silakan. Saya pasrah rela lega lila ditertawakan. Mengaku revolusioner tapi begitu saja baru paham sekarang.

Dan memang di situlah kekuranganku selama ini. Haruslah kuakui sejujurnya bahwa aku tidak pernah benar-benar membaca buah pena Tan Malaka yang manapun sampai baru beberapa hari ini saja. Membaca... sungguh geram aku pada kampret-kampret yang pengen segera aksi ini. Sebenarnya pengen aksi tidak mengapa juga, asalkan jangan bilang mengawang-awang-lah, omdo-lah, dan sebagainya itu. Kampret burjuis memang kalian semua! Aku bertekad membuat kalian berdisiplin ideologi dan berdisplin strategi. Baru dan hanya baru setelahnya-lah kalian boleh beraksi dan itupun harus disiplin!

Pikiran ini sebenarnya berbahaya, tapi biarlah kuabadikan di sini. Mana tahu besok-besok akan kukoreksi. Ya, mengejar gelar doktor itu memang untuk diriku sendiri. Untuk Bapak dan Ibu paling jauh. Selebihnya tidak ada gunanya. Guru besar? Meneliti? Menulis? Semua tidak ada gunanya untuk rakjat! Ya Allah, mengapa aku jadi begini? Tidakkah ini akan membuatku terseret semakin jauh darinya? Aku dosen tetap Universitas Indonesia. Aku harus doktor. Emang iya? Entahlah. Entah, aku benar-benar tidak mengerti.

Berurusan dengan kampret-kampret burjuis ini memang kurang sehat, kecuali kuimbangi benar-benar dengan upaya-upaya menjaga kesehatan. Mereka selalu menantangku, dan sudah lama aku tidak begini. Tidak mundur dari tantangan, ditambah dengan mulut besarku. Tidak banyak pilihanku kecuali berusaha membuktikan kata-kataku sendiri yang sudah kuumbar. Mau sampai mana ini semua? Sampai mana pun tidak mengapa. Menjaga kesehatan lahir batin. Cuma itu yang dapat kulakukan, sudah terlanjur sesumbar. Semoga Allah memaafkanku, mengampuniku, menolongku.

Ini gambar Tonto dan temannya di bawah ini sungguh ngeselin mukenye, meski tidak se-ngeselin kelakuan kampret burjuis yang maunya cepat-cepat saja. Lhah masih mau kaya? Memang seberapa banyak oom-oom gila yang bisa kukumpulkan? Harus cukup banyak-lah. Oom Steve Manahampy sudah menghitungnya, entah mengapa suka sekali dia menghitung. Kebutuhannya banyak! Ini semua sudah kepalang tanggung. Sudah berapa tahun kegilaan ini berlangsung? Sudah hampir dua tahun! Tidak ada lagi jalan menghindar!

Berbicara mengenai hidup yang sia-sia, pasti lebih banyak lagi hidup yang lebih sia-sia dari hidupku. Aku pernah membaca entah di mana lupa, seseorang yang tidak punya apa-apa kecuali angan-angan mengenai revolusi dan pikiran-pikirannya yang dia kira revolusioner, sampai dia dieksekusi oleh tentara reaksioner. Jangan-jangan pikiran-pikiran seperti itulah yang mencari-cari jasad baru, dan itu kebetulan jasadku. Masih banyak lagi sebenarnya jangan-jangan yang dapat kutambahkan pada daftar ini, tapi lebih baik tidak usah. Ini takdir!

Dosamu Banyak!