Sunday, January 28, 2018

Entri Kelima yang Ditulis di Bagasnami


Mumpung masih ada kesempatan, maka ditulislah entri kelima meski tidak precies di Bagasnami. Ini adalah entri mengenai Bagasnami. Insya Allah, agak setahun ke depan vrij dulu menulis topik ini, meski tidak menutup kemungkinan masih ada satu lagi untuk tahun ini. Bisa jadi, sepanjang 2018 ini justru mengenai Kees Broekmanstraat seperti halnya Laathofpad dulu. Insya Allah namun lebih baik segala-galanya. Amin. Aneh juga menulis mengenai Bagasnami ditemani Lionel Richie menyanyikan lagu puji-pujian untuk cinta dan kebebasan.


Bagaimanapun ada benang merahnya. Ini memang mengenai rumah-rumah, Laathofpad Zes dan Bagasnami. Enam dan Tujuh Belas. Ini bukan mengenai kegilaan maupun cocoklogi, meski Kristiyono yang marinier overste begitu saja menghubungiku. Ya, karena aku tidak pernah jadi marinir apalagi Lutung Kasarung. Membanggakan dongenganku juga tidak mungkin, karena jelas yang mungkin berpendapat ia lebih keren hanya diriku sendiri. Kodamar Sunter Kelapa Gading bagaimanapun kompleks Angkatan Laut. Mungkin memang beginilah suratanku.

Berbicara mengenai suratan, jelas tidak terlalu buruk, bahkan cenderung sangat baik. Meski rasa sakit seperti kemasukan kerap mengganggu, namun gudeg dan krecek berkatan ulang tahun perkawinan Pak dan Bu Midjo sungguh nyamlengnya. Tentu saja, teri, tahu dari gulai ayam masih ditambah sambel tempenya sekali. Sekali lagi, yang penting adalah suasana hati yang diciptakannya. Betapalah tidak Maha Kasih Ianya, Maha Penyayang. Betapa nyamannya diselimuti kasih-sayang begitu, masih dibelai-belai pula penuh dengan kelembutan. Mumpung masih di sini.

Akan halnya ada kemungkinan menjalankan ibadah puasa di entah bagian mana Amsterdam maupun sekitarnya, toh Ramadhan adalah Bulan Kasih Sayang, Bulan Penuh Ampunan. Tepat ketika inilah aku teringat buku yang kubeli pada 2010, yang belum pernah kubaca, berjudul "Merindukan Bulan Ramadhan." Insya Allah, inilah yang akan kubaca di GA 88, jika Kees Broekmanstraat belum dapat dipastikan sekarang. Di manapun, Insya Allah ini yang akan kubaca dan kutamatkan! Semoga sebelum 'Idul Fitri 1 Syawal 1439 H. Amin. [Dapatkah kucicil dari sekarang juga...?]

Uah, kurasa kini pun aku berada dalam limbo, seperti pertengahan tahun lalu. [siakle Adrianus Eryan, gara-garanya aku mengasosiasikan kemacangondronganku dengan limbo] Namun tidak kalah siaulnya skema LPDP ini jika dibandingkan dengan StuNed. Seingatku, aku tidak repot ngapa-ngapain tau-tau berangkat, tau-tau colok ATM banyak duit. Sudahlah. Tidak ada pula yang dapat dilakukan, maka nikmati saja limbuk ini. [Cantik begitu saja memelukku, mengatakan "I love you so much," dan betapa ia takut kehilanganku. Aku milikmu seutuhnya, selalu, selamanya]

Ramadhan, itu saja yang kuharap-harapkan. Insya Allah sekarang Jumadil Awal. Insya Allah jika Ramadhan kupersiapkan dan kujalankan dengan sebaik-baiknya, maka yang lain pun akan baik-baik saja. Aku yang sekarang sepele sekali dengan waktu shalat, cuek bebek dengan seruan Bilal yang tidak lain sesungguhnya seruan Allah... astaghfirullah, gaya-gayaan merindukan Ramadhan? Lebih baik gaya-gayaan daripada tidak sama-sekali. Mana tahu lama-lama menjadi betulan. Ramadhan. Apa lagi yang dapat diharapkan pendosa sepertiku? Sekali lagi kesempatan.

Jadi ini bukan limbo. Ini adalah kesempatanmu mempersiapkan datangnya Ramadhan, atau setidaknya ingatlah 24 Februari 2018. Siapkan sebaik-baiknya agar kabarnya pun sebaik-baiknya. Intinya, persiapkan. Sedangkan yang lainnya sekadar harus dijalani, maka yang dapat kaukendalikan, kendalikan supaya baik jalannya! Begini inilah entri kelima, yang meski ngakunya mengenai Bagasnami, malah nyaris tidak ada mengenainya. Bukan begitu. Justru inilah Bagasnami, tempat Mama selalu menonton Damai Indonesiaku. Semoga Allah menolongku. Amin.

Estetik. Seperti Cantik.

Thursday, January 18, 2018

Kamis Berhujan yang Sudah Tidak Terlalu Pagi


Di Kamis berhujan yang sudah tidak terlalu pagi ini, aku justru mengetik-ngetik. Sebenarnya aku sudah siap berpakaian dengan kaus golf Paradua dan celana Gabs krem mbladus. Dompet, hape dan kunci motor pun sudah siap di tempat masing-masing, ketika kudengar bisikan lembut gerimis yang disusul teriakan tetangga: "Bude, hujan!" Kuurungkan niatku mencongklang Parioh Sty, karena ini memang seharusnya liburan, yang berarti mencuri-curi waktu sepanjang hari tidak melakukan apa-apa. Itulah sebabnya aku tidak bergegas mengenakan mantel hujan Assio yang ribet itu.


Lain halnya jika ini hari kerja, tentu tiada pilihan lain. Dengan baju rapi kududuk di belakang X450C, setelah sebelumnya menyeduh Singabera rasa kayu manis yang lebih cocok dengan seleraku dibandingkan rasa sereh. Jika diurut maka kayu manis nomor satu, sereh nomor dua dan paling buncit yang rasa jahe saja. Winamp memutar hembusan saksofon Opa Billy memainkan irama-irama latin, dan dengan ini semualah aku mulai mengetiki. Jadi mengetik-ngetik adalah sesungguhnya bagian dari liburan, selain membangun dan menghancurkan peradaban tentunya. [bagaimana dengan membaca?]

Lebih pagi lagi tadi aku sesungguhnya sudah mencongklang Parioh, seperti biasa, ke arah prapatan PLN beli sarapan nasi uduk, lengkap dengan bihun orek tempe dan telor dadar beserta tahu pedasnya sekali. Seorang laki-laki mengemis di belakangku, kubelikan nasi uduk saja. Ia memesan hanya dengan tahu. Kutawari telur ia tidak mau. Begitulah maka aku pulang dan sarapan di depan tivi setelah sebelumnya menyeduh teh melati Tong Tji, seperti biasa. Sebelumnya sempat terpikir menonton berita-berita terkini, lhah koq cerita tentang orang nyolong duit mesjid, maka kuganti.

Setelah sebentar di Natgeo, acaranya Morgan Freeman tentang perang di Guatemala dan pembantaian suku Indian turunan Maya, kugeser sampai acaranya Roger Mooking main bakar-bakaran. Dengan acara inilah kunikmati nasi udukku. Banyak acara masak-masakan yang tidak membuatku berselera. Roger Mooking ini entah bagaimana selalu berhasil membuatku berselera makan meski yang dimasaknya hampir selalu daging bahkan babi. Tentu saja yang terbaik adalah Adam Richman dengan burger-burger dan hotdog-hotdognya, meski, seperti biasa, tentu saja, kebanyakan babi.

Sedang Opa Billy menyenandungkan Perfidia, hujan di luar kedengarannya sudah mereda. Seperti sudah kuduga, kemarin pun tiada produktif sama sekali; malah berakhir pesta pizza di HAN. Susah memang kalau suasana liburan begini. Sendirian bengong akhirnya mengerjakan yang tidak-tidak. Ramai orang tidak bisa berpikir malah ngobrol-ngobrol ngalor-ngidul. Okelah kalau aku masih mau liburan sampai akhir minggu ini, tetapi minggu depan sudah tidak bisa begini lagi karena bahkan 23 Januari saja sudah rapat staf pengajar. Itu artinya semester baru sudah menjelang!

Berapa banyak bocah yang mengambil peminatan lingkungan dan sumberdaya alam semester ini, tanpa aku melancar-gencarkan kampanye hitam terhadap peminatan lain? Jika ternyata sama saja, berarti usahaku kemarin-kemarin sia-sia saja, malah jangan-jangan menambah dosa karena mengolok-olok. Lingkungan memang menjadi bagian dari perhatianku, tetapi bukan porsi utama; karena---meski ada kecenderungan fasis---aku bukan ekofasis. Setidaknya kalau mau fasis tentu tidak dari varian itu. Betapa tidak, selalu berat hatiku untuk tidak memilih ideologi otokrasi hahaha...

Hujan tampaknya sudah benar-benar reda. Dengan prakiraan mengenai hujan dan badai petir, jika mau ke kampus memang sebaiknya kulakukan sekarang juga. Besok, Insya Allah, untuk sampai di Menara Peninsula sebelum jam 13.00 berarti aku harus berangkat setidaknya jam 10.00 dari Stasiun Depok menuju Tanah Abang agar sempat shalat Jumat di dekat-dekat sana dulu. Pencemaran air? Tahu apa aku mengenainya...? Ah, sudahlah. Sudah terlalu banyak undangan tidak kupenuhi, terutama undangan kawinan. Masa undangan seminar juga tidak mau datang, terlebih ketika dihubungi secara pribadi?

Wednesday, January 17, 2018

Entri Tidak Bagus Tapi Sudah Keburu Jadi


Dengan badan dan jiwa kotor aku mengetuk-ngetuk kibor Asus X450C ditingkahi musik-musik pilihan joki cakram [keras] Camajaya 102.6 FM. Seberapa lama akan tahan, sedangkan aku menjanjikan satu jam pada Devita Putri Dewi. Uah, kurasa aku tidak sanggup. Mungkin akan segera kuganti Delta 99.1 FM. Jiah, lagunya juga kids jaman agak now, 100% Lagu Enak 'pale lo manisan! Ini pun sepertinya tidak akan bertahan lama. Apa harus kuganti dengan daftarmainku sendiri, sedangkan guna radio adalah menyerahkannya pada joki cakram?


Di awal 2018 ini, tidak seperti tiga tahun yang lalu, pandanganku pada rumpun bambu di seberang sana Cikumpa terhalang oleh rak buku. Lagipula rumpun bambunya pun sudah tidak ada, diterjang longsor di musim penghujan yang mengakhiri kemarau panjang 2015 itu. Begitulah waktu terus berputar mengganti semua pemandangan dan pendengaran. Di titik ini entah mengapa kecepatanku melambat. Apakah karena suasana hati tak kunjung terbentuk oleh bunyi-bunyian yang inkoheren bagi otakku, meski sekarang si selalu juara mirip-miripan yang unjuk suara di I Radio 89.6 FM?

Apakah ini berarti aku harus merekam di sini bahwa Cantik pergi jalan-jalan dengan Sri siang ini, sedangkan sepatah pun dari modul Adat Law juga belum tertulis? Secangkir cappuccino memang sudah berhasil mengusir kelesuan. Aku memang sudah lebih bersemangat dibandingkan dengan beberapa jam lalu. Akan tetapi, itu 'kan badanku, sedang aku butuh pikiran dan jiwaku yang bersemangat. Mana tahu, setelah ini aku mandi dan mencongklang Parioh Sty ke kampus dan setibanya di sana pikiran dan jiwaku bersemangat. Bukan mustahil!

Ya, sepertinya memang harus dihentikan di tengah-tengah agar tidak nongol sedikit macam kutil. Sebagai tradisi lisan, puisi memang seni pertunjukan. Sebagai sastra, puisi adalah sesungguhnya seni rupa. Jadi estetika visual pun sangat penting. Memang tidak bisa diharapkan segala sesuatu selalu sesuai dengan keinginanmu, seperti mengharapkan waktu tidak akan pernah berlalu. Meski bunyi-bunyian agak entah-entah, suasana hati harus terus dijaga. Nasi kuning lengkap memang selalu membuat kenyangnya awet. Semoga ini bertahan sampai nanti malam.

Apakah harus kujaga agar selalu rata kanan rata kiri seperti forced justify begitu? Ah, itu berlebihan. Malah dapat mengekang kreativitas. Tidak selamanya aku, seperti siang ini, iseng banget saben-saben ngecek pratinjau. Sudah masuk lohor sedang ini masih kurang dua. Meski entah-entah ternyata lumayan juga. Ini malah seperti menginap di rumah teman yang kebetulan kaya-raya sehingga lumayan nyaman, meski tetap saja sekadar lumayan karena nyaman yang sejati hanya di kandang sendiri; yang aku sedang tidak punya sekarang. Kandang belajar? Jangan, ah.

Ada risiko besar jika ke kampus justru tidak produktif seperti sudah dua hari ini, Senin dan Selasa. Jika hari ini juga tidak, maka aku hanya punya besok untuk produktif, karena Jumat aku sudah berjanji pada Fajri Fadhillah untuk menghadiri seminarnya. Sudah itu pulangnya ke Jalan Radio karena Ibu memintaku menginap di sana. Tadi pagi ketika kukatakan pada Cantik, ia tidak setuju. Maafkan aku, Cantik. Kamu tahu sendiri aku lebih suka tidak ke mana-mana. Tadi malam juga sudah masuk email petunjuk untuk mengurus visa, jadi memang aku harus ke kampus.

Ini siangku yang tipikal, ketika aku tidak punya janji yang terlalu penting. Insya Allah, akan datang waktunya aku membaca-baca entri ini lagi sambil membayang-bayangkan siang tipikal ini, sedangkan siangku tidak lagi tipikal justru menyenangkan dan penuh berkah. Amin. Semoga Allah mengabulkan doa Bapak tempo hari. Kurasa, aku senang juga jika itu sampai jadi kenyataan. Asaptaga, besok bahkan bisa jadi tidak produktif juga jika aku harus ke STR, atau hari ini saja. Nanti 'lah. Visa dulu ini, baru yang lainnya akan beres dengan sendirinya. Insya Allah. Amin.

Monday, January 15, 2018

Sepinya Siang Ini Sepisang-pisang Sepisau-pisau


Woy, 'nulis, woy! Dalam Bahasa Inggris! Aduh, mana ini lagu menye banget lagi di kuping. Ingat, pakai kibor blutut ini (awas! blutut bukan butut) jangan terlampau semangat. Harus mengetuk-ngetuk berirama macam burung pelatuk begitu. Asaptaga, jangan Asepteven terus. Uah, bahaya bener ini lah lagu-lagu menye penyumpal kuping. Ternyata memang menulis itu harus serasa berkobar-kobar, seperti berbicara. [tapi yang seperti itu 'kan menyakiti] Entahlah aku sudah tidak tahu lagi. Sangat bisa jadi ini karena shalatku kacau. Ya, kuakui perasaan hatiku kacau di hari ulang tahun Cantik ini.


Seperti biasa memang tidak ada hubungannya. Seperti biasa memang nanti pada waktunya semua beres dengan sendirinya. Kini sudah hampir jam dua siang di kubikel korban rezim yang kesohor itu dan aku tidak bisa percaya mataku sendiri. Menemaniku adalah mug Maxx Coffee yang disuruh Pak Mono menggantikan mug Sutasomaku yang hilang entah ke mana, berisikan susu jahe Anget Sari bertabur Nescafe Classic. Ternyata aku masih belum bisa melepaskanmu. Betapa ia merundungku, tidak mau pergi. [Mengapa kalian tidak baik-baik saja sih semuanya agar aku tidak merana begini?]

Setiap hari dan setiap malam, sebenarnya selalu saja muncul ide untuk entri. Seperti tempo hari ketika makan nasi uduk malam aku ingin membandingkannya dengan nasi uduk Mpok Mar. Akan tetapi, emangnya ini blog makanan? Bukan. Apalagi blog religi. Ini blog entah-entah. Oh, semakin kuikuti perasaan hatiku semakin kacau ia menjadi. Apa benar yang kurasakan ini? Kekecewaan? Kemasygulan? Apa? Ini juga bukan kumpulan cerpen macam "Terang Bulan, Terang di Kali. Cerita Keliling Jakarta" karya SM Ardan yang dikumpulkan Bang JJ Rizal, apalagi data pendongeng. No!

Dunia anak. Pecinta anak. Pemerhati anak. Hahaha, betul-betul terdengar seperti Mat Gagal buatku. Mantap lah tokoh rekaan SM Ardan itu. Tentu saja pernah terlintas dalam benakku, suatu hari nanti akan ada yang mengurasi blog ini. Berbeda dengan SM Ardan yang mencipta banyak tokoh, meski sudah dua kali Icang dan Masenun, blog ini semata tentangku yang tidak lebih tolol dari Sukabnya Seno Gumira. Aku menyandingkan diriku sendiri dengan mereka? Apa tidak terdengar seperti politikus berjiwa besar? Mirip-mirip sih. Namun ini semua tentang kesakitannya secercah jiwa. Aku.

Lantas apa feadahnya di 15 Januari ini menulisi? Tidak, sepatah pun tentang mereka tidak akan terucap, tidak di sini, tidak di mana pun. Meski kacau suasana hatiku, meski tidak kunjung menulis dalam Bahasa Inggris, tidak akan terucap, tidak akan tertulis mengenai itu. Bisa jadi ini masalah hormonal. Bisa jadi kadar testosteron sudah sangat berkurang, semacam biji dipites agar keluar jubeknya begitu. Tidak menjadi apa. Kesakitan jiwa dan kesakitan raga, sedang Ki Dalang Slamet Gundono sudah meninggalkan raga tambunnya, yang sangat bisa jadi menyakitinya. Setiap waktu.

Uah, cinta harus terus dihidupi. Pada siapa? Malu aku mengatakan cinta kepadaNya. Aku, jangan-jangan, hanya cinta pada diriku sendiri. Diri rendahku, maka aku didera nestapa, dirundung duka begini. Sedihnya menandingi rasa menghabiskan sebungkus roti kasino dengan sepanci kolak durian bagiku. Masya Allah, ingin rasanya aku menghambur pada Bapak Ibu, memeluk mereka seperti kambing melakukan pelukan keluarga. (family hug) Semuanya menyakitiku, Oh Allah Gusti. Ini lagi nyela-nyela. Kamu tidak bisa nyanyi, tidak usah ikut-ikut! Enyah kau dari hidup dan kenanganku!

Sudah, sudah. Mari segera kita akhiri. Apanya? Belum. Habis ini masih ada. Jangan. Tolol! Apa coba habis ini? Godverdomme! Untung aku tidak mengerti Tagalog. Apakah keriting, seingatku iya. Apakah pink, bisa jadi. Selebihnya nanah, nanah dan nanah tidak henti-henti. Bercampur darah. Busuk, anyir. Aku tersesat dalam cinta. Qodir, pernahkah? Ah, Habib Qodir sudah Haji. Aku kapan? Aku ingin? Akankah terampuni, akankah dihapus dengan cara yang baik dan tidak menyakitkan? Adakah yang mengerti atau bahkan sekadar peduli? Seekor kodok budug membeku dalam freezer...

Monday, January 08, 2018

La La Paloma Bukan Matahari Melainkan Merpati


Apa harus kukeluarkan dari Kristal Pengetahuan si Catatan Subversif itu, yang pernah menemani ejanan-ejananku, mungkin kepul-kepulan dari mulut bergigi belepotan nikotin. Apa iya? Apa Roda, yang sering ditebaki Ibu? Apa ini? Apa puisi yang Bilang Begini, Maksudnya Begitu? Mochtar Lubis apa pernah ke Berlin bersama Sapardi Djoko Damono? Apa pula semua kalimat tanya ini, apakah pertanyaan-pertanyaan? Melonjak-lonjak kegirangan melambai-lambai ke kiri dan ke kanan rambut pirangnya. Entah dikepang dua, diekor kuda atau digerai saja tidak mengapa. Begini 'kan lebih baik.


Jadi afirmatif. Jadi tidak perlu bertanya-tanya. Emangnya Munkar dan Nakir bertanya-tanya. Meniup sangkakala emangnya Israfil. Jika memuji kebesaranNya adalah mahluk selebihnya, mungkin manusia, terlebih aku, memohon ampun padaNya. Siapa yang memohon ampun? Aku? Jih! Sombong! Aku apa ada? ... Mengapa kembali bertanya? Apa tidak cukup mie instan rebus diberi banyak-banyak kubis cacah a la Pak Sachid? Ia jelas bukan Parisienne, mungkin Bukit Beri Biru. Ini menggeleng-geleng entah lemah entah bersemangat, ketika gelengan dan anggukan berputar-putar.

Cimarron! Illahi Rabbi, dari 1931! Apalah ini, ketika pada awalnya terdengar seperti maskarpon. Memang begini inilah caranya merintang masa, meretas raga, sampai-sampai sampai di Pulau Kapri. Gila, ini sih dari sebelum Perang Asia Timur Raya atawa Perang Pasifik. Entah sudah berapa banyak pembunuhan dan pembantaian dalam kurun itu, atau sekadar ketakutan karena menghamili anak gadis orang meski siap bertanggung-jawab. Betapa banyak hati hancur, hamil dalam tahanan, mati ketika melahirkan, dikubur entah di mana bersama bayinya sekali. Entah dibayonet entah tidak...

Maka carilah sebuah bintang! Mungkin kau akan mengangkat gelasmu, entah berisi margarita atau scotch dengan es batu. Entah bercerutu atau sekadar sigaret. Entah kretek atau putih, yang pasti kumis njlirit setipis silet. Fedora atau homburg bisa saja, berdasi panjang atau kupu-kupu boleh juga. Jika Melodi Cinta sudah mendayu begini, kau bisa apa. Kerling mata sayu menyibak tirai ikal berurai mayang, mana tahan. Akan diapakan sudah tidak relevan lagi. Diajak ngobrol atau sekadar dipakai suka-suka, yang penting bayar. Mengapa harus bersusah hati. Bersenang-senanglah semalam ini.

Besok masalah lain lagi. Tahankan saja terik matahari, karena Sinar Rembulan dan Mawar-mawar toh akan menjelang lagi. Di seberang kali ada langgar kecil tempat orang-orang miskin meratap-ratap minta tolong tuhannya, itu urusan mereka. Di seberang sini adalah tempat suka-suka, di mana corong terompet terkadang ditutup-buka dengan fedora atau homburg pemainnya. Yang bertopi cepiau biar mencangkung saja. Apa dalam rangkulannya ada si Denok atau si Demplon itu sepenuhnya urusan selera. Jika suka menyilang kaki silakan saja. Keseruan Bunga Jingga selalu membuat ingin berdansa.

"Itu tempat Cabul, tempat mawar cabul bersimaharajalela!" Pak Kaji dengan santri-santrinya sekali, dengan tatapan nanar penuh horor mengamangkan lengan keriputnya, mengacungkan telunjuknya. Pak Kaji selain mengajar mengaji juga membantu Bu Kaji berjualan es selendang mayang di depan rumahnya di samping langgar. Santri-santrinya juga tetap di pinggir kali situ tidak pernah ke seberangnya. "Rajasinga," bisik-bisik mereka penuh kengerian. Santri-santri yang jauh lebih muda membayangkan semacam barongsai yang menyeramkan, yang sudah dewasa tahu itu nanah belaka.

Kini, hampir  seabad kemudian, kalinya tinggal selebar setengah meter. Sudah tidak ada mawar cabul apalagi santri-santri. Memang semua saja begitu. Kau pikir ngapain tulang-belulang dinosaurus memfosil? Semoga saja paduan suara ini tidak memfosil dalam benak, sedang orang ada saja yang berkhayal tentang paduan suara malaikat, ada juga yang berkhayal malaikat itu perempuan. Kalian menekuni mitologi Yunani-Romawi [apa termasuk Babilonia-Persia?] dan tidak merasa bersalah sedikitpun mengenainya? Apa firdaus, apa buraq? Ampun Ya Allah, ampun. Huwallahu Ahad!

Monday, January 01, 2018

Selamat Tahun Baru 2018. Welkom Terug, Kibbeling


Ini Insya Allah sekadar agar ada dokumentasi, agar jangan seperti 2008 itu, yang tiba-tiba mak jegagig. Jadi biar semacam ada transisinya begitu, bahkan jika mungkin sampai detik-detik sebelum dan sesudah. [halahpeño!] Sekarang sih masih bisa kuingat-ingat awal 2008 itu. Yang jelas tentu saja sidang skripsi dan udara berhujan, mungkin juga payung kecil boleh beli di Bang Ipul beserta set bolpoin dan pensil mekaniknya sekali. Bolpoinnya hitam, pensil mekaniknya marun. Seingatku pensil mekanik itu bahkan ikut denganku ke Maastricht, sedang bolpoinnya tidak bisa dipakai. Seret.


Lalu ada juga hujan yang dahsyat. Aku agak lupa konteksnya. Seingatku mau ketemu penerbit buku atau semacamnya di belakang Arion, Rawamangun. Seingatku selain Rendy Prasetyo ada Sofyan Pulungan. Ya, karena konteksnya LPHM. Aku samar-samar ingat permukaan sungai yang meninggi. Apakah naik Transjakarta melalui Mampang? Apakah makan di bilangan Salemba Matraman, sedangkan ke arah Pramuka tidak bisa karena banjir tinggi? Itu sekitar Februari. Ah, rinciannya tentu saja banyak yang luput, namun suasananya, perasaannya, masih sangat lekat, seakan baru kemarin.

Lalu SWF. Guntur Freddy Prisanto. Udin Saepudin Noor. Chatter Box di Plasa Senayan. Rumah entah di mana. Marah-marah pada Teddy Anggoro di depan pavilyun. Wahyu Adi Nugroho, dan tentu saja Lantai 4 Gudang LKHT dengan komputernya yang menghadap ke arah Detos itu, meski ada Fujitsu. Sabai Sabai Nicole Theriault-nya Parulian dengan laptop segede gaban. Ah, tentu saja seleksi StuNed! Selebrasi ala-ala striker top di selasar Lantai 4 Gedung D ketika nilai TOEFL 620, dan tentu saja tes TOEFL di NESO Menara Jamsostek. Shalat di bawah jendela boleh bolongin tembok kostan.

Uah! Apa gunanya semua nostalgi ini! Nostalgi ketika berat badan paling parah 86 kg atau lebih sedikit, ketika belum Candesartan 16 mg, Amlodipine 5 mg dan Bisoprolol 2,5 mg, meski sebelumnya pernah juga Captopril entah berapa. Akankah begitu lagi? Hei, awal tahun lalu, hanya dengan Candesartan 16 mg aku berhasil mencetak 110/70 beberapa kali. Apakah itu berarti kuncinya ada pada berkeringat karena gerak badan? Awal tahun lalu yang berarti 2017, yang Insya Allah berarti sudah masuk dalam kenang-kenangan, seperti awal 2008 di atas? Masya Allahu Akbar bi hamdihi!

Insya Allah, 2018 ini, tidak seperti 2008, ada ancang-ancangnya. Ada transisinya. Tidak ujug-ujug. Masa datang-datang September? Masa sudah jatuh tertimpa cinta, setolol itu? Eh, tapi bisa jadi, itu artinya pada 2008 itu pun aku umek mempersiapkan. Adakah waktu itu aku khawatir akan apa yang kutinggalkan? Apa yang kutinggalkan ketika itu? Itulah mungkin mengapa, ketika aku merasa disergap birunya musim dingin, aku justru tertawa. Sudah gila apa kangen kostannya Babe Tafran, atau apa, kamar depan pavilyun atau bahkan carportnya sekali, di samping Jendril musim panas itu?!

'Tuh 'kan, malah lygia nostalgia lagi. [Lihatnya ke depan, dong. Songsong masa depan!] Buat apa disongsong, diam saja sudah pasti datang menghampir koq. Jadi tidak perlu terlalu kuatir pula. Pada waktunya Insya Allah akan temoto sendiri. Yang penting dikerjakan, jangan ditunda-tunda. [...tapi aku 'kan tidak bisa multitasking] Seakan masih penting pembelaan ini, seperti tidak pernahnya lagi berduet dengan John Gunadi menyanyikan Overjoy-nya Pretty Woman, kalau kata Bass Beto. Di depan tidak ada apa-apa. Di belakang sudah tidak ada. Sekarang sudah shalat? Sudah tobat?

Apakah di depan ada kibbeling atau bahkan yang jauh lebih baik dari itu, yang tidak pernah terbayang sebelumnya? Aamiin. Biarlah terkenang-kenang, bahkan tercamkan, sesorah UAS yang didengarkan Hari Prasetiyo tempo hari. Biarlah terkenang-kenang betapa Dugem Kumara shalat di mesjid bukan di mushala tempatku dan Hari ungkep-ungkep. Itu saja yang terkenang dan bahkan mengilhami, mendorong, menyemangati. Aamiin. Selamat Tahun Baru 2018, kuucapkan pada diriku sendiri. Tidak berarti apa-apa kecuali pengingat betapa umurku berkurang dan terus berkurang saja. Allahu Akbar!