Friday, June 30, 2023

Tali Air dan Lain-lain Kesakitan Tak Kunjung Sirna


Berulang kali aku mencoba untuk s'lalu mengalah. Halah, yang benar entah sudah berapa ekor merpati putih beterbangan dalam goblogku ini. Bahkan siang terik memanggang ini pun aku masih diterbangkan di awang-awang olehnya. Padahal merpati-merpati putih ini tinggal kau patahkan leher-leher jenjangnya, siram air mendidih agar lepas bulu-bulunya, buang jeroannya, ungkep bumbu kuning, goreng sekering-keringnya agar bahkan sampai tulang-tulangnya dapat dikeremus habis, ludahkan apa yang kau tak suka. Begitu seharusnya merpati-merpati putih diperlakukan, bukan didamba-dambakan, dimanja-manjakan. Ludahkan!
Nah, gambar di atas ini malah cocok sekali. Seekor merpati putih mati kejang digoreng kering, paruh mungilnya menganga melepas napas terakhir dengan pekikannya sekali. Hiasan tomat ceri dan daun peterseli justru menambah ironi. Kau seekor merpati putih yang kau sangka begitu berharga, ternyata sekadar sisa-sisa kunyahan kambing yang bentukmu menjijikkan apalagi baumu. Sungguh mengerikan pahit-getirnya seorang lelaki paruh-baya berbadan tambun, berkepala botak, dengan perut merekah karena melahap snek-snek entah-entah, sedang rayapnya mati.

Lipat-lipatan sayap menghitam memang memabukkan khayal yang mendamba, diikat seperti capit-capit kepiting. Takkan lagi 'ku kenang sensasi ini dengan suasana hati yang hangat suam-suam kuku, karena takkan pernah 'ku nikmati lipat-lipatan sayap goreng kering menghitam. Tidak di sini, tidak di kehidupan selanjutnya, tidak di kehidupan mana pun, karena kehitaman adalah kematian; dan kematian bukan hidup. Bisa 'ku dapatkan di mana saja, berceceran di mana-mana seperti tahi macan. Tidak akan berbelas kasihan meski dipatut-patut seperti pembawaannya.

Sungguh mengerikan setua ini kehabisan cinta. Namun cinta bukan sesuatu yang bisa kau beli begitu saja dari warung Haji Syu'aib yang telah berubah menjadi tempat parkir. Seperti itulah, seperti matinya Haji Syu'aib beserta warungnya sekali, seperti itu pulalah segala sesuatu yang kau sangka hidup, yang kau sangka nyata, yang kau sangka dekat dan selalu menyelimuti. Aku bahkan tak ingin mengomentari, karena segala kesucian sudah pasti akan dinodai entah oleh siapa; yang jelas bukan olehku. Aku tidak pernah suci maka tak pernah menodai. Itulah takdirku.

Bagianku adalah bilik-bilik suram penuh kelembaban dan kelicinan, mungkin bebauan. Keharuman yang tidak tepat tempatnya, karena tempatku tidak pernah kering dan nyaman. Kemudaanku sudah hilang sirna dan tak ingin pula 'ku panggil kembali. Bukan kemudaan itu sendiri, melainkan suasana hati yang terkadang penuh semangat, terkadang menyenangkan, terkadang 'ku panggil kembali di sini, di goblog ini. 'Ku kira suasana-suasana hati itu dapat 'ku rasakan lagi hanya dengan mengitikinya di sini. Meski semakin mustahil, sungguh aku tiada peduli.

Ada juga siang-siang terik namun sejuk di kamar berdinding biru. Aku tidak pernah ingat ranjang lain kecuali ranjang susun masa kecilku yang sempat tidak dipasang atasnya, disimpan di gudang Babe Tafran malah jadi jembatan. Di situlah sisa-sisa kemudaan bercucuran, meski pernah juga demam sampai terpaksa makan parasetamol. Di luar sana Intan dengan rambut afronya, mungkin bersama anak-anaknya Babe Tafran pula. Itulah ketika muda dan bukan siapa-siapa. Betapa lucunya mengingat dalam keadaan tua dan pura-pura dosen begini. Sampai kapan.

Apa yang harus 'ku lakukan biasanya dislompret ketika leher dijenjangkan berlebih-lebihan bernuansa biru stabilo begitu, sedang yang satunya jangkar digayakan bernuansa kuning stabilo pula. Semua dari masa muda dan dungu. Semua telanjang kecuali bercelana dalam, sedang seringnya justru tidak bercelana dalam. Sampai menuding itu burung dari dalam celana lebah. Berjalan di sepanjang TB Simatupang ke arah timur menuju Pasar Rebo di bawah terik matahari, pastilah bau. Harus menahankan yang seperti itu, sama  dengan waktu berjalan ke arah utara Radar Auri.

Friday, June 23, 2023

Kenangan Indomie Banyak-banyak Bawang Goreng


Tiada lama lagi hari 'kan berganti dan kekecewaanmu akan diganti dengan kekecewaan yang lain, seperti ganti celana dalam dengan sisi sebaliknya. Sisi ganda, kerapatan ganda. Mari kita coba menulis dalam Bahasa Indonesia yang benar, agar bahasa Inggrisnya pun menjadi nyaman mengalun-alun. Tadi sempat terpikir mengenai kesakitan, namun apalah artinya jika ia tidak pernah berhenti menyakiti, kesakitan itu. Aku bahkan harus menahan diri untuk berkomentar mengenai musik yang melatari, sekadar agar bahasa Inggrisnya terbaca mengalir. Mungkin tidak waktunya juga memeriksa pratinjau agar rata kanan-kiri.
Judul sudah dibuat, satu paragraf sudah diketik. Tinggal gambaran. Meski tidak rampak memberondongi, aku 'kan mencoba terus menulis karena terasa seperti itu: Menulis. Latar musik terus saja sibuk dengan instrumen masing-masing, aku pun terus mengetuk-ngetuk papan kunci. Diberi sesendok penuh bahkan lebih, bawang goreng seakan menjadi komoditas melimpah di warung makan Indomie seperti itu. Waktu-waktu ketika makan mie instan sebanyak apapun hanya berakibat kekenyangan, lain tidak. Bahkan bisa jadi menghisap sebatang dua rokok kretek, terlebih setelah mie goreng dobel bakso terasa benar sedapnya.

Hari-hariku sebagai gelandang Depoktivo La Coruna tidak akan terulang lagi, seperti ketika memandang keluar jendela dari kamar B1/17 itu. Entah sudah berapa bilik 'ku pakai dalam hidupku semenjak hari-hariku di Magelang sana. Terlebih di barak Peleton III Kompi A itu, aku mendapat kasur bawah sedang Kristiyono di atas. Jendela selalu terbuka, menampakkan langit malam, pepohonan di kaki Gunung Tidar, bahkan hantu-hantu konon beterbangan. Adakah aku pernah berendam dalam bak kontrol saluran pembuangan dapur. Seberapa menjijikkannya di situ aku tidak ingat karena aku lebih menjijikkan lagi.

Lantas begitu saja aku mencangkung di sebuah warung kopi. Hanya 'ku ingat, bukan susu, melainkan krimer kental manis digunakan untuk membuat kopiku berkrim. Apakah di situ juga Indomie berbawang goreng banyak-banyak atau justru di tepi Margonda, tentu tidak ketika aku mengamen di sepanjangnya. Mana tega aku membuang uang untuk kemewahan seperti itu. Lantas begitu saja keindahan dunia memaksakan diri agar terukir dalam di jiwa, seperti luka tusuk akibat pisau fairbairn-sykes. Tidak pernah berhenti sejak kapanpun, bahkan jauh sebelum aku terlahir di dunia ini. Jadi untuk apa aku ikut mengeluh.

Telah 'ku dapatkan suatu gambaran, yang meski tidak sesuai benar dengan apa yang ada dalam benak, tetapi cukuplah agar entri ini ada gambarannya. Bukan disko berjingkrak-jingkrak sampai habis-habisan berpeluh keringat, terlebih membentur-benturkan kepala pada udara malam ditingkahi musik logam berat. Aku hanya ingin berdansa perlahan bersama anak perempuanku sayang, yang balik menyayangiku. Membalas pelukanku jika ia 'ku peluk. Jika ini pun ternyata berlebihan, apakah hanya berusaha menulis buku teks Hukum Adat itu yang tinggal bagiku. Seperti itulah mungkin kehidupan Adso. Aku lebih beruntung.

Seandainya saja yang 'ku ketik ini adalah buku itu, atau bahkan opini-opini tolol yang 'ku kirimkan ke Kompas hanya untuk dikembalikan padaku. Apakah, seperti Radhar Panca Dahana, aku harus memulainya dari cerpen. Nyatanya aku tidak pernah memulai apapun kecuali terpaksa. Aku ini aneh, jika bukan kacau dan tidak jelas. Masih untung aku tidak menyemir wajahku segaris mata dengan cat hitam seperti Mpok Maemunah. Apa ia tidak tahu kalau ia terlihat seperti dukun Indian begitu. Segalaku yang sering 'ku nyanyikan di karaoke mana pun tidak berdaya, seperti halnya diriku sendiri: Penyanyinya.

Akhir kata, aku berjalan kembali ke kamar kost. Entah sambil menunduk, entah sambil mengepul-ngepulkan asap Starmild, mungkin menthol, dari mulut dan hidungku, entah apa yang 'ku pikirkan saat itu. Hal-hal memalukan yang betul-betul menggerus hatiku menjadi remah-remah, disiram air comberan jadi lembek, diinjak-injak orang lalu-lalang, dipatuki merpati berkaki cacat. Inilah sehari dalam kehidupan seorang tolol, yang sebenarnya keesokan harinya setelah karnaval. Aku tidak pernah ikut karnaval apapun, apakah merayakan hari kemerdekaan atau menyambut datangnya musim semi. Tidak pernah.

Thursday, June 22, 2023

Pisang Dijepit Dua Susu Jadi Susu Pisang Susu


Langsung saja jangan kelamaan. Tak perlu diatur-atur dulu yang penting langsung diberondongkan. Jangan lupa, ini adalah entri mengenai susu pisang susu. Jika pun judulnya nanti bukan itu, yang penting isinya harus susu pisang susu. Jika ini tidak seperti S.M. Ardan atau Radhar Panca [eh, doi cerpenis bukan, ya]. Beberapa waktu terakhir ini aku mengitiki dalam keadaan marah dan sedih, koq bisa. Itu juga pertanyaanku. Sudah berulang kali 'ku katakan mengitiki harus dalam suasana hati memaafkan dan senang. Emang ada suasana hati 'gitu, belum kena susu pisang susu. 
Bagaimana suasana hatiku, apa benar yang menjadi kekhawatiran atau sekadar perhatianku, tak seorang pun 'kan peduli. Tidak juga kau! Tak perlu sedu-sedan itu. Aku ini binatang malam, dari kumpulannya terbenam. Akan halnya aku mengitiki sekarang ini, karena, seperti biasa, Sopuyan atau siapapun memang terasa medioker olehku. Aku ini memang sombongnya kelewatan. Betapa mengerikan mendengar Bang Fred berencana mati dalam waktu sembilan tahun karena dia tidak mau kesepian, kehilangan teman-temannya yang sibuk. Bagaimana denganku. 

Apakah aku sedang belajar bagaimana mengikuti dari belakang sambil memberi manfaat. Halah, tidak perlu sok dikeren-kerenkan keadaan ini. Perasaan hati ini, ikuti saja alirannya, seperti perut yang mengalir membuncah, mendesak ke segala penjuru celana, sampai kolor Jack Parker serasa hampir meletus balon hijau. Dor! Mengacaukan hatiku, sedang sebenarnya hanya lipatan itu dan sedikit tonjolan yang mungkin karena saking sedikitnya maka mengingatkanku pada Ubertino dari Casalle, atau pada jungkat-jungkit. Peradio antarwarga atau Neng Milla. 

Aku hanya ingin menjilat-jilat, tidak ingin mencolok-colok, dan memang sulit mengitiki hanya dengan sebelah tangan, sedang tangan sebelahnya memegang basah-basahnya melon jingga yang ranum menyegarkan. Manisnya yang lamat-lamat merekah seperti putik bunga malu-malu, bukan seperti mempelam yang matang merona namun menyembunyikan guratan-guratan cakar dan taring kampret di sebaliknya. Ah, aku suka, 'ku cecap dan 'ku sesap madu, manis nektarnya yang memabukkan. Aroma asli feromon perawan tak perlu kedok parfum tante-tante nan menyengat.

Astaga, ada waktu-waktunya rata kanan-kiri ini begitu menjengkelkan. Namun kejengkelan itulah sumber dari ketegangan yang mengendurkan, yang mendengkurkan. Seperti ketika melihat barisan rumah purba sampai akhir abad pertengahan yang lurus dan tepat perseginya atau panjang. Barak, panahan, dan istal pun segaris, sedang lumbung dikelilingi tepat delapan ladang. Menara-menara pemanah bahkan meriam menghubungkan tembok-tembok kota kokoh tak tertembus mahluk barbar. Jika ada pelempar batu berapi segera ditiupkan naviri sangkakala.

Aku bukan binatang malam, apalagi jalang. Aku binatang jinak seperti seekor kucing jantan yang agak bodoh, atau anjing yang baik dan setia. Tentu aku punya cakar dan taring, namun seringnya cakarku 'ku gunakan untuk memijat-mijat. Taring juga 'ku pertontonkan untuk lucu-lucuan saja. Jangan pula kau cari makna di sini, 'Ngga, seperti mustahilnya kau cari makan di sini. Semua kejengkelan ini, semua kekecewaan ini, sesungguhnya tidak lebih dari gehu dan tempe kemul masing-masing dua potong. Teh tarik baru dengan resep nan diperbaiki meningkahi mereka. 

Wednesday, June 14, 2023

Vitajimat Minuman Menyehatkan Pencernakan


Malam sudah sangat larut, bahkan sudah masuk dini hari, sebagaimana habisnya harapanku, khayalanku akan slompretan-slompretan a la Mas Toni Edi Riwanto. Memang salah satu yang dipelajari dari dunia persilatan adalah elak-mengelak, seperti halnya seharusnya Jule jadi Jude. Angga Priancha mengeluh ia tidak mengerti artinya, seperti ketika kusemburkan pada Farid dan Togar sontolmeong dipakaikan rok manakah yang span atau berenda-renda. Kata-kata memang menyembur jijik seperti ludah Don Showbiz. Sepanjang rata kanan kiri, pratinjau tidak menjadi masalah.
Lelah aku mengode-ngode, maka kutuliskan saja Shinano ditembus torpedo seraya wajahnya dilumuri liur dari lidah api yang menjilat-jilat menari-nari. Memang mencari uang sekadar dari mewujudkan khayalan bodoh remaja lelaki tanggung yang baru saja memproduksi testosteron. Nah, ini malah ada Monya seperti yang coba dinyanyikan Catur Agus Sulistyo sekitar 30 tahun yang lalu di Graha 5. Masih ada lagi beberapa nama yang memberanikan setidaknya ada tiga, maka sampailah pada semakin lama kumelihatmu. Malam semakin beranjak tua. Ada orang gila. 

Ingin segera kuakhiri sekadar agar dapat dinikmati dalam Bahasa Inggris, seperti khayalan untuk menikmati dua atau tiga sekaligus. Es loli begitu, coba bayangkan, mengulum-ngulum tiga batang sekaligus apa tidak berleleran ke mana-mana itu, mengotori baju, mengotori segala sesuatu. Jika sekadar untuk dinikmati maka tidak perlulah mengelak lagi, seperti anjing jadi anton. Apa soffell ini, seperti halnya vaseline dahulu di Amsterdam, sudah daluwarsa, sampai bersepeda ke Mosveld membeli salep Purol. Basahnya rambut kepala tidak pernah dialami di Amsterdam.

Apatah daya masih kurang empat, maka tiada pilihan lain kecuali terus memberondong-jagungi. Hahaha entah bagaimana terjemahannya nanti aku tak peduli. Tugasku, seperti halnya Pippi Si Kaus Kaki Panjang, adalah menemukan kata-kata baru; seperti selepung, yang ternyata tiada lebih dari bangbung tai, bangbung anjing, tai anjing. Begitu urusannya, seperti gitaris palapa yang tiba-tiba membawa istrinya yang berbadan sentosa ke pertemuan manajemen artis. Rapat itu adalah untuk membagi-bagikan sebutan, sampai-sampai kebagian Opik dan Emul. Ogah 'ku dikata hitam.

Hanya satu harapanku, kelengketan-kelengketan ini segera sirna sehingga terbitlah kantuk yang mengantar ke pulau kapuk. Hehehe sekarang tidak lagi kapuk. Kurasa dakron itu isinya, bercampur jamur-jamur hitam karena sering dibahasi dengan membanjir-bandangnya keringat dari kepala berotak. Ternyata berpikir membuat badan berkeringat. Apa bukan olahraga jika begitu namanya, ketika lubang telinga pun mengeluarkan minyak yang berbau aduhai. Hampir mirip dengan bau kotoran kuku kakiku kaku-kaku. Nako-nako pavilyun entah ke mana kini, kusenku epik.

Memang pantaslah selatan dari perbatasan direndisi begini rupa agar malu, terlebih selalu. Eh, tapi intro ini sungguh genial yang ternyata sekarang atau tidak pernah. Farid naik sepeda, Togar lari, Juned angkat beban, aku terbebani, lari dikejar sepeda statistika. Seperti La Mer yang direndisi dalam irama cha cha, apa sambil menenggak sake atau whisky. Jangan sampai salah meletakkan "h"-nya, meski kau selalu di hati. Terlebih jika sampai membawa dua kucing ras pula. Kalau mau lebih dari satu maka kucing kampung saja, yang tergeletak kepanasan di emperan.

Bukan comberan melainkan emperan, karena comberan adalah tempat berkubang. Sok tau sekali Togar bicara sifilis. Apa kau sudah pernah tahu rasanya diterkam rajasinga. Apa pernah kau rasakan betapa burungmu pilek mengeluarkan ingus kuning hijau berbau memuakkan. Seperti halnya Miss Kecubung yang berakhir sebagai gombal kotor dilempar ke comberan setelah Tuan Petro menggantung dirinya sendiri pada leher di tengah-tengah panggung. Berayun-ayun mayatnya membuat istrinya makin histeris menyalahkan Kejora, mengutuk-ngutuknya dunia akhirat.