Tuesday, November 30, 2021

Sesuatu Sangat Salah Denganmu dan Aku. Mungkin


Selalunya sekarang digambari dulu baru dikitiki. Entah sejak kapan dibiasakan begini, sepertinya baru-baru ini saja. Terlebih penting, apa penyebabnya. Seandainya aku dapat mengingatnya, tetapi sepertinya memang tidak ada penyebabnya. Seperti sebagian besarnya, sekebat, sekebit dan begitulah adanya. Sudah tidak waktunya, jangankan memikirkan kepakaran, bahkan untuk bercerdik-ria pun sudah tidak waktunya. Sekarang adalah waktunya bersyukur atas perasaan nyaman, agak ataupun sekali, apapun itu bentuknya; karena merasa nyaman sudah cukup bagus untuk siapapun. Ah, melesetnya jauh sekali lagi.

Segelas besar teh jahe merah semoga cukup untuk menyamankan apapun yang resah dan meresahkan, gelisah dan menggelisahkan, mengusir semua perasaan lemah, lelah. Akan halnya Togar jadi gila lari, itu mungkin lebih baik untuknya, daripada aku yang tidak melakukan apapun untuk kesehatan badanku. Terlebih lagi, aku dengan sengaja merusak kesehatan jiwaku, atau setidaknya membiarkannya tak terurus. Seperti terhadap badanku, begitulah jiwaku. Orang terkadang berpikir yang kecil, yang mikro itu menarik, punya sisi manusiawi, seperti dua hati dijepit dua penjepit pakaian. Aku tak suka berpikir.

Kelentang-kelenting piano ditingkahi senar bass ganda ditowel-towel dan dram senar disapu-sapu terkadang bisa menjengkelkan, meski ia dimaksudkan untuk menemanimu bekerja atau belajar. Mungkin karena aku tidak bekerja, atau mungkin karena aku berkelakar saja sepanjang hari. Namun berkelakar bukan berarti tidak belajar. Aku belajar sepanjang hari. Aku mencoba mempelajari apapun yang terjadi padaku, serinci mungkin, semenyeluruh mungkin, agar aku terus merasa nyaman. Aku rasa, aku kecanduan rasa nyaman. Apapun yang sampai mencandu itu sudah barang tentu tidak baik, kiranya.

Nah, bossas malam tropis ini malah lebih cocok menjadi musik santai. Setelah santai begini, aku jadi sempat berpikir mengenai apa yang oleh orang-orang dikira sebagai kecantikan, keindahan. Itulah sebabnya jaman dulu ada saja orang memberi nama anak perempuannya "Indah". Belakangan ada saja orang memberi nama anak perempuan "Cinta". Dari cantik, indah, menjadi cinta, atau cinta menghasilkan kecantikan, keindahan; atau cinta itu sendiri cantik, indah. Inilah yang lebih benar. Milikilah Cinta terlebih dahulu, maka kecantikan, keindahan akan dengan sendirinya sama berdatangan.

Kata-kata sifat ini menjadi damba-dambaan manusia. Mana lebih baik, mendambakan sifat, benda, atau malah kerja sekali. "Kerja" juga umum menjadi nama di antara orang-orang Jawa dahulu. Ingat saja tokoh yang diperankan almarhum Basuki Srimulat di sinetron Si Doel Anak Sekolahan; meski "kerja" juga bisa merupakan benda. Ah, sungguh lucu memikirkan makna. Bahkan berpikir itu sendiri, yang merupakan kerja, sudah sangat menggelikan. Kalau sekadar mau geli, sini dikitiki saja. Digambari punggung telanjangnya dengan ujung jari juga bisa geli. Maka tidak usahlah berpikir, dikitik-kitiki saja.

Nyatanya, tidak saja penglihatan, semua panca indera selalu saja menyesatkan. Ada lagi wewangian tante-tante, ini yang ada di hadapanku sekarang, yang katanya berbeda dengan harum-haruman gadis remaja. Wewangian jelas lebih lazim dibandingkan heharuman, misalnya. Maka aku sungguh jengkel pada tetiba dan sejenisnya, apalagi tetikus. Jika waktumu banyak, maka sebutlah itu tikus-tikusan. Jika kau sibuk, maka cukup sebut "maus", habis perkara. Aku bicara seakan sedang berada di kantin atau bubur ayam Snar Guitar, tempat-tempat seperti itu, bersama para tamtama yang gunanya tidak banyak.

Maka tibalah pada suatu alinea yang bisa saja diberi bersubjudul "Akhir Kata", meski tentu tidak akan aku lakukan. Sesuatu jelas sangat salah denganmu, atau mungkin denganku. Lantas kalau salah, haruskah aku menjadi Kumpulan Liar yang terdiri dari kakak-kakak pertama, kedua, dan seterusnya, dengan nama-nama seperti Fong Sai Yuk, Wong Fei Hung, dan sebagainya. Kumpulan Liar yang baru bubar sekitar tengah malam sering membuat anak sekolah terlambat bangun paginya, terburu-buru berlari-lari tetap saja terlambat masuk sekolahnya; berarti ketololan ternyata sudah dimulai sejak dini.

Monday, November 29, 2021

Gojira: "Belum Ada Judul Sudah Ada Gambarnya"


Demikian kata Gojira kepadaku, setelah ia seenaknya saja mencak-mencak di atas loteng rumah yang digunakan rapat oleh Yakuza. Terlebih konyol, ketika Yakuza bertanya siapa di atas, ia malah meraung-raung memperdengarkan suaranya. "Aoo... aoo...," begitu bunyinya. Yakuza lantas saja menyimpulkan, "Oh, Gojira... Hah, Gojira?!" Lantas ditembaki dan ditusuki langit-langitnya. Untunglah ada Buri-buri Zaemon, pahlawan super yang kekuatannya adalah sanggup menghabiskan bento alias nasi bekal. "Itu sih tidak perlu menjadi pahlawan super!" raung Yakuza jengkel. Itulah yang tersisa dari kesenangan di masa lampau.

Merpati Putih, sementara itu, sampai punya rumah seperti yang terlihat di gambar di atas ini. Itu baru lantai dasar, ada lagi lantai atasnya. Rumahnya sudah penuh berperabotan. Bahkan aku lihat di kamar mandinya tadi ada ember untuk memandikan bayi. Sudah bertelurkah ia. Sudah menetaskah telurnya. Astaga, hidup. Aku sedang menyaksikan bagaimana hidup perlahan-lahan bertunas, kuncup mengembang mekar. Hidupku sendiri adalah kelopak-kelopak bunga diinjak-injak drubiksa durjana dibantu prajineman, balangatandan, dan lain-lainnya. Aku menyeringai menjijikkan begini jadinya.

Beberapa tahun yang lalu, sekitar empat tahunan, beberapa malam aku sempat terpesona. Kini mungkin aku terpana. Aku bahkan kehabisan kata-kata untuk menyandi dan meragakan hidupku sendiri. Lagipula, ini apa sebulan penuh setiap hari ada entrinya. Bilakah berakhirnya, berganti menjadi kemajuan dan perkembangan. Aku mengapung-ngapung begini di tengah sisa-sisa pesona dari empat tahunan lalu. Seringaiku pasti tolol, atau malah menakutkan, tapi aku tidak takut. Aku tahu bahwa pesona seperti itu tidak akan pernah hampir padaku, apatah lagi menetap. Itu bisa saja terjadi padamu.

Namun tidak padaku. Haruskah aku merasa beruntung menyaksikan pesona indahnya kehidupan yang bermekaran di sekitarku menebar wanginya semerbak ke enam belas penjuru mata angin. Aku mahluk si buruk rupa yang tiada istimewa kecuali bentukku yang serta-merta membuat dunia bergidik kejijikan. Benakku dapat mencipta dunia yang persis seperti persekitaranku namun sama sekali berbeda dalam perjalanannya. Bahkan di dalamnya dapat aku hentikan perputarannya, aku putar-putar sesuka hati ke arah manapun aku suka. Ke atas, ke bawah, ke atas lagi, ke bawah lagi, semakin cepat, semakin cepat.

Hidup di punggung Bumi ini sekadar mimpi. Aku hanya bisa berharap ketika terbangun nanti aku tidak tergeragap, tidak terhuyung-huyung. Semua keindahan mimpi ini hanya menguatkan harapanku akan terbangun nanti. Biarlah semua keindahan ini berkelebat dan berkelebit di sekelilingku. Aku hanya memutar-mutar kepala botakku memandangi sambil menyeringai tolol. Apakah tanganku menggapai-gapai, aku rasa tidak. Tanganku hanya bergerak ke atas, ke bawah, ke atas lagi, ke bawah lagi, semakin cepat, semakin cepat, dan semoga tidak lagi seperti itu sesegera mungkin. Biar ia terulur meminta saja.

Lagipula, keindahan memberondong tidak henti-henti, seperti senapan mesin yang terus-menerus dilayani dengan bandolir tak terhingga, yang larasnya mungkin sudah tidak terbuat dari logam lagi, yang karenanya tidak panas-panas. Keindahan seperti semburan api bagi anai-anai, yang tolol menghambur ke arahnya dan musnah terbakar, meninggalkan bau seperti udang bakar atau sejenisnya. Coba kerjap-kerjapkan mata, usap-usap dengan tangan atau punggungnya, apa yang dikira keindahan ternyata tidak segitunya. Selalu saja begitu tidak pernah tidak, selalu saja dari entah lagi sejak kapan.

Lagipula, semua sama saja pada hakikatnya. Apa yang dikira pilihan-pilihan, apa yang dikira macam-ragam, tidak lebih dari tipu-mata, seakan-akan ada kolam sejuk penuh air berlimpah-ruah di tengah gurun pasir yang membara membakar harapan hidup. Aku bicara begini seakan-akan aku lelaki paling perkasa di atas dunia, yang sanggup menekuk patah tulang punggungnya sendiri, membongkar bubar rusuk-rusuknya sendiri, membetot jantungnya sendiri berdegup-degup dalam genggamannya. Tidak, aku pengecut paling memalukan yang pernah aku kenal. Selamat tinggal, Merpati Putih, selamat jalan.

Sunday, November 28, 2021

Kopi Musim Dingin Menemani Seks Menyolok Halus


Jangan sembarangan membuat janji, meski kecil-kecil, pada gadis-gadis kecil. Kau tahu pasti mereka merepotkan, dan meski kecil, menepatinya akan memakan energi mental yang tidak sedikit. Musim dingin belum lagi menjelang, bahkan Desember saja belum masuk. Tidak ada tempat yang benar-benar enak selama masih berada di punggung Bumi ini. Eh, ada orang-orang tolol yang berpikir bahwa di Bulan mungkin lebih enak, atau bahkan Venus atau Mars. Setelah pengetahuannya bertambah, mereka berkhayal mengenai hidup di semacam stasiun ruang angkasa, meninggalkan satu-satunya Ibu Bumi.

Bisa jadi entri ini digambari Elysium, tapi Christine Elysia begini juga tidak apa-apa. Kembali lagi, jangan membuat janji kepada siapa-siapa, terlebih pada gadis-gadis kecil. Mereka akan terus-menerus menagihnya dengan tatapan mata berkaca-kaca seperti gambaran bodoh kartun-kartun Jepang. Sebenarnya tidak semua, hanya dua. Dua lagi bukan aku betul yang membuat janji, melainkan memang dibuatkan oleh oknum-oknum institusional. Uah, musim gugur mendekati akhirnya begini, angin tidak terlalu kencang, namun ada peringatan kuning akan datangnya salju; Sudah pada tempatnya bersalju.

Sungguh sedih, sudah lama sekali aku tidak merasakan seks, mau yang halus atau menyolok sekalipun. Demikian pula, mau musim dingin, musim mangga, atau musim rambutan sekalipun, sudah lama sekali aku tidak merasakan kopi. Akan halnya Bang Iwan membuka Kedai Kopi Merdeka, aku hanya bisa mendoakan kesuksesan baginya; sebagaimana aku doakan sukses bagi diriku sendiri, setidaknya untuk urusan-urusan duniawi kami masing-masing. Bang Iwan ada Nadia, aku sementara ini ada Kin, Khaira, dan Awful, gadis-gadis kecil semua. Jika Theresia Azalea saja aku kata gadis kecil, apatah lagi mereka.

Uah, riauwan! Sudah mulai kriyip-kriyip ini. Masih mending 'lah kriyip-kriyip namun badan kering. Daripada badan basah, berarti harus dikeringkan dulu. Nanti jijik basah begitu menempel pada kasur atau seprai. Hari ini aku berencana untuk bertemu dengan duo baso ikan Aryo dan Sodjo, namun sehabis bekerja bakti pagi tadi rasanya capek sekali. Capek kali ini, beserta pusingnya sekali, sepertinya lebih berkenaan dengan perut. Aku rasa, seperti biasa, ini karena aku sarapan hanya pret-pret. Seandainya dialasi agak nasi sedikit atau bacang atau lontong misalnya, mungkin tidak akan sesakit ini.

Seandainya aku masih bisa minum kopi, namun setelah ini aku tetap akan mengisi gelas dengan air panas, sembari mengecek jangkauan blutut irfon ini. Irfon blutut seharga 370 ribu, akankah kau mengecewakanku dalam waktu dekat ini, atau kau akan lebih setia lagi perkasa dari pendahulumu yang berkabel itu. Harus diakui, alangkah praktisnya. Kabel-kabel itu memang memberi pekerjaan ekstra, menuntut perhatian ekstra pula. Meski jarang, sudah berapa kali kabel itu tersentak. Jika sekarang ada siap-siap putus, aku rasa lebih karena aku menggulungnya dengan sembrono, tidak karena sentakan itu.

Kopi musim dingin ini sungguh melangutkan, apalagi diseruput di samping jendela, sementara salju turun ber-kepyur-kepyur di luar jendela. Sungguh berbeda menjalani dan membayangkan. Sebenarnya, pada dasarnya sangat sama, apakah dijalani atau dibayangkan. Tetap saja gabut. Di akhir November begini bisa saja mataku berat sekali sedang hari masih baru. Tidak ada yang aku nantikan, tidak ada yang aku harapkan. Japri dan Ayum memperlakukanku seakan aku tidak ada. Aduhai sungguh aku akui yang seperti itu agak traumatis. olahraga jalan kaki bolak-balik di sepanjang koridor kuning dingin itu.

Bisa saja sejak tahun lalu aku membelinya, irfon blutut ini. Nyatanya tidak aku lakukan, karena aku bertanya pada orang yang tepat. Hadi, seperti dapat diduga, berpendapat bahwa irfon blutut di bawah 500 ribuan tidak dapat diandalkan. Nyatanya, Khaira memakai yang setengah harganya dari itu sudah enam bulan lebih baik-baik saja. Tidak ada keluhan. Semoga milikku sekarang ini lebih dapat diandalkan. Aku tertunduk terkantuk. Sudah jelas tidak dalam waktu dekat ini. Kak Tina minta siomay, maka aku pesankan begitu saja. Tante Lien seperti biasa juga mau meski tidak ikut pesan. Kakak juga. 

Saturday, November 27, 2021

Meski Sekadar Biar Tidak Kelihatan Ibunya


Dapatlah langsung aku katakan di awal sini bahwa ini adalah Sabtu yang indah. Udon rubah dan udon sapi adalah kata-kata kuncinya, dengan sup ikan, rumput laut, dan shoyu tentunya. Aku bahkan tidak mengambil goreng-gorengan apapun, meski Cantik akhirnya membagi satu shumai gorengnya. Remah-remah gorengan saja sudah cukup bagiku. Masih ditambah pula dengan cakwe master original dan pisang kipas margarin, bukan mentega ya, dicocol gula pasir campur gula aren, dan dua kali, sekali lagi, DUA KALI teh thai original, teh thai matcha, dan Le Minerale 600 ml. Pendek kata, Sabtu yang indah.

Namun demikian, aku tidak akan berlama-lama tinggal dalam keindahan ini, meski sudah lama, aku rasa, aku tidak menggunakan "namun demikian". Terlebih lagi, "bagaimanapun juga". Sampai hari ini, kalau aku bertemu dengannya, aku memaksa otakku untuk pura-pura tidak melihat "juga". Aku tegaskan dalam benak sendiri: "bagaimanapun". Titik. Apakah keindahan ini sepadan dengan hembusan yang menggetar-getarkan bilah bambu, yang katanya menggambarkan suasana malam di Paris. Uah, para pemirsa pasti mafhum belaka aku tidak akan menginjakkan kaki di kota dekaden ini kecuali untuk menaklukkannya, jika perlu, mengganti namanya sekali, menjadi "Dekaden".

Bentuk keindahan macam apa ini. Ini, aku rasa, adalah bentuk keindahan yang suci lagi murni, yang tidak mungkin dirusak durjananya dunia; Untuk yang ini aku berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Begini memang, aku rasa, caranya menikmati keindahan. Rasanya seperti pulang dari Duren Tiga, ndaleme Siwo, apakah ini pas ketika Dunia Dalam Berita baru dimulai atau setelahnya; yang jelas, sesampainya di ndaleme Akung sudah lumayan larut. Entah aku masih bisa menahan kantuk, atau justru menonton Riptide dan sebangsanya, aduhai aku bahkan masih sedikit lebih muda dari Adjie sekarang ketika itu.

Lebih dari itu keindahan, aku rasa, tidak lagi sesuci dan semurni itu. Dalam hal ini, entah bagaimana aku langsung teringat Muhammad Ali. Masya Allah nama yang bagus sekali namun meninggalkan kesan yang membuat sakit kepala. Entah bagaimana aku juga teringat meander Cisadane di pertigaan Jalan Kavling Pemda dan Karawaci Raya. Jika ada yang indah dari episode ini adalah persekitaran Gama Satu itu, sore-sore ketika Centurions atau Kura-kura Ninja Mutan Remaja yang sudah tiada seberapa menarik, karena aku sok-sok'an bersiap-siap dewasa, dengan masuk SMA Taruna Nusantara.

Jangankan keindahan, tiada kedamaian yang aku temukan, kecuali maghrib-maghrib masih di atas atap, mendengarkan gemuruh mesin pabrik dari arah Cikokol. Demikian juga bekas ruang praktek Dokter Hardi Leman yang terasa sejuk dan temaram, ditemani lagu-lagu cinta dan buku-buku pelajaran yang menjanjikan masa depan yang gemilang. Tidak lama setelah itu aku sadari bahwa masa depan tidak terlalu gemilang, maka aku sedikit berkhayal mungkin agak lebih ke depan lagi. Ternyata malah bertambah suram dan semakin suram saja. Entah kapan mulai terang, yang jelas Sabtu ini terasa indah.

Tiada kedamaian, apalagi kebahagiaan aku temui. Ketika itu, aku merasa wajar, karena memang sedang dalam masa perjuangan. Aku setengah berharap bahwa kebahagiaan akan menantiku di balik tikungan atau tanjakan yang ketika itu belum aku lihat. Setelah sampai di balik tikungan atau tanjakan itu, aku yakin menemui berbagai keindahan, kebahagiaan, kedamaian dan sejenisnya; namun tentu tidak dari sampul dalam buku saku, SMA maupun Akabri. Keindahan selalu tercecer di tempat-tempat yang paling tidak diharapkan, seperti di bawah tenda nasi goreng berpenerangan petromaks di pinggir jalan.

Aku menulis-nulis begini tiada artinya, bahkan aku sendiri terkadang tidak mengerti hahaha. Biarlah. Seperti ini memang keindahan. Orang sering tertipu ingin memilikinya, merengkuh dan mereguknya. Padahal kalau masih bisa dimiliki, apalagi sampai direngkuh dan direguk, sudah pasti bukan keindahan. Sudah pasti sekadar alat pemenuhan kebutuhan, bahkan pemuas nafsu. Naudzubillah. Bukan berarti aku merasa cerdik atau bagaimana, aku hanya menginginkan keindahan yang benar-benar, bukan yang kata orang-orang. Hanya aku dan diriku sendiri yang tahu indahnya, seperti selalu aku yakini sedari dulu.

Friday, November 26, 2021

Nyanyian Seram: Syurup Subidub Pakdemdem


Berbagai pikiran, diragakan, disandikan atau tidak, selalu membuncah berloncatan, menjompak-jompak ke sana ke mari seperti seekor kuda tolol ketika belum dikitiki. Kalau sudah dikitiki, maka tiba-tiba saja ia menguap. Seperti ini, mengapa syurup subidub pakdemdem bisa jadi nyanyian seram bahasa Indonesianya. Maka begitu saja ibu mengintip dari balik jendela seperti seorang pebintang desa. Kurang ajar 'sih memang gagasannya. Aku juga bisa terlompat kalau begitu. Apakah hari ini aku akan merinci hari atau tidak aku belum memutuskan. Bukan karena kurang rincian, melainkan karena sedang malas.

Ah, tiba-tiba aku ingat. Tokoh aksi hahaha. Itu dia. Ya, miniatur, artinya tiruan dari yang sebenarnya dalam ukuran yang lebih kecil, seperti diskala begitu. Ini malah membahas mengenai mana yang lebih menonjol. Tidak ada artinya. Aku tidak pernah membayangkan hidupku begini. Aku selalu membayangkan hidupku di tengah-tengah laki-laki atau tidak sama sekali. Menyepi di biara besar dan sepi, dalam umurku yang setua ini, terasa mengerikan memang. Jangankan biara. Sepurderek saja sudah mengerikan bagiku. Namun ini sudah berlebihan. Memang tidak pernah ada yang pas. Selalu offside.

Ternyata suasana hatiku sedang jengkel. Apakah karena hantaman martil kecil pada beton, bisa jadi. Irfonku, setelah berdinas selama lima tahun lebih, akhirnya menyerah. Ia sudah sangat setia selama ini, dengan kekuatan yang mengagumkan, sebagaimana bisa diharapkan dari Irfon seharga dua ratus ribuan. Lagipula, babaduk bukanlah kegetiran, kepedihan, dan sebagainya itu. Babaduk sesungguhnya adalah kelemahanmu sendiri, masih saja membayang-bayangkan tokoh aksi sedang kenyatannya sudah tidak berdaya. Tokoh aksi, sebagaimana semua saja mainan, sejatinya tidak berguna bagi orang dewasa.

Sekarang, ketika martil berhenti menghantam, hatiku agak terasa tenang. Entah aku masih jengkel pada tokoh aksi. Nyatanya, semua saja mainan pasti suatu hari nanti akan usang. Kalau sudah usang maka kau akan bosan. Kau akan mencari permainan lain, yang tidak lama akan usang juga dan membuatmu bosan lagi, begitu seterusnya. Si tolol, bagaimana mau mencapai nirwana begitu caranya. Bagaimana mau moksa. Jika itu mekanis saja, untuk melepaskan beban berat kehidupan apa mau dikata. Seperti kata Instruktur Pelatih Sersan Hartman, yang ini untuk bertempur, yang ini untuk bersenang-senang.

Kapan bertempurnya, melawan diri sendiri. Tidak pernah, ini malah mengitiki. Sekarang saja sudah kriyip-kriyip maka tidak lama lagi pasti mengantuk. Apa sekarang waktunya aku bercerita mengenai Dik Savit yang, pada usia tiga puluh tahun, sudah merasa perawan tua; padahal banyak hal lain yang diceritakannya. Bertemu orang-orang pada dasarnya memang selalu menyebalkan, namun kalau tidak pernah sama sekali itu sungguh sangat melangutkan. Terlebih dengan ditingkahi melodi-melodi sok cerdik, meski warna suaranya bolehlah membuai-buai, seperti terbiasa menyanyikan puji-pujian.

Tidak ada menariknya pula menceritakan Hari Pras mengajar Hukum Administrasi Negara. Lebih baik mencaci-maki orang yang sempat terpikir kata-kata begini: "Dulu kurus sekarang gajah." Apa harus disembur dengan kata mutiara Don Showbiz. Belum perlu. Lagipula, jika ada yang harus disembur, dicucup mbunmbunan-nya, itu tidak lain adalah Haji Marsudi yang mengatakanku tambah subur. Mungkin karena aku memakai kaus kurta jumbho, meski memang aku sekarang sebesar robot pemakan sekrup. Untunglah melodi sok cerdik ini menenangkan hatiku. Jika tidak, aku pasti sudah menggerogoti.

Uah, ini ternyata lagu sinetron. Dari dulu sinetron memang terkadang indah ilustrasi musiknya. Oh, tidak. 'Kurasa aku jatuh cinta padamu, maka tolong jangan kecewakan aku juga adalah lagu sinetron yang secara tidak sengaja aku dengar ketika berbaring-baring di ranjang hotel di Palembang sekitar pertengahan 2005. Beginilah jadinya entri ini. Akankah aku ganti gambarnya yang seram itu. Seram jelas tidak, hanya menjengkelkan. Aku rasa yang terpikir membuatnya harus ditempeleng bolak dan balik dengan susumo. Aku jengkel sekali. Entri ini akan aku akhiri, karenanya, dengan kejengkelan.

Thursday, November 25, 2021

Memang Keterlaluan Sayur Tempur, Meski Enak


Seperti biasa, ada pagi-pagi di mana aku menyongklang Skupi tidak jauh-jauh, sekadar ke tempat jual gorengan di antara tetanaman, membeli untuk Mas Dikdik dua lontong, satu isi sayur satu oncom, dua pisang goreng, tahu, tempe, bakwan, dan risol masing-masing satu. Namun pagi ini entah mengapa aku membeli juga untuk diriku sendiri dua tahu, satu tempe, satu risol. Satu tempe itulah yang akhirnya aku makan bersama dengan sayur tempur kebanggaanku. Masya Allah sungguh nikmat rasanya. Jika kemarin sempat terasa asin karena kuahnya bekas Soto Boyolali minta kawin, pagi ini tidak demikian. 

Siapa yang menyangka jika kenikmatan itu berbuah kesakitan. Beberapa jam kemudian perutku terasa aduhai sakitnya, aku sampai berbaring di kaki tempat tidur. Setelah agak sejam Alhamdulillah sakit itu reda. Pada sekitar saat itulah aku mengirim pesan singkat pada Cantik yang sedang mengawas di kampus untuk membelikan Soto Ngawi Ayam lengkap dengan nasi kebuli dan omeletnya, namun kali ini sangat dikurangi garamnya. Cantik dengan gaya-gaya'an minta dibagi saja lokasinya, nanti akan dia datangi, begitu katanya. Ketika ia melewatkannya sampai Ayam Nelongso, segera 'kupesan lewat Grab.

Begitulah ceritanya mengapa siang itu berbagai-bagai hidangan memenuhi meja makan reyot kami, yakni, gop isa, sot ayam, tong ayam, masih ada pula nila setitik dan rusak susu sebelanga. Untukku sendiri aku pisahkan nasi kebuli dan omelet micin. Masalah muncul ketika nila setitik itu ternyata digoreng tepung, tidak seperti gambarnya. Cantik pasti tidak suka, batinku. Benar saja, ia malah lebih memilih gop isa, yang padahal aku beli untuk anak perempuan kesayangan yang sakit gara-gara main saman-samanan untuk Hari Guru. Ia jadi batuk pilek begitu, sedang suaranya agak serak-serak sengau.

Demikianlah maka ketika malam menjelang, digelarlah semua hidangan itu di meja teras. Seperti dapat diduga, Oma Lien memilih tongseng ayam, meski belakangan ia protes kuahnya bukan gulai kambing. Nila setitik ada dicolek-colek juga. Cantik makan soto ayam yang diberinya jeruk dan sambal banyak-banyak. Padahal aku sudah mengantisipasi sop iga anak perempuan kesayangan yang diambilnya, dengan memesan sop iga yang lebih dekat. Sop iga Ngawi ternyata pun kurang berkenan bagi anak perempuan. "Kentangnya tidak segar," katanya. Aku sendiri memesan mie lebar komplit malam ini.

Oh ya, mengenai Hari Guru, Awful ber-kombur bahwa guru-gurunyalah di SMP Hang Tuah 3 yang berupacara bendera. Aku katakan padanya, kejam sekali, padahal ini hari guru tapi mereka disuruh berjemur berpanas-panasan. Tidakkah seharusnya mereka, seperti ibu-ibu di Hari Ibu, bersantai-santai seraya dilayani, dipenuhi semua keinginannya. Belakangan aku baru tahu bahwa di SMAN 15 lebih parah lagi. Kak Tina bercerita bahwa di situ guru-guru disuruh berlomba, misal, berputar-putar mengelilingi kursi yang jumlahnya kurang satu dari gurunya, lantas berebut duduk saat musik berhenti.

Sangat mungkin sambil mengetiki begini segala kemenyekan dari Amsterdam menemani. Memang seingatku pernah aku berjalan-jalan berbelanja ke Oostelijke Handelskade sedang telinga disumpal dengan segala kemenyekan ini. Sepanjang berlayar di feri rute NDSM-Centraal Station, sepanjang berkendara di trem 26, kemenyekan menemani. Apa ini sedang bercerita-cerita mengenai makan-makan dan Hari Guru malah mengenangkan Amsterdam dan kemenyekan yang dikandungnya, yang aku kumpulkan satu demi satu di Uilenstede, dimulai dari permintaan Keisya untuk menjadi kekasihnya.

Lantas memegang-megang perut yang memang sudah mengalir sampai jauh, tidak seperti ketika masih di Amsterdam, ketika masih sering makan roti gandum kasar a la petani berisikan keju gouda muda, filet kalkun, salad daging sapi, dan saus kari. Jika sedang ingin, bisa saja kapsalon datang menghampiri, terkadang malah berteman perkedel bakmi, kroket, atau frikandel, bahkan bisa juga ketiga-tiganya. Belakangan memang masakan-masakan Sumpitz yang entah-entah, demikian pula mie-mie sok oriental buatan orang Turki juga suka menemani, jika bukan ayam goreng halal sekali, bikinan orang Turki juga.

Wednesday, November 24, 2021

Nging Kemang Memang Keterlaluan. Kabina-bina


Itu gambar anak perempuan siapa di bawah situ. Akankah tiba waktunya aku makan di situ bersama dengan Kin, Khaira, Awful, dan Nadia, lalu mereka bermain-main di tepi empang seperti itu. Mungkin akan lebih seru Aryo dan Sodjo berlarian sambil memberi makan ikan, seperti dahulu Adjie dan Bang Faw. Insya Allah, semoga Allah mengaruniakan rejeki. Akan halnya hari ini, sebenarnya aku sudah memesan Soto Ngawi Ayam lengkap dengan nasi kebuli dan omelet telur. [lhah, namanya omelette sudah pasti telur, masa oncom] Namun Sayed Fauzan Riyadi begitu saja menyebut "Nging Kemang", maka aku katakan: "Ayo!"

Nging Kemang memang selalu oye. Gurame cobek dan bakarnya, udang bakar madu dan goreng keringnya, belum lagi karedoknya. Namun ya itu, aku bukan Mbak Vivi atau bahkan sekadar Silvi. Akan tetapi sudah pada tempatnyalah. Aku yang tertua dan dituakan di situ, maka bagiku tidak ada pilihan lain. Aku nikmati saja sekerat gurame cobek, sekerat gurame bakar, udang bakar madu dan goreng kering masing-masing beberapa ekor, karedok dua kali menyendok dan sedikit nasi. Seperti halnya Sayed, aku masih memesan teh tawar hangat, meski setelahnya aku tenggak juga es teh manis.

Entah karedoknya atau apa, kepalaku sakit sekali sampai aku sulit berbicara. Maka aku akhiri saja pertemuan yang menyenangkan antara seorang TN2, dua orang TN8, seorang TN25, dan seorang TN27. Aku rasa, suatu hari nanti harus aku balas kunjungan keduanya, Andika dan Sayed, karena banyak yang ingin aku pelajari dari mereka. Seperti biasa, aku adalah seorang badut, sedang adik-adik yang lebih muda enam tahun dariku ini, seperti dapat diharapkan, menunjukkan tingkat kedewasaan yang mumpuni. Ah, bahasaku seperti tabloid gawai sedang mengulas telepon cerdas besutan pabrikan terbaru.

Dengan kepala aduhai sakitnya, berbicara pun terbata-bata, aku diantar adikku Andika Mendrofa kembali ke kampus dengan mobilnya yang tinggi disupiri. Sesampainya di kampus aku terhuyung-huyung menuju lift untuk naik ke lantai 2 Gedung D. Aku lupa apakah aku langsung sholat dhuhur atau malah tidur-tiduran dulu. Paling mungkin 'sih aku tidur-tiduran, baru setelah itu sholat. Hari Pras mungkin mengharapkan aku tinggal lebih lama, karena ia ada kelas jam lima di pascasarjana, Hukum Birokrasi dan Good Governance. Sayangnya, aku tidak bisa memenuhi keinginannya itu. Aku pulang.

Apa perlu aku catat di sini bahwa aku pergi naik Toyota Rush dan pulang dengan Honda Mobilio. Sudah cukup rincian-rincian. Apakah aku pintar, apakah mengagumkan bahwa aku dan istriku sama-sama mengajar di Universitas Indonesia. Jika dikatakan demikian memang terasa agak mentereng, namun kamilah yang tahu persis bagaimana kenyataan sehari-harinya. Aku sendiri, seperti dapat saudara-saudara lihat, mengetiki sampai setiap hari dalam November ini ada entrinya, padahal musim gugur di Amsterdam sudah semakin dingin. Dedaunan pada pepohonan sudah semakin menggundul.

Amstrerdam bukanlah tempat untuk menikmati gurame cobek, udang bakar madu, dan karedok, meski olahan ikan Gerardus sanggup menghangatkan malam-malam Amsterdam yang sunyi dan dingin. Sungguh aku tidak mau lagi begitu. Aku tidak sanggup lagi sendirian. Aku butuh teman. Ampunilah hamba Ya Allah yang pernah sesumbar tidak butuh teman, yang penting segera selesai. Nyatanya, belum selesai dan butuh teman. Aduhai mengerikan sekali. Ingatkah kau akan malam-malam kau memandangi pintu-pintu E7 dan E9 dengan sedih. Semoga itu semua segera berubah menjadi kenangan termanis.

Malam sudah semakin panjang di Amsterdam. Ternyata aku lebih suka malam yang panjang ketimbang hari yang panjang. Hari yang teramat panjang di belahan bumi utara di sekitar titik balik musim panas bisa sangat menjengkelkan dan membuat frustasi, ketika jam empat pagi sudah mulai terang sedangkan jam sebelas malam baru mulai gelap. Ini benar-benar mengingatkanku pada Uilenstede, kesendirianku di situ berteman Youtube atau Netflix sedang Hadi entah ke mana. Aku tidak bisa ke mana-mana dan tidak ingin ke mana-mana dan tidak ingin bertemu siapa-siapa namun aku sungguh sangat kesepian.

Tuesday, November 23, 2021

Payung Fantasi: Siapa Dia Gerangan Pongkrang


Senyampang ada yang belum tahu, Selasa adalah waktu Cantik mengajar. Biasanya ia bangun agak pagi dan sudah memoles-moles wajahnya sekitar jam tujuhan, karena jam setengah delapan ia sudah harus mulai mengajar. Jika Cantik sedang mengajar, maka tidak ada yang boleh ribut. Jangankan di sekitar meja makan, bahkan aku mendengarkan musik di meja kerja saja bisa diprotesnya. Apa biasanya yang aku lakukan jika Cantik sedang mengajar. Jikapun aku ingin berbaring-baring, biasanya aku ambil kasur palembang beruang tedi coklat, aku gelar di depan tivi atau di bawah meja kerja, lalu berbaring-baring.

Lebih menarik justru sepanjang Seninnya. Cantik biasanya tidak akan keluar dari kamar sepanjang hari, kecuali sebentar-sebentar saja, dari pagi, terkadang sampai jauh larut malam. Sepanjang Senin itu lebih tidak boleh lagi mengganggunya, karena ia akan uring-uringan. Apa yang biasanya aku lakukan sepanjang Senin jika demikian. Terkadang bahkan Tante Lien datang pun tidak dipedulikan Cantik. Situasi menjadi kurang nyaman kalau aku pun sedang tidak seberapa enak badan. Maka aku akan berbaring-baring saja di kasur palembang beruang tedi coklat. Tante Lien bisa saja main hape di teras. 

Dari tadi cerita mengenaiku koq hanya berbaring-baring saja. Itulah yang terkadang membuatku sedih, seperti dipandangi John Gunadi ketika masih sehat walafiat dari tujuh tahun yang lalu. Jangankan John Gunadi, Mas Mils pada saat itu juga masih sanggup makan nasi pandang dengan lauk dobel-dobel, bahkan kalau perlu nasinya yang dobel-dobel. Begitu pula aku sendiri, ketika itu masih belum meminum tiga macam obat darah tinggi. Aku bahkan masih sanggup bolak-balik menyongklang Vario dari tepi Cikumpa mampir di kampus Depok lanjut kampus Salemba. Sudah lama tidak dengar Vario.

Jangankan Selasaku, jangankan di tepian Cikumpa, dari sejak di Amsterdam sepanjang 2020 sampai 2021, dari Uilenstede sampai Kraanspoor, hidup adalah perjuangan untuk merasa nyaman. Ini apa katanya jez menyamankan. Apanya yang nyaman. Dapat saja sehari-hari aku minum Sari Wangi Teh Tarik. Belum aku teguk. Semoga setelah diteguk nanti, entah seteguk atau berteguk-teguk sampai habis, ia tidak menyakiti perutku, membuat sakit kepalaku. Minum-minuman sasetan ini telah berpuluh tahun menjadi kenikmatan hidupku, caraku memanjakan diri. Memang begitu sajalah adanya aku dari dulu.

Anak bocil yang baru kemarin mengancam akan berak-berak sekarang sudah minta cepat-cepat kawin, seperti halnya anak bocil yang bahkan lebih muda dari anakku sudah berani bertanya: "Apakah kau mencintaiku, apakah kau tidak mencintaiku?" sambil memetik-metik kelopak bunga aster. Oh, jadi bahasa Indonesianya daisy itu aster, toh. Terkadang kita mendapat pengetahuan dengan cara-cara yang tidak terduga, meski sebagian besarnya tidak berguna. Setidaknya, selain mengetahui bahwa daisy itu aster, aku kini juga jadi tahu harumnya teratai, sebagaimana aku beri nama anak perempuanku. Teratai.

Selasa adalah hari yang lucu, karena biasanya setelah mengerahkan seluruh fokus dan konsentrasi untuk mengajar, Cantik jadi ingin jalan-jalan. Biasanya dia akan langsung ngacir bersama Sri, entah ke Cibinong City Mall atau Bebek Slamet. Namun kali ini sepertinya Sri sedang tidak bisa, maka ia jadi uring-uringan. Tiba-tiba saja Cantik ingin quiche, maka aku periksa GrabFood. Ternyata Dopamine Coffee menjualnya, maka berboncenganlah kami keluar. Gara-gara aku mengajaknya ke Warteg Merdeka dulu untuk membeli lauk-pauk, Cantik malah kehilangan selera pada quiche dan sebagainya.

Tidak langsung pulang, kami malah main ke Grand Depok City, masuk melalui klaster Gardenia. Seandainya badanku sepenuhnya enak, sudah pasti akan aku nikmati berboncengan dengan Cantik berpusing-pusing entah ke mana sekehendak hatinya. Namun sore itu entah bagaimana kepalaku benar-benar pusing, yang mana tentu ada hubungannya dengan perutku. Maka aku minta pulang. Padahal sore bermendung itu benar-benar cantik, secantik Cantik, dan mengilhamkan cinta yang tentram, penuh kasih-sayang. Maka pulanglah kami memperhatikan hasil kerja Mas Dikdik hari itu sampai ia pamit.

Monday, November 22, 2021

Julie: "Asal Goblek Sama Dengan Asal Ngomyang"


Jikapun entri ini sekarang sekadar judul, pemegang-tempat, dan gambar, aku tidak peduli. Namun ternyata metode ini praktis sekali; dan aku tidak peduli, akan aku babat saja serampak mungkin. Enam baris berhenti, enam baris berhenti, sejauh atau sedekat apapun dari pinggir kanan. Margin itu pinggir 'kan. Apa harus diucapkan marjin. Aku tidak peduli. Sudah aku katakan, aku tidak peduli; seperti David Letterman tidak peduli hari sudah larut. Kalau ada Al Green, maka volume televisi harus dibuat sekeras-kerasnya. Nah, entah mengapa beberapa hari lalu terpikir, baru sekarang bertemu Si Tolol ini... 

Betapatah tidak tolol, mematahkan hati sendiri, karena berharap. Orang tidak akan patah hati jika tidak berharap, mengantisipasi. Berharap dibalas pesan singkatnya, Berharap dibalas cintanya, apalagi oleh lawan jenis yang entah mengapa disukai banyak orang. Kasihan sekali. Meski ada saja tampang-tampang dan bentuk-bentuk pasaran yang ada harganya, sekali lagi, aku tidak peduli. Kalau masih bisa dibilang harganya, berarti bukan urusanku. Urusanku adalah dengan segala sesuatu yang tidak terbilang harganya, maka tidak pantas pula disebut sangat berharga. Ya, sesombong itulah aku pada diri sendiri.

Meski dikatakan suaraku seperti Engelbert Humperdinck, hidungku tidak lantas kembang-kempis. Dalam hati aku berkata, "aku sudah tahu. Bahkan mungkin [aku] lebih bagus lagi dari itu." Membalas kesombongan orang sombong itu sedekah, demikian kalau aku tidak salah dengar dari Ustadz Abdul Somat. Sesungguhnya, sekarang aku tidak lagi begitu. Semua kesombonganku tersisa hanya olok-olok belaka. Kalau suaraku semerdu Engelbert memang kenapa, sudah berapa juta keping piringan hitam rupanya yang telah berhasil aku jual. Selesai 'kan. Aku nyatanya tidak pernah berhasil menjual apapun.

Bahkan berhujan-hujanan saja aku sudah tidak sanggup. Berpanas-panasan pun demikian, pula berangin-anginan atau berdingin-dinginan. Apalagi yang dapat aku sombongkan. Jika pun aku pernah ganteng, tidak begitu terasa. Dalam hidupku kini hampir bisa dikatakan aku laki-laki dewasa seorang diri dikelilingi oleh Cantik, Tante Lien, Kakak, Awful, Ibu, Suti, Mbak Nung, Gendut dan ketiga anak laki-lakinya. Mau apa aku. Bisa apa. Bermimpi pun aku sudah tidak mampu. Masih untung jika aku bisa menjalani hari-hariku sampai malam menjelang Alhamdulillah dikaruniai tidur malam nan nyaman.

'Tuh 'kan, mengapa 'sih selalu sisa tiga ketika aku merasa hampir kehabisan bahan bakar. Bolehkah kini aku bicara mengenai obsesi Teguh Rumiyarto pada pesawat tempur, sedangkan ia adalah seorang perwira elektronika Angkatan Laut. Lebih baikkah ia, yang masih punya obsesi, dibanding aku yang entah apa obsesiku, sedangkan aku adalah seorang apa. Dosen, akademisi, halah, malu aku menyebut diriku begitu. Itu semua hanya lantaran bagiku untuk mendapatkan sekadar uang, untuk hidup sehari-hari. Aku sendiri, entah apa. Siapa sebenarnya aku ini, aku tidak peduli. Aku ini sekadar coro sak taek.

Akan halnya aku tahu bahwa F-104 itu diberi nama resmi Penempur-bintang, apakah itu gara-gara membaca komik Tanguy dan Laverdure, aku rasa sama dengan Rumi. Fakta itu tidak berarti apa-apa, seperti fakta bahwa nama kapal selam milik Angkatan Laut Amerika Serikat jaman Perang Dunia Kedua yang paling lekat dalam ingatanku adalah Spadefish, entah mengapa. Aku pernah jadi 352 sedang Rumi 351-nya juga tidak berarti apa-apa sekarang. Aku rasa, kami berdua sekadar berusaha mendapatkan cukup uang untuk membiayai hidup keluarga masing-masing sehari-hari. Tidak lebih.

Sebagaimana tertulis pada judul, Julie, ini entri asal goblek asal ngomyang. 'Emang ada entri yang tidak begitu, Mas, tanyamu. Ya, tidak ada, kamu jangan meledek begitu. Kamu tahu aku tidak bisa memberimu tawaran yang tidak mungkin kamu tolak. Aku tidak bisa menyuruh siapapun untuk memenggal kudamu, sekalipun kau namai ia Khartoum.  Begitu pula, seandainya aku punya pistol, aku juga tidak yakin apakah aku sanggup menembak orang berhadap-hadapan tepat pada dahinya. Aku tidak tahu apakah Rumi membawa-bawa pistol ke mana-mana. Kalaupun ya, tidak mungkin ia asal tembak.

Sunday, November 21, 2021

Sekuat Apapun 'Kuberusaha, Tiada Yang Baca


Uah, [kenapa 'sih, onomatopnya harus begitu, lagipula perasaan apa benar yang digambarkannya] setelah sekian lama aku baru tahu bagaimana caranya memasang gambar agar tidak bolak-balik dari pandangan menyusun ke pandangan kode dan sebaliknya. Aku juga tidak tahu mengapa begitu saja terpikir mengenai "monyong" ketika harus menggambarkan entri ini, seperti halnya aku tidak tahu mengapa begitu saja aku meminta Everly Bersaudara untuk menemaniku mengetiki, seperti biasa terjadi di siang-siang bermendung begini. Daripada aku pasang di situ gambar si Taufik Monyong, ya tentu lebih baik Kylie Jenner ini yang monyong; seperti memilih martabak manis atau teh manis.

Kalau tiba-tiba saja aku berbicara mengenai Claudette di sini, tentu segelintir orang akan segera maklum, seperti halnya jika Suzanne tiba-tiba nimbrung. Nama-nama itu bisa saja disandang oleh gadis-gadis kulit putih turunan Germanik, tetapi aku lebih suka jika yang empunya adalah gadis-gadis Afro-Amerika. Semoga ini tidak berarti aku semacam Tommy Jefferson, meski aku sering membayangkan diriku seningrat dirinya. Tidak 'lah. Aku tidak pernah suka gagasan mengenai tuan tanah, meski aku jelas-jelas bukan turunan petani gurem penggarap begitu. Jika aku mengaku begitu, itu namanya apropriasi budaya. Aku tidak suka mengaku-aku apapun, kecuali bahwa aku ini coro sak taek.

Sudah lama berlalu sejak Claudette dan Suzie, aku terlempar sekitar tiga puluh lima tahunan ke belakang, aku rasa, ketika baru-baru saja pindah ke Cimone. Kalau tidak salah ini adalah kaset Bude Ning yang dipinjam Bapak, tapi mungkin tidak kembali-kembali, jadi lama sekali bersama kami. Isinya mirip dengan Kenangan Saturnus Teratas jaman Kemayoran, namun banyak juga bedanya. Misal, Jalan Sepinya Andy Williams tidak ada di situ, lalu Doa Khususnya Percy Sledge. Percy Sledge ini malah dulu di nDalem Jalan Radio ada plaat-nya, seingatku. Begitulah ingatanku, seperti pemutar kaset yang dahulu dapat dilipat pengeras suaranya ke atas, dari kiri dan kanannya, kagungan-nya swargi Pakde.

Woi, ini kau sudah kembali mengetiki dengan Asus VivoBook, setelah dimodali baterai baru dan SSD. Jadi tidak lagi tujuh baris. Tiga alinea di atas itu masih tujuh baris seakan-akan mengetik menggunakan Samsung Galaxy Tab A. Itulah sebabnya tiga alinea itu tampak demikian tebal. Sejak alinea ini, maka kembali menjadi enam baris, mari kita lihat di pratinjau seperti apa. Masih mending 'lah, daripada dulu tiap selesai alinea memeriksa pratinjau. Apa mau begitu lagi. Tidak! Diet obsesif Corbuzier jangan dituruti. Sekarang, kalau ketemu orang begitu lebih baik ditinggal.

Aku juga tidak mengerti mengapa tiba-tiba memutar Tiga Puluh Kenangan Keemasan begini. Suasana hati seperti apa yang aku inginkan, kini setelah alinea di atas sudah rata kanan-kiri, melalui prosedur menjengkelkan memeriksa pratinjau, yang membuat kalimat terakhir kehilangan kata "saja" pada akhirnya. November 2021 ini tentu akan tampak menjijikkan, dengan entri pada setiap harinya. Biasanya, Insya Allah, aku akan selamat dari yang seperti-seperti ini, meski hasilnya seadanya. Amit-amit naudzubillah. Buat apalah berharap yang seperti itu, biar mengalir saja.

Sudah, sudah. Aku tidak mau lagi bolak-balik memeriksa pratinjau. Cukuplah dua paragraf di atas saja. Memang terkadang kita harus keras pada diri sendiri. Seperti sekarang ini, akan aku pentokkan sampai enam baris, dan tidak peduli seperti apa bentuknya nanti. Sungguh kenangan-kenangan ini menimbulkan suasana hati yang aneh, atau memang suasana hatiku sedang aneh, sampai-sampai aku khawatir tidak mampu menghasilkan entri retroaksi yang ciamik. Ini lagi orang Jepang minta disenyumi meski sebentar. Sungguh menjengkelkan, namun memang sangat membekas kenangan-kenangan ini.

Apakah memang aku sedang mudah jengkel, sekarang jika tampak olehku Kylie monyong begitu, aku merasa jengkel. Terlebih sekarang, Cees Veerman merasa harus tahu apa yang terjadi. Kepo amat, 'sih. Pantaslah entri-entri ini tiada yang mau baca; Sudahlah nirguna, nirmakna pula. Bahkan gunanya untukku sendiri saja sudah sangat meragukan. Terlebih ketika aku bertekad untuk menulis entri setiap hari, meski selalu saja tertinggal dan semakin tertinggal begini, meski entah mengapa malam ini sungguh rampak aku mengetiki. Masih untung tidak menggelitiki, karena yang begitu bisa melelahkan.

Saturday, November 20, 2021

Jus Jeruk Rasa Nutrisari Itulah Yang Terbaik


Nah, ini baru bodohnya tidak ketolongan. Dia mau punya kekasih dari luar angkasa, semacam mahluk planet begitu. Kasihan betul. Seperti apa bentuknya. Aku terus-terang tidak berani membayang-bayangkan. Seumur hidupku, aku yang pengecut ini selalu berpura-pura gagah berani, semacam sanggup menghadapi apapun yang dilemparkan pedihnya hidup di dunia ini, menerima dan menahankannya. Meski memang ternyata segala keindahan dunia itu tidak banyak gunanya kecuali sedikit, keburukannya juga tidak main-main. Jadi jangan gaya-gaya'an. Biarkan ia berkhayal tentang mahluk planet.


Lagipula, jus jeruk terbaik memang yang rasanya seperti Nutrisari. Namun itu memang sekadar pendapatku yang tidak mengerti buah-buahan. Cantik, sementara itu, sampai bingung jika diminta menyebutkan buah favorit, karena semua buah suka. Jadi sebaiknya aku tidak mendebatnya. Pastilah aku yang salah, dengan pendapatku mengenai jus jeruk terbaik yang ternyata menurut Cantik rasanya seperti sirup. Mungkin aku memang suka sirup, dan jelas aku tidak suka buah-buahan. Pepaya yang terakhir aku beli saja sudah hampir busuk, karena aku sengaja memilih yang harganya termurah.

Lagipula, aku jengkel pada buah-buahan, seandainya salah satu cucu Opa Bram Aceh tidak menenangkanku. Daripada aku berusaha menyandi dan meragakannya, lebih baik aku bayangkan suatu siang yang permai di pavilyun ketika ia menjadi gudang hampir kosong. Sekarang nasib kamar Bapak menjadi seperti itulah. Adjie berkata suka menonton di situ kalau siang. Sekarang bahkan Akung dan Oom Hari sudah tidak di situ. Sedangkan hanya beberapa bulan yang lalu masih ada. Begitulah aku rasa hidup itu selalu, di sini hari ini, pergi esok hari. Sedih dan pilu bisa saja datang dan pergi tiap kali.

Sudah jangan kau tengok-tengok ke bawah sana. Cuma empat, masih belum empat puluh ribu. Seperti aku menjalani hidup, dari buku pelajaran bermain gitar bergambar Elvis, sampai yang aku beli sendiri seraya berjalan kaki dari Cimone sampai Perempatan Pos, sampai aku lumayan jago begini. Entah berapa juta, milyar langkah telah diayun, berapa kesakitan, berapa kepiluan ditahankan meski seringnya terasa tak tertahankan. Seperti ini, kantor Mayor Harmin dengan lagu-lagu terbaik Chrisye di malam-malam tidak tahu malu, memamerkan kekeplean tak bercelana. Aku sendiri teringat masa-masa kelamku. 

Kantong menyan digaruk-garuk karena gatal, mungkin karena lembab, bisa saja terjadi pada ciptaan terindah sekalipun versi para pemirsa televisi swasta. Apakah Vanessa Angel sudah insyaf, sudah tobat, sungguh tidak menarik hatiku. Apakah ada yang sempurna di dunia ini meski di mata siapapun. Caranya bernyanyi saja diolok-olok oleh adik-adik perempuanku yang malang. Wajar jika aku merasa kasihan pada mereka. Aku kakak laki-laki yang tertua sedang Bapak telah tiada. Kami semua sudah yatim akibat ganasnya Covid-19, masih ada yang tidak percaya, masih ada yang tak mau tahu prokes.

Sayangku, kau begitu... serampak apapun aku mengetiki ternyata masih bersisa. Belum pernah, aku rasa, semenjak aku biasakan menyiapkan pemegang-tempat terlebih dulu, tiba-tiba kehabisan begitu saja karena terlalu rampak. Belum pernah. Apakah itu artinya aku harus meningkatkan kerampakan, ataukah bila aku meningkatkan kerampakan itu artinya pikiranku makin liar dan kacau; seperti rambut ikal-mayang yang bosah-basih setelah habis-habisan bercinta. Kekurangan-kekurangan dapat dimaklumi jika rambut ikal-mayang sampai bosah-basih, berhiaskan butiran-butiran peluh bak intan mutiara.

Meski tidak ikal-mayang, meski lebih banyak lagi kekurangan, meski tidak seperti yang menjalankan tugas setiap hari membonjrotkan si anak tolol berambut ikal seperti ayam sayur, tetap masih dapat dimaklumi, karena, ya, karena, anak-anak tolol, itu semua hanya ada dalam pikiranmu. Terkadang aku merasa seperti ingin meraung, bukan sekadar berteriak apalagi menjerit karena ketololan-ketololan seperti ini. Namun siapa aku meraung, aku Macan yang gondrong perutnya begini, sampai seratus lima belas sentimeter lingkarnya begini, meski adalah sedikit kumis jenggot penambah wibawa. 

Friday, November 19, 2021

Hanya Orang Tolol Patahkan Hati Sendiri


Mengetiki beralaskan pembunuh nyamuk memang lebih aman ketimbang apa yang sebelum ini segera saya lenyapkan dari layar monitor anda, para pemirsa. Daripada yang seperti itu terburu mengerak dalam ingatan anda, aduhai, saya tidak berani menjamin. Sialnya, ia sudah mengerak berkarat dalam benakku dan, amboi, tidak mau pergi. Pembunuh nyamuk ini memang serba salah. Mengetiki pada sisi depan menimpa kabel dan tombol nyala-mati, jadi bergoyang-goyang. Mengetiki pada sisi belakang ada ceruk yang membuat permukaannya tidak rata. Apapun itu, masih lebih baik dari kerak-karat.


Nah, sekarang waktunya memberi gambaran mengenai apa yang tidak ada hubungannya dengan isi tulisan apatah lagi judul. Seperti gambaran di atas ini, semata-mata gara-gara Natalia menyebut mengenai pohon dari kain kasa, yang ternyata adalah merek produk-produk bayi. Maka aku pilihlah salah tiga dari produk-produk itu yang menurutku paling bagus. Demikianlah gambar di atas itu. Natalia, sementara itu, aku tinggalkan begitu saja. Malah bugenvil yang aku dapati. Meski sedih, meninggalkan kesan mendalam; seperti hubungan antara Taurat, Aiwa, dan Cinta Kirik yang pernah begitu menyakiti hatiku.

Urusan rebah-merebahkan kepala ini juga pernah menyakiti, meski dengan bertambahnya usia, ternyata berkurang juga sakitnya. Entah jika aku masih muda, akankah mengetiki beralaskan pembunuh nyamuk begini menyakiti pinggangku. Ini padahal sudah disangga pembunuh nyamuk, bagaimana kalau langsung di atas mejanya sekali. Akan halnya aku melakukan ini, udara malam panas sekali maka aku mengetiki di luar sini. Aku sungguh mencintaimu, namun tampaknya tidak ada cinta yang seratus persen khusus hanya untukku. Pasti pernah terbagi, entah bagaimana caranya. Begitu.

Memang kunyuk emas ini. Lebih kunyuk lagi siapapun yang mendaftarkan alamat surat elektronikku ke dalamnya. Aku sengaja menghindar dari mengajar Hukum Lingkungan selama tugas belajar luar negeri, karena mata kuliah ini sudah pasti kusutnya. Tidak usah pakai pandemi saja, tidak usah pakai pembelajaran dalam jaringan saja, sudah merepotkan. Apalagi sekarang. Namun semester depan mungkin aku sudah harus mindik-mindik masuk kembali. Entahlah apa yang akan terjadi. Aku harus mulai mencari uang lagi dengan cara yang biasa. Aduhai betapa cepatnya empat tahun berlalu.

Astaga, mengapa setiap kali aku merasa sudah agak lelah selalu masih tersisa tiga, sedang hujan terus saja turun pada kepalaku. Manusia laba-labanya tidak menjadi apa, aku cenderung suka. Kekasihnya itu yang bikin jengkel. Mengapa ia tidak main Jumanji saja sampai dewasa. Uah, aku rasa tidak lama lagi aku harus menghentikan ini, mengetiki, untuk diteruskan di lain waktu. Pinggangku aduhai sakitnya. Aku rasa, dengan membuncitnya perut atau mengempisnya, tidak membuat sakitnya pinggang bertambah atau berkurang. Aku sekadar harus mengetiki di meja tulis yang normal.

Setelah diteruskan, lantas apa. Dari kecil aku memang selalu kebagian peran bapak. Dulu kalau main rumah-rumahan bersama Feni dan adiknya, Laura dan adiknya, dan adikku sendiri, aku selalu kebagian peran bapak, sedang Feni ibunya. Salah satu tugas bapak dalam permainan itu adalah berkokok ketika waktu sudah pura-puranya pagi, demikian juga mendengkur ketika pura-puranya malam. Kami anak-anak pegawai-pegawai Perum Angkasa Pura, mungkin irama hidup orangtua-orangtua kami yang ditirukan, meski aku ingat pernah bertanya pada Bapak, mengapa Bapak tidak pernah bekerja bawa tas kopor.

Uah, dengan kenangan yang demikian manisnya, sedangkan telinga dibelai-belai melodi indah dari Sepatu Putih dan Kumpulan Suami-istri, terasa benar manis-manisnya hidup meski sudah jauh sekali dari masa kanak-kanak. Dilanjut anak penjual gurame goreng kering berduet dengan wakil walikota Palu yang juga manis, mengilhamkan khayalan mengenai hidup berkeluarga yang tentram, penuh cinta dan kasih-sayang. Setelah mengalami sendiri dan melihat persekitaran, ternyata tidak mudah dan tidak pernah semudah itu. Jadi biarkanlah kisah cinta, kisah surga, tak usang tak lekang ditelan masa.

Thursday, November 18, 2021

Obituari: Sehari Setelah John Gunadi Mati


Seperti halnya John Gunadi, aku pun tidak seberapa jago main musik. Ya, suara kami tidak sumbang, sampai-sampai John Gunadi tergabung dalam kelompok vokal SMA-nya, sedangkan aku paduan suara. Oleh karena itu, beberapa lagu dapat kami nyanyikan dengan berharmoni. Seringnya aku yang memberi harmoni, sedang John Gunadi menyanyikan suara satunya. Seperti Bejo, adikku dan sahabatnya, ia suka ngulik agar suara gitarnya semirip mungkin dengan aslinya. Itulah sebabnya sering 'kuminta ia memainkan My Friend dari Red Hot Chilli Pepper. Sebenarnya bukan karena ia memainkannya sangat mirip. Aku sekadar malas memainkannya.


John Gunadi dan aku adalah dua orang yang sangat jauh berbeda. Perbedaan terbesar, 'kurasa, adalah dalam hal kemaluan. Kemaluan John Gunadi besar sekali, sementara aku hampir tidak punya kemaluan. Namun tidak berarti dua lelaki beda kemaluan ini sama sekali tidak punya kesamaan. "Miskin itu keadaan, borju itu gaya hidup. Tidak bisa dibandingkan," demikian sering dikatakannya, meski biasanya John Gunadi akan menanyakan redaksinya padaku terlebih dahulu, "gimana, Mas?" Dulu kami memang sering emosi bersama-sama, meski sudah bertahun-tahun terakhir ini jarang kami lakukan. Mie Berkat, Sarimomo, Burger and King adalah beberapa.

Beberapa tahun terakhir ini paling sering bertemu John Gunadi di kantin atas. Biasanya dia di situ sedang menekuri laptop fakultas. Belakangan malah Macbook yang ditentengnya ke mana-mana. John Gunadi tidak terbiasa sarapan, maka biasanya ia hanya ditemani segelas kopi hitam dan sebungkus Marlboro yang akhirnya membunuhnya. Jika pun akhirnya klub sarapan beranggotakan lengkap, seperti biasa, John Gunadi lebih banyak diam. Dalam kumpulan dan kalangan apapun yang ada akunya, aku tidak pernah melihat John Gunadi banyak bicara. Terkadang kalau suasana hatinya sedang pas, ia buka suara juga meningkahi sedikit ceritaku.

Belakangan, setelah ia menjabat sebagai senior koordinator, aku sering meminjam uang padanya. Ini sebenarnya sekadar taktik, karena kalau sampai 'kuberitahu Cantik, kakak kelasnya di SMAN 13 Tanjung Priok, bahwa aku meminjam uang dari John Gunadi, aku pasti segera diberi uang untuk mengembalikannya. Seingatku, utangku yang tiap-tiap kali tidak pernah lebih dari lima puluh ribu Rupiah sudah 'kubayar semua. Sesungguhnya aku lebih sering berolok-olok. Biasanya aku punya uang di BCA. Hanya saja aku malas ke Alfamart Psiko untuk menariknya. Jadi 'kupinjam dulu dari John Gunadi, dan segera 'kukembalikan, selalu pada hari yang sama.

Sudah lama kami semua para Djembel Moedlarat berusaha meng-Islamkannya. Aku bahkan pernah berjanji untuk membayar ongkos sunatnya, sedang Mas Narno akan menyumbang sarungnya. Dahulu ia masih terkadang mendebat. Mungkin ketika ia masih suka baca-baca tulisannya Donny Gahral. Belakangan ia, seperti biasa, lebih sering tersenyum saja jika disinggung masalah itu. Terlebih setelah politik Indonesia membelah orang menjadi dua kubu, John Gunadi, meski tentu tidak pernah benar-benar peduli, tentu saja, cenderung cebong. Ia pun kelihatannya maklum jika aku cenderung kampret lantas kadrun. Tak jadi masalah bagi kami.

Pertemuanku dengannya mungkin terjadi kali pertama di awal Abad ke-21, tentu saja di Mess Pemuda yang sangat kesohor itu. Ia dan Jamal Gani resminya membayar kamar di atas kamar ibunya Witch Grandma, namun seperti biasa kami tidur 'ngampar di mana-mana. Jika dimulai dari sini, aduhai bisa jadi sebuah novel tersendiri. Sekitar dua puluh tahunan itulah aku mengenal John Gunadi, dan selama itu terlalu banyak kisah yang terjadi di antara kami. Sebagian besarnya tentu saja tolol-tololan bersama. Jika ingat ini, ada sedikit rasa sedih, karena aku pernah berharap suatu hari nanti kami akan mengenang masa-masa itu, sedang kami sudah tidak tolol.

Kisah ini sangat berarti bagiku, bahkan selalu 'kuulang-ulang jika ada kesempatan. Adalah John Gunadi yang menemaniku selama dirawat di Pasar Rebo karena demam berdarah. Sedang aku tidur di veldbed, John Gunadi tidur di lantai dingin selasar di antara bangsal! Masya Allah, ia setia seperti seekor anjing. Sedang aku entah bagaimana menginginkan roti pizza-pizza'an, ia begitu saja mencarikan dan mendapatkannya. Di saat-saat terakhirnya, aku menyesal tidak dapat membalas budinya ini. Sejujurnya, aku tidak tega melihat kondisinya. Biarlah 'kukenang John Gunadi yang masih hidup saja, yang menggelandang di kampus FHUI bertahun lamanya.

Wednesday, November 17, 2021

Dewi Sukesi: "Sekarang Apalah Artinya Cinta"


Maafkanlah, aku mencoba menjelaskan padanya, yang wajahnya mirip seorang calon dokter lulusan Yarsi. Ini memang tempat berolok-olok Tarzan Kota, kau tahu dia 'kan. Ya, betul, ia yang suka berolok-olok dari satu dahan ke dahan berikutnya. Memang aku akui terkadang, bahkan lebih sering tinimbang jarang, olok-oloknya tidak lucu. Oleh karena itu, aku mengharap kebesaran hatimu untuk memaafkan dan membiarkannya berlalu. Ia diam saja seakan-akan seorang korban kekerasan seksual, sedang aku pelakunya. Senyumku, 'kurasa, teduh kebapakan, tidak cabul melecehkan. "Tetap saja!" sergahnya.


"Sekarang apalah artinya cinta," tanyanya ketus. Aku hanya bisa menekur. Harus aku akui, ketika cinta tidak pernah lepas dari liur dan lendir, dari situlah John Gunadi kali pertama mengetahui ada yang tidak beres pada dirinya. "Ya, cinta memang tidak ada artinya," gumamku lirih nyaris tidak terdengar. Itulah sebabnya sampai ada istilah "main cinta", karena orang sekadar mempermain-mainkan; dan ia menjadi terkutuk ketika diecer-ecer di sembarang tempat begitu, bukan di tempat semestinya. Sedang ia menjuntai lemas begitu, bibirnya menjebik melecehkan. "Ini pelecehan," kataku lemah.

Semua saja mempermain-mainkan, semua kecuali aku. Aku melakukannya dengan serius sekali. Tepatnya, aku sering mencekik orang dengan keseriusanku; atau setidaknya membuat mereka merasa tercekik. Ketika menyadarinya, aku melangkah gontai, meninggalkan lawan main cintaku memandangi punggung lebarku seraya menjauh darinya. Sejujurnya, aku tidak peduli lagi apakah ia menyesali sikapnya padaku dan ingin memanggilku kembali, atau justru sudah siap dengan permainan berikutnya lengkap dengan lawan main yang baru. Aku lantas menyulut sebatang rokok dan berlalu.

Berjalan menekuri aspal berdebu, kadang terlihat olehku sepasang kekasih. Adakah mereka sedang mempermainkan cinta sebagaimana baru saja aku alami, ataukah mereka memang saling tercipta satu sama lain. Aku mendengus melecehkan, menghempaskan keras-keras asap rokok yang terkumpul dalam paru-paru dan lambungku, asap yang membunuh John Gunadi perlahan-lahan. Masih untung tidak aku pungut sebongkah batu dan melemparkannya dengan jengkel pada sepasang kekasih itu. Bisa bocor kepala salah satunya, karena aku tidak berapa ahli membidik kedua-duanya. 

Seekor kucing hitam begitu saja menggelesot di kakiku. Aku angkat ekornya untuk memeriksa apakah jantan atau betina. "Kau jantan, sepertiku," begitu aku katakan padanya sambil tersenyum, sementara orang lalu-lalang melirik sambil berjengit; atau itu perasaanku saja. "Masih untung bukan betina kau. Kalau betina sudah aku banting kau keras-keras ke aspal," kataku keras-keras penuh geram. Kali ini aku berhasil menarik perhatian orang-orang yang tidak henti lalu-lalang. Kali ini aku berhasil membuat mereka menyingkir agak satu dua langkah dariku. Aku rasa aku dengar bisikan: "Edan!"

Pada saat itulah seorang perempuan, atau setidaknya begitu kelihatannya, justru mendekat menghampiriku. "Suka kucing ya, Bang?" Aku tidak bisa mengatakan apakah caranya membuka percakapan ramah atau justru mengejek. Aku mengangguk saja tanpa mengangkat pandanganku padanya. Sejurus kemudian ia bertanya apakah aku punya rokok. Aku angsurkan bungkus rokokku padanya, masih ada beberapa batang; Kebetulan rokok lonte. Tiba-tiba satu pikiran lucu muncul di benakku. Kalau ia mau merokok itu, berarti dia lonte. Ternyata ia menanyakan korek, sudah tentu untuk menyulut rokok.

Dugaanku salah. Bukan rokok yang disulutnya, melainkan bom molotov. Bukan itu saja kesalahanku. Ternyata ia pun bukan perempuan, hanya kelihatannya saja seperti perempuan. Aku tidak selemah anak ingusan yang dipacari Lola, namun dikepung mahluk-mahluk berdandanan perempuan bersenjatakan balok kayu bahkan mungkin pisau lipat ini, belum tentu aku selamat; dan aku, meski suisidal, tidak sudi mati di sini. Maka aku sumpalkan bom molotov itu ke mulutnya, meledak, terbakar, terburai ia. Aku tentu saja lari tunggang-langgang sekuat nafas membawaku, sambil tertawa-tawa riang.

Tuesday, November 16, 2021

Bekicot dan Pohon Kacang Sukajadi Momok


Ini lebih berbahaya daripada menghancurkan peradaban, berkesenian ini. Tepat di sini ciptaku tidak berdaya, meski ruangan dalam gambaran itu sungguh mengilhamkan melimpah-ruahnya daya cipta. Namun dalam hidupku ini aku tidak pernah bermimpi memiliki ruangan seperti itu, terlebih yang dilengkapi dengan ruang belajar. Terlebih jika kerjaku hanya mengetiki begini, yang aku daku sebagai berkesenian. Sudah jelas ini bukan. Sudah jelas ini memalukan. Mengapa aku suka memamerkan kemaluanku begini rupa. Sudah tahu memalukan tapi diumbar-umbar. Apa salah dan dosa pada diri sendiri.


Lagipula, secantik apapun ruanganku, babaduk pasti akan terus mengikuti. Cukuplah diberi makan yang tidak saja mengenyangkan perut tapi memuaskan hati, tidak berapa lama babaduk pasti datang menghampiri. Memang derkukuk babaduk itu. Ia benar-benar tidak mau pergi. Padahal aku sudah tidak pernah menyentuh rokok dan minuman beralkohol. Namun sepertinya masalahnya bukan itu benar. Selama aku belum bisa mengendalikan diriku, selama itu pulalah ia akan selalu datang tak diundang, pergi tak diantar; menyisakan rasa jengkel yang tak pernah benar-benar pergi, babaduk derkukuk.

Seperti Bandrek Hanjuang ini, aku pernah meminumnya di sebuah ruang keluarga di bilangan Jacques Veltmanstraat. Memang minuman semacam ini hanya pantas diminum di tempat-tempat khusus, tempat-tempat istimewa. Bandrek Hanjuang yang kemasannya semacam tas kertas ta'iye mungil memang bukan minuman sembarangan untuk diminum sekadarnya sehari-hari. Ia adalah minuman speysial untuk saat-saat speysial. Seperti apartemen-apartemen di Jacques Veltmanstraat itu, apanya yang istimewa, aku enggan mengakui. Bang Noor Haryono Setyo Budhi, memang beliau seorang istimewa.

Selebihnya hanya gaya-gaya'an, seperti sekelompok turis melihat-lihat keindahan Amsterdam lalu mengabadikannya dalam citra-citra digital. Aku pernah melakukannya juga beberapa tahun lalu, di beberapa kota sekaligus: Amsterdam, Den Haag, Maastricht, Groningen, setidaknya empat ini yang aku ingat. Selebihnya, aku lebih suka jika masih kuat menggelandang dari Gang Pepaya sampai Depok Town Square dan balik lagi; itu pun sudah capek sekali, sekitar sepuluh tahun yang lalu, seingatku. Lagipula, buat apa berfoto di depan baliho bergambar Karl Marx di Keukenhof; Sungguh amat tidak keren. 

Ketika kau merasa rampak ternyata masih sisa tiga adalah perasaan seperti naik bis malam dari Jakarta menuju Magelang. Apakah di sakuku terdapat sebungkus rokok, apakah Sampoerna King Size atau bahkan Bentoel Biru, aku bahkan belum lagi berumur dua puluh tahun ketika itu, karena aku berumur segitu ketika bernyanyi-nyanyi di Balairung Universitas Indonesia. Sembilan belas tahun dan tolol-tololan saja kerjaku. Meski diberi kesempatan untuk membunuhi komunis dan simpatisannya, jelas tidak akan aku lakukan itu. Mungkin memang itu satu-satunya yang dapat aku kerjakan: Tolol.

Seandainya di dunia ini hanya tersedia dua pilihan bagiku, komunis atau non-komunis, sudah jelas yang mana akan aku pilih. Aku sendiri malah heran dengan orang-orang yang merasa dirinya tidak komunis. Apa dikira hanya mereka yang rajin bekerja. Aku memang pemalas dan lebih suka termangu-mangu berkhayal-khayal dibanding menggerakkan badanku, namun justru karena ketermanguan dan khayalan-khayalan itulah aku menjadi diriku. Adakah aku akan sukarela mendaftarkan diri seperti Chris Taylor begitu, mungkin jika aku sudah suisidal, bosan hidup. Itu mungkin saja terjadi. 

Jangankan sampai begini, aku rasa, dari muda padaku sudah ada kecenderungan suisidal. Aku terlalu masa bodoh pada apapun, termasuk dan terutama, diri dan hidupku sendiri. Kalau diri dan hidup orang lain aku masih sering peduli. Diri dan hidupku, uah, aku selalu merasa tidak berguna. Apakah ini rasa yang ditanamkan babaduk pada kesadaranku, jari-jariku rampak mengetiki kibor blutut ini. [Awas blutut, bukan butut ya] Ini kibor blutut baru. Cantik yang membelinya. Tidak ada rasa kasihanku pada mahluk malang, karena pada dasarnya aku memang pengiba. Ya, aku mudah jatuh iba.

Monday, November 15, 2021

Air Bambu Itu Yang Seperti Apa. Rasa-rasanya


Oh, ternyata sudah tersedia pemegang-tempatnya, bahkan judul dan ilustrasinya sekali, meski judulnya masih diilhami oleh Dewa Asmara, ilustrasinya entah dari mana asalnya. Justru keburaman ilustrasi ini menambah asli suasananya, awal sampai pertengahan 1998 itu. Aku masih ingat mendung-mendungnya, bahkan hujan-hujannya. Itu pulalah yang mengilhami cerita pendekku mengenai seorang centurion yang kehilangan kepercayaannya kepada kejayaan Romawi. Dari situ pulalah, aku rasa, aku menikmati berbagai-bagai citarasa, termasuk Minak Djinggo Internasional ini, Minak Djinggo filter.


Memang kisah cinta paling nikmat jika dihiasi rinai hujan, rintik menderasnya, derai perlahannya. Seperti itu jugakah suasana ketika aku terpaksa melancarkan kungfu peremuk kaca. Betapa jengkelnya jika abu dupa tidak jatuh ke dalam tempat yang aku siapkan untuknya. Bukan sekadar untuk pegangan tangkai dupa aku beri berpasir begitu, melainkan sekalian untuk menampung abu dupa. Pasir dan abu, tidakkah kalian seharusnya serasi, seperti rawon berlabu-siam bertempe. Seperti tato di bawah tengkuk dan omongan ke mana-mana tanpa juntrungan. Tempatnya di situ-situ juga, tak berubah.

Mengetiki berteman Kincir Jujur begini memang dapat menimbulkan kesan pantas saja karena aku di Belanda. Nyatanya, setiap kali aku berjalan pulang dari Albert Heijn ke rumahku di Sepurderek, memang itu yang segera nampak: kincir angin. Orang-orang Belanda ini, entah mengapa mereka suka memelihara kebugaran, entah dengan berlari bahkan latihan silang. Siapapun itu yang aku temui, tak satupun menyapa bahkan sekadar melempar senyum, kecuali Si Mufti dari Ghana. Ketika itu sedang puasa. Aku pun baru pulang dari membeli hidangan berbuka, atau tidak, aku tidak seberapa ingat.

Lantas bersepeda ke Molenwijk, pernah aku berangkat masih terang cuaca. Sekeluar dari Albert Heijn, langit sudah gelap. Itu pasti musim dingin. Sama sekali tidak ada kisah cinta di sana, maka ketika Achmad Sulfikar begitu saja menawar Van Moof putih dari Hadi, tiada keberatanku sedikit pun. Meski itu berarti aku tidak bisa bersepeda ke timur membeli hidangan Cina pada orang Turki. "Aku dapat dengan mudah memesannya secara dalam jaringan," demikian kataku pada diri sendiri. Terlebih Sumpitz yang aduhai mahalnya, padahal hanya begitu doang, fuyunghai vegan katanya, lalu tahu entah-entah. 

Apa yang aku dapatkan dari pengorbananku yang sedikit itu. Apa yang tersisa dari es krim yang dijual sepasang suami istri, yang dimakan di undak-undakan di luar gereja sambil memandangi seluas Vrijthof. Agak sepuluhan tahun kemudian aku ulangi lagi adegan ini, meski tanpa es krim dan diskusi mengenai kapitalisme lawan sosialisme. Masuk angin yang aku dapatkan. Bukan pulang ke kostan malah ke hotel, tidak bisa tidur pula sepanjang malam. Itu sedang puasa yang sampai menguruskan. Sanggupkah aku mengulanginya lagi di sini. Aku sedang sangat butuh puasa yang seperti itu. Sungguhpun.

Aku juga pernah seorang diri di La Place Schiphol menikmati sup bawang dan jejari keju, jika aku tidak salah ingat. Badanku, seingatku, selalu lebih ringan begitu. Perutku tidak berat terlipat seperti sekarang. Makananku benar-benar seadanya di sana. Rasanya tidak ada yang mantap mengena di lambung. Mungkin itulah sebabnya badanku lebih ringan di Belanda. Terlebih ketika aku menikmati udang-udangan dengan saus cabai, jajanan utamaku kala itu. Sangat jarang aku membeli ayam panggang yang, untuk ukuran hidup di Belanda, nikmat. Quarterpounder, seperti biasa, cenderung hambar. Entah halal tidak.

Aku sangka, ini akan menjadi entri mengenai kisah cinta. Namun, seperti biasa, percuma menduga entri akan menjadi mengenai apa. Aku rasa, praktik ini layak dilazimkan. Bukan terutama berkenaan dengan judul, namun mengilustrasikan sebelum mengetiki ternyata sungguh praktisnya. Seperti sekarang ini, entah apa yang dilakukan Si Bodoh Ari Wibowo di entriku ini, kau yang membuatku hafal selalu. Tidak mungkin juga aku rasa ia menghisap Minak Djinggo Internasional. Bibirnya terlalu jambon, jangankan untuk menghisap rokok sejantan itu, untuk menghisap apapun kecuali burung lekong!

Sunday, November 14, 2021

Kelor: Nutraisi Untuk Menyembuhkan Herpes


Ini baru ekstrim! Belum pernah aku menulis entri sedang judul dan ilustrasinya sudah siap semua, sedang baru ada pemegang-tempatnya saja. Mana pagi-pagi begini aku sudah harus mendengar ocehan Sang Dewa Cinta Kamajaya. Aduhai, begini betul. Ini adalah nasi uduk hanya dengan tempe goreng dan sambal yang dijual bersama lotere oleh seorang Cina tua di salah satu pojokan Bendungan Jago. Aduhai, sedang Fokker 27 yang mendenging atau Fokker 28 yang berisik melintas di atas kepala, sebelum menjejakkan roda-roda pendaratnya pada landasan utama. Aku menangis diam-diam.


Apa yang aku pikirkan ketika itu, mengenai kepala berambut keriting. Ingatanku malah tertukar-tukar dengan ranumnya buah-buahan setiap kali aku berangkat sekolah pada waktu yang normal, melewati hutan menuju Jayapura. Pada ketika itu aku pun kemungkinan besar berangkat sekolah. Uah, dari sekecil itu pun aku sudah derkukuk, betapatah setua ini, meski aku rasa bukan aku sendiri yang dirundung babaduk begini hampir sepanjang hidupku. "Babaduk 'mah nggak serem, malah sedih," demikian Kakak. Sungguh kau pengertian, 'Nak. 'Duhai, seandainya saja kau tahu selebihnya. Mengerikan.

Dengingan dan dengungan pengering rambut bisa saja selalu menjadi inspirasi, ketika koleksi lagu-lagu selalu-hijau versi sampul ini sungguh menjengkelkan kedengarannya. Mas Dikdik datang lewat jam delapan, bahkan hampir jam sembilan, juga sangat mungkin terjadi sehari-hari. Ini berkejaran dengan waktu, meski berolok-olok begini. Kalau sebenarnya sudah pasti aku malas sekali, sudah pasti aku sudah menyerah. Suasana pagi seindah ini Insya Allah juga bisa terjadi kapanpun, hal mana sungguh pantas disyukuri dan didoakan. Maka dengan riang 'kuberjalan di bawah guyuran hujan.

Babaduk, baduk, baduk... begitu seterusnya sampai rayap mati muntah cecek. Ada juga dentam-dentamnya, kadang seperti hampir meledak ini kepala berbaduk-baduk begitu. Terlebih berbagai testimoni mengenai kesembuhan dari berbagai-bagai penyakit yang sekadar, konon, sekadar di-nutraisi dengan daun kelor; padahal sudah tahu bahwa dunia tidak selebar daun kelor. Meski ilustrasi musiknya modern begini, materi promosinya seperti mundur berabad-abad. Semoga aku tidak akan pernah mengalami yang seperti ini. Lebih baik biar Lely Larasati saja mengajari bukan anak siapa-siapa Bahasa Inggris.

Pemandangan tenda-tenda di sepanjang tepi jalan, setelah selesai didirikan, memompa petromaks sampai berpendar-pendar menyilaukan, tidak akan lagi terlihat. Itulah pemandangan yang biasa mewarnai akhir hari ketika kau belum sampai rumah, ketika kau memandanginya melalui bahu orang yang duduk di seberangmu, atau bahkan bahumu sendiri. Ketika jendela, untuk dibuka, harus digeser. Syukur-syukur kalau menggesernya ringan dan mudah, seringnya berat dan sulit. Terlebih jika itu jendela Metromini apalagi Mayasari Bakti jurusan Blok M-Pulogadung. Jangan banyak berharap.

Jika masih dua jangan terburu menyerah, jangan jeri. Langsung lompat saja ke bilangan Sepurderek yang di seberangnya ada barak pemadam kebakaran itu. Barak masa semodern itu. Di sekelilingnya sudah banyak perkantoran dan pertokoan modern, meski suasana pergudangan masih kental terasa. Terlebih marina berair dalam, karena sebuah kapal pesiar yang aku taksir bertonase bisa sampai lima ribuan gros ton bisa ditambat di sana, dengan radar cuaca yang terus saja berputar-putar. Belum lagi kincir angin yang dari kejauhan saja terlihat besar, ketika pulang dari membeli mie Cina pada orang Turki.

Aku, yang jelas, tertambat padamu. Adakah aku rindukan ketika aku sekitar dua puluh kiloan lebih langsing dari ini. Apanya yang dirindukan. Pada titik ini, masa lalu, bahkan semua kenangannya baik manis maupun getir, sudah banyak kehilangan daya tariknya. Terlebih masa kini yang ternyata masih terus saja dikukuki oleh babaduk, sunguh derkukuk! Aku dan kamu dan seekor anjing bernama Bu. Siapa yang menamainya begitu, yang jelas ia suka dipanggil begitu. Apalagi Suci Gampangpergi yang mungkin diperawani ketika berumur sekitar empat belas tahun, lantas menjadi pelacur kelas atas.

Saturday, November 13, 2021

Aku Nekad Melanjutkan. Akankah Selesai


Uah, aku kembali di lingkungan pelabuhan, apakah itu Tanjung Emas, Kolinlamil, bahkan Sepurderek sekalipun. Lingkungan macam apa ini. Hampir saja aku menulis mengenai Mbak Puas, jika tidak diselamatkan oleh keselarasan. Setua ini, aku memang maunya segala sesuatu selaras serasi seimbang saja. Sudah tidak ada tenaga padaku untuk membuat keributan, meski keselarasan ini aku kenal dari sangat muda sekali, bahkan kanak-kanak. Setelah ini bahkan seharusnya aku menciptakan taman bermain dalam pikiranku, jika tidak karena anak perempuan negro beringus kering di hidungnya.


Maka begitu saja aku sapa orang asing. Siapa saja, yang terpaksa harus mundur beberapa halte gara-gara ada perbaikan jalan. Aku hanya dapat menggali kisah cinta dari masa lalu, bahkan yang khayal sekalipun. Tepatnya, aku sudah tidak tahu lagi apakah semua petualangan cintaku benar-benar terjadi di masa lalu atau hanya ilusi semata. Seperti ber-cupap cupap, Sayangku, apa benar aku pernah melakukannya pada perempuan negro berambut alami. Namun, ya, seperti itulah hidup. Hari ini kau di sini, besok kau pergi. Lantas apa bedanya khayal dan kenyataan jika sudah begini. Sama saja!

Haruskah, setelah ini, aku mengajari dunia bernyanyi, ternyata tidak perlu. Justru kisah sedih mengenai kehilangan seseorang yang sangat dikasihi yang aku temui. Bicara mengenai salju pula, aku tidak habis pikir dengan orang-orang yang belum berkesempatan merasakan sendiri musim dingin dan salju. Mereka kira salju itu lembut. Bahkan aku yang sempat merasakan hujan salju sedang hati terasa lembut tahu bahwa salju itu keras dan kasar. Kelembutan itu adanya di hati. Jika kau berpikir untuk mencari kelembutan pada salju, kau akan kecewa, Sayang. Kau akan merindukanku dan saat ini.

Siapapun akan segera tahu bahwa kisah ini sedih belaka, maka berlalulah darinya. Aduhai, malah meratap-ratap meminta kekasih yang pergi untuk kembali. Betapa sedihnya. Tidak. Kekasih pergi tidak selalu kepada yang lebih ganteng dan kaya. Bisa kepada siapa saja. Aku menekuri jalan-jalan di kampus ketika masih sepinya, masih gelapnya, seorang diri. Apakah di sakuku ada sebungkus rokok, apakah masih penuh atau sudah tinggal beberapa batang, apakah koreknya jres sekotak atau mancis, sudah tidak banyak berarti. Tetap saja aku seorang diri menekuri, menjalani sunyi sepi sendiri.

Serampak ini aku bahkan tidak tahu akankah selesai. Dari rasaku sekarang ini mungkin saja. Sebuah kamar kost bercat kuning, berisi anak-anak perempuan yang berpikir untuk mendapatkan tambahan uang saku dari mendirikan dan membongkar tenda Mie Aceh Pidie 2000. Sebuah motor Honda Tiger 2000 pun ada, dan perselingkuhan jika bukan poligami meski belum menikah, meski bukan urusanku. Maka berlalulah aku ke akhir musim gugur 2008, sambil bertanya-tanya pada diriku sendiri, bagaimana caranya menyembuhkan luka hati, ketika ia suka sekali berbicara sangat dekat dengan mukaku.

Bagaimana caranya menghentikan matahari agar tidak bersinar. Caranya adalah bangun justru ketika matahari akan terbenam, segar justru ketika hari telah gelap. Tidur jangan terlalu dipikirkan, meski di sampingmu ada Lilis Suganda, entah siapa yang menurunkannya dari dinding. Mustahil turun sendiri, pasti kau sendiri yang menurunkan untuk kepentingan derkukuk, semacam babaduk begitu, yang telah menemanimu entah sejak kapan dari masa kanak-kanakmu. Beginilah kalau terlalu rampak, tapi siapa peduli. Jangan merepotkan diri sendiri, repotkan saja kesendirianmu.

Terlebih jika kekasihmu, yang kau kira tercipta hanya untukmu, ternyata berasyik-masyuk dengan lelaki lain, jangan ragu-ragu. Pukuli lelaki itu, tarik dia, lempar ke dalam hujan, selamatkan kekasihmu. Tidak perlu kau pikirkan kejantananmu sendiri. Jika kau terlahir lelaki, dengan sendirinya kau jantan, disunat atau tidak. Asal jangan dikastrasi, dikebiri begitu. Lelaki kodok yang wajahnya ramah itu, aku rasa memang betulan ramah pembawaannya. Aduhai, mengapa ini istriku bersolek bersiap-siap berangkat kerja sedang aku membunuhi bayi-bayi Charlie, seperti kata anak-anak muda gondrong itu.

Friday, November 12, 2021

Sekuat Apapun 'Kuberusaha, Tertinggal Juga


Aku. Kuat berusaha. Pasti lawak. Dua kalimat pertama yang tak sempurna itu, sebagaimana diketahui, seharusnya diberi bertanda-tanya. Namun kau 'kan tahu perasaanku terhadap tanda tanya. Ah, sudahlah. Intinya, ketertinggalan ini merupakan kemaluan, meski kalau sampai tidak tertinggal, apatah lagi sampai mendahului, itu akan menimbulkan tanda tanya yang justru lebih besar lagi. Terlebih ketika Joni Gitar memainkan lagu yang aduhai sungguh sedih lagi pilu terdengarnya. Tepat di sini aku hapus kalimat sebelumnya, agar entri ini tetap abadi, meski sebenarnya demi retroaksi.


Uah, pantai ini tidak kalah sendunya. Pantai macam apa yang bisa sesendu ini. Setua ini aku sudah tidak sanggup membayangkan betapa sedihnya ditinggal kekasih, meski masih saja entri-entri bertemakan cinta-cintaan. Hidup adalah hidup. Mengenai ini tak mungkin aku berolok-olok, seperti mustahilnya aku melukiskan betapa salehnya diriku sendiri dalam entri-entri cabul ini. Aku bahkan tidak bisa mengambil ilham dari pengalaman sehari-hari ketika sedang beretroaksi, kecuali aku yakin pengalaman-pengalaman ini masih bisa diulangi kemudian hari; tentu, dengan membaca Insya Allah.

Derkukuk! Gara-gara iklan AC bo'ong aku hampir saja menulis serapah itu. Untung 'kutelusur dulu ilustrasi baginya, sampai tertumbuk pada lukisan anak menangis yang katanya derkukuk. Lucunya, aku jadi takut hahaha. Maka 'kugantilah menjadi terkukuk. Namun ternyata ilustrasi untuknya tidak kalah mengerikannya. Masa ada mata terkukuk segala anak kunci, gunting, dan benda-benda tajam lainnya. Begitulah maka pilihan jatuh pada derkukuk, meski harus 'kubisikkan: "Berbicaralah dengan lembut, Sayang." Seperti Michael pada Apollonia. Tentunya bukan Santino pada Lucy, namun mengapa begitu.

Dari sebuah kafe di pinggir jalan aku mendengar piano dimainkan pada nada-nada tingginya. Ini aku lakukan ketika daya ciptaku sudah tinggal sisa-sisa, namun siapa tahu, justru dari yang sisa-sisa ini tersembul mutiara. Sungguh, menyandi dan meragakan itu bukan pekerjaan mudah, terlebih ketika malam sudah tidak terlalu muda. Terlebih ketika engkau sendiri sudah bukan orang muda. Jangan pula lupa, tidak enam tetapi tujuh di sini, jadi jangan santai-santai. Kerahkan, ya, rampakkan. Aku melangkah di kilometer nol jalan tol poros utara selatan Surabaya, di antara peti-peti kemas, temaram.

Tentu saja aku sudah tidak seperkasa James Bond. Aku tidak suka ide orangtua bugar sampai sok muda begitu. Aku suka lelaki paruh baya yang sudah sedikit sekali keperluannya pada dunia. Sekarang sudah bukan masanya lagi melompat-lompat di antara peti-peti kemas, sedang aku bukan bintang film apalagi pemeran pengganti. Sekarang ini, jika sampai aku berada di tengah-tengah lapangan peti kemas pada sekitar jam sepuluh malam seorang diri, sudah pasti akan aku pesan grabcar untuk membawaku ke rumah, atau setidaknya hotel. Hotel yang benar-benar, ya, jangan berpikir tidak-tidak. 

Seandainya pun aku berasal dari Augusta, Georgia, pasti akan aku rindukan kota asalku itu seraya menyanyikan Georgia dalam pikiranku. Meski hangat-hangatnya kebun durian di akhir musim kemarau 1999 membuatku ingin menari berkeliling-keliling ruang depan rumah petakan yang sempit itu bersama anak perempuanku, seksi kuningan akan aku kerahkan untuk menggemparkan hatiku segempar-gemparnya. Apakah setelah itu dadaku sesak membuat kartu ucapan ulang tahun pertama untuknya di ruang LKHT yang dingin, yang sekarang menjadi sekretariat ILUNI... Iiihhh, tiada damai 'kutemukan.

Maka aku usirlah gadis kecil itu, tidak saja dari benakku, tetapi dari hadapanku sekali. Matanya yang bulat sungguh cantik. Sesungguhnya apapun mengenainya cantik. Namun kecantikan itu menyakitiku sangat. Aku kibas-kibaskan tanganku menyuruhnya pergi. Semoga saja tendanganku pada punggungnya tidak melukai sama-sekali, apalagi sampai mematahkan tulang-tulangnya. Seandainya dapat diulangi, akan aku tangkap saja gadis kecil itu, aku dekap pelan-pelan selembut mungkin. Dia akan tahu ini bukan pelecehan apalagi kekerasan seksual. Bahkan dari ketika itu, aku sudah kebapakan. Aku suka itu.

Thursday, November 11, 2021

Kekasih: Berbicaralah dengan Lembut, Sayang.


Seandainya. Aku memulai entri ini dengan "seandainya". Sebuah gagasan yang tolol, mungkin tertolol di dunia. Maka tidak jadi aku memulai entri ini dengannya. Terkadang, ketika mengetiki begini, terasa betapa lucunya bahasa ini, Bahasa Indonesia. Ketika cilok dengan diameter 1,5 sampai 2 cm sebanyak 10 biji dicampur saus sambal Belibis dan sedikit kecap saja menyakiti lambungku, belum ditambah setengah liter teh hijau madu Nu, maka ketika itulah angan melayang ke sekitar 16-an tahun lalu, ketika teh hijau Nu baru dirilis pada 2005. Waktu yang panjang, karena sekejap saja nyawa bisa melayang.


Demikian pula cireng isi, sungguh ajaib makanan ini. Tak pernah 'kusangka ia begitu penuh berkubang minyak goreng. Ketika kantung kertasnya 'kutaruh begitu saja di atas meja kaca, maka bersimbah minyak gorenglah. Dua lembar tisu wajah tidak sanggup menyerapnya, maka 'kukerahkan satu lembar lagi. Penjualnya mengatakan bahwa isinya ada beberapa macam, misalnya, keju, kornet, sosis; rasa-rasa yang mungkin akan menarik bocil. Aku tidak percaya padanya, maka begitu saja 'kukatakan: "yang mana saja." Memang ada terasa sedikit keju, berikutnya entah apa, pasta kekuningan begitu.

Lantas rasa tenggorokan yang selalu seperti ada yang tidak beres. Tidak sampai gatal, apalagi sakit, apalagi sampai sulit menelan. Mungkin sekadar kering atau entah apa. Ketika tidur malam dan tentu saja bangun pagi. Maka sebelum sarapan, usahakan melumasi dengan beberapa teguk air. Jika tidak nanti bisa tersedak dan terjadilah drama di pagi hari, ketika nasi berlumur minyak atau kuah berbumbu entah apa nyaris tersesat ke jalan nafas. Terbatuk-batuklah, sedangkan tenggorokan semakin terasa panas-panas gatal. Jangan panik, atur nafas, dan tunggulah agak sebentar. Ia Insya Allah baik kembali.

Apa betul kalau di warung kopi a la Eropa musiknya lantas umek begini. Apa betul Eropa, sedangkan jez berkembang di Amerika. Begitulah maka Jakob Heym membohongi tetangga-tetangganya bahwa tentara Amerika sudah begitu dekat, sedang mereka di Polandia. "Sudah terdengar musik jeznya," demikian kurang-lebih Jakob membohongi tetangga-tetangganya. Aku, tentu saja, bukan tetangga Jakob, meski tak pelak 'kudengarkan juga musik jez umek yang konon memenuhi tiap relung warung kopi entah di mana. Aku yang pernah tinggal di Belanda ini pernah tidak ya pergi ke warung kopi.

Oh, ada, tetapi tidak di Eropa. Ini dekat saja di tepi Margonda. Masih 'kuingat pula suasananya. Aku, tentu saja, tidak pernah memesan kopinya, meski Abdul Qodir bangun-bangun tidur pernah menenggak double espresso-nya sampai hampir pingsan. Itu seingatku masih ada Martina Dwinita. Aku paling memesan makanan yang aku sudah lupa apa. Mungkin karena memang tidak ada yang benar-benar berkesan makanannya, kecuali Janjinya Pedagang Telur. Mustahil aku menghabiskan waktu di situ menekuni koleksi National Geographic yang lumayan dahsyat. Entah, sedikit sekali yang 'kuingat.

Aku mengetiki disangga kardus begini, ditemani wanita, meski sungguh aku sendiri kesepian. Akan halnya special-o'day dapat terjadi kapan saja, demikian juga seperangkat sashimi. Sashimi, ya, bukan alat sholat. Aku tidak bisa terus begini. Lebih baik 'kumulai dengan waktu-sejati, lantas sedikit demi sedikit retroaksi. Mulai besok, mungkin saja, karena malam-malam bisa saja seperti ini, ketika hujan sekadarnya meninggalkan udara yang sejuk tidak panas iya. Beginilah hidup. Ketika dijalani sepi, ketika berakhir jangan-jangan beruntung kalau sampai sepi. Bagaimana jika hiruk-pikuk dengan ular, gegendir...

Astaga, masih saja ada satu alinea menunggu, seperti sebuah gitar tua teronggok di tengah malam. Sebegitu picisannya, seperti kisah cinta Roy Marten dan Yati Octavia di Kampus Biru. Penantianmu akan aku akhiri, alinea, karena jauh di kaki langit Amsterdam sana, awan-awan bisa saja tebal mengelabu atau bahkan berarak-arak putih seperti kapas. Aku memandanginya dari ruangan kenyal di Lantai 5 Gedung B, seperti selalu aku lakukan di Lantai 4 Gedung D. Mulai sekarang akan aku tinggalkan awalan 'ku- yang sungguh menjengkelkan. Kata ganti orang bukan awalan, begitu keputusanku.

Wednesday, November 10, 2021

Suatu Entri Mengenai Hari Pahlawan 2021


Siapa yang boleh protes jika 'kumulai entri ini dengan, "siapa yang boleh protes." Bahkan, sekitar tiga jam yang lalu, aku akan membuka entri ini dengan, "siapa yang boleh protes kalau badanku bersimbah keringat gara-gara sayur asem-aseman baru matang boleh buat sendiri, masih ditingkahi telur dadar gemuk asin dan sambel terasi botolan sekali." Masalah sebenarnya bukan siapa yang boleh protes, melainkan siapa yang mau peduli. Hahaha; aku tertawa getir, sendiri menertawakan diri sendiri begini.


Untunglah koleksi alfabetikal dehaman dan hembusan saksofon Fausto Papetti-ku sungguh asyiknya, mirip seperti koleksi kaset-kaset irama instrumentalia Ibuku dahulu. Jangankan sampai yang jauh-jauh, mengingat-ingat pemutar kaset Polytron abu-abu muda dengan penutup pengeras-suara biru kobalt saja sudah sungguh nyamannya. Pada akhirnya, Bapak dan Ibuku adalah pahlawan-pahlawanku; dan dengan ini maka aku cukupkan bahasan mengenai pahlawan dalam entri ini. Bukan di sini tempat berdoa.

Apakah Rumena menata rambutnya pendek saja sedang ujung-ujungnya digulung keluar, itu dari masa ketika Ibuku remaja. Pada masaku remaja aku tidak terlalu menyimak seperti apa rambut gadis-gadis ditata. Entah mengapa justru ingatan melayang pada suatu ketika yang sungguh menyakitkan sekali, yang entah bagaimana menyandinya. Jelasnya, memang begitulah masa dewasa mudaku, yakni ketika aku mulai meninggalkan usia belasan beranjak dua puluhan; masa yang sedih 'tuk dikenang.

Ketika tempat alinea-alinea sudah disiapkan, ketika itulah aku melangkah gontai penuh dendam. Uang sudah tidak punya, pulang entah ke mana. Sesampainya di rumah badan berselimut debu sedang langit sudah terang cuaca. Aku berjalan sekadar berpedoman pada rambu-rambu penunjuk arah sepanjang jalan. Mengapa ketika itu aku tidak menjalani hari-hari sebagai sersan taruna muda di Bumi Moro saja, suatu pertanyaan yang tidak terjawabkan sehingga kini. Bahkan sekarang setelah aku setua, selemah ini.

Aku malah memilih hidup sebagai Gembala Kesepian. Di sini sebenarnya aku ingin mengetik sebuah onomatope erangan, namun entah mengapa aku merasa selalu harus mengursifkannya, dan aku malas. Jadi intinya, setelah kelamaan berurusan dengan perempuan cantik tapi bodoh, seekor burung kondor begitu saja melintas. Ini semua entah bagaimana mempertemukanku kembali dengan Emma, yang dalam kehidupan sebenarnya sudah pasti aku malas bertemu. Biarlah Emma selalu hidup dalam khayalku.

Ini adalah sebuah entri yang jelek sekali. Jangankan untuk keperluan Hari Pahlawan, untuk kepentingan apapun saja entri ini jelek sekali. Maka biarlah Mata di Langit itu menatapku, meski benar-benar aku tidak ingin menyelami makna spiritualnya. Bagiku, sepintas ia seperti mistisisme yang tidak cerdas, alias sekadar pura-pura mistis. Mana pakai, "Aku bisa membaca pikiranmu," aku berseru agak melecehkan. Hanya hentakan dan alunannya saja yang patut dihargai, syairnya tidak. Aku harus mengganti parfum.

Uah, pantas alinea menjadi lebih pendek-pendek. Ternyata lebar layar tablet Samsung Galaxy A beda dengan laptop Asus VivoBook, maka patokannya pun berbeda pula. Jadi alinea terakhir ini akan 'kuapakan. Apakah 'kusamakan dengan yang sebelum-sebelumnya, atau 'kugunakan saja patokan yang baru ini. Patokan mana pun, yang jelas sekarang aku tiba-tiba menjadi sibuk, meski tentu saja tidak tepat hari ini sebagaimana tertera pada tanggalnya. Apakah ini terhitung sebagai kepahlawanan aku tidak peduli. Pahala atau dosa bukan urusanku. Urusanku adalah berusaha sebaik yang aku bisa.