Friday, May 30, 2014

Jangan Ganggu Aku! Jauh-jauh Sana!


Dear Diare,

Hari ini segala sesuatu terasa menjengkelkan. Segala sesuatu? Sebenarnya engga juga. Hanya beberapa saja. Untunglah pagi ini sambil menunggu shalat Jumat aku sedang mood mendengarkan Beatles. Mengetik begini juga sebenarnya menyenangkan, dan cingcong mengenai prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumberdaya alam sebenarnya juga sama menyenangkan; dan lebih berguna. Engga, lah. Ini masalah mood. Mungkin orang-orang yang berusaha memainkan lagu-lagu Beatles tepat seperti cara mereka berempat memainkannya adalah orang-orang yang... well... Yah, pokoknya aku bukan orang seperti itu. Aku tidak peduli pujian orang. Aku hanya butuh merayakan suasana hati setiap saatnya, meski Don't Bother Me ini, sungguh, selalu asyik begini. Jika saja ada sebuah gunung batu granit yang bernama Rushless, mungkin akan kupahat wajah John, Paul, George dan Ringo di sana; biar jadi berhala-berhala.


Puasa sehari saja Alhamdulillah terasa benar khasiatnya. Perut yang sebelumnya terasa sesak benar di dalam celana yang sudah ukuran 40, langsung terasa longgar. Memang jika tidak puasa, ketika perut terasa longgar sebentar saja, langsung berpikir ini waktu mengisinya kembali, which is ngawur. Puasa itu memang enak. Sayangnya sekarang Jumat. Alhamdulilah setelah entah berapa Senin berapa Kamis mencoba, kemarin berhasil. Mungkin karena seharian di rumah saja, bersama Cantik lagi, sedangkan ia juga puasa. Kami berbuka puasa di Soto Bu Tjondro dan Cantik seperti biasa menyesalinya. Lebih menyesal lagi ketika Tip Top menyuruhnya membayar vas bunga murahan yang sudah pecah. Apapun itu, yang patut dicatat adalah kemarin aku tidak perlu memanjat atap, hanya menggoyangkan jack sedikit dan siaran-siaran lokal kembali bisa ditonton. Mungkin berkah puasa Kamis. Alhamdulillah final exam the Principles of Adat Law terlaksana dengan tertib dan lancar, meski entah mengapa aku merasa mood marah-marah pada bocah yang tidak bawa kartu ujian.

Sesungguhnya, baru sejak Pak John Atkins menyuruh Mansyur untuk roll over-lah aku menyadari sepenuhnya arti Roll Over Beethoven. Di mana komen itu adanya, ya? Atau di status? Aku ingat biasanya aku senang membacanya. Hei, di negeri orang apalagi sampai lama-lama itu membosankan loh, sampai baca komen atau status aja senang. Masa lupa masa-masa berjongkok di WC aneh yang kering berkarpet plastik, dingin pulak, seakan tidak akan pernah berakhir? WC mana pun yang pernah kujongkoki dan kududuki selama di negeri itu, mana ada yang enak. Kering semua dan pakai tisu semua. Apalagi WC McD yang di pojokan Markt. Hiy. Lalu makan, mana pernah benar-benar enak kecuali kibbeling dan surimi garnalen; itu pun pasti saking aja karena yang lain ga jelas. [ah, tidak. Makan sih agak mendingan lah, meski bukan makanannya betul yang berkesan] Lalu kau ingin, benar-benar ingin kembali ke sana? Semata-mata karena mampu melakukannya "di luar" dan topikmu "brilian"? Begitu?

Aku pengin jadi pacarmu

Wednesday, May 28, 2014

Dunia yang Tak Satu


Entri ini saya salin, dengan sedikit penyuntingan, dari status fesbuk Mas Ikhsan Abdillah bin R. Sulaksono Talkoeto, saudara sepupu, anak dari kakak Ibu saya.

Menurut kitab suci, pada hakikatnya, dunia itu fatamorgana. Fatamorgana berarti bukan merupakan Kebenaran hakiki, alias palsu. Dalam kitab suci pula seringkali diingatkan untuk tidak mencintai dunia secara berlebihan. Mengapa disebut fatamorgana? Ya itu tadi, karena bukan Kebenaran. Bagaimana dapat disebut sebagai kebenaran, karena ternyata dunia itu bukan satu, tapi banyak, Sedangkan Kebenaran itu satu. Mengapa dunia, sang fatamorgana itu banyak? Karena dunia itu sebenarnya hanya lautan PERSEPSI. Perhatikan contoh sederhana berikut.

gambar dari sini

Bagi Saya, buah Durian itu lezat. Tidak jauh-jauh, menurut adik Saya, buah durian itu tidak enak. Dalam dunia Saya, buah durian itu enak sekali, sedangkan dalam dunia adik Saya tidak demikianlah halnya. Ada lagi pendapat orang asing bahwa rasa durian itu perpaduan antara aroma sedap dan bau comberan. Tahukah Anda bahwa durian yang dimaksud adalah sama, rasanya sama, bentuknya sama, warnanya sama, tetapi mengapa jadi berbeda? Ya itu tadi, PERSEPSI. Jadi bahwa durian itu enak bukan suatu kebenaran, itu adalah PERSEPSI belaka. Kebenarannya durian adalah durian apa adanya, yang bebas dari PERSEPSI, suka atau tidak suka.

Kita masing-masing hidup dalam dunia yang sesuai dengan PERSEPSI kita, jika ada 1 milyar manusia maka, ada 1 milyar dunia yang unik. Beragam bentuk dunia, tidak heran jika ada dunia yang di dalamnya penuh dengan intrik, perlombaan, persaingan dan konspirasi, dan dunia itu nyata bagi sang PERSEPTOR. Semua kejadian dimaknai melalui kacamata konspirasi, tidak heran pertumpahan darah, peperangan, persaingan, perebutan adalah keniscayaan dalam dunia yang seperti itu.

Ada dunia yang temanya ketidakberdayaan. Dalam dunia ini Sang PERSEPTOR memposisikan dirinya sebagai korban, terombang-ambing oleh nasib, korban imperialis, korban kapitalis, korban putus cinta, korban rasisme, korban ini dan itu. Dunia tidak adil dalam kacamatanya. Sang PERSEPTOR merasa jadi korban nasib, tidak berdaya, dan biasanya ia akan mengeluh, mengritik, curiga, dan skeptis.

Dan masing-masing sibuk menyatakan bahwa dunianyalah yang paling benar. Tidak salah juga; memang dalam kenyataan dunianya, itulah yang dia alami, dia rasakan. Masalahnya adalah ketika Ia mencoba memaksakan kebenaran dunianya kepada orang lain yang dunianya berbeda, di sinilah konflik itu terjadi, wong kenyataan menurut yang satu berbeda kok, bagaimana mungkin Ia mengamini.

Ada juga dunia yang penuh cahaya, Sang PERSEPTOR Memaknai dunianya sebagai sesuatu anugrah. Di sini hanya rasa syukur yang ada, semua kejadian adalah pelajaran, di mana buahnya adalah hikmah. Dia tahu semua bagian diadakan untuk satu tujuan, segala sesuatu diciptakan dengan tujuan; tidak ada yang sia-sia. Di sini ia banyak memetik buah yang ranum. Di sini Ia tahu bahwa dunia hanya permainan PERSEPSI belaka, Ia tahu bahwa lautan PERSEPSI itu hanya seperti kabut, yang mana dengan eksperimen kecil, dengan mengubah sedikit PERSEPSInya, maka dunianya pun ikut berubah. Dalam dunia ini, sekali lagi, hanya ada rasa takjub dan syukur.

Dari mana datangnya PERSEPSI? Ya dari pembelajaran, pengalaman hidup, pengaruh lingkungan yang pernah kita alami dalam hidup kita. Bahkan bisa juga dari hal yang tidak pernah kita alami tapi kita akui kebenarannya, karena informasi tersebut datangnya dari sumber yang kita anggap valid. Jadi PERSEPSI kita juga bisa tumbuh dari KATANYA.

Sifatnya PERSEPSI itu tidak kekal, ia bisa berubah, bertumbuh, tetapi bisa juga mengeras. Semakin keras maka semakin sulit berubah, membatu menjadi ego. Akan tetapi yang namanya fatamorgana, sekeras apapun hakikatnya hanyalah debu. Sekeras apapun batu, lama-lama terkikis juga oleh air.

Cinta dunia berarti cinta terhadap PERSEPSI, yang mana persepsi-persepsi tersebut merupakan bahan pembentuk ego kita. Jadi, berkenaan dengan ungkapan "cinta dunia membuat takut mati," pertanyaannya, siapakah yang takut mati itu?

Komentar saya: Durian-durian jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Saturday, May 24, 2014

Sasaksaat Itu Sama-Sekali Tidak Sulit


Internet Smartfren yang paket ini memang minta ampun lambatnya, yah, tapi setidaknya ia mampu membuka editor entri. Malam minggu begini, sendirian di rumah menulis Surat Cinta, sedangkan badan bau begini. Pernah ada masanya aku rajin menulis surat cinta, meski situasinya tidak sesempurna yang kubayangkan. Malam ini, meski badan bau begini, suasananya nyaris sempurna untuk menulis surat cinta. Betapa tidak, jari-jari rampak mengetuk-ngetuk kibor Asus X450C yang empuk ini, Lik Cliff menyenandungkan surat cinta yang diterimanya entah dari siapa. Kukatakan pada Togar pagi ini, membangun peradaban sangat tidak baik bagi kesehatan. Masih jauh lebih baik menulis Togarism, mana tahu dapat beberapa halaman. Itu jauh lebih bermakna daripada artikel mengenai aspek hukum administrasi negara dalam pengelolaan sumberdaya alam, misalnya. Ah, sudah terlalu banyak Togar kutulis. Aku sudah ditegur Rian Hidayat gara-gara ini.



Entri ini khusus mengenai politik. Politik. politiK. Sungguh, sebenarnya aku terlalu masa bodo untuk politik. Padahal politik tidak boleh masa bodo. Peduli apa aku sebenarnya pada sepuluh tahun yang lalu dan sepuluh tahun yang akan datang? Hehehe... yang akan datang mungkin aku tidak peduli, yang lalu? Uah, aku suka sekali! Sepuluh tahun lalu hari-hari begini... hahaha... adakah aku benar-benar merindukan masa itu? Seperti Patar mengenang makan nasi di tengah belantara Papua sana, sepuluh tahun lalu, sedangkan ia sekarang adalah seorang komandan batalyon? Sama jauhkah lompatanku dengannya, selama sepuluh tahun ini? Hari-hari begini sepuluh tahun yang lalu... LKHT masih ada, di bekas M-Web. Mungkin aku di situ. Apa yang tengah kulakukan saat itu? Aku bukan siapa-siapa. Kuliah pun tak. Benar-benar bukan siapa-siapa. Lalu tiba-tiba saja--ya, mungkin seperti itu juga yang dirasakan Patar. Tiba-tiba--aku menjadi dosen [tetap] FHUI!

Jiah, mana Lik Cliff dan Lik Olivia tiba-tiba nyanyi Tiba-tiba lagi. Kerinduan itu selalu ada. Lucu juga. Mungkin aku sekedar anak yang tidak pernah beranjak dewasa. Mungkin banyak yang sepertiku, maka beginilah dunia, dipenuhi anak-anak yang... bermacam-ragamnya, yang beranak-pinak pula! Astaga, bahkan Claradika pun siap beranak-pinak! Oh, manusia... Oh, Tuhan. Lalu ada Jepri yang percaya Godzilla. Aku pun percaya pada Godzilla. Kemarin waktu di Bandung aku sempat terpikir untuk menontonnya. Tidaklah. Menonton itu spesial harus bersama Cantik, karena ia suka menonton. Hotel Santika belakang BIP, ada dua malam aku tidur di situ. Adakah berkesan? Kecuali kenyataan bahwa aku sekamar dengan Sopuyan sebagai sesama ketua unit, sesuatu yang baru mungkin terjadi sekarang, maka tidak ada yang istimewa. Kecuali kenyataan sama-sekali tidak sulit, maka semua biasa saja. Makanan, biasa. Suasana, biasa. Yah, paling pengalaman pertama melewati terowongan Sasaksaat itu saja.

Tuesday, May 06, 2014

Sekali Seumur Hidupmu, Bercintalah Berlama-lama


Widis, siang-siang begini aku masih di tepi hutan bambu menulis di sini. Barusan mataku tertumbuk pada secarik kain sasirangan dari Mbak Nunung, aku jadi merasa bersalah. [...tapi rasa bersalah tidak ada gunanya, 'le, kalau tidak diikuti dengan perbuatan untuk memperbaikinya. (ooh, tuts-tuts kibor Asus X450C ini Alhamdulillah enak sekali, membuatku dapat mengetik pada kecepatan penuh. Bilakah aku harus menggunakannya untuk keperluan yang serius?) Katakan itu pada dirimu sendiri!] Hehehe jika dahulu entri-entriku berisi Bang Andhika dan Mas Santo, sekarang Mbak Nunung. Baguslah. Insya Allah urusanku hari ini di STR lancar, dan seterusnya begitu selalu lancar, maka aku dapat kembali pada moda tidak-mengecewakan-orang, setidaknya, syukur-syukur kalau sampai mampu mencapai performa terbaikku sebagai speysialis-terima-beres. [Uah, menjelang tengah hari yang panas berangin, begitulah cuaca terus berganti menurut ketentuan Tuan Baik Hati.]

Lalu Icus. Ya, Icus bekas pacarnya Candace Anastasia Limbong. [seharusnya tidak begitu ia menulis 'Anastasia'-nya, tak apalah. Itu masih mendingan jika dibandingkan dengan Mary Margaretha Saragi.] Aku berjanji padanya untuk membuat catatan sedikit mengenai perkara pidana yang anotasinya dibuatkan oleh MaPPI, yang melibatkan seorang bendahara sebuah koperasi. [X450C ini speakernya mirip dengan 520-ku dahulu, lamat-lamat namun bersih bunyinya, membisikkan "My Love, My Love" oleh Tante Geri, kesenanganku.] Uah, jangan sampai tertangkap lagi olehnya di kantin, maka mungkin siang ini tanpa mampir aku akan langsung capcus ke STR, baru sore-sore nanti kembali ke kampus, atau lebih cepat lagi. [Takwa terdengar kurang suka... ah, perasaanku saja.] Lebih cepat lagi itu lebih baik, karena secepat mungkin aku merasa nyaman, secepat itu pulalah aku dapat menulis tambahan anotasi. [...atau sebenarnya dapat kulakukan sekarang juga, setelah ini, mengigat rampaknya jari-jariku mengetuk-ngetuk kibor? Siapa tahu? (Satu baris lagi mungkin, di paragraf ini, sekadar membuatnya imbang dengan yang di atasnya.)]

Mungkin aku harus mencari "The One You Love"-nya Glenn Frey ini yang lebih baik kualitas rekamannya. Ini, seperti biasa, adalah lagu adikku, sebenarnya. Mana aku bisa tahu lagu-lagu begini kalau bukan darinya? Sudah lama pula kami tidak bertemu muka. Koh Ah Jin, kata adikku kemarin, mengatakan bahwa aku semarga dengan Kyai Honggodrono, marga Ong, dan nama Tionghoaku Ong Pa Wang. Aku mustika raja, tetapi sekarang kelakuanku seperti badut. Tepat sekali. Persis, seperti kataku pada Ibunya Adjie (Tom) kemarin pagi. Sudah terlalu sering aku mendengarnya. Ini juga membuatku tidak nyaman, terlepas dari kenyataan Cantik tidak suka dengan idenya, mungkin ia sekadar orang baik yang mau menjalin silaturahim. Tentu saja begitu. Mungkin aku memang harus ke sana suatu hari nanti semata karena ia lebih tua dariku dan telah sudi memintaku untuk mengunjunginya. Namun, itu akan kulakukan jika aku sudah sampai rumah Kak Nova. Belum lagi Pakde Ganduk, Lik Mamiek, sepupu-sepupuku di sini. Itu silaturahim. [sekarang sudah Rajab, dan tidak juga aku melaksanakan apa yang pernah terlintas, apalagi silaturahim pada Bang Rajab...]

Friday, May 02, 2014

Sudah Waktunya Mengucap Selamat Tinggal


Assalamu'alaikum. Ini adalah kali pertama aku mengetik, benar-benar mengetik, menggunakan Asus X450C-ku; dan hal pertama yang kupilih untuk diketik adalah... suatu entri di Kemacangondrongan, naturally. [Ooh... mungkin aku memang membutuhkan dunia yang lebih besar dari ini... seperti kata El Debarge] Entah mengapa, aku, bila menulis sebuah entri di sini, merasa seperti benar-benar menulis untuk diriku sendiri; dan Alhamdulillah... internet malam ini lumayan lancar. Ini baru sempurna, mengetik di laptop sendiri, dengan internet sendiri, di rumah sendiri, mengenai isi kepala sendiri. Sempurna. Sesuai dengan rasa hatiku sendiri. Siapa tahu, ya, siapa tahu, dengan menulis sebuah entri, aku akan semangat menulis... entri-entri lainnya hahaha.

Terkadang aku terpikir, namanya menulis itu ya menulis, dengan tangan, dengan bolpoin, di atas kertas. Sampai hari ini, sampai baru-baru ini, aku masih tertarik melihat buku tulis yang agak tebal. Ide menulis buku harian, benar-benar menulisinya, selalu menarik hatiku. Bukan mengetik, menulis, dan itu terasa lebih pribadi. Lebih akrab. Lebih intim, dibandingkan dengan mengetik begini. Akan tetapi, menulis harus dibiasakan, dan sebagian besar tulisanku harus bisa dicetak atau di-email. Yah, baiklah, begini saja. Mungkin memang sudah waktunya mengucap selamat tinggal pada buku tulis tebal. Selamat tinggal, Sayang. Biarlah kulepas perlahan genggamanmu yang lemah dan semakin lemah. Terima kasih atas segala yang pernah kauberikan, kebersamaan kita, segala suka, duka, tawa, canda, air mata... [sambil menghapusnya dari pipimu]

Malam Sabtu akhirnya menjadi pilihan juga untuk bercinta, selain Malam Minggu yang kepalang terkenal jauh sebelumnya. Duhai lelaki perempuan di luar sana di seluruh dunia, adakah di antara kalian, lelaki yang tidak punya perempuan, perempuan yang tidak punya lelaki? [well, aku tidak peduli pada kemungkinan variasi lainnya] Adakah di antara kalian yang, seperti Togar Tanjung, tidak punya perempuan? Tidak menjadi apa, Gar. Kau lelaki, sejak kau suka berada di pangku Ibumu, sejak kau suka didekapnya, kau sudah lelaki; dan lelaki akan selalu sendiri. Sendiri! Jih, [meludah gaya Hamid Arief] lelaki macam apa yang butuh bersama?! Namun perempuan memang sebaiknya bersama, bersama dengan lelaki yang mencintainya; yang cintanya padanya selamanya, yang hatinya diberikan padanya sepenuhnya. Togar muda memang harus sendiri. Nanti, jika ia tua dan punya anak apalagi cucu, barulah ia boleh minta ditemani. Sekarang, ia HARUS sendiri!

...sehingga bertemu dengan Penciptanya. Sebelum ini aku memang tidak benar-benar mengetik. Aku hanya menyunting dan menata-letak, sambil membaca dan berusaha memberi judul untuk tiap-tiap maqalah. Aku melihat buku yang sama di TGA Margo, diberi judul apa ya, aku lupa; semacam pencari Tuhan begitu. Namun aku tiada sur melihatnya. Aku sendiri berencana memberi judul "80 Jam Membacanya, 80 Jaman Mengamalkannya." Halah, jelek pun. Sungguh aku merasa tidak pantas bahkan sekadar menyebut judulnya saja. Padahal, buku itu, risalah itu, pernah memberikanku hidup yang baru, bersama yang satunya lagi. Subhanallah! Togar siang ini shalat Jumat di sisi kiriku, dan ia pun ikut berdiri mengerjakan shalat ghaib setelahnya. Mungkin memang harus kuselesaikan buku itu, seperti janjiku pada Togar dan Farid. Akan kuserahkan pada mereka ketika Farid ulang tahun Juni nanti. Insya Allah.