Wednesday, December 31, 2014

Paralaks Siklik Badok 2014


Secangkir serbat susu memang tidak salah jika kita ingin mengenang Ray S. Anityo Dyanoe. Sungguh suatu nama yang sok asik. Apakah seorang cerpenis memang harus begitu namanya? Atau wartawan pada umumnya? Ah, Ahmadun tetap Ahmadun meski dalam kumpulan cerpen yang sama. Akan tetapi, serbat susu ini ada aftertaste yang kurang endang. Apakah karena ia berasal dari susu kental manis kemasan plothot yang sebulan lagi akan kadaluwarsa? Ah, segala makanan memang semakin tidak seenak dulu, ketika usia masih duapuluhan.

...kurang lebih seperti inilah. Ada salep kecilnya juga seperti itu.

Bernostalgia mengenai Elvira Madigan memang agak sesuai jika kita ingin mengenang, terlebih bila ia didentingkan dengan gitar bisu besutan Yamaha. Ah, sampai kini pun tidak kesampaian impian masa kecilku memiliki saksofon. Aku teringat betapa terbersit rasa iri dan dengki yang aneh pada adikku Dito Sutejo ketika ia memainkan saksofon di tahun pertamanya—sedangkan aku setangkai rekorder alto. Apa betul yang kumainkan ketika itu? Speak Softly Love? Ah, kapan itu, hanya sekira dua tahun dari terbitnya Paradoks Kilas Balik pada 1989.

Padahal aku baru berkenalan dengan Ray S. Anityo Dyanoe dan cerpennya yang, menurut hematku, tidak bagus beberapa tahun lagi setelahnya. Ketika memainkan Speak Softly Love di Ruang Bersama itu, dan dua tahun setelahnya, apa terpikir olehku bahwa cerpen dapat begitu membekas dalam keseharianku. Aku masih ingat berkhayal mengenai F-16 dan Hercules tak lama setelah itu. Benar-benar khayalan kosong belaka, karena belakangan aku tahu tidak mungkin seorang penerbang F-16 konversi ke Hercules—setidaknya tidak lazim yang begitu itu.

Setahun setelahnya, aku mulai sungguh-sungguh ketika aku menulis Agraris?. Sungguh aku lupa bagaimana terbitnya gagasan itu, yang oleh Buletin Kreasi dimasukkan dalam rubrik Iptek itu. Iptek sebelah mananya coba? Namun demikian, inilah ternyata bibit bagi masa depanku yang carut-marut. Toh sama saja, ketika itu aku juga tidak tahu dan tidak punya bayangan sama sekali akan seperti apa masa depanku. Hanya khayalan-khayalan sepotong-sepotong yang kupikir akan menyatu dengan sendirinya kelak ketika waktunya tiba. Ketika waktunya tiba, yang ada ternyata hanyalah secangkir serbat susu.

...dan Pantai yang Mengantuk. Pantai. Aku sudah jauh sekali dari laut. Pernah kupikir aku kembali mendekatinya. Benarkah aku cinta laut? Adakah aku benar menyukainya? Jangankan mancing atau diving, pergi ke Ancol saja malasnya bukan main, sama seperti pergi ke manapun. Mungkin karena mobil tidak pernah menjadi bagian dari khayalanku. Kecuali truk pemadam kebakaran yang sangat berkesan itu, aku tidak ingat punya mainan mobil-mobilan yang mana saja. Lebih dari satu seharusnya, tapi hanya yang satu itu yang kuingat.

Maka kepada secangkir serbat itu kutambahkan sedikit lagi air hangat dan selesailah masalahnya. Susu kental manis dan tenggorokan yang mulai sedikit luka memang bukan paduan yang serasi. Oh Allah Dewa Batara, berapa lama lagi aku harus hidup? Di akhir tahun masehi 2014 ini, hamba memohon, jika kiranya masih harus terus hidup, jangan biarkan hamba menyia-nyiakan karunia itu, Oh Gusti hamba. Jangan biarkan hamba termasuk dalam golongan mereka yang merugi, hamba mohon Oh Gusti hamba yang Sungguh Pengasih lagi Penyayang.

...karena mau laut, mau darat, mau apapun, semua tidak ada artinya. Bagi para korban Air Asia QZ8501, akhir mereka sungguh basahnya. Allah Dewa Batara kasihanilah mereka dan keluarga yang ditinggalkan. Hamba mohon terimalah semua amalan mereka dan lipat-gandakanlah pahalanya. Bagi keluarga yang ditinggalkan, karuniakanlah ketabahan dan penghiburan. Oh Allah Gusti, semua terjadi atas kehendakMu, atas sepengetahuanMu. Kasihanilah kami hamba-hambaMu yang lemah lagi pongah, terus bergelimang kedurhakaan. Selamatkanlah kami dari fitnah dunia dan akhirat, karena bisa apa kami selain memohon padaMu?

Tuesday, December 30, 2014

Soeharto dan Marcos Terkorup. Masalah? Buat Lo?!


Kalau saja aku menulis ini lebih serius, mungkin dapatlah ia kutayangkan di akun Kompasianaku, atau bahkan Institut Pancasila. Mungkin nanti setelah tumpukan amplop coklat yang ditakuti ini habis menipis. Mungkin nanti setelah aku berkantor di Jeruk Purut. Sementara itu, biarlah gagasannya saja kucatat di sini, dibumbui dengan letupan-letupan perasaanku. Ini topik penting mengenai dua orang yang... penting. Soeharto dan Marcos, mungkin harus kumasukkan juga di sini Park Chung Hee. Meski ada kemiripan, Soekarno tidak bisa dimasukkan dalam daftar ini.

Soekarno tidak suka kekerasan. Aku membaca di memoarnya Pak Mangil mantan komandan Detasemen Kawal Pribadi, (DKP) [atau Pak Bambang Widjanarko?] pernah suatu kali Bung Karno menonton film bersama pengawal-pengawalnya, sebuah film perang. Tersebutlah ada suatu adegan yang sebenarnya mengandung kekerasan tetapi ada unsur humornya juga. Tertawa-tawalah para pengawal. Bung Karno marah melihatnya dan menghardik mereka. Itulah Bung Karno, yang melihat darah ayam saja bisa pingsan. Terlebih lagi, Bung Karno terlalu suka perempuan dan mengawini mereka banyak-banyak. Itu juga aku tidak cocok.


Soeharto, Marcos [...dan mungkin Park Chung Hee] adalah... diktator? Tiran? Ya, Bung Karno juga—setidaknya dari 1959 – 1966—adalah seorang diktator. Mengapa benar ia membiarkan naskah pidatonya yang diperluas menjadi garis-garis besar haluan negara (GBHN)? Seandainya bukan naskah itu sendiri—semuanya mentah-mentah—yang dijadikan GBHN. Seandainya—katakanlah—naskah itu hanya sekadar ‘ilham utama’ atau apalah sebutannya, mungkin masih lebih elok. Ini keseluruhan naskah—setelah diberi penjelasan sekadarnya oleh Cak Ruslan Abdulgani—dijadikan GBHN. (sic) Intinya, Bung Karno sejak 1959 itu membiarkan dirinya menjadi seorang diri. Dwi Tunggal menjadi Dwi Tanggal.

Akan tetapi, ini cerita mengenai Soeharto dan Marcos. Pada akhir-akhir kekuasaannya, Marcos pun seperti Bung Karno sakit-sakitan. Sakitnya Bung Karno, demikian pula sakitnya Marcos, dapat menimbulkan keresahan baik di kalangan pendukung maupun musuh-musuhnya; karena mereka berdua seorang diri! Mereka berdua membiarkan kekuasaan politik seluruhnya bertumpu pada DIRI PRIBADI mereka, pada gerak-gerik, gelagat, pada kesehatan badan mereka seorang diri. Inilah yang paling salah dari mereka berdua. Mengapalah mereka tidak membaginya pada beberapa kolega yang setara, sepadan dan setanding wibawa dan kebijaksanaannya?

Kekuasaan memang harus terpusat. Jika tidak bukan kekuasaan namanya. Akan tetapi, sesuai kodratnya, kekuasaan yang terpusat pastilah merupakan beban yang teramat sangat berat. Itulah sebabnya jangan ditopang oleh sepasang bahu saja. Setidaknya beberapa pasanglah. Akan tetapi jangan banyak-banyak juga. Apa ukurannya? Itulah sebabnya bukan sekadar bahu sebenarnya yang menopang kekuasaan, melainkan hati. Hati yang dipenuhi dengan damba akan Terang. Hati yang diharu-biru oleh Belas-kasihan. Hati yang tidak pernah ragu mengambil tindakan yang diperlukan demi Kebenaran. Masih belum eksak ukurannya?

Ya, ukuran untuk urusan ini memang tidak mungkin eksak. Tidak mungkin kuantitatif. Jadi berapa banyak seharusnya? Apakah harus 1000 atau 500 saja sudah cukup? Amboi, mengapa terpaku pada angka?! Sudah berulang kali kukatakan, jika benar angka dan hitung-hitungan sepenting itu, sudah barang tentu Tuhan menurunkan kitab suci dalam notasi matematika. Namun demikian, apa kenyataannya? Tuhan menurunkan wahyuNya dalam bentuk puisi dan prosa! Apa gunanya? Untuk melembutkan hati yang keras, untuk mengeraskan hati yang lembek. Lembut, agar menjadi cermin bagi KebijaksanaanNya. Keras, agar bersikukuh pada KebenaranNya!

Lalu Soeharto. Aku mendapat kisah ini dari Pak Teddy Rusdy, yang sendirinya sudah menyampaikan secara langsung, bertatap muka dengan Pak Harto, agar pada akhir PELITA IV itu Pak Harto lengser keprabon untuk kemudian madeg pandito menjadi 'Guru Bangsa,' atau 'Bapak Pembangunan.' Namun Pak Harto pada saat itu mungkin mengalami apa yang pernah dialami oleh Bung Karno juga. Beliau berdua beranjak tua dan kehilangan ketajamannya. Pak Harto lemah menghadapi Istri dan anak-anaknya. Bung Karno semakin lemah menghadapi perempuan. Sangat manusiawi.

Soekarno memang tidak suka harta. Soeharto dan Marcos [mungkin] tidak suka perempuan. Satu pelajaran yang mungkin dapat dipetik, janganlah SEORANG BAPAK kita jadikan penguasa. Cepat atau lambat, ia pasti akan kelelahan. Penguasa hendaknya terdiri dari beberapa orang yang kolegial hubungannya, camaraderie. Penanggung-jawab? Nah, ini memang harus satu, namun sifatnya mandataris; jadi kewenangan, kekuasaan, tetap berada di tangan penguasa-penguasa yang kolegial tadi itu. Lagipula, sungguh amat keterlaluan jika sampai aki-aki kita paksa-paksa untuk terus-terusan menjadi penanggung-jawab.

Friday, December 26, 2014

Peringatan 10 Tahun Tsunami Aceh. Aku


Sedangkan belum diaransir oleh Monsieur Paul Mauriat saja, You Are the Sunshine of My Life sudah superb, ini lagi… dari… 40 tahun yang lalu! Subhanallah! Ini justru lebih dahsyat dari Tsunami Aceh yang baru sepuluh tahun yang lalu, yang orang pada memperingati itu. [Bukan maksud saya mengecilkan arti musibah itu, terutama bagi mereka yang ditinggalkan sanak kerabatnya dalam kejadian itu] Aku pun punya kenangan tersendiri mengenai 26 Desember dari sepuluh tahun yang lalu… dan gara-gara ini pula aku baru sadar. Kemacangondrongan tidak punya entri dari 2004!

Tapsiun Pocin pada 2004 ketika Tsunami Aceh
Yaeyalah. Orang baru mulai pertengahan 2006. Jika begitu, mari kita coba dokumentasikan suasana musim penghujan 2004 itu. Apa benar yang terjadi pada saat itu? Tentunya itu adalah masa-masa My Gangster is a Wife. Itu juga adalah masa-masa terakhir apa profile gitu, maka Jerki bergabung dengan adiknya Muzayyin Zahrina di Kostan Babe yang kesohor baunya itu. Whoa, pada saat itu djembel moedlarat pasti tengah malang-melintang di sana. Para Beto belum lagi hadir. Ya, itulah masa-masa kejayaan djembel moedlarat di Kostan Babe.

Demikianlah pagi-pagi, aku lupa siapa saja di pintu kamarku itu. Hanya Muzayyin  dan diriku sendiri yang kuingat. Namun kami tidak berdua saja seingatku. Mungkin ada Jamal Abdul Gani. Pada saat itulah Muzayyin mendapat sms dari kampung, ada gempa besar katanya. Seingatku, aku sok alim mendoakan agar semua baik-baik saja. Tidak berapa lama—ya, karena kami belum lagi beranjak ke belakang untuk sarapan—datang lagi sms dari kampung Muzayyin, kali ini tentang BANJIR besar katanya. Ya, memang sampai pada saat itu aku—mungkin seperti  kebanyakan orang Indonesia lainnya—tidak pernah tahu bahwa tsunami mungkin terjadi di Indonesia.

Siapa yang tahu bahwa itu menjadi titik balik dalam kehidupan Muzayyin dan, kurasa, banyak orang Aceh lainnya. Dalam masa kejayaan Djembel Moedlarat itu, Muzayyin hanyalah satu dari antara kami, djembel moedlarat yang lebih memilih martabak manis daripada teh manis. Muzayyin hanyalah djembel moedlarat yang mentranskrip suatu wawancara atau apa entah, dan mendapat upah Rp 20,000, sehingga ketara sekali masygulnya. Muzayyin, seperti kebanyakan kami, tak kuasa menolak ketika Ige menghidangkan bayam yang ditumis dengan bawang putih, yang imbangan bayam dan bawang putihnya hampir satu banding satu.

Entah bagi Muzayyin, bagiku, 26 Desember 2004 nyaris tidak berarti apa-apa. Mungkin tepat pada saat itu juga belum berarti apa-apa bagi Muzayyin, karena seingatku baru beberapa bulan kemudian ia meninggalkan kami. Seingatku pada saat itu, aku dan Jerki sedang memperjuangkan Satgas Sisfo. Ah, sungguh waktu yang tepat membicarakan Satgas Sisfo. Justru ini lebih berarti bagiku, karena tahun ini juga, sepuluh tahun setelah aku dicepat dari Satgas Sisfo pada sekitar November 2005, aku pun dicepat dari ICT Komin pada 15 Desember 2014.

Sudah sepuluh tahun lebih bagiku. Mengapa aku terus menggunakannya, 10 Oktober 2002, sebagai penanda waktu? Tentu harus. Jelasnya aku kembali gendut. Mungkin bahkan lebih gendut dari waktu itu. Aku tidak ingat beratku lebih dari 92 kg pada saat itu. Kemarin aku menimbang tercatat 95 kg! Ah… besok, untuk memperingati 10 tahun Tsunami Aceh, aku akan berjalan-jalan di Kebun Raya Bogor. Tunggu… jangan-jangan besok pun ia tutup, karena cuti bersama, karena hari kejepit nasional. Wah, kurasa sebaiknya kupastikan terlebih dahulu sebelum berangkat besok. Bisa konyol nanti.

Sunday, December 21, 2014

Penyakit Perut Tahunan yang Seperti Tifus


Sebelum memulai dengan apapun, ada baiknya kucatat di sini. Jangan-jangan dapat menjadi semacam konfirmasi bagi penelitian medis, seperti halnya catatan-catatan mengenai wabah kematian hitam atau tsunami. [Menulis seperti ini jangan dibiasakan, nanti sulit mengerjakan TPA, meskipun jangan sampai juga TPA dibiasakan] Jadi, yang ingin kucatat adalah, setidaknya sudah tiga tahun terakhir ini aku merasa begini. Selalu di akhir tahun. Selalu di awal musim hujan. Perutku kembung cenderung bengkak dan sakit. Mereda di siang hari, menjadi di malam hari.

Ken Arok pada 1983
Berikutnya, apakah akan kuulangi lagi kegilaan dari tahun lalu? Saat ini, pagi ini, aku tidak punya banyak pilihan kecuali mencoba mengulanginya. Pagi ini aku menulis di kamar tengah Yado II E4, dengan jendela yang sudah diteralis rapat sehingga kucing menjadi terlalu besar untuk menerobosnya. [Bisakah kau bayangkan tulisan seperti ini dibaca oleh Bapaknya Togar?] Di kamar ini jugalah aku pernah menahan Keley pada ekornya, dan ia berbalik kesakitan seperti ingin menyerang. Itu membuatku sedikit takut.

Biar kucatat juga di sini, nanti siang aku akan berangkat ke Cengkareng untuk menjemput anak gadisku, yang besar tanpa aku pernah tahu bagaimana besarnya. Pun demikian, hanya ia dan Adjie-lah cucu-cucu Bapak dan Ibu sampai hari ini. Selebihnya, aku hanya ingat Sonik terbaring di depan tivi, tidak di tikar rotan--seingatku. Selebihnya, aku tidak suka mengingat-ingatnya. Baru begitu saja aku tidak suka mengingat-ingat. Apalagi jika sampai melihat mayat temanku dimutilasi tanpa perikemanusiaan, seperti yang dialami Doc Bradley.

Aku tidak tahu, lupa tepatnya, apakah Bapak sudah pernah maos Arok Dedes, tapi pagi ini Bapak menyamakan keadaanku kini terkait Pak Sayidiman dan Pak Try dengan Ken Arok dan Dang Hyang Lohgawe. Padahal... aku cuma mau... mau apa? Aku tidak punya mau. Namun, apa kuat aku menahan sakitnya inkuisisi? Akankah aku mengakui kesalahanku sebagaimana mereka inginkan, hanya untuk membantahnya kembali setelah sakitnya pergi? Siapkah aku dengan kematian tragis? Benny Amalia menyamakanku dengan Robert Wolter Monginsidi, jelas itu lebay.

Kin punya nasib dan jalan hidupnya sendiri, apalagi Khaira dan Faw yang jelas-jelas Azurat. Aku... ketinggian. Hahaha... ketinggian. Kalian... ya, mungkin memang hanya sebatas kalianlah yang dibutuhkan. Dunia ini tidak butuh kelebayan. Tidak butuh vagary. [mengapa pula kata itu yang tertanam dalam benak?] Itulah sebabnya ada Takwa, sebagaimana dulu ada Rendy, dan Sopuyan. Aku bukan siapa-siapa di sisi mereka. Apalagi Sopuyan yang tidak pernah secara terang-terangan memujiku. [mungkin karena celaan saja yang keluar dari mulutku mengenai dirinya]

Aku cuma ingin Bulan Biru, dan aku tahu persis tak akan mendapatkannya. [Benarkah?] Shubuh ini aku membaca-baca sedikit mengenai ummul mukminin, istri-istri Rasulullah. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan kita Rasulullah Muhammad beserta keluarganya dan para sahabatnya, pada pengikut dan pengikut-pengikutnya sampai akhir jaman. Jika sudah begini, apa pentingnya dunia, selain menunggu waktu Dhuhur yang Insya Allah sekitar dua jam lagi; sedangkan, sehabis minum kopi, lambung perih begini? Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusanNya!

Semua ketidaksempurnaan ini sekadar pengingat bahwa ini dunia. M. Adam Ali Bhuto pernah mengatakan bahwa manusia pada dasarnya mahluk surga, buktinya suka yang enak-enak dan ingin agar yang enak-enak itu kekal pula. Nah, dunia ini terkadang memberi kita yang enak-enak, dan terkadang yang enak-enak ini juga agak lama berlangsungnya. Padahal semua itu palsu! Segala kelapangan hanya sekadar agar tidak terlalu penat hidup terbuang di dunia, sedangkan kesempitan justru adalah panggilan sejati, khususan bagi yang bebal!

Saturday, December 20, 2014

Girolamo Savonarola dalam Kenangan. Aku


Cuaca siang ini mungkin merupakan gambaran tepat dari suasana hatiku. Pergelangan tangan kiriku, entah mengapa, sejak siang kemarin terasa sakit seperti terkilir. Kurang nyaman jadinya disandarkan pada laptop. Badanku secara keseluruhan juga kurang nyaman. Apa benar yang kurasakan? Mendung dengan gerimis setitik-setitik. Begitulah perasaanku. Begitu juga cuaca siang ini. Sedangkan La Boheme kini mengiringi ketukan-ketukan tertahan pada papan-kunci, setelah Io Che Non Vivo. Agak sesuai memang dengan judul entri ini. Dari semua nama dalam Il Principe, entah bagaimana, itulah yang paling kuingat.

Seandainya paket Smartfrenku masih kuasa mengunggahnya, maka akan kuabadikan nama itu di sini, siang ini juga. Seperti biasanya, ketika pertama kali membaca aku tidak benar-benar memahami. Akan tetapi ia terpatri lekat di benak, seperti ngecop terpatri dalam kebiasaan Sisun M. Suprapto. Sebagaimana halnya The Name of the Rose, begitu juga Savonarola. Sama pun latarnya. Aku pun, seperti pendeta, terlahir tidak menyukai daging. Hanya saja, hidup mengajarkanku menyukai olahan daging seperti sosis dan burger. Selebihnya, mana pernah.

Jika paket Smartfrenku sudah tidak mampu, maka Insya Allah akan kuunggah entri ini di Jalan Radio. Begitulah seharusnya disebut. Terkadang aku heran, mengapa aku bisa tidak punya semangat hidup seperti ini. Apakah karena aku tidak punya badjet tiga ratus lima puluh juta Rupiah untuk dibelikan mobil apapun? Percuma segala analisis kepribadian—dan tes psikologi atau tes apapun? Aku tidak peduli. Agak sih, sebetulnya aku takut juga hasil TPA-ku kemarin jelek sehingga UI punya alasan untuk menendangku.

Akan tetapi, takut juga tidak terlalu, karena aku lupa bagaimana caranya takut. Naudzubillahi min dzalik. Semoga nasib sedemikian tidak menimpaku dan keluargaku. Keluarga? Bagaimanapun, menarik juga cara berpikir Fawaz. Ia, katanya sendiri, sudah tahu bagaimana caranya punya anak dua, yaitu menikah dua kali. Kucukupkan sampai di sini saja, daripada Cantik muring-muring, seperti biasa, karena alasan-alasan yang sulit diterima akal. Jelasnya, siang ini aku sangat kesepian meski punya keluarga. Il Silenzio seakan menegurku, akan ketidakmampuanku menahan sunyi.

Hei, sebelum lupa baiknya kuabadikan di sini. Setelah sekian lama tidak dicepat, akhirnya pada Senin, 15 Desember 2014, bertepatan dengan ulang tahun Bapak yang ke-64, aku dicepat oleh Om Topas. Efektif mulai Januari 2015 aku bukan lagi Ketua ICT dan Komunikasi Internal. Bagaimana caranya agar hidupku agak lebih ceria sedikit? Apakah memang takdirku menjalani hidup yang murung seperti ini? Adakah akhirat? Adakah balasan? Oh Gusti, tidak ada yang lebih kuinginkan daripada mengetahui betapa dosa-dosaku diampuni dan dihapuskan.

Itu saja. Keyakinanku pada Gustiku. Aku memang bukan hamba yang baik. Tidak ada pula pembelaanku atasnya. Gustiku, hanya kepadaMulah hamba berserah. Kalau tidak, kepada siapa lagi? Beginilah perihal hamba. Hamba tidak punya tiga ratus lima puluh juta Rupiah atau SK BHMN yang tidak ilegal atau apapun untuk bergantung. Hamba hanya punya keyakinan ini padaMu. Bakti hamba padaMu lusuh compang-camping begini, Oh Gusti. Hanya belas kasihanMu saja yang hamba damba-damba. Kalau bukan itu, lalu apa lagi?

[Biarlah kutambahkan satu alinea lagi] Jadi, untuk sedikit menceriakan hari, sebelum ini aku pergi ke Giant BBM. Sampai di sana membeli Teh Poci, memesan Nasi Fu Yung Hai di Mie Menteng dan seporsi Hisit Kao. Bagaimana? Tambah Ceria? Tentu saja tidak. Hanya kenyang. Lalu berjalan-jalanlah aku di antara lorong-lorong Giant. Apa yang kubeli? Tidak ada. Jangankan sampai membeli, satupun tidak ada yang menarik perhatianku. Sama-sekali tidak ada. Maka kukancingkanlah poncoku, menyongklang Pario, pulang dan menulis ini.

...paket smartfrenku ternyata masih mampu...