Monday, December 31, 2012

Hidup adalah Harapan akan Pembebasan


Hiy, gambar Mater Dolorosa di entri terdahulu kalau dilihat malam-malam seuri juga... tapi... ahaha... huahaha... bersama dengan tayangnya entri ini, maka 2012 menggila dengan 69 entri! [69? Adakah ini suatu kebetulan?] Desember 2012 merupakan satu-satunya bulan dalam Kemacangondrongan dengan satu entri pada setiap harinya, meski dengan cara curang hehehe... [Apa?! Jadi kau menulis sebanyak ini cuma untuk itu?!] Kini sudah setengah dua dini hari, di hari terakhir 2012. Hujan, entah mengapa, tampaknya telah, atau sedang, meninggalkan Depok; meski jika melihat debit Ciliwung dan Cikumpa, mungkin jauh ke selatan sana masih hujan. Terkait dengan masalah hujan ini, tampaknya aku sudah menjadi ular, ritme harianku. Aku hanya bisa berangkat tidur jika udara sejuk. Sebaliknya, jika udara panas, sulit betul aku tidur. Seperti sekarang ini, aku terjaga sampai jauh malam dan tanda-tanda kantuk sepertinya tak kunjung tiba; karena udara sungguh panasnya. Sambil mengetik kubuka jendela, dan nyamuk-nyamuk gelisah ini seperti diundang masuk. Inilah sebabnya maka ingin hamba memohon pada Allah agar kiranya didatangkanlah hujan itu kembali; agar sejuk kembali udara, dan Insya Allah membaik kembali juga ritme harian hamba.

Sambil shalat Isya' tadi, [sambil shalat?!] aku teringat ada satu PEKERJAAN BESAR yang masih tertunda. Phew, ini juga menjadi suatu pendorong untuk memperbaiki ritme harian, karena hanya dengan ritme harian yang baik itulah suasana hati menjadi baik; dan pekerjaan besar butuh suasana hati terbaik. Earl Grey dengan rasa dan aromanya yang khas menemaniku, dengan sekepret gula di dalamnya. Oh, seandainya udara jauh lebih sejuk dari ini, betapa sempurnanya! Perpaduan antara Earl Grey dan udara yang jauh lebih sejuk juga merupakan pengingat, setidaknya, akan pekerjaan besar itu. Ini bukan masalah persaingan. Ini bukan masalah dulu-duluan; apalagi keren-kerenan. Terus masalah apa, dong? Iya, yang terakhir itu deh yang bener... [sambil garuk-garuk dengkul] Keren, dong! Itu setidaknya yang aku tahu sekarang, sedangkan duitnya belum pasti pun. Duit... semakin lama semakin terasa tidak ada gunanya, apalagi kalau seharian ini sejak shubuh nanti aku berhasil puasa. Uang gunanya untuk beli makanan enak. Sudah. Memang tadi aku beli sandal Modello, kemarin beli sepatu Bata, tadi juga ganti ban tubeless merek FDR, lalu diisi M-One cairan anti bocor sampai habis tiga ratus rebu; tapi tidak senang! Senang itu makan. Setelah sadar M14 bukan punyaku dan tidak banyak pun yang dapat kulakukan terhadapnya, uang jadi tidak ada artinya.

Gak penting pun buatku tahun berapa. Entah berapa banyak tahun kulalui, rasanya pun sama saja. Gendut langsing tak ada bedanya. Sendiri berdua pun tak jauh berbeda. [...tapi kalau punya dan tidak punya uang itu pasti terasa sekali bedanya hehehe] Apapun lah. Pendek kata, aku sudah tidak peduli apakah aku sedang muram atau bungah. Heh, tidak bisa begitu, dong. Bagaimana kau bisa menulis, menghasilkan tulisan panjang jika suasana hatimu muram? Iya juga, tapi ya... itu, menulis panjang pun sekarang sudah kuragukan manfaatnya, menulis yang serius macam betul itu; makanya aku menulis begini. Sudahlah. perasaan ini... jangan diturut. Perasaan ini bagi sajalah dengan Graziano, alteregomu. [halah, alterego koq bilang-bilang] Besok, pada jam begini, sudah tahun 2013. Sudah banyak, ya? Kenapa bisa sebanyak itu? Dulu ketika 198x tidak pernah kusangka akan sebanyak ini. Dulu ketika aku berkotbah bahwa pacarku kelak adalah mother of bono's children, yang oleh Ajo disingkat mobc... aduh betapa tololnya. Jadi kenapa menyangka-nyangka? Lebih bodoh lagi, mengapa meramal-ramal? Mana kusangka tahun akan jadi sebanyak ini. Mana kusangka aku bisa setua ini, dalam keadaan seperti ini. Mana kusangka, sepanjang Desember 2012 ini hanya menulis-nulis entri saja kerjaku. Aku seperti tidak mengenali diriku sendiri, meski aku yakin sedikit sekali manusia yang mengenali dirinya sendiri. Jika saja ada cukup banyak, maka semua saja pasti hidup bertuhan.

...dari kegelapan yang menyelimuti

Sunday, December 30, 2012

Aku Bahagia Hidup Sejahtera di Khatulistiwa


Maria Dolorosa
Segala puja dan puji hanya bagi Allah Tuhan seru sekalian alam! Hari ini matahari bersinar dengan perkasanya. Tak ingin kusia-siakan lagi kesempatan ini, segera kucuci helm dan sepatu keds. Kini mereka sedang menikmati teriknya matahari siang di landasan depan. Semoga mereka kering sempurna sebelum panas hari ini habis. Bantal favoritku yang sudah dicuci Cantik pun tengah dipanggang di atas motor. Lumayan agar joknya beristirahat dari terik matahari. [aku baru saja menjemur es kelapa nangka yang tempo hari kubeli, setelah kukeluarkan dari pembeku] Sarapan pagi ini terdiri dari nasi goreng teri untukku dan nasi bakar peda untuk Cantik, ditambah tahu bacem. Selain itu aku juga membeli sayur asem dan ayam bakar penyet untuk Cantik. Alhamdulillah! Hidup hamba sungguh sejahtera di khatulistiwa ini, Ya Allah. Semoga Engkau menjadikan hamba dan istri hamba orang-orang yang pandai bersyukur kepadaMu, atas segala karunia nikmat yang tak putus-putusnya bagi kami. Aamiin. Berbicara mengenai terik matahari, entah karena sering terjemur atau karena memang sudah harus diganti, ban tubeless merek Corsa yang terpasang pada Vario tampaknya sudah menyerah setelah menerima tiga tambalan. Kemarin baru ketahuan kalau sampingnya bahkan sudah retak-retak. Tukang tambal mengusulkan agar dibelikan yang merek Swalauw saja, karena sudah jelas bagus mutunya. Memang Corsa ini yang paling murah.

Aku bersyukur karena aku malu. Coba, jika ada seseorang yang sungguh baiknya kepadamu, sedangkan kau tidak punya daya-upaya untuk membalas kebaikannya, karena ia sungguh kaya-raya, sejahtera dan sentausa, sehingga apa pun kebaikanmu padanya tidak ada artinya. Ini kali pertama kubaca dalam sebuah buku kecil berjudul Hakikat Taqwa, yang sampul depannya ada gambar kerang mutiara. Penjelasan ini sungguh mengena bagiku, dan entah bagaimana caranya, isi buku itu terkenang selalu. Buku itu berasal dari masa kejayaan buku-buku Islam di akhir '90-an sampai awal '00-an. Dulu Pak Yon pun pernah menggantungkan nafkahnya dari boom ini. Terlebih dahulu dari itu, banyak sekali buku Islam dengan mutu cetakan tidak sebaik yang kemudian, namun isinya luar biasa; setidaknya begitu terasa bagiku. Buku-buku ini dicetak pada kertas buram dengan teknik yang sangat sederhana, contohnya syarah al-Hikam yang diterjemahkan oleh Ustadz Labib Mz. dan Ustadz Maftuhahnan, terbitan Surabaya. Sampai kini pun masih banyak buku tentang Islam, namun entah mengapa aku tidak sesemangat dahulu dalam membeli dan membacanya. Awal bulan lalu, masih terbeli olehku di Masjid UI, Seolah Melihat Allah dalam Shalat karya Abbas Mansur Tamam, terbitan Aqwam, Solo. Apakah buku-buku ini yang telah berubah, ataukah aku? Tentu saja, yang kuketahui pasti adalah aku yang berubah. Sekarang saja aku belum shalat Dhuhur sedangkan waktu sudah menunjukkan 13.23. Ya Allah, hamba mohon kembalikanlah dan tingkatkanlah kenikmatan menghamba padaMu bagi hamba. Aamiin.

Whoa, baru saja ditinggal sebentar, tiba-tiba langit menggelap dan turun gerimis kecil-kecil; sedangkan helm dan sepatuku masih belum kering. Setelah aku menyelamatkan mereka, sekarang matahari mengintip lagi. Grrr... Tadi setelah sarapan aku menyeduh kopi hanya dengan gula sedikit. Lambungku tampaknya menolak, meski tidak sakit; jadi aku hanya meminumnya beberapa hirup. Kini kuencerkan sedikit dengan air mendidih dan kutambah susu kental manis juga sedikit, sementara Dave Koz umek dengan saksofon sopran kecilnya. Kau membuatku tersenyum, begitulah bunyinya. Memang cucok sekali. Sisanya, mari kita serahkan sepenuhnya kepadaNya; karena menghamba itu berarti sepenuhnya berserah, sepenuhnya patuh. Bagaimana sih kalau seseorang menghamba kepada seorang majikan yang sudahlah sangat berkuasa, baik hati pula? Berserah untuk membebaskan diri. Freedom! Heran, banyak orang mendambakan hal ini, tetapi enggan berserah diri, enggan pasrah, enggan patuh. Abis, yang mereka bayangkan tentang penguasa adalah yang lalim, bengis, keji, sewenang-wenang dan sebagainya. Lalu, celibacy club katanya pope-lover? dan yang seperti ini ditonton oleh remaja Indonesia Muslim ataupun bukan? Naudzubillah tsumma naudzubillah! Jauh di awal abad yang lalu, Muhammad Qutb sudah menegaskan bahwa Islam di manapun, kapanpun tidak pernah mengalami apa yang dialami oleh Katolikisme di bawah gereja-gereja katolik; meski kekolotan, radikalisme, fundamentalisme memang selalu ada dan terjadi sepanjang sejarah, di manapun.

Saturday, December 29, 2012

Dunia Liburan, Dunia Tua Muda, t'lah Tiba!


Tau nggak gimana caranya nulis "apem" dalam bahasa Inggris? UPHAM hehehe... Jadi, kawan-kawan, setelah sarapan kenyang di Bu Condro, aku memutuskan untuk membuat minuman kopi. Maka kujeranglah sedikit air dalam panci mie, dan kutaburkan sesendok teh munjung bubuk Koffie Aroma Banceuy ke dasar cangkir Rijkuniversiteit Limburg. Setelah mendidih benar, kuseduhlah, kuaduk dan kututup cangkir itu. Kutinggal sebentar untuk mendengarkan komentar para juri mengenai masakan Monti, Becky, Frank dan Josh. Kemudian, kuambil susu kental manis Cap Eenaaak... dari dalam kulkas. Ketika akan kutuang ke dalam cangkir, ternyata sungguh lamban ia mengalir; ya, susunya terdehidrasi dalam kulkas. Karena malas menunggu, mana aku harus melihat siapa yang tereliminasi, maka kutiup saja kaleng susu kental manis itu dari lubang udaranya. Dlodok. Banyak betul pun! Setelah kuaduk, Mak, manis 'kali pun! Agar dapat diminum, kutuang itu kopi ke dalam panci, kutambahi air, dan kujerang lagi agar panas. Hasilnya adalah Caffè Latte berbusa-busa, dalam mug yang lebih besar! Mak, jarang-jarang aku minum kopi sebanyak ini! Yah, sambil menikmati liburan, biarlah... Kebetulan sekali Ci Wen pagi ini ngomong mengenai apem dan kopi di status-status pesbuknya.

Tempat lesehan Soto Kuali Bu Tjondro Depok, gambar oleh Mbak Desi Triyani
Sekarang tentang sarapan di Bu Condro. Menuku adalah Nasi Gudeg Telor, sedangkan Cantik memesan Nasi Rames Ayam. Secara keseluruhan, aku harus setuju dengan Cantik, tidak ada yang istimewa. Nasi rames itu terdiri dari sepotong paha ayam goreng kremes, sambel goreng ati ampela, sambel goreng keripik kentang dan srundeng. Semuanya biasa saja. Gudegnya juga tidak lebih istimewa dari gudegnya Mbak Dilla. Jika ada yang patut dicatat, mungkin adalah suasana rumah makan itu sendiri. Ia terletak hampir di ujung Jalan Siliwangi yang akan bertemu dengan Jalan Tole Iskandar, yang dipisahkan oleh sebuah jembatan itu. Sabtu pagi ini, pengunjungnya lumayan banyak, dalam arti, tidak terlalu ramai, tetapi juga tidak sepi. Hampir sepuluh meja terisi oleh keluarga dengan banyak anggota; hanya mejaku saja yang terisi dua orang. Sayangnya, lagu yang diputar adalah lagu-lagu alay, karena pelayan-pelayan di situ rata-rata, tentu saja, generasi alay. Kalau ia memutar, seperti Pawon Nyonya di Margo, lagu-lagu keroncong Hetty Koes Endang atau Mus Mulyadi, tentu lebih klangenan suasananya; terlebih di Sabtu pagi yang mendung-mendung tidak begini. Suasananya secara umum, terlebih karena hidangannya, demikian juga karena interior rumah makan yang didominasi warna coklat gelap, memang suasana khas klangenan pensiunan. Akan tetapi, ada tempat-tempat makan yang meski aku tidak bersama Cantik masih bisa dinikmati baik makanan maupun suasananya; Rumah Makan Bu Condro Depok ini, yang jelas, BUKAN salah satunya.

Cantik, Istriku

Lalu, Cantik itu siapa? Cantik itu istriku. Tuh ada fotonya. Demikianlah maka Insya Allah aku akan menghabiskan sisa umurku bersamanya, semoga Allah menolongku. Terpenting bagiku, ia bisa menyanyi dan ia tahu lagu-lagu kuno. Sisanya adalah bonus. Kukatakan padanya ketika kali pertama bertemu, kaulah perempuan dengan siapa aku ingin menghabiskan sisa umurku. Hanya karena menyanyi dan lagu? Tidak juga. Dengan caranya tersendiri, ia membantuku, bahkan menuntunku, untuk hidup seperti orang kebanyakan, seperti orang-orang itu; punya rumah, punya pekerjaan, punya rencana-rencana remeh-temeh dan sebagainya itu, sebagaimana semua saja orang. Dengan caranya tersendiri, Insya Allah, ia membantuku meningkatkan kualitas penghambaan. Aamiin. Sudah. Dua itu saja yang kubutuhkan dari dunia ini. Sisanya, aku sangat mencintainya. Aku sangat menyayanginya; dan bagiku, cinta dan sayang itu harus berimpit, sebagaimana mustahilnya aku mengerjakan sesuatu yang tidak kusukai. Menyayangi itu sendiri juga merupakan salah satu kebutuhanku yang utama. Itulah sebabnya ketika aku masih menggelandang dulu, Schmong menjadi bagian keseharianku yang penting. Ada waktunya ketika aku merasa perlu meninggalkan meja atau buku atau pekerjaanku, atau sekadar kebosananku, untuk menemui Schmong dan membelai-belainya, menggemes-gemesinya. Namun, itu kan untuk Mas Toni Edi Suryanto dan sejawatnya para pengrajin senapan. Berhubung aku sekadar Bono Budi Priambodo, SH. M.Sc. Pengajar Hukum Lingkungan FHUI, maka sudah pada tempatnyalah jika aku beristrikan Cantik, yang bisa kupenuhi segala kebutuhannya, kukabulkan atau kuusahakan semua keinginannya, kapan pun ia butuh atau ingin, bagaimana pun.

Teringatnya, meski sekarang sedang liburan, tak ayal aku berpikir juga mengenai kuliah-kuliahku di semester mendatang ini. Aku tidak mungkin tidak membuat manual untuk Adat Law, jika aku harus pergi. Itu pula yang kujanjikan baik pada Pak Bakti, Bang Idon maupun Mbak Melly. Padahal, sebagaimana menjadi mafhum di kalangan peminat Hukum Adat, kurikulum matakuliah ini sudah memfosil, untuk meminjam istilah Mas Juni. Masa sampai sekarang kita harus mengajarkan sistem kekerabatan, bentuk-bentuk masyarakat hukum adat. Huft, kalau buatku sendiri, bahkan mengajarkan "hukum adat" itu sendiri sudah tidak relevan, sama tidak relevannya dengan semakin canggihnya hukum korporat Indonesia, sedangkan semakin mirip saja "hukum koperasi" dengannya. Tadi ketika makan di Bu Condro, sempat terbersit di kepalaku untuk berhenti berurusan dengan hukum adat, setidaknya dalam tataran penelitian, pembuktianku yang paripurna ini. Namun ternyata setelah mendekati petang begini, aku kembali insyaf. Meski harus kudalami hukum perusahaan, itu pasti akan kulakukan, setidaknya, tidak dalam kerangka konvensional yang diimpor dari Amerika oleh Charles Himawan dan para pengikutnya. Siapapun, yang mengaku orang Indonesia, apalagi Muslim, seharusnya tahu bahwa musuh terbesar adalah liberalisme, sekularisme, pluralisme in that order; dari yang paling hardcore sampai paling mild. Pluralisme musuh Indonesia? Ya! Bila diartikan bahwa dengan cara apapun benar. Tidak bertuhan pun asal bermoral, benar. Naudzubillah tsumma naudzubillah! Maka LSP itu harus diberantas, dimulai dari cara orang cari nafkah, dimulai dari... hukum ekonomi! [grrr...]

Friday, December 28, 2012

Dunia Cinta, Akhirnya Tak Memandang Usia


Dunia, dunia, dunia, bagian mana darimu yang belum mengecewakanku? [...beef prosperity masih enak, sih...] Tenang, tenang, tenang, semua akan mendapatkan giliran. Jangan berebutan. Semua PASTI kebagian. Jadi, konon kematian yang terbaik itu adalah Kematian Pandawa. Dimulai dari Sadewa dan Nakula, yang merupakan kaki kanan dan kiri Pandawa Lima, disusul Arjuna yang merupakan mata dari Pandawa Lima, lalu Bima yang merupakan gairah Pandawa Lima dan terakhir Yudistira yang merupakan jiwa dari Pandawa Lima itu sendiri. Ini mirip dengan kisah mengenai pengingat yang dikirimkan oleh Kematian sebelum ia sendiri datang. Pertama, langkah-langkah dibuat berat, padahal Sadewa dan Nakula adalah penopang bagi kakak-kakaknya. Kedua, mata dibuat rabun, sedangkan Arjuna Sang Pemanah Ulung sangat mengandalkan matanya; rabun di sini bermakna luas, mencakup semua keindahan duniawi. Ketiga, gairah hidup itu sendiri dibuat hilang, sebagaimana Bima adalah yang paling bergairah dari berlima, terlebih masalah makan. Terakhir, jiwa itu sendiri dibuat hilang dari jasad, laksana Yudistira yang merupakan jiwa dari Pandawa Lima. Maka bergembiralah ketika pengingat-pengingat itu datang, jika benar perjumpaan denganNya-lah yang kau harapkan; dan merataplah memohon ampun ketika pengingat-pengingat itu datang, jika mengingat betapa dosa dan durhaka laksana buih di lautan banyaknya.

Mal Depok, sebelum berubah menjadi D Mall
Seperti kematian itu, sepertinya tidak ada yang dapat diperbuat untuk meramaikan kembali Mal Depok, yang sampai awal 2000-an begitu berjayanya. [...atau aku mengunjunginya di waktu yang salah?] Semalam, aku berjalan-jalan di keempat lantainya. Dahulu, di Lantai Dasar, di pintu belakang terdapat KFC, yang kini aku nyaris tidak pernah kepingin. Tepat di seberangnya adalah Timezone. Banyak kenangan di situ. Gunblade, Star Wars X-Wings, Manx TT, Tekken 3, alat panco entah apa namanya... dan masih banyak lagi; yang sekarang tak ingin lagi aku memainkannya. Di Lantai Tiga sekarang ada Amazone, entah masih satu perusahaan atau tidak dengan Timezone, tapi yang jelas ada Gunblade. Namun, seperti kenangan itu sendiri, picunya sudah tidak mantap, sudah kendor. Lantai Satu dahulu merupakan Hypermart tempat aku mencuri berbagai barang; terutama rokok, tapi pernah juga tuna kalengan dan makanan lainnya. Lantai Dua, seingatku, terdapat alat-alat musik dan olahraga, juga sedikit buku dan alat tulis; di sinilah dahulu aku mencuri mainan Scrabble, mengganti bungkusnya dengan ular-tangga yang jauh lebih murah. Lantai Tiga, aku tidak pernah tahu ada apa di sana dahulu, kecuali bahwa terkadang di tempat ini diadakan pameran-pameran; misalnya pameran benda pusaka, termasuk jenglot ada di situ. Gambar di atas seingatku adalah revonasi pertama, bentuk aslinya tidak begitu. Sekarang adalah renovasi kedua, sehingga tampak chic begitu; akan tetapi tetap saja sepi. Satu-satunya yang kini lumayan menarik hati adalah Food Hall di basement. Barangnya aneh-aneh.

Dahulu sekali, aku pernah berangkat dari kontrakanku di Srengseng Sawah naik angkot menuju Mal Depok; seingatku malam-malam, dan membawa buku tulis. Pada waktu itu aku mau menulis suatu esai dengan judul "Mereformasi Gerakan Reformasi." Ya Allah, betapa naifnya aku waktu itu... Beberapa esai pernah kuhasilkan bersama mesin tik hijau terbang yang memorabel itu, bermodalkan entah berapa bungkus rokok dan berapa baskom kopi; semuanya dikirimkan ke Kompas, dan semuanya tidak ada yang dimuat. Kenangan ini mengingatkanku, bahwa aku memang tidak pernah berhenti menjadi seniman. Secara sangat mendasar, suasana kebatinanku saat menulis di emperan Mal Depok itu sama persis dengan apa yang kurasakan sekarang. Aku tidak pernah tahu dan tidak pula merencanakan, mau diapakan tulisan-tulisan itu. Apakah aku membayangkan diriku terkenal gara-gara tulisan? Tidak! Sekali-kali tidak! Aku selalu menulis untuk... 'ku sendiri. Aku bahkan tidak peduli apakah orang membacanya atau tidak. Aku belum cukup mencari tahu, apakah media sosial telah juga berhasil memodifikasi kebutuhan orang membaca buku. Setidaknya, beratus-ratus ebook yang ada dalam tabletku sangat jarang pun kubaca. Setiap kali membuka tablet, pasti berita Liverpool kucari, atau pesbuk, paling banter Wikipedia. Kemana perginya membaca untuk senggang?

Thursday, December 27, 2012

Immaculata Gerisik Daunan Bambu, Gericik Cikumpa


Spiritualitas itu tidak mungkin diusahakan sendiri, tetapi harus dalam kerangka komunalitas. Badannya komunal, jiwanya spiritual alias bertuhan. Ini saja terus kuulang-ulang. Bahkan bila kutulis dalam suatu risalah panjang sekalipun, masih adakah yang mau baca? Inilah setidaknya usahaku, tinggal di Kampung Damai Kedua; agar mendapatkan badan yang komunal itu. Domba yang paling mudah diterkam serigala adalah domba yang tidak berada dalam suatu kawanan; seperkasa apapun dombanya, karena serigala selalu berburu dalam kawanan. Kalau aku terus-terusan mempertahankan kelakuanku ini, aku harus benar-benar mempertimbangkan pilihan pekerjaan. Sudahlah. Tak akan kutinggalkan pun. Takkan pernah aku benar-benar terbebas dari hal-hal medioker seperti dialog itu. Bukan dialognya kali pun yang bikin pusing, bayangan Bu Myra, Mas Santo dan Mas Topo yang menghantui. Lalu jika pun berhasil aku mendapatkannya, dapatkah aku memperjuangkan keyakinan itu? Seratus persen tidak. Yah, tidak sampai seratus lah, tapi jelas bukan itu yang harus kuperjuangkan. Apapun itu, hamba memohon kepadaMu Ya Allah Maha Pengabul Permohonan, karuniakanlah kesempatan itu bagi hamba dan tolonglah, lindungilah hamba dalam menjalaninya. Aamiin.

Siang ini masih aku duduk bertengger di atas kursi plastik hijauku, di pojokan kamar belakang E9. Udara, aduhai, sungguh panasnya sampai aku bertelanjang dada. Hari ini aku belum menjenguk M14. Bosan kali pun pasti tukang-tukang itu melihatku. Biarlah, itu toh rumahku. Aku senang berada di sana. Aku senang diam-diam memandanginya. Aku senang berharap-harap mendapatkan sebuah rumah, dalam arti home bukan house, yang entah sudah berapa tahun tak pernah kupunya.... dan bukan hanya rumah itu sendiri. Kedekatannya dengan masjid itu pun sungguh kurindukan. Semoga tidak hanya jaraknya saja yang dekat, tapi hatiku pun menjadi dekat juga dengannya. Pada saat itu, Insya Allah, aku tidak akan lagi merasa dikejar-kejar harus cari uang. Pada saat itu, Insya Allah, aku sekadar menjalani hari-hari sebagaimana adanya; berkegiatan ketika matahari terbit, beristirahat ketika matahari tenggelam. Itulah fitrah manusia. Kerja sampai jauh malam, lalu bangun kesiangan dan terburu-buru pergi kerja benar-benar merusak badan dan jiwa. Peradaban industri yang menjadi nafas dan denyut keseharian dunia benar-benar merusak lahir dan batin. Lhah, ini lagi. Semester depan akan segera tiba dan aku akan segera lagi mendongengi anak-anak itu mengenai jahatnya industri dan indahnya agraris, kalau bukan sekalian berburu dan meramu; bisa gila lama-lama aku.

Ini rasanya seperti liburan! Liburan? Apa'an tuh? Hahaha... Liburan adalah ini, nggak ngapa-ngapain! Padahal masih banyak sekali yang harus diapa-apain. Biarpun! Matahari kelihatannya sudah mulai memasuki final approach-nya di ufuk barat sana. Sebentar lagi, ia akan tersembunyi di balik lebatnya hutan bambu di muka barat M14. Ah, waktu yang ideal untuk menghabiskan waktu mendengarkan gemericik Cikumpa. Hai, tukang, pemborong, kantor atau siapapun, selesaikanlah rumahku sebelum musim hujan usai. Aku masih ingin bersantai di rumahku sambil mendengarkan gemericik Cikumpa. Nanti, bila sudah kemarau, aku takut debit airnya sudah jauh turun sehingga aku sudah tidak bisa lagi mendengar gemericik itu. Gericik Cikumpa dan gerisik daunan bambu ditiup angin, Subhanallah, adalah suatu simfoni tanpa cela, suci, syahdu dan agung, transenden... hah, habis kata-kataku... yang Insya Allah mampu mengantar pendengarnya sampai pada tataran keberserahan yang mendekati ikhlas. [entah apa pula ini] Aku ingin menjadi hambaMu yang ikhlas, Ya Allah. [...tapi tak ada usahamu ke arah itu] Peningkatan kualitas penghambaan. Kualitas penghambaan yang terus meningkat setiap harinya. Itulah ambisiku. Itulah cita-citaku. Semoga Allah memasukkanku ke dalam golongan hamba-hambaNya yang ber-taqwa. Semoga Allah menunjukkan jalan ke arah tujuan itu, dan memudahkannya. Apalah lagi yang penting dari dunia ini, kecuali itu?

Wednesday, December 26, 2012

Kancil dan Macan, Piko dan Si Jari Berdarah


Setelah setidaknya satu semester ini menggunakan Google Chrome, akhirnya malam ini aku kembali pada Mozilla Firefox. Entah mengapa, Chrome-nya menolak membuka pesbuk. Wah, kurang dong satu perabotan hehehe... Ada lagi yang ngeri-ngeri sedap malam ini. Setelah percobaan pertama sekitar dua minggu lalu, malam ini aku mencoba lagi Koffie Aroma Banceuy dari Mas Santo. Diseduh dengan air mendidih benar, diberi susu kental manis. Sayang, susu kental manisnya sudah terlalu sedikit, jadi terpaksa ditambah sesendok teh peres gula. Kenapa aku jadi pengopi lagi begini, ya? Yah, setidaknya tak sedikit pun kini terlintas keinginan merokok. Alhamdulillah. Insya Allah, akan tiba masanya, suatu hari nanti, ketika aku terbebas dari segala macam kebiasaan yang merugikan jasmani apalagi rohani; yang tinggal hanya kebiasaan-kebiasaan baik yang bermanfaat. Aamiin. Setelah kemarin seharian hujan tiada henti, hari ini tak setetes pun hujan turun. Maka beginilah aku, di ruang belakang E9 berkeringat-keringat menjelang tengah malam. Cantik dan anak-anak bobo di ruang tidur utama, [emang ada yang lainnya lagi?] setelah kudongengi Kancil dan Macan dilanjutkan Tragedi Piko. Sebenarnya aku ingin bercerita mengenai Si Jari Berdarah, tapi Khairaditta Azurat marah-marah.

Pagi ini aku mengikuti lokakarya bagi operator dialog.ui.ac.id, suatu aplikasi web yang, sejujurnya, jan ora keren blas. Satu-satunya yang lumayan keren adalah aku dikasih Rp 200,000 setelahnya, atau jika telah diredenominasi menjadi Rp 200 saja. Sungguh, Mak, malas kali pun awak tadi pagi, maka aku baru muncul ketika sudah hampir jam sebelas; padahal acaranya sendiri dimulai jam sembilan. Aku malah ke kantin dulu, dan mendapati bahwa semua saja sudah tutup kecuali Ian yang masih merebus Indomie. Belilah aku Indomie goreng dan teh biasa, padahal sebelum berangkat tadi Cantik sudah menggorengkan seekor susis Kanzler. Begitu teken daftar hadir, maka berhak mendapatkan sekotak kue-kue dari Pastel Mak Cik; isinya lemper, kue lumpur dan risoles serta aqua gelas. Habis itu, aku merasa ingin ngopi; maka keluarlah aku ke kantin kecil di bekas Perpus Pusat itu untuk membeli Indocafe Coffeemix, Aqua botol dan... sebungkus nasi uduk yang sangat bersahaja. Belum sampai jam 16.00, penyelenggara membolehkan kami pulang; maka dapatlah lagi sekotak Suhariasih. Barusan ini aku makan hokben, yah, meski dua ronde, habislah itu satu porsi. Ronde pertama aku terengah-engah karena Maghrib tadi menggendong sekarung pupuk kandang merek Fawaz Hamdou Azurat. Jadi apa inti paragraf ini? Intinya, aku tadi sebelum Maghrib mampir melihat M14. Aduhai, betapa permai rumah itu... Ya, Allah hamba mohon berkatilah. Aamiin.

Amboi, panas benar malam ini... Haruskah aku mandi? Oh ya, tadi sore, ketika sedang memacu Vario, terbersit padaku ingin menulis mengenai anjing. Anjing itu, Kawan, harus dilatih. Naluri dasarnya, seperti kata Sesar Malin, tidak mungkin hilang. Akan tetapi, agresivitasnya dapat dikendalikan. Awalnya, aku ingin menulis satu entri tersendiri mengenai hal ini. Namun, ...ya sudahlah, kurasa cukup dalam satu paragraf ini saja. Anjing harus dilatih melakukan hal-hal yang baik, yang berguna bagi kesehatan jiwanya. Cukup dengan satu bisikan ssttt..., palingkan ia dari hal-hal yang dapat memicu keliarannya. Terlebih penting lagi, ini sebenarnya bukan hanya latihan bagi anjing, melainkan sekaligus tuannya, yakni pikiran. Pikiran harus selalu terkendali. Tenang namun asertif, begitu kata Sesar Malin. Shyuper sekali, Sesar. Aku dulu biasa melakukan itu dengan baik, sampai pada suatu ketika aku bosan melakukannya, maka kulepas-liarkan saja angjingku. Tidak hanya itu, bahkan pikiranku pun kulepas-liarkan. Kini, adakah waktu yang lebih tepat dibandingkan sekarang untuk memasang kembali kekang itu? Anjing ini harus didisiplinkan. Ia harus tahu siapa pemimpin kawanan. Aku pemimpin kawanan itu. Kau anjing, harus selalu berada di bawah pimpinanku. Dengan mengucap ta'awudz dan basmalah, Insya Allah, anjing ras dari jenis cerberus berkepala dua atas-bawah ini menjadi anjing yang berkelakuan baik, agar dapat itu surat keterangan bebas G30S. Aamiin.

Tuesday, December 25, 2012

Natal adalah Shubuh Pertama di Cikumpa


Setelah gowo kelu mengenai sesuatu yang, tentu saja, mengganggu hatiku, aku terbangun pada sekitar jam 03.30. Ini adalah waktu yang tepat, sedangkan rasa hati dan badanku juga tepat; maka segera saja aku mengambil wudhu. Sebelum tidur malamnya, aku merasa lelah sekali berputar-putar di Ace Hardware dan Informa di bekas Hero Depok. Itulah sebabnya, sesampainya di rumah, aku tidak kuat lagi dan terus berbaring, tanpa shalat Isya'. Ketika terbangun itu, segera kudirikan shalat Isya'; dan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, kulanjutkan dengan tahajud dan witir. Baru beberapa kali beristighfar terdengarlah adzan shubuh. Aku bangkit berdiri, membetulkan sarungku dan melangkah menuju mesjid di ujung jalan. Ternyata adzan yang tadi kudengar berasal dari mesjid lain, sepertinya dari yang sebelah selatan. Sesampainya di Mesjid QS, ternyata aku adalah orang kedua setelah muadzin; maka aku berdiri di belakangnya beberapa shaf sambil menjawab adzan. Selesai adzan, tak kusia-siakan kesempatan langka ini untuk mendirikan shalat fajar. Ketika itulah tetangga-tetangga berdatangan, berbaju koko semua; sedang aku sendiri berkaus oblong merah merek Polo Dungaree. Ketika shalat shubuh, jama'ah yang shalat tepat di sampingku sepertinya sedang flu berat. Selesai shalat, dibacakan secuplik dari Riyadush Shalihin mengenai sabar; dan setelah itu aku masih melanjutkan wirid, sampai menjadi yang terakhir keluar dari mesjid.

Tepat seperti inilah yang kukhayalkan mengenai hidupku di Kampung Damai, di tepian Cikumpa ini. Ya Allah, hamba mohon karuniakanlah hal itu pada hamba. Jadikanlah kenyataan khayalan hamba itu, Ya Allah. Sayangnya, hari ini sepertinya masih belum akan berhasil, karena ketika matahari sudah tinggi aku mengantuk bukan buatan; sampai Indocafé Coffeemix tidak mampu berbuat apa-apa terhadapnya. Oh ya, sesampainya di rumah setelah shubuh, aku lupa apakah aku menelusur Internet dulu atau menonton tivi atau apa, yang jelas aku tidak langsung membangunkan Cantik dan mengajaknya berjalan-jalan melihat M14 seperti rencananya kemarin. Setelah itu kami berjalan-jalan mengitari bulevar utama QS menuju M14. Ketika itu belum ada tukang, dan begitulah yang aku suka. Kukatakan pada Cantik, I love to commune with the house; Bahasa Jawanya, aku men-jawab rumah itu. Jelaslah bahwa itu tidak mungkin dilakukan kalau ada orang lain. Begitulah maka kami berjalan-jalan tidak lama dan segera pulang. Ketika itulah aku memutuskan untuk minum kopi. Akhirnya aku tak tahan lagi, menggelar bedkaver dan tidur lagi sampai jam 12.30; sedangkan Cantik tak lama kemudian pergi mengajak anak-anak ke Bekasi Square untuk melihat keramaian berupa freezer besar. Kata Nani, dinginnya mencapai -14° C. [kasihan orang Bekasi...]

Baiklah aku cerita di sini kejadian kemarin, sampai kami berkeliling Ace Hardware dan Informa. Cantik berangkat lebih pagi daripadaku, karena ia ingin mencari informasi mengenai Leiden dan StuNed bersama Riza. Sepeninggal Cantik, aku mencoba berolahraga di sepanjang bulevar utama QS. Masalahnya, aku melakukannya menjelang tengah hari sehingga rasanya seperti terbakar sengatan terik matahari. Setelah shalat Dhuhur aku berangkat ke kampus, sedangkan kampus sepi sekali. Ternyata baik Neso maupun Ambassador pun tutup. Sesampainya di kampus, aku menelepon John Gunadi mengajaknya makan siang, dan ternyata ada Sugito Sujadi juga. Makanlah kami bertiga di Sasari II, yang dahulunya pernah jadi Bakmi Japos. Menuku siang itu adalah telor ceplok masak pedas, tumis jamur dan tahu yang dimasak seperti sop atau bakso. Kembali ke pojokanku di Lantai Dua Gedung A, aku melakukan hal-hal yang terlalu tidak berguna bahkan untuk sekadar membangun suasana hati. Tak lama Cantik memintaku pulang karena anak-anak entah kemana. Sorenya, setelah Maghrib itulah kami berangkat ke Ace Hardware dan terjebak macet di Jalan Kamboja sebelah RS Hermina, gara-gara ada bubaran misa natal. Hanya dengan mblusuk-mblusuk lewat jalan kampunglah kami berhasil lolos dari kemacetan dan kerumunan orang itu.

Monday, December 24, 2012

Masih Banyak Gadis Cantik, Masih Sendiri


Ini dia nih contohnya gadis cantik atau cewek cakep... atau mau yang jilbaban? Bisa. "Ribuan jumlahnya!" begitu seru Pak Munafek. Sampelnya ada juga tuh di paragraf berikutnya. Kalau dapat yang begituan, beruntung. Kalau tidak, ya tidak beruntung. Fufufu... Buat apa cantik kalau tidak tahu Sleepy Shore? Buat apa gadis kalau tidak bisa menyanyikan Kisah Cinta? Jika seorang perempuan bisa melakukan ini, apapun sisanya akan kutanggung! Namun, cewek yang tidak bisa menyanyi sama-sekali, apalagi cewek sendirian jaman sekarang yang lagunya entah apa... nggak deh. Mendingan jangan. Makan ati. Been there, done that, kalau katanya Baron. Aku... bagaimana lagi aku harus mengatakannya.... bosan pun aku menceritakannya... Aku ini SENIMAN. Dari berempat, akulah yang paling nyeni. Hey, ...dan gengsi betul seorang seniman dikasi barang jadi, mau kristal, mau porselin, apalagi resin, apalagi plastik! Seniman itu mencipta. Seniman itu berkarya. Khairaditta saja mengerti berimajinasi. Berkhayal, katanya. Ah, sudahlah... percuma saja. Tak seorang pun akan paham. Mencoba paham pun tak, lalu bila akan paham? Tak harus pun.

Biarlah, biar. Biar saja Nasir menjadi tukang bubur. Kebetulan pun aku tak berapa suka bubur. Ada dimakan, tidak ada tak dicari. Kadang ada pun malas aku makan. Sekarang, seberapa tua sih perempuan kalau mau cari yang sendiri? Umur 30 saja kelahiran '82. Mak, engga deh. Aku sengaja cari yang setidaknya sepantar, karena dengan yang sepantar saja aku pasti lebih tua dari segi wawasan, minat dan pengetahuan. Ibu biasanya paham hal ini, tetapi beliau sedang sangat kelelahan secara mental dan psikis. [apa bedanya pun?] Aduh, Mak, ini kriterianya pun... fisik betul! Kalau timbang fisik, nih, jujur sejujur-jujurnya, mendingan COLI! Dengan coli, kita bisa melakukannya dengan playmate yang manapun, suka-suka kita, mau gaya apa saja. Pokoknya dijamin puas luar dalam bolak balik Rp 69 deh! Keturunan... well, yang ini memang agak rumit... Sori nih Bang Ded, kalau situ masih butuh perbaikan keturunan, bukan maksud ane sombong apalagi menghina, tapi kita ngomong kenyataan. Lagipula, adikku, mungkin karena dia mau, biarlah nanti yang jadi apapun yang diinginkan oleh Bapak Ibu. Dia itulah KETURUNAN itu; ini doa seorang kakak bagi adiknya Dia itu yang menyebabkan Bapak bermimpi diparingi kuluk oleh Sri Sultan ingkang kaping Sanga. Tidak percuma dulu ia dikudang Uti sebagai Haryo Susenopati. Bukan sekadar kebetulan ia kini digadang Kung Kung sebagai Jenderal. Semua sudah tertulis dalam sejarah.

Aku... aku hanya ingin... memohon ampun atas segala kedurhakaan yang telah dan akan kulakukan; dan, aku yakin, salah satu caranya yang paling bebas hambatan, paling langsung, adalah gati pada Bapak Ibu. Sungguh hanya itu yang kuinginkan; ketika makan sudah tidak menarik lagi, maka tidak ada lagi di dunia ini yang menarik hatiku. Sungguh sedih hatiku kalau sampai membuat Bapak Ibu kecewa padaku. Aku juga ingin seperti Mas Babas yang berusaha memelihara silaturahmi dengan orang-orang yang disayangi Mendiang Bapaknya. Sungguh aku ingin. Namun, kali ini, urusan ini melibatkan orang lain dan yang lain-lainnya pula; orang-orang yang, entah mungkin karena dambaku akan suatu keluarga yang utuh dan harmonis, sudah kusayangi meski sangat jarang sekali bertemu. Tidaklah mungkin ini dibahas, dipikirkan pun tidak akan selesai. Aku hanya bisa... bisa apa? Aku hanya bisa berdoa, semoga segala sesuatunya menjadi baik-baik saja di akhirnya, sekehendak Allah. Aku sendiri sudah tidak tahu dan tidak punya bayangan sama sekali seperti apa "baik-baik saja" itu. Sesungguhnya aku sudah sangat trauma dan frustrasi dengan semua urusan ini. Sungguh, ketika aku memutuskan untuk mengambil jalan ini, hanya satu niatku, yakni menjalani hidup normal; karena dengan hidup normal itu saja, kurasa, Bapak Ibu dapat marem atasku. Namun, sungguh [sungguh melulu] rasanya sulit bagiku hidup normal bersama gadis cantik yang masih sendiri.

Kisah cinta, kisah surga
tak mungkin lagi kita 'kan berpisah
Indah dan menarik hati
takkan terlupa sampai akhir nanti

Sunday, December 23, 2012

...akhirnya... Harinya Hari-hari, Awalnya


Aku berlindung kepada Allah dari syaithan yang terkutuk. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta Alam. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada junjungan hamba Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya, beserta seluruh umatnya sampai akhir jaman. Aamiin.

Ya Allah, hamba berkeluh-kesah kepadaMu dengan segala kepandiran dan kepongahan hamba. Sungguh malu hamba Ya Allah, begini keadaan hamba. Tiada maksud hamba berdoa yang tiada bertuntunan, tiada maksud hamba tidak meneladani kekasihMu dalam berdoa. Ah, sungguh Engkau lebih tahu apa isi hati hamba, lebih dari hamba sendiri. Jika hamba bersimpuh dihadapanMu seperti ini, hanya dua hal yang terbersit di hati. Pertama, tentu rasa malu. Sungguh malu hati hamba, dengan segala kedurhakaan hamba, dengan segala silap hamba, Engkau masih saja mencurahkan berbagai kurnia pada hamba dan mereka yang hamba sayangi. Sungguh tidak tahu diri, tidak tahu diuntung hamba. Tak pantaslah pujian hamba untukMu, tidak dari hati yang hitam kelam ini; sedangkan ketulusan hanyalah karuniaMu. Ya Allah, ampunilah hamba, kasihanilah hamba, hamba mohonkan sesungguh-sungguh hati yang buruk ini, Ya Allah, karuniakanlah kepada hamba hati yang selalu mengingatMu, bersyukur padaMu, dan jadikanlah hamba termasuk di antara hamba-hambaMu yang lebih baik, yaitu mereka yang selalu berusaha memperbaiki diri dan hati, bersegera dalam kebaikan. Ampuni hamba Ya Allah. Kasihanilah hamba Ya Allah. Sungguh Engkau Maha Pengampun, Maha Berbelas Kasih.

Kedua, adalah rasa takut, Ya Allah. Ampuni hamba, Ya Allah, bahkan mengingat bahwa ampunanMu selalu mendahului murkaMu saja, hamba merasa sungguh-sungguh tidak pantas, hamba yang tidak tahu malu, tidak tahu diuntung ini Ya Allah. Hamba yang selalu saja berbuat durhaka, dan terus diulang-ulang, seakan-akan Engkau tidak mengetahui. Sungguh pandir, sungguh pongah hamba Ya Allah. Kasihanilah, ampunilah Ya Allah Maha Pengampun, Maha Berbelas Kasih, Pencipta belas kasih itu sendiri. Bagaimanakah hamba dapat memohon ampun atas segala kedurhakaan itu? Naudzubillah tsumma naudzubillah, sungguh hamba takut, Ya Allah. Kini ketika hamba bersimpuh begini, sudah dihadapkan begini, maka hamba meratap-ratap ketakutan. Namun, di lain waktu, ketika hamba merasa memiliki kelonggaran dan dengan bodohnya menggunakan segala nikmat karuniaMu, hamba melakukannya lagi, berbagai kedurhakaan itu. Yaaa Allah... aampuuun Ya Allah, kasihanilah hamba. Sungguh hamba tidak mau lemah di hadapan hawa nafsu sendiri, sedangkan Engkaulah Pemilik Segala Kekuatan, Engkaulah Maha Perkasa. Namun hamba ini apalah, hamba celaka, hamba tidak tahu diuntung, selalu saja lupa dan lupa, bahkan sengaja lupa. Naudzubillah tsumma naudzubillah. Ampuni hamba Ya Allah, kasihani hamba. Inilah hamba menghadap. Coreng-moreng, compang-camping amal ibadah hamba, sungguh memalukan. Ampun Ya Allah ampuni hamba.

Ya Allah, Sesembahan hamba, hamba telah berbuat dzalim pada diri sendiri. Hamba mohon diampuni, Ya Allah. Sungguh jika Engkau tidak mengampuni dan berbelas kasih pada hamba, pastilah hamba masuk dalam golongan mereka yang merugi. Ya Allah, janganlah Engkau hukum hamba jika hamba lupa atau tersalah. Ya Allah, Tuhan hamba, janganlah Engkau bebankan kepada hamba beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum hamba. Ya Allah, janganlah Engkau pikulkan kepada hamba apa yang tak sanggup hamba memikulnya. Beri maaflah hamba, ampunilah hamba, dan kasihanilah hamba. Engkaulah Penolong hamba, maka tolonglah hamba terhadap kaum yang kafir. Ya Allah Tuhan hamba, janganlah Engkau jadikan hati hamba condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada hamba, justru karuniakanlah kepada hamba belas-kasih langsung dariMu; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi karunia. Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kedua orangtua hamba dan sayangilah mereka, sebagaimana mereka menyayangi hamba sejak kecil. Hamba mohonkan ampunan juga pada seluruh sanak-kerabat muslimin dan muslimat, juga mukminin dan mukminat baik yang masih hidup maupun, terutama, yang telah berpulang padaMu. Sungguh Engkau atas segala sesuatu berkuasa Ya Allah. Ya Allah Sesembahan hamba, hamba mohon kebaikan di dunia dan akhirat dan perlindungan dari siksa neraka.

Maha Suci Tuhan hamba yang memiliki Keagungan atas segala yang mereka sifatkan. Sejahteralah para rasul dan segala puja dan puji hanya bagi Allah Tuhan semesta alam.

Saturday, December 22, 2012

Di Manapun Berada, Nasihat Ibu Pedomanku


Nasehat Ibu, Pesan Ibu
Akan kuingat s'lama hayat
dan di manapun aku berada
Nasehat Ibu pedomanku

Ini adalah syair dari sebuah lagu yang diajarkan Bu Darsinah [...atau haruskah kupanggil Nyi Sudarsinah, karena beliau adalah seorang Pamong Taman Muda Perguruan Taman Siswa?] ketika aku masih bersekolah di bangku kelas 3 Taman Siswa Kemayoran Gempol. Melodinya sangat sederhana namun manis, sampai hari ini selalu terngiang dalam kepalaku. Sebenarnya ada satu lagi lagu yang diajarkannya, yang lekat dalam ingatan. Sayangnya yang ini aku tidak ingat seluruh syairnya. "Sungguh katamu wahai Saudara, duduk bercakap tidak berguna," hanya dua baris terakhir inilah yang kuingat; meski melodinya aku ingat semua. Mas Iwan dulu membuat lagu ini bercandaan, khususnya di dua baris terakhir ini. Sambil menyanyikannya, ia memegal-megolkan pantat. Menurutnya, itu adalah visualisasi yang tepat bagi melodinya. Aku sebenarnya tidak begitu setuju, tapi biarlah. Bu Darsinah, dan Bu Kus, adalah dua pamongku ketika di Taman Muda yang selalu kukenang. Sayang, aku tidak pernah bertemu dengan beliau-beliau lagi semenjak kepindahan ke Radio Dalam. Bu Kus yang lemah-lembut dan sering membelikanku teh botol Sosro, dan Bu Darsinah yang tegas namun terlihat betul kasih-sayangnya pada murid terpancar dari setiap tutur-kata dan gerak-geriknya. Ah, guru-guru yang hebat. Semoga bangsa ini tidak pernah kekurangan guru-guru seperti mereka.

Kemudian Bu Djasma, guruku di kelas 4 SDN Pulo 01 Pagi Jembatan Selatan. Yamto tidak berapa suka padanya, karena ia, menurut Yamto, pilih kasih, meyayangi Ronnie dan Donnie lebih dari yang lain. Aku tidak banyak ingat guru-guruku di SMP, baik Islamic Village Tangerang maupun SMPN 56 Jakarta. Hanya satu yang kuingat, Bu Edah Jubaedah, guru Bahasa Sundaku. Masalahnya aku bodoh sekali dalam mata pelajarannya, sedangkan untuk yang lain nilaiku baik. Ia sempat menyangka aku menyepelekan pelajarannya, namun seingatku aku memang kesulitan mempelajari bahasa itu [...meski mengingat apa yang terjadi dengan pelajaran Bahasa Jepang di SMA, mungkin memang benar aku tidak cukup terdorong untuk mempelajarinya...] Selain itu, Bu Edah, yang ketika itu pasti masih sangat muda, rambutnya bagus sekali. Aku disuruh ke rumah beliau untuk her atau mendapatkan pelajaran tambahan, dan di situlah aku melihatnya; karena selama di sekolah semua guru perempuan mengenakan hijab. Terlepas dari itu, Bu Edah adalah seorang guru yang sangat kompeten, meski waktu itu beliau masih sangat muda. Seingatku, Bu Edah sangat serius menyampaikan pelajarannya, dan aku sungguh menyesal kalau memang ternyata aku, dalam hati kecilku, menyepelekan mata pelajarannya dahulu.

Lalu guru-guruku, pamong-pamongku di SMA. Meski tak mungkin kuceritakan satu per satu semuanya, bukan berarti yang tidak tersebut kurang berkesan atau kurang berjasa. Secara umum, para pamongku waktu SMA benar-benar mengagumkan. Rata-rata mereka berusia muda ketika itu, mungkin masih 20-an atau awal 30-an; dan mereka melaksanakan tugasnya dengan sangat sempurna. Baiklah kusebut terlebih dulu Bu Eko, karena beliau wali-kelasku pertama dan pelatih paduan suara di mana aku tergabung. Bu Eko-lah yang menambah perbendaharaan lagu-lagu Nat King Cole-ku, terutama dengan beberapa lagu yang monumental seperti Walking My Baby Back Home, These Foolish Things dan satu kaset penuh itu. Tak heran beliau mencipta begitu banyak lagu yang sangat cantik jika lagu-lagu tersebut referensinya. Kemudian Bu Andras, wali-kelasku ketika kelas 2. Bu Andras, tidak seperti Bu Hartini wali-kelasku ketika kelas III, mungkin tidak termasuk lemah-lembut, bahkan cenderung tegas. Namun aku, meski nakal sekali, masih dapat merasakan kasih-sayang seorang ibu terpancar darinya. Bu Hartini, seperti sudah kukatakan, adalah seseorang dengan tutur-kata dan perilaku yang sangat lemah-lembut. Baik Bu Andras dan Bu Hartini adalah guru-guru Bahasa Inggris, dan mengingat nafkahku kini sebagian besar berasal dari kemampuan berbahasa Inggris, sungguh pada tempatnya jika aku selalu mengenang mereka dengan rasa terima kasih mendalam.

Kata orang, wajarlah bila bagi seorang anak laki-laki, ibunya adalah segala-galanya di dunia ini. Mungkin benar. Ibu, Meity Budiarti, memang segala-galanya bagiku. Sama-sekali tidak berlebihan jika kukatakan tahun-tahun dalam hidupku, terutama yang belakangan, kuhabiskan untuk mencoba membahagiakannya. Hatiku terasa sungguh ringan jika Ibu marem, ridha atas apa yang kukerjakan; dan sebaliknya, betapa susah dan berat rasa hatiku jika Ibu sampai bersedih hati, terlebih karena perbuatan maupun perkataanku. Sayang saja, kurasa, belum cukup untuk melukiskan apa yang kurasakan pada Ibu. Ibu, ya itu tadi, adalah segala-galanya bagiku. Ibu sering ngendika bahwa seorang ibu adalah pertapaan bagi anak-anaknya. Aku pernah mengalami tahun-tahun pernuh kebingungan di mana aku kehilangan diriku sendiri. Ketika aku menemukannya kembali, aku tidak peduli aku siapa, aku mau apa; yang terpenting adalah aku anak Ibu dan Bapakku, tertua pula, dan apapun yang mereka inginkan, terutama Ibu, itulah keinginanku. Tidak ada lagi yang lebih kudambakan di dunia ini daripada ridha Ibu dan Bapak, tidak ada lagi yang lebih patut kuusahakan dengan sepenuh-penuh kesungguhan hati; karena aku yakin, itulah sejatinya keberadaanku di atas dunia ini. Semua sebutan menjadi tidak penting, tidak bermakna, dan, lebih penting lagi, tidak akan kekal. Kenyataan bahwa aku anak Ibu dan Bapaklah yang tidak akan berubah selamanya.

...kata Bang Andhika Orangtua, sesudah itu Guru.

Friday, December 21, 2012

Lihatlah Betapa Besar Cintaku Padamu


Meskipun sudah kiamat maya, aku masih saja menunggu waktu Jumatan sambil mengobrol denganmu. Namun, bagaimana bisa mengobrol jika Mbak Debbie sedang berduet dengan Mas Chris begini? Belum sampai Mas Jason dan Mbak Kylie sih, tapi memorabel juga. Ngomong-ngomong, kamu siapa? Jika Anne menamai teman bisunya Kitty, dengan nama apa aku harus memanggilmu? Selepung? Ahaha, ini mah bikinannya Mas Agus Setiadi. Aku jadi penasaran, kata apa yang sebenarnya digunakan oleh Oma Astrid. Dia pahlawanku. [...seperti Ha-joon Chang, dong, pahlawan...] Jika kamu sempat membaca karya-karya Oma Astrid, mungkin kamu akan mengenali bahwa gayaku menulis sedikit banyak diilhami olehnya. [Halah, menulis. Macam betul saja menulis] Penulis buku anak... hemm... [sudah kayak Retno Wulan, yang disukai mahasiswa pria hahaha...] kurasa jaman dulu Balai Pustaka atau penerbit-penerbit lain anggota IKAPI banyak menerbitkan novel-novel pendek untuk anak-anak, dan, setidaknya bagiku, cerita-cerita itu memorabel. Aku ingat dulu punya buku mengenai membuat kompos dan memelihara kupu-kupu; sedang anak jaman sekarang disumpal tivi dan permainan elektronik. [sigh]

Eh, kamu cerita, dong, Masa aku melulu yang ngomong... Seks itu menyedihkan. Justru cinta itu, perasaan mendamba itu yang... indah; menjadi inspirasi bagi bermilyar-milyar lagu, syair, narasi, tarian, lukisan, semuanya; sejak jaman homo erectus [emang iya? kenapa tidak australopithecines sekalian?] sampai hari ini. Tidak, tidak seperti sangkaan kebanyakan orang selama berjaman-jaman, seks itu tidak kotor, tidak mesum, tidak nista. Itu semua tidak. Menyedihkan iya. Kotor tidak. Mesum tidak. Nista tidak. Keindahan itu suatu energi, suatu daya yang tak terperi tak berkira; apapun keindahan itu, terlebih lagi cinta, meski dengan huruf 'c' kecil itu. Meski kecil itu, sudah sangat luar biasa dahsyatnya. Jika sudah asyiq, terlebih lagi sampai masyuq... wah, tak terlukiskan; meski ingin dilukiskan juga. Koq kamu seperti aku sih? Sebenarnya sudah sering 'kan kita mendengarkan kisah-kisah pendek yang ceritanya romantis begitu. Aku sendiri juga banyak sekali mendengar, tapi hanya satu ini yang lekat dalam benak. Alur utamanya aku sudah tidak ingat, rinciannya apalagi. Hanya saja, aku selalu ingat kalimat inti dari cerita itu: SHMILY, yang merupakan akronim dari See How Much I Love You. Kenapa yang ini aku kena, ya? Tidak mungkin semata-mata karena aku seorang romántico empedernido 'kan?

Widiw, sedap! Memang benar 'De Ian Gillan, terkadang rasanya ingin berteriak, [...atau menjerit? meraung? memekik? ...apa, dong?] karena yang kuinginkan adalah sedikit kelebayan. Misal, saling berpapasan di pintu dapur yang sempit itu, menyempatkan diri untuk memeluk, untuk sekecup di bibir atau dahi. Kecil-kecil saja seperti itu, tetapi sering. Ini... boro-boro! Jika rasa frustrasi sudah memuncak, lebih baik aku ingat pesan 'De Ian ini saja, daripada penyalurannya ke yang lain-lain. It's all in the mind! [...or mine?] Akankah keadaan ini berubah? Akankah dia berubah? Dia, yang jelas, sudah berubah; sudah berakhir masa promosinya. Suka tidak suka, inilah kenyataannya. Marah tidak marah, apapun alasannya, sudah tidak sama seperti dahulu. Dan seperti kata 'De Joe Elliot, [Hutdik yang memperkenalkanku padanya, dulu setiap pagi di Graha 10] cinta menggigit, cinta berdarah, cinta hidup, cinta mati, cinta memohon, cinta mendamba. Itulah cintaku, memohon, mendamba; meski tak mungkin kudapat [...di sini? di dunia ini? Sudah gila apa kamu? Lihat kelakuanmu!] Aku digigit cinta sampai berdarah; tidak sih, cuma memar... Cinta menghidupiku, sampai matiku. Cinta, padamu. 'Kumohon, kudamba... cinta, Cinta. Mu.

Cintaku seperti gorengan. Panas. Asin. Berminyak. Pedas.

Thursday, December 20, 2012

...di bawah Naungan Saluran Udara Tegangan Tinggi


Ya Allah, semoga semua tekanan dan ketegangan ini segera mengendur dan mereda, meski aku tahu, bertumpuk-tumpuk koreksian Hukum Lingkungan masih menunggu. Namun, kini... kunikmati saja dahulu apa yang sedang kurasakan. Aku berjalan di bawah terik matahari tengah hari dalam persekitaran yang tenang, tiada hiruk-pikuk sama sekali, tipikal suasana pemukiman pekerja kantoran di siang hari. Tujuanku adalah sebuah warung, Basmallah Shop namanya; satu-satunya warung di situ. Aku membeli kopi. Kali ini, untuk merayakan suasana ini, aku memberanikan diri membeli Liong Bulan. Tak cukup sampai di situ, aku bahkan membeli makaroni Dua Putri aseli Cikoneng, Ciamis sampai tiga bungkus! Sambil berjalan kembali, kumakan sebungkus makaroni, masih dengan rasanya yang sangat sederhana itu. Sayang, Liong Bulannya mengecewakan karena sudah dicampur gula. Padahal, aku sudah membeli susu kental manis untuk dicampur dengannya, biar jadi kopi susu. Akibatnya, kopinya manis sekali! Yah, setidaknya bagi standarku, maka kutambah air panas dari dispenser. Oh ya, berhubung ini Liong Bulan, tadi aku menyeduhnya dengan air mendidih benar loh, kujerang dengan panci sungguhan, di atas kompor gas satu tungku.

Well, I think I just need a change of pace. Aku sekadar butuh suasana baru, ritme baru; dan Insya Allah, mulai minggu depan, aku bisa mendapatkannya dengan absah. Amin, hamba mohon dilancarkan Ya Allah... wuih siang ini terik benar panasnya... dipicu Liong Bulan, maka kuyuplah kaos oblongku yang lubang badan dan tangannya sudah megar ini. Nyaman. Jauh lebih nyaman dan terasa lebih menyehatkan daripada ngejogrog di pojokanku itu, di Lantai Dua Gedung A; yang selalu saja pengap atau berudara AC. Di paragraf ini, baiklah kuselipkan sedikit mengenai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Sejujurnya, lama-lama aku kehilangan pegangan dan arah jika berpikir dan berbicara mengenai hal ini. Mungkin awalnya adalah agar jangan sampai terjadi tabrakan kompetensi antara berbagai program studi yang ada; misalnya, kompetensi kriminologi, karena sudah diajarkan di Prodi Kriminologi di FISIP, jangan ada lagi di FH. Rasanya sih begitu saja. Lalu apa urusannya dengan membatasi jumlah matakuliah ya? Kenapa Hukum Kepailitan dan Hukum Persaingan Usaha, misalnya, tidak boleh ada? Sudah diajarkan di mana mereka ini? Ataukah bahwa kompetensi-kompetensi ini harus didorong ke jenjang yang lebih tinggi?

Tauk, ah. I feel like I'm in a death race, going round and round a hippodrome. Bu Myra tidak bisa lebih tepat lagi ketika mengatakan bahwa, satu-satunya cara kamu bisa bebas dari ini semua adalah keterima S3. Ya Allah, lancarkan, mudahkanlah, selesaikanlah semua urusan hamba dengan sebaik-baiknya menurutMu. Hamba pasrah. Hamba mengakui, berusaha jujur, memang tidak seluruh daya-upaya yang ada pada hamba telah hamba kerahkan. Ampunilah hamba Ya Allah... Sudahlah... lebih baik sekarang memikirkan, kira-kira makan siang apa ya yang enak... Tadi pagi sarapan nasi uduk yang memang sudah cuma begitu saja, tidak bisa lebih baik atau buruk lagi. Datar saja, bahkan cenderung membosankan. Siang ini berarti harus agak lebih bersemangat sedikit lah. Namun terus terang, sampai detik ini, yang mana sudah setengah dua, aku belum terpikir. Bahkan memulai sehuruf dari celotehan Ega dan Togar pun belum... Ya, kalau suasana hati tepat mah apapun mudah saja. Dalam rangka membangun suasana hati inilah aku berkhayal mengenai makan siang... masakannya Ibu... tumis buncis, yang mana pun.... Bu, Boni kangen banget sama Ibu. Ibu selalu menjadi pusat dari kesadaranku, belum pernah tidak. Ibu, dan selalu Ibu. Magelang, Surabaya, Depok, Belanda, Depok... selalu Ibu... dan Bapak.

Wednesday, December 19, 2012

...sudah bukan Penulis Roti, Pamfletir untuk Sendiri


Hujan, biarlah kuceritakan padamu, betapa mahalnya menulis itu. Bukan gagasannya, tetapi pekerjaan menulis itu sendiri. Gagasan, bagiku, seperti debu jalanan. Banyak dan murah, asal kau sudi mengumpulkannya. Namun menulis itu sendiri adalah salah satu pekerjaan yang sangat mahal, karena waktu yang dihabiskannya untuk menghimpun suasana hati. Dan waktu, kita selalu kekurangan waktu. Waktu adalah salah satu sumberdaya yang paling langka, kurasa. Jadi, setelah ini, Insya Allah, tidak akan lagi aku menulis kecuali aku yakin sekali akan manfaatnya. Jika sekadar untuk uang beberapa juta, tidaklah. Terlalu murah. Tidak sepadan dengan waktu yang terbuang. Tidak sepadan dengan mutu kesehatan yang semakin menurun. Tidak sepadan dengan kesehatan jiwa yang terus tergerus. Tidak. Titik. Pun begitu, masih saja orang, sarjana hukum pula, sarjana lah setidaknya, mencoba menghindar dari menulis. Omongan itu murah, Bung; bahkan jauh lebih murah daripada gagasan. Sebagai seseorang yang bermulut besar, sadar betullah aku betapa murahnya omongan itu. Hey, kalau timbang bicara sok cerdas saja, tidak usah bermimpi melawanku, deh. Itulah sebabnya aku malu mengajar.

Kata orang kampung, yang di samping cangkir itu namanya roti; padahal 'kan biskuit.
Lalu kalau tidak mengajar, apa? Dari mana lagi aku dapat uang? Baiklah aku berhenti tepat di sini. Lebih baik kupuji-puji hujan ini, sementara memuja-muja Penciptanya. Hujan membawa kesejukan. Suasana teduh dan sejuk yang tidak mungkin ditandingi oleh cuaca tropis manapun. Memang begitu saja pilihannya. Atau panas, atau hujan. Keduanya membawa belas-kasih, keduanya membawa rahmat. Hujan dan panas, membawa suasananya masing-masing yang tersendiri. Hujan di sore hari, ditemani secangkir kopi dan perasaan hati yang rata-rata air, bagaikan kasih sayang seorang istri paruh-baya pada suaminya yang paruh-baya juga. Ketika hari telah menjelang senja, gairah yang menjompak-jompak tidaklah lagi menjadi bunga-bunganya cinta. Justru kasih-sayang antara dua insanlah yang menjadi suara utama dalam simfoni yang tengah bergladi-resik mempersiapkan sebuah nokturno. Ketika hari telah menjelang senja, maka yang ada adalah cinta seorang saudara kepada saudarinya, dan begitu juga sebaliknya. Saling mendengarkan, saling mengusap. Saling menenangkan, saling menyamankan, bagaikan gerisik daunan bambu ditiup sepoi angin , dibelai-belai matahari sore yang ramah. Titik-titik hujan sore hari adalah pengingat mengenai masa-masa yang telah lampau, bagaikan sepiring kecil kue-kue kering menemani sepoci teh dan cangkir-cangkirnya.

Jadi... bagaimana? Jadi, hentikan omong-kosongmu mengenai malu mengajar. Berhenti mengeluh mengenai mengajar, kau terdengar seperti banci tauk kalau begitu. Kalau mau jadi pamfletir, tulis pamflet untukmu sendiri. Sesukamu sendiri. Atau lebih baik lagi, jadilah go blogger. Alhamdulillah wa syukrulillah, aku sudah tidak perlu menulis untuk membeli roti. Sudah ada sumber lain, dari Allah, agar aku dapat membeli rotiku sendiri. Tidak hanya roti, bahkan doublecheese burger pun enteng saja sekarang. Makan Nasi Langgi dan Lontong Cap Go Meh di Satai Khas Senayan, sedangkan nasi cuma habis setengah dan ayam rong pethuthukan ditinggal begitu saja, itu pun santai saja sekarang. Alhamdulillah, meski jangan sampai jadi kebiasaan, membuang-buang makanan. [perkedel kentang tidak enak dan beberapa suap nasi uduk pun kubuang, besoknya] Lagipula, mengajar bisa menyenangkan loh; [apanya yang menyenangkan dari mengajar...?] yaitu apabila dari mengajar itu mengakibatkan... DUIT! DUIT! DUIT! [tiga kali, tiga digit?] Duit, tapi jangan sambil terus bekerja keras cari duit. Duit banyak, tapi sedang tidak bekerja; 'kan jadi bisa jalan-jalan menyusuri kali. Naik turun lanskap bergelombang, yang membuat jantung agak sibuklah bekerja; daripada menulis-nulis entah apa, seperti ini.

Btw, Prabowo 'tu berwibawa dari sebelah mananya sih?

Tuesday, December 18, 2012

Susah Hatiku Malam-malam Begini, Amboi!


Selain bunyi detak jam hijauku dari jaman Jang Gobay, terdengar juga percikan-percikan air dari sela-sela plafon ruang Mbak Eka. Masih di Lantai Dua Gedung A. Sendiri. Oh, seharusnya kulakukan malam ini juga. Besok ada rapat bidstu, sorenya UAS HPD. Al Jarreau membisikkan "pada akhirnya" pada volume limabelas persen. Hah, aku masih saja seperti menulis prosa lirik, padahal yang kubuat ini prosa. Yaah... setidaknya begitulah rasaku. Sungguh tidak mungkin aku berkonsentrasi melakukan apapun dalam suasana kebatinan seperti ini. Apa yang akan terjadi minggu depan? Jika ada yang bertanya padaku, tentu saja kujawab, jelas saja aku bersusah hati. Ah, tidak terlalulah. Biasa saja. Apalagi bila mengingat semua rincian itu. Sia'ul! Aku tidak suka begini. Aku eksibisionis! Ini lagi... Surga dan Bumi, meski aku curiga juga. Sudahlah... Ya ampun, jadi begini lagi?!

Huft! Terpasang juga akhirnya gambar ini. Jadi desktop-ku bisa bersih kembali. Inilah akibatnya jika merasa aman dalam drum berisi oli, sedangkan tepat di depan wajahmu seekor ular menggeliat-geliat membuat geli.
Lalu apa yang bisa kulakukan? Bisakah aku tidak membicarakan itu, dengan diriku sendiri? Jelas tidak, karena tidak banyak yang penting di dunia ini. Apa aku harus cerita bahwa aku memulai hari dengan burger steik spesial, spageti merah dan ikan goreng tepung? Apa aku harus cerita bahwa nada bicara Satpam tadi membuatku hampir naik pitam? Apa aku harus cerita bahwa, mungkin, lebih baik seperti Ahok yang suka marah-marah? Yang terakhir ini sudah tentu tidak. Kalau aku marah, jantungku berdetak kencang. Siapa yang tahu kalau itu tidak sekalian menaikan gudreg-ku. Oh Allah, Engkau lebih tahu betapa hamba bersusah hati. Sungguh tak tahu malu hamba... Ampuuun Ya Allah, aduhai, bagaimana lagi hamba harus memohon AmpunanMu? Susah hati ini, kepada siapa dapat kuadukan? Hanya kepadaMu. Kali ini, benar-benar hanya kepadaMu. Tak satu manusia pun dapat melipurku kini... sudah lima belas menit berlalu dari jam dua puluh.

Kali ini, aku akan lebih manis. Seandainya saja... Tidakkah aku berhak atas usapan di punggung? Dekapan? Ciuman lembut di dahi? Aku sudah tidak lagi memikul dunia. Mau juga nggak. Namun, yang kupikul sekarang... Lihatlah berbaris-baris kalimat tak selesai ini... [siapa yang harus lihat?] Takkan kutemukan di mana pun. Tidak akan pernah, selama masih di atas dunia ini. Apalagi jika sampai dengan cara itu... Naudzubillah tsumma naudzubillah! Mengubur diri dalam pekerjaan jelas bukan gayaku. Justru lebih mungkin jadi ubur-ubur buruan Spongebob dan Patrik. Itu pun tidak, karena aku tidak menyengat. Biar kumuntahkan di sini. Anak-anak itu memang kurang ajar! Tanpa terkecuali! Semua! Tapi ya itu. Bukan aku tidak bisa, aku tidak SUKA marah seperti aku tidak suka sakit. Marah membuatku merasa sangat tidak nyaman. Oh... betapa saat ini aku membutuhkan banyak-banyak usapan, dekapan, ciuman... semuanya yang lembut... tumbuh jadi satu. Khayalan, yang nyata serta angan-angan, berjuta mimpi dan harapan, semua lembut jadi... BUBUR!

Monday, December 17, 2012

Sungguh Tak Sabar Ingin Segera Bertemu


Inilah aku, tidak pernah mampu menahan diri. Tadi sudah minum White Koffie, baru saja minum kopi lagi dari dispenser di Faculty Lounge. Akibatnya, perutku sebelah kiri atas terasa sungguh tidak nyaman. Bicara mengenai tidak mampu menahan diri... itu tidak sepadan dengan yang didapatkan. Memangnya apa yang didapat? Kengerian! Mengapa ada orang-orang yang kelakuannya mengerikan tetapi selamat-selamat saja? Sungguh pertanyaan bodoh, seperti tidak pernah baca saja. Itulah susahnya. Bacaanku banyak. Jadi kalau berbuat salah, salahnya lebih besar dari yang tidak pernah membaca. Lalu biar apa membaca? Sungguh mengerikan bila mentalitas fatalis digabung dengan ketidakmampuan mengendalikan diri. Alhamdulillah, tadi sudah shalat Dhuhur relatif tepat waktu. Ashar nanti bagaimana?

Ini kenapa di samping Langgar ada sapi begini?
Aku memulai hari ini dengan menonton Prince of Egypt. Ini sudah kedua kali, dan masih saja dadaku sesak menontonnya. Ilham adalah bahan baku seniman. Kertas, kayu, suara, kata-kata dan sebagainya hanyalah media. Bahan bakunya adalah ilham. Semua yang kupahami mengenai diriku semakin lama semakin mengerikan. Haruskah aku berpuas diri dengan identitas sebagai Umar Bakri, yang dikurangajari murid-muridnya? Setidaknya, aku menerima dengan sepenuh-penuh hati, bahkan bersuka-cita, bahwa tidak ada sesuatupun yang istimewa denganku. Akan tetapi, mengapa sulit sekali bagiku untuk menjadi... biasa? Apakah aku sekadar pemalas, dan pembual. Buruk sekali sifatku... Cantik, ketika menggambarkanku, menggunakan kata "pengasih." Membicarakan diri sendiri tanpa henti seperti ini adalah bukti betapa hampanya jiwa. Untunglah semester ini sudah berakhir. Syukurlah tidak ada semester pendek. Jiwa yang hampa hanya menorehkan kengerian, bila diproyeksikan baik dengan mata, sikap tubuh apalagi kata-kata.

Jika sudah demikian, hanya mesjid di tepi Cikumpa itu satu-satunya tumpuan harapanku. Sungguh aku ini pendosa. Ingin sekali aku bergantung pada belas-kasihNya, tetapi aku merasa kurang-ajar begitu jika mengingat betapa berkarung-karung dosaku. Terlebih jika mengikuti diskusi mengenai hadits, sekarang aku jadi takut ikut-ikutan bicara mengenainya. Insya Allah, ini bisa kuanggap sebagai kemajuan [ndasmu mlethas] Sungguh, jika kuingat-ingat, betapa cerobohnya aku selama bertahun-tahun. Aku sok alim. Tamparan terhadap yang satu ini memang sudah kurasakan setidaknya tiga tahun terakhir ini. Jika mengingat, aku pernah menjadi pemateri dalam suatu pengajian, meski itu disebut sebagai "leader discussion," Ya Allah... Kini aku terpuruk, dengan muka tersuruk-suruk, di dasar comberan hitam tempat menumpuk limbah restoran Cina. [lhah kenapa harus ada Cina-nya?] Kasihan, muka mereka juga hitam kusam tak bercahaya, para penghuni comberan itu.

Love Will Lead You Back Where You Belong

Sunday, December 16, 2012

Seutas Kutang Berisi Wiski, Untukku



Ketika penyebar desas-desus itu mengerubungi, Jasad
Sedangkan di dalam masih ada itu keikanasinan, Busuk
Pengap, ngap, seperti banci dibungkus pisang, Keserimpet
Racunlah yang terhirup, meruyak, mengoyak kue-beras

Terpacu itu, mengunyah lidah sendiri terkumpul ludah
Kecepret pada visor helm yang masih turun, Bacin
Diseka itu, dengan secabik kertas koran, ada Quran
Awan mendung bertahta di ufuk selatan, terasa Gerah

Hujan adalah batas, antara sepoinya Surga dan geramnya Neraka
Hujan, tak menyelamatkanku dari terkaman Drubiksa
Aku, tak mendengar lirihnya bisikan gerimis
Perut, kenyang menggelinding menuruti

Satu kutang menjanjikan dua lainnya, celana dalam juga
Masing-masing terisi penuh wiski, katanya untukku
Ada juga tahi, tapi Babi, tapi liur anjing, betina juga
Untukmu delapan, mereka lima, dia keluar, aku keluar

dan seutas itu sebelah, bukan kanan, bukan pula kiri
Mengapa justru kini, sedang engkau mengantisipasi
dibuat lelah oleh berlalunya iming-iming cinta sejati
Lalu mengapa justru aku, ditinggal Seorang Diri?

Fantasmagoria menyeret seprai lusuh, bermandi peluh
di mana penghuni Comberan bersenda-canda, Trenyuh
Jangan berlagak suci, jika berlembar-lembar meluncuri
akhirnya masuk sendiri, Akhirnya, terlanjur melumuri

Memang sudah diniati, meski berganti cepat sekali
Tercapai sudah hasrat terlaknati, tiada berhenti
Melangkah gontai menyusuri, mencari Kunci-kunci
Bilakah 'kan kembali, mampukah sebelum mati?

Saturday, December 15, 2012

Suatu Entri Konyol tentang Henfon a.k.a Ponsel


Aku melakukan ini untuk diriku sendiri. Ini, menulis entri-entri konyol ini. Tulisan-tulisan tolol ini, entah mengapa kusebut entri. Kuganjal kibor dengan carjer Nokia. Aduhai, betapa sudah lama sekali aku tidak menggunakannya. Biarlah kuingat-ingat disini henfon yang pernah kupakai, dari sekarang. Henfonku sekarang adalah seekor Blekberi Gemini warna merah marun. Kubeli di ITC Fatmawati, gara-gara Cantik dapat Blekberi Bold Lama dari Kak Tina. Iya lah, jika alasannya semua orang minta pin saja, mana mungkin aku tergerak membeli. [Hey, kibor ini enak, empuk sekali; meski tepat di samping shift kiri ada tombol garis tegak stupid yang sering kepencet] Henfonku sebelumnya adalah seekor Nexian dual mode GSM/CDMA, entah apa tipenya aku lupa. Kubeli di ITC Depok, tepatnya di Leo Star. Ini adalah henfon dengan kibor qwerty pertamaku. Di situ juga aku pernah masukkan lagu-lagu Billy Vaughn dan Eddie Calvert, untuk kudengarkan di Starbek.

Sebelumnya... apa ya henfonku? Jika tidak salah Nokia 1200 yang sudah kumiliki sejak sebelum ke Belanda; ya, dan sebuah Esia yang pernah membangunkan Khaira dari tidur siangnya. Huft, repot benar bawa-bawa dua henset ini. itulah sebabnya aku segera mengganti mereka dengan Nexian dual mode itu. Ya, itulah alasannya. Di Belanda, Nokia 1200 itulah satu-satunya hensetku; sedangkan waktu itu Sam sudah menggunakan Samsung entah apa, yang di dalamnya ada sms dari Bibi buat Cil katanya "gogoyangan." Yuck! Sial, aku disamakan dengannya karena suka Liverpool dan kucing. Aku juga ingat waktu itu aku berjanji pada Dik Praborini untuk membeli Blekberi, biar snob; karena ketika itu dia beli di Belanda! Sebelum ke Belanda, henfonku juga dua, satu GSM, ya Nokia 1200 itu; satu lagi CDMA, Nokia juga, aku lupa tipenya. Namun, tipe itu lebih tua dari Nokia CDMA low-end terbaru yang tengah beredar, seperti punya Adik. Nah, sebelum ke Belanda, henset CDMA-ku itu kutitipkan pada Mang Imas, entah kalau tidak salah disekolahkan juga akhirnya dia.

Sampai di sini aku sudah tidak ingat lagi urutannya. Apakah Nokia dengan joystik pentil itu, yang akhirnya kujual pada Wong Edan karena butuh duit; lengkap dengan dispenser panas-dingin Cosmos? Entahlah. Namun Nokia pentil itu kubeli di Carrefour Lebak Bulus. Well, itu adalah henfon pertamaku yang ada kameranya. VGA sih, tapi kamera! Sedangkan waktu itu Dedy sudah pakai Sony Ericsson k570i dan banyak lagi hensetnya. Sebelum itu... apakah langsung si Nokia Biru 2100 itu? Wow, sangat memorabel, karena bahkan benda itu, yang harganya cuma Rp 800,000 itu, pada waktu itu, belinya pun harus nyicil sama Pak Kendar. Ya Allah... Dibagi sepuluh, bayar dua belas kali. Ini namanya mindring hahaha... Yang paling terkenal dari Nokia Biru itu adalah rington sms-nya yang berbunyi Poor People of Paris, yang sering memancing orang untuk melanjutkan. Sebelum itu... kalau tidak salah Siemens Sendok Es Krim boleh nglungsur dari Adik deh... atau Bapak... lupa... Sebelum itu lagi, Ericsson GH-688 yang jaya! Lengkap dengan hensfri-nya untuk kijang satu kijang dua dengan Ige; memang dibelikan Ige untuk keperluan menangkap apset.

Selamat Ulang Tahun, Pak.
Saya Selalu Bangga pada Bapak.

Friday, December 14, 2012

Sanjak Ungu Tua Perangkap Babi Ungu


Tua dan bacin seperti bau kopet
seperti bau kloset tidak disiram
yaitu klosetnya sarang beto
yang tua juga kelihatannya

Waktu-waktu seperti ini, aku ingin berteriak
Aku ingin memekik membelah semarak kekinian
Kini aku muncul. Aku!
Ketika rumah sudah tidak punya, aku gentayangan

Melipir di tepi-tepi selokan dan jamban, tak bertuan
sudah ditinggalkan keindahan apalagi kesyahduan
menyeret kaki kutilan bermata ikan, di trotoar rusak
sementara mengucur-ngucur itu dari situnya

dikilik itu, menggeletarnya, mendesahnya
Meraung! Menjerit sakit itu sudah tak tertahankan
Kepedihan adalah sebungkus nasi lengkap dengan lauk-pauk
ada telur puyuh, urap, ikan asin, sepotong tahu. Perih

Leher menyangga kepala bulat, tertunduk menyusuri
jejak-jejak nasi yang tercecer dari gerobak sampah
memunguti, melumuri dengan ludah bercampur sedih
Cinta aku tidak punya, beberapa butir nasi ini saja

Warnaku memang begini. Jagger, itu artinya aku betina
itu mesum-mesum jijik, begitu. Bau taik, pahit rasanya
buanglah hajat di dadaku, biar melesak tidak apa
Asal aku dapat menyaksikannya mengucur, menjelir, menjebik

Mengembik, ditahannya di dalam untuk diperlihatkan
agar menang taruhan. Hahaha... suatu ide brilian!
Oh, betis bak padi bunting. Ini bahkan perutnya yang bunting.
Sial, aku berak di celana. Kalau tidak...

Terbayangkah engkau apa yang terpampang di mata kepala?
jika sudah begini, apa masih berarti segala daya upaya?
Sedang mata hati tidaklah di dahi tempatnya
tepuk tangan membahana, waktu cinta enggan melepas pagutannya

Melangkah lunglai aku meninggalkan panggung
Pelengkapku ditolak, sedangkan celana menjuntai canggung
Kulepaskan satu-satunya peganganku
untuk melayang, bebas. Nanti saja menghempas

Thursday, December 13, 2012

Baldala Apset Ericsson GH688, Riwayatnya Dulu


Sambil mendengarkan Adikarya oleh Bintangg Atlantik, biarlah kukenang masa-masa ketika aku begitu gendutnya, mengenakan jaket kulit yang terdiri dari potongan-potongan kecil kulit domba, sedangkan di dalamnya tersembunyi Ericsson GH-688 dengan hensfri menyumpal lubang telinga kiri. Sesungguhnya kurang tepat suasana yang ditimbulkan oleh bunyi-bunyian ini; seakan penuh kedamaian. Padahal masa-masa itu... masa penuh kebingungan, kecemasan dan kemarahan, dan... ketidakberdayaan. Jika tidak salah, kunjungan pertama ke Karina Sayang itu malam-malam. Hahaha... penduduk situ pasti serem melihatnya. Iglesias, aku dan Pankcrut. Waktu itu, seingatku, ada Pak RT atau siapa gitu. Aku ingat Iglesias menendang Pankcrut karena berdirinya ga bener, mletat-mletot gitu. Aku lupa apakah kami bermalam di situ, atau pulang, ataukah saat itu kami sudah memakai Starlet-nya Baron. Adalah beberapa kali kunjungan ke sana. Tidak kuingat lagi kronologinya. Mas Bebas-bebas aja (Bba) pernah ikut. Abinyamin, Piston Nadeak juga.

Suatu pagi, kalau tidak salah, kami dapati istrinya sendirian di rumah bersama anak-anaknya. Oh belum... sebelum itu kami kejar-kejaran dulu sampai jauh ke Tangerang. Iglesias sopirnya waktu itu. Apset tangkas juga membawa kendaraannya. Ketika tahu diikuti, ia segera memutar mobilnya, di jalan ramai, dan melarikan diri ke arah tol. Akhirnya kami terseok-seok kembali, bahkan sampai masuk Tangerang Kota, berhenti makan di Ki Asnawi, entah makan apa. Seingatku, lelah sekali ketika itu. Semalaman tidak tidur. Barulah setelah itu, pagi-pagi kami ke rumah Apset... atau... sepertinya kunjungan pertama kami juga sudah berhasil menemui si Apset ini. Pada saat itulah ia berkata, saya sudah tidak punya apset lagi. Kalau masih ada, saya bayar, begitu kurang lebih katanya. Ya Allah, dia pasti bingung sekali waktu itu. Mungkin ia juga sudah tenang-tenang bersembunyi di situ sambil mencari nafkah untuk anak istrinya; sampai kami tiba-tiba muncul. Aku memang terlalu baik untuk melakukan pekerjaan itu. Tepatnya, aku terlalu lemah hati. Pekerjaan itu, dan profesi hukum pada umumnya, membutuhkan orang yang sudahlah usil, egois pulak.

Sebelum bercerita mengenai apa yang terjadi pagi itu, aku ingin bercerita mengenai... kapan itu aku lupa. Banyaklah episode tolol-tololan ketika itu, di Tomang Tol dan Ancol. Suatu tempo, Mas Bba yang bawa mobil, kami dari arah utara; kalau tidak salah, sempat juga siang itu menikmati angin laut di Ancol. Meluncur ke arah selatan di tol Bypass, Mas Bba berkata, aku nggak ngerti jalan ini lho. Pokoknya jangan lurus, belok kanan ke Depok. Kalau lurus, bablas kita ke Cikampek. Iglesias dan aku sangat kelelahan, sementara Mas Bba sempat tidur semalam. Maka bablaslah kami ke alam mimpi... dan bablaslah Mas Bba ke Cikampek! Selain itu, Abinyamin nyerok di Mahakam, dapetnya Atiek CB, satu lagi entah apa, satu lagi incerannya Iglesias. Di depan Plasentol, inceran Iglesias minta turun melarikan diri. Iglesias ngamuk-ngamuk hahaha... Sesampainya di Ancol, Iglesias kabur entah ke mana, Pankcrut sama entah apa... lhah, aku ditinggal sama Atiek CB!? Ya udah, kuajak ngobrol aja sambil menikmati berkaleng-kaleng bir hitam.

Sekarang cerita mengenai pagi itu. Pagi itu, akhirnya kami tongkrongin rumah Apset. Entah bagaimana caranya, datanglah orang-orang ngakunya entah dari Kodim entah Koramil setempat. Tak berapa lama, datang juga orang-orang dari Polsek. Satu orang dengan baju meriah sekali, warna jingga, Bo! Mungkin Kanit, atau entah apa. Datang-datang ia langsung perintah-perintah, TKP-nya dikumpulkan! Ha?! TKP? Oh, ternyata yang dimaksud KTP hahaha... Sudah begitu, Iglesias sempat bersitegang dengan itu orang, katanya, Pak, ini perkara perdata, mana ada TKP-nya. Tahu apa kamu? Emang kamu siapa?! Entah dari mana datangnya, Iglesias mengeluarkan kartu nama LKHT-FHUI. Melihat itu, si Kanit tampak agak jeri hahaha... Memang ajaib lah pengalaman yang satu ini. Tak berapa lama, gara-gara Iglesias mengancam akan membawa mobilnya Apset, datanglah si pemilik mobil itu; yaitu Boss Apset tempatnya bekerja waktu itu. Singkat cerita, marah-marahlah si Boss pada Apset, karena ngutang belum bayar dan tidak bilang-bilang; sedangkan Boss ini kenal dengan orang kepada siapa Apset berutang.

Wednesday, December 12, 2012

Sanjak Babi Ungu Sembilan Bait


Tidak apa-apa
Minggu pagi menjelang siang begini
memang cocok untuk berkata-kata yang sulur-bulur
tak berujung pangkal

Memang nikmat
ketika hasrat untuk berkarya tercekat oleh keseharian
ketika daya cipta diperas untuk karsa orang lain
Cipta memang sesuatu yang sangat egois

Memang rendah cipta manusia itu
maka janganlah ikut-ikut mencipta
Kalian tidak benar-benar mencipta
Hak kalian adalah untuk berkarya

Cucurkanlah keringat, penuhi hak Ibu Bumi
Hah, mulai lagi... termenung mendamba teman yang tidak pernah dipunya
ketika kata-kata dirangkai dalam bentuk alinea demi alinea
Apalah arti cinta ketika yang ada hanya resah, gundah dan sepi?

Bersapardi kini menjadi satu-satunya cara
ketika ingin berbakardi tidak punya uang
Lagipula haram, lagipula tidak begitu tulisannya
dan kesederhanaan itu, keliaran itu, bau itu

Menguar dari celah sempit di antara dua pipi tembem
Pantat. Terima kasih telah menemani, di sini
Cinta... seharusnya sederhana
Cinta seharusnya tidak seperti ini

Cinta seharusnya jujur, persis seperti yang mendekam di relung hati
yakni sarang laba-laba, beruntai-untai sutra alami
yang sama-sekali tidak cantik
memerangkap ketakutan dan kecemasan

Babi itu mengapung dalam kesederhanaan
meski aslinya tentu jauh lebih rumit dari kelihatannya
Tak ayal tetap membuat tersenyum sesungging
di bawah lampu jalan, menggelinjang di selilit tiangnya.

Ini adalah mengenai bidadari, meski babi
mengawan pura-pura tidak tahu, mengerjap-ngerjap di sekelilingnya
melaki seakan tiada yang lebih penting lagi di dunia ini
habis enak mau bagaimana lagi?