Friday, November 30, 2012

Berkhayal tentang Barepan, Jadi Pirikan


...setelah menemukan kembali keberaniannya, Bu Andras dan Bu Hartini bergegas memanggil... Inkuisitor! Inkuisitor ini orangnya tinggi besar, hitam, keriting pula. Baiklah kita sebut ia Pak Widjongko. Pak Widjongko tidak membuang napas untuk berkata-kata. Entah bagaimana caranya, dicengkeramnya dua tempat dari piyamaku dan dengan satu sentakan saja aku melayang terjerembab ke lantai dingin. Rupanya, menyentakku cukup membuat Pak Widjongko tersengal-sengal; ataukah karena ia menahan marah? Kulirik dia dari posisi menelungkup di lantai. Perlahan-lahan, dan perlahan sekali memang sengaja, aku bangkit beringsut naik kembali ke ranjang. Ini membuat Pak Widjongko mengamuk dan mengamangkan tinjunya, namun diurungkan. Kurasa bukan hanya sesama siswa, pamong pun kalau sampai memukul siswa akan dikeluarkan. Ia mendengus marah, dan aku melanjutkan tidur.

Hitam tidaknya suatu ilmu tidak ditentukan oleh kandungan dari ilmu itu sendiri. Hati dari pembelajarnyalah yang menentukan sesuatu ilmu itu hitam atau tidak. Itulah yang kubatin sambil mengoreksi posisi tidurku. Entah bagaimana caranya, setelah dikoreksi, aku pun nyaris terlelap kembali, jika tidak karena sukubus bernama Bu Eko membuatku mimpi basah untuk kali pertama. Superman! Kenapa Bu Eko?! ...apapun itu, lebih baik daripada inkubus berbentuk Pak Widjongko. Sungguh aku jengah jika kawan-kawanku sudah mulai berfantasi seks dengan obyek pamong-pamong. Korban-korban utamanya adalah Bu Titik dan Bu Susi. Amboi, jahat benar pikiran kalian! Lagipula, pada saat itu pun aku sudah tahu bahwa tidak ada yang menarik secara seksual dari kedua perempuan itu. Bahkan mengatakan mereka "perempuan" saja aku merasa sangat kurang ajar. Belakangan aku baru tahu bahwa yang seperti itu bisa jadi merupakan tanda-tanda adanya kecenderungan sadistis. Jika pun sadis, itu selalu pada celana dalamku sendiri, yang terkena mani gara-gara mimpi basah; selalu kubuang!

Ketika setiap malam aku harus menghitamkan wajah karena manuver-manuver malam di Plempungan, aku tidak sempat berpikir mengenai ilmu hitam. Jangankan ilmu, berpikir saja tidak ada waktu. Memang begitu seharusnya jadi prajurit, jangan berpikir. Lalu buat apa kami dilatih untuk berdisiplin pribadi, berjiwa merdeka? Kesempatanku memerdekakan jiwa datang kurang lebih setahun kemudian sejak malam-malam di Plempungan itu, yaitu di suatu kamar tidak lapang tidak sempit di Morokrembangan. Waktu itu, aku sudah berkembang sempurna. Aku sudah tahu bahwa di bawah situ lubangnya dua; yang cukup besar, maksudku. Sampai ketika di Mbarepan, meski sudah melihat beberapa kartu remi, aku masih tidak paham benar ke mana harus dimasukkan. Pengetahuan mengenai lubang yang lain inilah yang menghambat usahaku memerdekakan jiwa. Pikiranku jadi sulit menyimpang dari kekentuan. Secara pribadi, aku sangat disiplin mengocok-ngocok. Secara merdeka, aku jadi tidak berjiwa! Setelah kurenung-renung, berarti apa bedaku dengan John Gunadi, yang berubah dari cerdas menjadi cerdas-barus gara-gara puber?

Khayalanmu tak berdaya
Hanya suatu impian semata
Khayalanmu hanya buSusi, buSusi

Wednesday, November 21, 2012

Sepagian Hujan di Selatan Jakarta


Judul ini sudah tersimpan dalam benak sejak Minggu
ketika aku menyongklang Vario menyusuri Jalan Ragunan
Langit pagi mendung menitikkan gerimis seperti serpihan
terus sampai Radio Dalam

Oh, menjuntai dia! Menjulur melumuri sampah golekan kayu
jijik tersaput kotoran dan gudig dan tai kucing
Setiap saat, ketika ketumbar dibasahi, dilumuri
meski tidak selalu bisa ditahan

Selalu berganti-ganti
Tiap sesaat maka ia bersalin-rupa
dari sekelebat ganggang sampai sejumput bulu ayam
Mengguguk! Jijik!

Namun terus menetes ia mengalir-alir Nira Kelapa, yang cantik
seperti ibunya yang Jutek!
Atau mungkin tidak, karena bisa saja menguar itu
Bau pelangi bersepuh perak menjelenter dari guci emas

Ooh... Guci tembaga saja! Ada asam yang tak pernah dipunya
Sambal di gunung, rambak di laut jadi asin
Gurih! Meleleh ia, menjelempah ia, cekakar ia...
terurai, terburai, termangu, menangis?

Tidaklah... Jangan sampai. Takkan kau temukan kedamaian di sana
Lagu lama itu selalu saja menghasilkan kalimat-kalimat nirmakna
Sarat dendam seperti malam bersaput keju
Menyeruak seperti kabut ditepis sikat WC

Tepat di situ ada Sapardi
Ya, Sapardi Djoko Damono yang gambar burung itu
Tidak salah lagi. Marilah ziarah, mari takziah
Biar meleleh itu air yang terpendam dorman dalam hati yang luka

Ia di sana. Ia Hijrah meski aku tidak
Ia Hijrah? Aku? Dia? Ia di bawah pohon itu yang kini tiada
dalam sapu tangan di bawah pecahan genting
Dadaku menggeletar dulu dan sekarang, tepat saat ini

Ia Hijrah dibungkus sapu tangan, di bawah pecahan genting
Allah Illahi Rabbi! Jagad Dewa Batara!
Hijrahkan aku! Hijrahkan kami!
Ya Allah... kasihanilah

Ia yang ada karena terkaman rasa madu
di mana cinta adalah kedunguan dan kemudaan
bagaikan cilpasastra turunan sudra
atau kebo yang menuruti hawa

Kasihan ia. Aku kasihan. Dia tidak
Semoga dia tidak. Ia jelas tidak
Dimasukkannya ke dalam situ
untuk berterima kasih sesudahnya

dan sesudahnya adalah malam-malam panjang
di bawah terik bintang-gemintang
Setiap malam
sampai berakhirnya itu

Kini Mendamba menjontak-jontak senar bass di sepanjang Mersey
Mulutnya terkapar melipat-lipat sampai agak ke dalam yang gurih itu
Mendamba ada dua, karena untuk tiga sulit, perlu satu juta
Itu jika dermawan, yang mana gundulmu athos

Dan Maya... uh, suatu sapa, yang tidak akan pernah semampai
yang ditunggu selalu saja berlangkah-langkah jauhnya
bagaikan gadis dari Ipanema
Pipinya yang sepenuh hati mengoyak selangkang

Dilanda cemburu dungu
yaitu flute yang ditiup bibir tidak merekah tidak terkatup
Harus tepat di situ, sedikit ketiak sedikit bulu
bukan rambut yang merah putih itu

Friday, November 16, 2012

Waktu Hujan, Sore-Sore Minum Kopi


Sumber gambar dari sini.
Sudah berbulan-bulan lamanya aku tidak berkeringat karena gerak badan, dan aku merasa bengkak. Sebuah cara yang ...bolehlah untuk membuka entri. Aku baru membaca-baca lagi sedikit entri-entri terdahulu di sini. Ada beberapa yang sangat bermutu, [air laut asin sendiri, begitu kata Cantik] selebihnya asal bunyi. Siang ini menjelang Ashar, aku seorang diri di Lantai Dua Gedung Dekanat FHUI. Mengenakan kemeja putih bergaris-garis merek Inokuh yang basah karena keringat, tadi sebelum Jumatan aku bertemu dengan beberapa siswa TN. Mereka sedang mengikuti lomba Sciencesational. Setelah menyapa mereka, memperkenalkan diriku, tiba-tiba aku merasa malas untuk terus berbincang dengan mereka. Mungkin aku malu. Aku masih kurang hebat bagi anak-anak TN yang suka memenangkan lomba. Aku tidak pernah suka lomba, apalagi pertandingan.

Ya, perut gendut ini sudah mulai mengganggu. Tidak begini seharusnya rasa badanku. Ritme harianku harus diperbaiki. Setelah Jumatan tadi, aku menemukan diriku diserang rasa kantuk yang amat sangat. Maka segera kumakan lontong sayur tadi pagi untuk alas minum kopi. Sesungguhnya tidak penting benar lontongnya, yang penting adalah kopi; dalam hal ini ABC White Coffee [hei, aku baru sadar. Dia benar menulisnya!] Aku menemukan kekuatan lebih karena mengingat-ingat kenangan menyenangkan dari masa-masa yang telah lalu. Aku tidak pernah terlalu bersemangat karena masa depan. Pernah tidak, ya? Sebagai seorang pengkhayal sejati tentunya tidak pernah. Masa depan selalu hanya khayalan bagiku, dan aku tidak suka khayalan yang tanggung-tanggung, seperti jalan-jalan keliling dunia. Khayalanku minimal mengenai mengetahui dengan pasti sejak kapan manusia hidup menetap dan mengembangkan pertanian. [benarkah demikian?]

Perut gendut ini bahkan sudah mengganjal bila aku duduk. Beratku sekarang setidaknya 90 kg. Sesungguhnya, ini alarm tanda bahaya. Bukan makan benar masalahku. Dari dulu kalau gendut juga bukan karena makan... semata. Mbak Yunis seenaknya saja bilang you look happy you gain weight. Ini adalah... suasana hati. Ini adalah dosa! Tepat ketika aku menulis ini, Matt mula mendengkurkan Dan Kita adalah Pecinta. Waktuku sudah tidak banyak, sudah kuhabiskan tiga dasawarsa lebih. Bagi beberapa orang, itu masih sedikit. Bagi banyak orang, masih banyak yang terbentang di hadapan mereka. Bagiku, aku tidak peduli. Entah mengapa aku bisa menjadi sefatalis, senihilis ini. Entah sejak kapan, terserah. Seperti biasa, aku menyalahkan nasib dan mengatakan bahwa aku berakhir denganmu. Ya, kamulah jodohku. Jalan yang kita tempuh masing-masing betapa berlikunya. Toh, kini kita bersama. Mari jalani sebaik-baiknya.

...dan maumu banyak! Wajarlah itu. Pernak-pernik akan selalu menjadi pernak-pernik. Bagiku, kaulah pernak-pernikku, karena aku hanya sudut kosong yang biasanya bersih dari apapun. Dari sudut itulah aku memandang dunia dengan segala kemasa-bodoan. Kaulah yang memenuhi sudutku, seringkali sampai tidak ada ruang tersisa. Begitulah memang seharusnya. Aku tidak pernah percaya mengenai suami harus mendidik istri. Aku memanggilmu sebagai "kamu" sebagaimana engkau padaku. Orang boleh berkata aku takut padamu. Bahkan aku tidak perduli meski orang mengatakan aku bagai kerbau dicucuk hidung. Jika kita saling mencinta, maka kita saling mendengarkan. Begitu saja. Seakan merasa sedang dibicarakan, engkau mem-bbm-ku; dan kubalas cium dengan emoticon. Aku menyayangimu. Biar seluruh dunia tahu. Bagiku, tidak ada bedanya sayang dan cinta. Bagiku, kata "cantik" hanya pantas untukmu; karena memang kamu Cantik.

Harus menulis tiap hari agar dua-satu

Sunday, November 11, 2012

Hukum Adat, juga Hukum Islam, Tidak Perlu Lagi!


Daripada kusut urusannya, baiklah segera kujelaskan di sini. Jika harus ada hukum positif Indonesia, jika harus ada sistem hukum nasional Indonesia, maka itu harus tunggal dalam bentuknya, dalam wadahnya. Meski demikian, tidaklah mungkin dielakkan bahwa hukum positif Indonesia yang tunggal itu dibentuk dan diisi oleh berbagai-bagai ramuan yang berasal dari hukum-hukum agama dan hukum-hukum "adat" yang bermacam-ragam itu, sebagai sebuah bangsa yang majemuk: bahkan hukum "Barat." Jadi, biarkan orang mengenali sendiri-sendiri, misalnya, hukum perkawinan dan kekeluargaan Indonesia sangat diwarnai oleh hukum Islam, atau hukum kebendaan Indonesia sangat dipengaruhi "hukum adat". Meski begitu, tetap saja hukum perkawinan dan kekeluargaan Indonesia BUKAN hukum Islam, 'kan? Tetap saja hukum kebendaan Indonesia bukan, misalnya, hukum "adat" Jawa atau Dayak atau Papua yang entah sebelah mana, 'kan? Jadi, terlebih lagi, tidak perlulah itu diajarkan dalam mata kuliah tersendiri di fakultas hukum, "Hukum Islam" dan "Hukum Adat". Jika demikian, lalu apa isi dari mata kuliah "Pengantar Ilmu Hukum"? Apa isinya "Pengantar (Sistem) Hukum (Nasional) Indonesia?" Nyatanya, sampai hari ini, isinya adalah hukum "Barat"!

Ya, aku selalu terpanggang bara jika berbicara mengenai hal ini. Buah pikiran meletup-letup bagaikan jagung-letup (popcorn) ditaruh di atas alat pemanggang. Terlebih lagi, baru-baru ini ada panggilan intelektual. Nah, ini dia pekerjaan yang cocok bagi seorang akademisi sepertiku! Doel Salam memberitahuku bahwa pada 5 Desember nanti DRC FHUI akan mengadakan Kuliah Peringatan (Memorial Lecture) [pakai Bahasa Indonesia saja boleh ngga, Bang Doel?] bagi Safri Nugraha. Wow! Kuliah Peringatan Safri Nugraha (KPSN) a.k.a Safri Nugraha Memorial Lecture (SNML). Jadi, untuk kesempatan itu, aku diundang ikut menulis mengenai sumbangan Safri Nugraha pada hukum administrasi Indonesia dan perkembangannya pada umumnya, untuk diterbitkan menjadi sebuah buku. Bang Safri almarhum memang layak mendapatkan ini, Insya Allah. Bagiku pribadi, ia sangat mendukungku berkegiatan akademik, dan terus meyakinkanku akan kemampuanku untuk itu. Ia sangat berjasa bagiku dalam hal ini; dan ia adalah sahabatku. Terlebih khusus lagi, ia sangat mendukung minatku pada Hukum Adat. Ia bahkan menunjukkan persetujuannya bahwa Hukum Adat sesungguhnya sangat terkait dengan bidang yang digelutinya, yakni Hukum Administrasi.

Itulah juga yang Insya Allah akan kuangkat dalam kontribusiku. "Hukum Adat memandang Hukum Administrasi Negara Indonesia," begitulah kira-kira judulnya. Aku membutuhkan semua literatur Hukum Adatku, namun sebagian besar, kalau bukan semua, berada dalam kardus. [hiks] Apakah aku harus menyatroni perpustakaan untuk ini? Ya, kenapa tidak. Oh, aku sangat bersemangat mengerjakan ini. Apa yang akan kulakukan sebenarnya sederhana saja; akan kucari semua indikasi yang dapat kutemukan dalam literatur-literatur itu, yang menjurus pada bagaimanakah seharusnya "hukum administrasi" negara Indonesia Merdeka. Mungkin tulisan itu, paling mudah, akan kususun menurut para ahli yang menyampaikan pendapat-pendapatnya. Namun, bila waktu mengijinkan, ada baiknya jika kukelompokkan berdasar topik yang diangkat. Sejauh ini, petunjuk awal yang kumiliki adalah terdapat dua kubu besar, setidaknya. Pertama, di bawah pimpinan van Vollenhoven sendiri, ia secara garis besar tidak menghendaki pencemaran "modernitas" terhadap hukum adat sebagai hukumnya pribumi, termasuk dan terutama, oleh kebijakan-kebijakan kolonial yang sebenarnya merupakan "hukum administrasi" pada saat itu; dan, Kedua, murid-muridnya, khususnya yang pribumi, yang berpendapat bahwa (i) hukum adat itulah "hukum administrasi" Indonesia; atau, (ii) hukum administrasi Indonesia harus "dijiwai" hukum adat.

Saturday, November 10, 2012

Petualangan Cornelis dan Julius di Tanah Katai


gambar dari cgtp-peru.blogspot.com
Cornelis dan Julius adalah murid-murid Warthogs dari Asrama Gooeydrop. Hahaha bukan... tapi mereka adalah orang-orang yang... kukagumi. Aku butuh kekaguman untuk maju. Aku butuh sasaran, dan mereka berdua ini bolehlah menjadi bintang-bintangku. Siapa tahu, dengannya, aku bisa mendarat di bulan berkasih-kasihan dengan Cantikku. Kata Baskara Aku tidak bisa ditebak maunya. Dunia ini memang kusut-masam. Orang-orang yang mudah ditebak seperti *** dan **** sangat tidak suka kalau sampai tertebak. Orang-orang yang setengah mati ingin ditebak seperti aku justru dikatakan tidak bisa ditebak. Lalu Si Togar. Togar memang bukan Farid dan bukan pula Sandoro. Lagipula aku membayangkan Fawaz Hamdou kelak tumbuh menjadi laki-laki seperti dia. Semoga Allah segera mengangkat kegelisahanmu dan menggantikannya dengan semangat. Semoga terkabul doa orangtuamu dalam namamu itu. Sungguh tidak sedap dan menggelisahkan melihat laki-laki muda yang gelisah, dan aku tidak bisa menahan diri untuk menyalahkan para penguasa jika sudah begini; meski aku tahu, Insya Allah, semua orang ada bagiannya sendiri-sendiri. Erwin, sementara itu, adalah seorang laki-laki muda yang tenang. [apa arti habeahan, ya?]

Kembali ke desktop untuk bercerita mengenai Cornelis dan Julius. Dua orang ini akhirnya menjadi profesor di Warthogs, Cornelis menjadi guru pertahanan terhadap ilmu santet, sedangkan Julius menjadi guru ramuan. Julius lebih muda sepuluh tahun dari Cornelis. Apakah mereka pernah bertemu? Pernahkah mereka berbincang-bincang bertukar-pikiran? Cornelis hidup tidak lama, sedangkan Julius masih hidup untuk 23 tahun lagi setelah Cornelis berpulang entah ke rahmatnya siapa. Jika mereka benar tidak pernah bertemu apalagi sampai bertukar-pikiran mengenai masalah pekerjaan masing-masing, maka sangat mengagumkan. Mereka, mengenai keadaan Tanah Katai, sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang kurang lebihnya senada; bahwa baik santet maupun ramuan jamu, biar sampai kiamat monyet tujuh turunan, tidak akan sama dengan gugatan di pengadilan maupun obat resep dokter. Lebih penting lagi, meski tidak eksplisit, keduanya sepakat bahwa yang mereka hadapi adalah Lord Bandempo dengan balatentara Pelumat Paha-nya. Cornelis tidak pernah punya kesempatan banyak untuk pergi ke Tanah Katai, sedangkan Julius cukup lama menghabiskan waktu di Tanah Katai memerangi Bandempo... dan gagal.

Ooh... aku suka kegagalan, karena hidupku pun sesak dipenuhi olehnya. Liverpool yang kubela sudah hampir tigapuluh tahun terakhir ini pun tak kunjung berhasil. Jadi, karena kegagalan Cornelis dan Juliuslah maka aku mengagumi mereka. Lalu, apa yang akan kukatakan Senin dan Selasa nanti? Orang-orang seperti apa yang akan kutemui di sana? Peduli amat. Pokoknya aku akan bertemu Rikardo Simarmata, dan namanyalah yang disebut Pak Adriaan Bedner ketika ia menyuruhku memperkaya referensi dalam proposalku; dan satu nama lagi, Tristam Moeliono. Orang-orang seperti apakah mereka? Samakah mereka dengan Bang Andri Gunawan Si Ahli Analisis Ekonomi itu, yang kagum kepada Chavez dan Allende? Akankah aku berada dalam satu liga bersama mereka? Semoga itu lebih mudah daripada Liverpool kembali masuk empat besar. Ya Allah, hamba mohon permudahlah, lancarkanlah berbagai-bagai urusan hamba ini. Hamba mohon kabulkanlah doa hamba pada malam hari ulang tahun hamba yang ke-33, yang hamba ucapkan di Maastricht Centruum itu, dan segala kebaikan yang meliputinya, dalam pengetahuanMu. Ampunilah hamba, Ya Rabb, kasihanilah. Maha Suci Engkau. Tiada Sesembahan selain Engkau. Shalawat dan salam semoga senantiasa atas Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya. Aamiin.

Viva el Pueblo! Vivan los Trabajadores! Allahu Akbar!

Tuesday, November 06, 2012

Hidup Enak a la Jinjang


Dalam kepalaku masih tersimpan ide-ide untuk sebuah novel atau roman; ada dua tepatnya. Satu mengenai nekromansi, satu mengenai sebuah negara pulau. Nekromansi akan kugunakan sebagai tamsil bagi cara-cara bertahan hidup dalam kemiskinan, dalam suatu peperangan abadi antara mereka yang menganggap kekayaan adalah suatu kewajaran, dan mereka yang menganggap orang-orang yang berlebihan kayanya wajar dibasmi. Cerita itu kubuka dengan adegan Tuan Putri dan Pamannya memandang sekelompok petani sedang bersukaria memanen hasil bumi, sedangkan mereka memimpin tentara yang terdiri dari kawanan Setan Kuburan; yang harus diberi makan dan ditambah jumlahnya dalam peperangan panjang ini. Aku membayangkan hubungan yang kompleks antara Tuan Putri dan Pamannya. Hubungan keluarganya mungkin seperti hubungan antara Sengkuni dan para Kurawa, akan tetapi aku ingin membuat suatu hubungan cinta yang platonik antara Paman dan keponakannya yang Tuan Puteri ini.

Sang Paman adalah seorang Jinjang atau Nekromanser, yang terobsesi mempelajari ilmu pengobatan dan, kemudian, sihir, karena, pertama, meski seorang ksatria, ia tidak berani mengayunkan pedang apalagi saling menebas dengan lawan yang juga berpedang; kedua, ia ingin menghidupkan kembali ibu yang sangat disayanginya, yang mati bunuh diri membela kehormatan diri daripada ditawan oleh musuh, yang kemudian menjadi kakak iparnya. Tuan Puteri adalah anak perempuan dari kakak iparnya itu yang seorang raja, yang karena seluruh anggota keluarganya tumpas selain ia sendiri dalam suatu penjarahan, menjadi pewaris tahta sah dan satu-satunya dari kerajaan ayahnya; jika ia berhasil merebutnya kembali dari tangan musuh. Sang Jinjang berada dalam posisi yang sulit. Ia menemukan dirinya berperang melawan musuh dari musuhnya, karena tak seharipun dalam hidupnya ia memaafkan apa yang telah diperbuat kakak iparnya. Terlibat dalam perang ini adalah hal terakhir yang diinginkannya, namun berperang juga ia karena... jatuh cinta pada keponakannya itu.

Ketika penjarahan terjadi, ia menjadi satu-satunya penghuni keraton yang selamat karena memang sedang tidak berada di sana. Ia sedang berada di padepokannya, di mana ia sudah menjadi asisten guru membantu mengajar cantrik-cantrik yang lebih muda. Salah satu kesaktiannya membuatnya mampu mengetahui bahwa sedang terjadi apa-apa terhadap kakaknya dan, terutama, keponakannya yang diam-diam semenjak remaja ia sukai itu. Ia segera menyelinap memacu tunggangannya pulang ke Keraton, untuk mendapati semua saja sudah tumpas menjadi mayat di situ dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Diperiksanya satu persatu mayat-mayat itu, sampai ia menemukan keponakannya yang ternyata belum mati, hanya saja dalam keadaan sekarat. Ia segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengobati luka-luka yang diderita keponakannya, yang segera diketahuinya telah diperkosa begitu banyak orang. Keponakannya tidak pernah benar-benar siuman, sampai ia akhirnya memutuskan untuk menggunakan ilmu yang sangat rahasia, ilmu membangunkan mayat; dan bangunlah keponakannya itu, sebagai mayat hidup.

Tuan Puteri, semasa hidupnya, meski kini pun belum mati, adalah seorang prajurit yang justru jauh lebih baik dari kakak-kakak laki-lakinya yang lebih suka berfoya-foya. Setelah menjadi mayat hidup pun kemampuan olah keprajuritannya tidak hilang, bahkan meningkat. Ia hanya perlu mendengar jerit kesakitan, maka seperti badai azab ia akan menyapu musuhnya sampai tumpas sama sekali. Kemampuan ini menjadikannya Panglima bagi balatentara Setan Kuburan Pamannya Sang Jinjang, yang terdiri dari mayat-mayat prajurit kakak iparnya yang relatif masih utuh lengkap dengan senjatanya. Hanya satu kelemahannya, Tuan Puteri selalu lupa berbicara dengan suara manusianya, padahal hal tersebut akan memberi tahu para mayat hidup Setan Kuburan bahwa di dekat mereka ada manusia segar, dan mereka serta-merta akan memangsanya. Selain itu, sebenarnya ada kelemahan lain dari Tuan Puteri. Sebagai manusia yang sebenarnya masih hidup, ia selalu membutuhkan mandi.

Itulah sebabnya novel ini tidak kunjung jadi

Monday, November 05, 2012

Di Tepinya Sungai Cikumpa


Jika aku harus menyebut satu hal yang membuatku sangat setres selama menjadi taruna AAL, maka itu adalah disuruh menyanyikan lagu-lagu yang syairnya asal nyebut! Kami dulu suka menyanyikan Anchors Aweigh dan Zeeman, tapi sepertinya tidak satupun dari seniorku yang masih ingat bagaimana sebenarnya lirik lagu-lagu itu. Jadilah mereka asal bunyi pokoknya mirip dan kami disuruh menirukan. Sungguh, lagu-lagu itu sangat bagusnya, dan aku memang ingin menyayikannya. Akan tetapi, pada saat itu aku pun tidak tahu bagaimana liriknya yang benar; dan itu membuatku sungguh sangat tertekan. Bukan sekali aku membawa barisan atau berada dalam barisan yang isinya pelaut semua, lalu dengan sengaja aku memulai nyanyian dengan "Jiwa Komando...," karena lagu pelaut jelek-jelek! Bukan sekali pula aku dihukum karena itu. Entahlah sekarang sudah benar atau belum syair Anchors Aweigh dan Zeeman yang dinyanyikan para kadet.  Ini biar kukutipkan sedikit.

Blue of the Seven Seas, Gold of God's great sun
Let these our colors be till all of time be done-n-n-ne,
By Severn's shore we learn Navy's stern call
Faith, courage, service true with honor over, honor over all.

---dan---

Zeeman, waarom dromen
denk niet aan je thuis
Zeeman, wind en golven
roepen je van huis.

reff.
Jouw verlangen is de zee
en je vrienden zijn de sterren
boven Rio en Shanghai
boven Bali en Hawaii
en ze stralen op je schip
en ze lokken je van verre
die alleen blijf je steeds trouw
een leven lang.

Zeeman, waarom dromen

denk niet meer aan mij
Zeeman, want de vreemde
lokt je naderbij.
(kembali ke reff)

Semoga yang masih punya akses ke AAL ada yang membaca entri ini, agar tidak ada lagi kadet setres, seperti aku, gara-gara disuruh nyanyi asal nyebut. Stres, karena, kurasa, aku adalah seseorang yang kompulsif-obsesif. Aku terobsesi pada kesempurnaan. Bahkan sampai masuk FHUI pun, sekali lagi aku setres karena dunia akademik yang kubayangkan mulus tanpa cacat ternyata, dalam pandangan naif anak bocah, penuh dengan borok bopeng. Sungguh lambat sekali aku menyadari bahwa yang penuh dengan borok bopeng itu tidak lain adalah hidup di dunia itu sendiri. Aku meninggalkan TNI-AL, yang di mataku waktu itu sungguh menjijikkan, untuk masuk ke sebuah institusi yang, dalam pandanganku saat itu, tidak kalah menjijikkannya. Konon, almarhum Theodorus Sardjito yang termasyhur itu pernah berkata, ia mencoba keluar dari kampus karena kampus adalah tempat sampah. Namun ketika ia berada di luar, ia menyadari bahwa yang ditemuinya lebih sampah. Maka kembalilah ia ke tempat sampah. Semacam itulah.

Dalam dunia yang seperti ini, menghabiskan sore hari di tepinya Sungai Cikumpa sungguh merupakan suatu kenikmatan surgawi, ketika gemericik airnya seakan membasuh penatnya hati. Suasana seperti itulah yang dibutuhkan untuk mencipta, memperbaiki sel-sel yang rusak, meningkatkan kualitas keimanan... Insya Allah.  Sungai Cikumpa tidak lebar, tetapi cukuplah untuk menimbulkan bunyi gericik yang nyaman. Mungkin bunyi itu hanya dapat terdengar di musim penghujan seperti ini. Entahlah. Namun hujan memang selalu nyaman. Semoga yang diturunkan untukku dan orang-orang yang kukasihi adalah hujan belas-kasih, bukan hujan adzab naudzubillah tsumma naudzubillahi min dzalik. Setelah menenangkan hati dan jiwa di tepinya Sungai Cikumpa, aku melangkah ke mesjid dekat situ. Nyaman. Aku membayangkan diriku terbirit-birit menghampirinya, syukur-syukur lima waktu dalam sehari. Hanya saja, kenapa banyak anak kecil?! Apapun itu, berada di tengah-tengah orang-orang yang berusaha untuk selalu meramaikan masjid jauh lebih baik daripada bersama kebanyakan jenis orang lainnya.

Sunday, November 04, 2012

Tropico Dilanda Badai Petir Siang Ini


Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkan hati kami di atas agama-Mu.

Itulah yang terpikir olehku ketika mengetik ini menjelang tengah malam, padahal sudah kurencanakan dari pagi sekali untuk menulis entri. Memang benar sulit membuat entri setiap hari. Teringatnya, aku jadi orang tidak mudah tersinggung ‘kan? Iyalah. Aku ‘kan masa bodo. Namun kali ini aku benar-benar tersinggung, meski akan kusandi ketersinggunganku itu. Jangan menerapkan ukuran-ukuranmu sendiri pada orang lain, itu aku tahu. Dalam menulisi Kemacangondrongan aku tidak mencoba menerapkan ukuran-ukuranku pada siapapun. Ah, sudahlah, percuma saja dibahas. Aku bukan orang yang mudah mengatakan orang lain tidak tahu terima kasih. Lagipula, kenapa juga orang harus berterima kasih padaku? Kali ini aku benar-benar nyolot, tapi percuma saja nyolot. Tidak ada baiknya untuk apapun.

Ya sudah. Sekarang Paul Mauriat sedang memainkan Io Che Non Vivo. Mari dinikmati saja. Tadi pagi aku terpikir untuk meneruskan ceritaku mengenai Wapres. [cerita Wapres dari Shanghai!] Jadi, judulnya akan menjadi semacam remaja menuju dewasa atau apalah bersama wapres-wapres. Namun tadi pagi aku menelepon Ibu dan aku menjadi religius, sampai-sampai aku terbirit-birit ke mesjid ketika adzan Dhuhur. Selesai shalat aku makan bakwan malang dan membeli gorengan sampai Rp 14,000 banyaknya, karena ada dua anak kecil beli gorengan cuma Rp 3,000. Aku sendiri membeli empat potong tapi dikasih lima; lumpia,  tahu, tempe, bakwan dan tahu. Gak ada yang enak. Rebungnya pahit. Selain itu, aku juga membeli buku Seolah Melihat Allah dalam Shalat dan Menyusun Penelitian Tindakan Kelas untuk Cantik. Selesai makan gorengan, hidung dan setengah kepalaku terasa panas sehingga aku menggeletak di sofa biru sampai tertidur. Ada lah sekitar satu jam.

Gukguk dinenen macan. Kejadian sebenarnya di Cina.
Ketika itulah aku dibangunkan oleh... BADAI PETIR! Coba bayangkan, Kawan-kawan. Sendiri di Lantai 2 Dekanat FHUI yang gelap sedangkan gangnya dihiasi lukisan-lukisan guru besar jaman dahulu dan Kantor Sesfaknya dengan kubikel-kubikel dan ruang-ruang kosong, ditingkahi dengan gelegar guruh dan guntur sementara petir bersahut-sahutan dan kilat berkelebat menyambar-nyambar. Horor, kan? Itulah yang terjadi ketika aku terbangun siang tadi. Namun aku terus saja mengawasi pembangunan ekonomi negaraku, karena, seingatku, saat itu aku sedang sibuk membangun industri-industri. Para kapitalis di antara kami suka ribut kalau perekonomian terlalu tergantung pada sektor-sektor primer yakni ekstraksi sumberdaya alam. Maka, meski hasil dari pertambangan bijih besi lumayan, aku berencana mendirikan pabrik pengalengan kopi, juga furnitur dan perhiasan. Oleh karena itu, aku perlu mendirikan SMA, karena untuk bekerja di pabrik setidaknya harus lulusan SMA. Selain itu, aku juga mendirikan PLTG di balik gunung, yang berarti harus mengundang lulusan universitas dari luar negeri.

Coba aku bisa menulis selancar itu untuk membela kepentingan PMA farmasi di Indonesia. Bisa. Sepertinya, bagaimanapun aku butuh dua tempat yakni kantor dan rumah. Menulis seperti itu, seingatku, dulu selalu keselesaikan di Pusaka. Kini Pusaka Jalan Pepaya telah tiada, telah kukembalikan pada Bang Ipul. Pusaka yang telah menaungiku selama satu setengah tahun itu… Pusaka yang didirikan oleh PYMM Berhala Terkultus-individukan… Sopuyan memang keparat! Itu kalau kau suka menyebutnya begitu. Namun demikian, ia adalah salah satu orang yang nyaris tidak pernah kedengaran memaki yang kukenal sejauh ini. Jadi, jangan dimaki. Ia menyebut dirinya “kolega idiologis”-ku. Ah, seandainya kita “kolega koropsi,” masih adalah gunanya sikit… Aku tidak akan berhasil memaksakan sudut-pandangku padanya, seperti Gus Wandi yang bersikeras dengan “aliran Solo” dan “aliran Jogja”-nya. Sopuyan dengan segala yang diyakininya. Aku dengan segala yang kuyakini. Kurasa kami adalah rasa sakit di pantat bagi satu sama lain. Namun, apa haknya menyakiti hati keponakanku? Kualitas?! Tradisi?!

Saturday, November 03, 2012

Hidupku Bersama Para Wapresnya Pak Harto


Adam Malik adalah wapres pertama yang kutahu. Kurasa, samar-samar aku ingat balihonya dipasang di mana-mana kalau ada tamu negara, atau semacam itulah. Beliau menjadi wapres sampai aku kelas 2 SD. Kalau benar yang diceritakan orang, maka Pak Adam adalah seorang diplomat yang benar-benar lihai, ketika bersikeras bahwa ASEAN adalah forum kerjasama ekonomi; hal mana disetujui Pak Harto. Konon ABRI berseberangan pendapat dengan beliau, dan menginginkannya menjadi semacam pakta pertahanan. Pakta pertahanan mini ini, dalam suasana perang dingin ketika itu, kiranya tak ayal menjadi boneka NATO di Asia Tenggara. Seandainya aku sudah dewasa pada saat itu, kurasa sungguh menarik mempelajarinya. Akan tetapi, hari-hariku ketika itu adalah hari-hari seorang kanak-kanak yang sungguh ceria; kecuali ketika aku menghilangkan bolpoin Pilot yang dipundutke Ibu. Aku hanya ingat, entah majalah apa itu, seingatku dalam bahasa Inggris, ada cerita mengenai ABRI Masuk Desa. Kurasa, itu juga perkenalanku pertama dengan ABRI.

Umar Wirahadikusumah menjadi wapres sampai aku lulus SD. Tidak banyak yang kuingat mengenai beliau, kecuali wajah beliau pasti mengapit Garuda Pancasila bersama wajah Pak Harto di kelas-kelas SDN Pulo 01 Pagi, dari kelas 4 sampai kelas 6. Ternyata, Pak Umar memang bukan orang yang menonjol, karena memang tidak suka menonjolkan diri. Jadi, lebih baik aku mengenang masa-masaku sebagai murid SD di Kebayoran Baru saja. Dari semua kenangan, mungkin lebih baik kutulis sedikit mengenai kakekku Akung R. Talkuto. Semua majalah anak-anak yang terbit pada waktu itu dilanggankan bagiku dan adikku. Bobo, Kawanku, Ananda, Tomtom, sampai komik Mimin. Akung adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam hidupku, karena, ndikane Ibu, akulah cucu kesayangannya. Semoga Allah menerima seluruh amal baiknya, melipatgandakan pahalanya, menghapus semua dosanya, melapangkan dan menyamankan kuburnya sampai di hari akhir nanti, dan mempertemukannya kembali dengan semua yang disayanginya, atas ridha dan ijinNya, di surgaNya Jannatun Na'im. Aamiin.

Sudharmono menjadi wapres ketika aku mulai beranjak remaja, yaitu selama aku SMP sampai masuk SMA. Waktu itu, tentu saja aku tidak peduli siapa wakilnya Pak Harto, setelah yang ketiga kali, dan ternyata yang keempat selama Pak Harto jadi presiden. Meski ada juga ribut-ribut politik yang lumayan pada saat itu, aku sedang sibuk dengan diriku sendiri. Dulu Bapak pernah mengomando buku kecilnya Oom Novi Flugzeuge der Welt; dan saat itu aku sempat terpikir untuk jadi insinyur tukang bikin pesawat terbang, karena ternyata aku cukup pintar. Aku tahu pasti bukan itu yang kuinginkan, hanya saja Bapak selalu ngendika mengenai pesawat terbang dan dunia penerbangan yang digelutinya. Seingatku, aku juga tidak cukup pede membayangkan diri jadi tentara, karena aku sempat mengira fisikku tidak begitu baik. Begitu saja ketika kelas 2 SMP, Bapak menunjukkan padaku sebuah berita di Kompas mengenai akan dibukanya Sekolah untuk "Calon Pemimpin Bangsa." Begitu saja Bapak ngendika, "kalau hebat, masuk ke sini,"  dan masuklah aku.

Try Sutrisno menjadi wapres ketika aku hampir naik kelas 3 SMA. Sebelum itu beliau adalah Panglima ABRI yang menandatangani Monumen Pejuang di sekolahku. Seingatku, beberapa kali kusempatkan berdiri agak beberapa saat di depan Monumen itu, membaca kalimat-kalimatnya. "Landasan fundamental perjuangan bangsa Indonesia yang harus senantiasa dipegang teguh, dihayati, ditumbuhkembangkan, divitalisasikan dan diaktualisasikan penerapan dan pengamalannya, dalam semua sisi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, adalah Pancasila dan UUD 1945." Begitu bunyi alinea keempatnya. Dulu aku sempat diisukan mengidolakan Pak Try. Jadi, ditulis dalam buku tahunan Angkatan II, karena idolaku Jenderal Try Sutrisno, maka bapakku pun jadi Harnowo Try Priyanto. Ya tidak begitulah. Sebenarnya yang kuidolakan pada waktu itu adalah seorang pamong graha yang kusebut Pakde Pomo, salah satu dari sedikit (atau mungkin satu-satunya?) pamong graha yang Marinir; ...and idol is something that we'll never be.

BJ Habibie adalah wapres terakhir Pak Harto. Sejujurnya, dari sekian banyak, yang paling tidak mengagumkan bagiku adalah yang terakhir ini. Beliau menjadi wapres ketika aku kuliah semester keempat. Waktu itu seingatku di Depok masih hujan. Waktu itu, sungguh aku sangat enggan mengingat-ingat waktu itu. Tak lama kemudian, hanya sekitar dua bulan, Pak Habibie jadi Presiden RI ketiga gara-gara Pak Harto "berhenti." Mungkin aku lebih suka adiknya, JE Habibie. Setidaknya karena kami pernah sama-sama mencicipi air Moro Krembangan, mungkin. Dengan yang terakhir ini aku pernah berjabat-tangan ketika beliau masih Duta Besar di Belanda. Aku bahkan pernah mengoreksi pidatonya, ketika beliau mengatakan dulu hanya ada tiga partai. Kukatakan, "mohon ijin, dua, Pak, yang satunya kan golongan karya." Ya, waktu antara BJ Habibie jadi Presiden dan JE Habibie kuinterupsi adalah waktu yang sangat... tak terlukiskan dengan kata-kata. Mungkin, hanya istighfar sebanyak-banyaknyalah yang mampu membuatnya menjadi... menjadi apa?

Thursday, November 01, 2012

You're So Beautiful Tonight, Cantik


Entri ini, tadinya, akan kuberi judul "Kurikulum Berbasis Kompetensi." Eh, ngeri kali pun! Idenya muncul begitu saja di kepalaku ketika aku melintasi jembatan antara Gedung C dan Gedung Dekanat FHUI sambil memandang ke bawah, ke depan Ruang S&T. Begitu banyak mahasiswa! Sebagian besar dari mereka akan menjadi Sarjana Hukum. Bahkan aku pun yang sangat enggan akhirnya menjadi Sarjana Hukum. Tidakkah itu mengerikan?! Apa sesungguhnya kompetensi sarjana hukum? Bagaimana caraku menekankan ini... Kompetensi seorang Sarjana Hukum adalah MENGGALI RASA KEADILAN MASYARAKAT BANGSANYA! To be able to dig into her People's sense of justice. Dengan demikian, masukan pendidikan tinggi hukum haruslah orang-orang yang tidak saja cerdas tetapi bernurani. Bagaimana cara memastikannya? Tidak akan mudah, tetapi harus diusahakan. Fakultas Hukum harus elitis. Tidak sembarang orang boleh masuk.

Cape deh. Akhirnya kuberi saja judul You're So Beautiful Tonight, yaitu judul lagunya Kenny Nolan. Akhirnya kutemukan juga lagu ini, setelah begitu lama menghilang. Sebenarnya, entri ini direncanakan untuk menjadi entri kelimabelas dalam Oktober 2012. Akan tetapi, kemarin sore aku sangat malas menulis, entah kenapa. Ketika ideku mentok, Abdul "Doel" Salam mengetok-ngetok pintu Sesfak, maka kubukakan. Ia bercerita bahwa dalam dua minggu ini ia merasa kurang sabar dalam mengajar. Ia marah pada anak KKI '11 karena sudahlah tidak membawa buku, tidak membawa BW, main-main saja di kelas. Well, ini sebenarnya sangat berhubungan dengan tema entri ini, setidaknya sampai kemarin sore. Intinya, it's all in a day's work. FHUI adalah tempat kita sama-sama mencari nafkah, menafkahi keluarga kita masing-masing. Tidak lebih, tidak kurang. Masa tidak boleh lebih? Hey, mana kita tahu mana yang lebih baik atau lebih buruk untuk kita sendiri?

Tadi malam, aku makan malam di ATLHW Margonda bersama Cantik. Aku makan tahu telor. Cantik makan bebek goreng krispi. Tidak istimewa. Biasa saja, kecuali bahwa makan malamnya bersama Cantik. Ini selalu istimewa. Berhubung aku sangat berminat dengan sejarah masyarakat manusia, maka kenyataan bahwa aku merasa sangat terikat pada Cantik menjadi lucu. Inilah yang kusebut keluarga. Isinya cuma dua. Aku dan Cantik. Namun, Cantik punya anak-anak yang tidak mungkin terlepas darinya, tetapi tidak bisa juga menjadi anak-anakku. Jadi, tetap saja, keluargaku isinya dua. Aku dan Cantik... meski Cantik sangat terikat pada anak-anaknya. Jadi teringat cerita Farrel meniru kebiasaan Doel main game komputer... Jika aku boleh jujur, ya, aku cemburu karena Kikin bisa naik sepeda motor, misalnya, dan sebagainya, karena diajari bapaknya, Janus. Aku tidak pernah tahu rasanya punya anak, atau, kalaupun pernah, aku sudah tidak ingat. Kini, tidak ada lagi keinginan padaku untuk "punya" anak. Punya? 'emang punya siapa?

Pagi ini, aku memulainya dengan beli nasi merah dengan lauk krecek dan telor dadar, sayurnya terong balado. Baru mau kubawa ke atas datanglah Mang Untus, Mas Iwan dan Mas Wirok. Jadilah aku sarapan di kantin saja bersama mereka. Dibuka dengan obrolan mengenai motor-motoran di jalan, lalu Mang Untus menjelaskan mengenai sebuah pekerjaan dalam mana aku akan (atau sudah?) dilibatkan. Ya, itulah gerombolan JHP. Mereka mencari hidup bersama-sama. Dari sekian banyak itu, yang belum berkeluarga tinggal Mas Wirok, yang gak jadi-jadi zuad juga; Mulyono Sujadi, karena masih kecil; dan, John Gunadi, itu pun ia punya bini dan anak-anak, yang kemarin mau dibelikannya boneka besar. Dahulu, aku hampir saja menjadi anggota gerombolan ini, gerombolan djembel moedlarat a.k.a Banpol PP, seandainya Bang Fred tidak mencabutku untuk ditanam di Cimanggis di akhir 2005 awal 2006 itu.

This paragraph is added after Civics session, and Jang Jin Su have this to say: "President Park had no choice but to take basic human rights for guaranteeing safety, better social welfare and prosperity of future sons and daughters of South Korea." I like it when he addresses Park Chung Hee as President Park, and the way he refers to future generation as "future sons and daughters." Just for this I want to give him a straight A harharhar... Kalau semua sasaran harus tercapai dengan tujuan tunggal, maka siapapun tidak perlu dibayar mahal. Bagaimana kamu tahu kalau tujuan pembelajaran Civics ini tercapai? Well, that line of Jin Su really makes my day. I do hope its genuine. Kalau tidak bisa semua, setidaknya beberapa. Kalau tidak bisa banyak, setidaknya satu. Bagaimana dengan selebihnya? Well, these kids are almost like my own kids. I'll see to it that they get the best outcome being educated here. Being educated? For God's sake, please... Get ahold of yourself.

November duapuluh satu?
Oktober empatbelas
September tujuh 
Maret tujuh